UPSIDE DOWN: Rack and Ruin - Part 12


.

.

.

.

.

Bersama jantung yang berdetak tidak normal, Jayson berdiri di depan rumah keluarga Min. Melirik penampilannya karena cenderung cemas dengan apa yang akan dipikirkan keluarga sahabat sekaligus mate-nya akan dirinya. Jayson sampai berulang kali menarik napas dalam kemudian diembuskan berkala karena rasa gugup yang mengusik. Padahal kedatangannya siang itu bukan untuk kali pertama. Jayson sudah pernah menginjakkan kakinya di sana, tapi sebagai sahabat Yunga. Mungkin karena untuk hari itu ia datang menjadi sosok alpha dengan status sebagai pasangan Chaerin –satu-satunya cucu perempuan keluarga Min–, dirinya tidak bisa menampik kegugupan yang membuat tangannya mendingin dan gemetar.

 

“Tidak, tenang Park Jayson. Semua akan baik-baik saja.” Ucapnya pelan mensugesti diri sendiri.

 

Masih dilingkupi kegelisahan, ia menekatan bell di dinding. Menunggu dengan rasa gelisah yang setiap detiknya bertambah menyesakkan. Baru kali pertama Jayson merasakan kegelisahan yang menyiksa seperti itu. Sebelumnya ia tidak pernah gelisah hingga membuat perutnya seperti melilit, paling hanya sampai pada debaran jantung yang menggila.

 

Sedikit tahu jika dirinya hanya bereaksi di luar pikiran hanya karena seorang Lim Chaerin. Tidak ada sosok lain yang bisa membuat ia merasakan hal berlebih seperti yang Chaerin berikan untuknya.

 

“Tuan Park, silahkan masuk.” Seorang pelayan mempersilahkan Jayson setelah membukakan pintu utama.

 

Jayson menyunggingkan senyum dengan mengangguk kecil. Kemudian membawa langkah kakinya mengikuti pelayan menuju ruang keluarga dimana telah berkumpul Kakek dan Paman Chaerin serta Yunga.

 

“Maaf Tuan, Tuan Park sudah datang.” Pelayan tadi memberitahu.

 

Ketiga alpha itu menoleh. Jayson merasa seperti terintimidasi kala ketiga pasang mata itu menatap kearahnya.

 

“Oh Jayson, silahkan duduk.” Tuan Min mempersilahkan.

 

Jayson mengangguk dan setelahnya mendaratkan bokongnya di atas sofa yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.

 

“Bagaimana kabarmu?”

 

“Saya baik Tuan. Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih atas undangan yang diberikan. Saya merasa terhormat.”

 

Tuan Min menggeleng. “Jangan terlalu formal Jayson. Bagaimana pun kau adalah mate cucuku, kau juga sahabat Yunga. Aku senang bisa bertemu denganmu kembali.”

 

“Saya juga Tu-”

 

“Panggil aku kakek, karena pada akhirnya nanti kau akan menjadi cucu menantuku.”

 

Senyumnya merekah mendengar perkataan Tuan Min yang menerimanya dengan tangan terbuka. Ia tidak menyangka jika rasanya akan sesenang ini saat tahu dirinya diterima dengan baik oleh keluarga pasangannya. Jayson sungguh menyesali perbuatan terdahulu yang rela mengabaikan takdirnya hanya untuk sebuah perasaan tidak bertuannya.

 

“Jayson sudah datang.”

 

“Bibi apa kabar?” Sapa Jayson saat melihat sosok Ibu dari sahabatnya.

 

“Baik, bagaimana kabarmu? Sudah lama rasanya kau tidak main kemari.”

 

“Jayson sibuk Bu. Setelah menyelesaikan studinya dia harus membangun perusahaan bersama Kavee.” Jelas Yunga.

 

“Oh jadi kau bekerja bersama Kim Kavee.”

 

Jayson mengangguk, “Iya Bi.”

 

Ibu Yunga mengangguk tapi kemudian ia memukul pelan keningnya begitu ingat dengan tujuannya.

 

“Astaga aku sampai lupa. Aku ingin memberitahukan kalau semua sudah siap, jadi kita bisa mulai makan siangnya.”

 

Tuan Min beranjak dari duduknya. “Mari kita makan.” Ucapnya sebelum mengawali langkah menuju ruang makan.

 

Berbagai hidangan telah tersaji di atas meja. Seorang pelayan berdiri dengan sigap di salah satu sisi dengan air yang siap ia tuangkan ke dalam gelas menunggu pemilik rumah untuk menempati kursi masing-masing. Tuan Min menjadi orang pertama yang menempati kursinya yang berada di paling ujung meja. Dilanjutkan dengan Ayah Yunga, Ibu Yunga, dan Yunga di sisi kanannya. Jayson yang bingung akhirnya memutuskan untuk duduk di ujung meja lainnya, berhadapan dengan Tuan Min.

 

Tidak lama kemudian seseorang datang dengan senyum lembut yang menghiasi wajahnya. Matanya langsung menatap Jayson tanpa sekali pun teralihkan bahkan hingga ia telah menempati kursi sebelah kiri Tuan Min.

 

“Jadi kau yang bernama Jayson, sahabat Yunga?”

 

“Iya Nyo-”

 

“Tidak jangan panggil aku Nyonya, panggil aku Bibi. Jangan terlalu kaku seperti itu, aku jadi tidak nyaman. Kau kan mate anakku.”

 

“I-Iya Bi, saya Park Jayson.”

 

“Aku Aerin.”

 

“Dimana Chaerin?” Yunga bersuara saat dirinya tidak menemukan tanda-tanda kedatangan sang adik.

Sang Ibu melirik sekilas arah kedatangannya sebelum berucap, “Katanya dia akan menyusul.”

 

“Kalau begitu kita mulai saja makannya, Chaerin pasti tidak akan lama.” Putus Tuan Min kemudian.

 

Tidak lama berselang, Chaerin datang dengan pakaian santainya dan tetap terlihat sopan dan berkelas. Omega itu menempatkan dirinya di samping sang Ibu setelah memberikan salam kepada Kakek dan anggota keluarga lainnya. Ia sempat melirik Jayson yang terpaku menatapnya dan mengulas senyum simpul.

 

“Oh Chae, kamu belum menceritakan bagaimana kamu dan Jayson saling menyadari kalau kalian mate?” Bibinya bertanya.

 

Chaerin yang tengah memotong potongan daging sempat berhenti. Matanya tetap fokus pada piring selama beberapa detik sampai helaan pelan lolos dari bibirnya, sangat pelan hingga terkalahkan oleh suara denting sendok dan garpu.

 

Ia menarik napas saat kepalanya ditegakkan. Matanya bergerak menatap satu per satu anggota keluarganya.

 

“Kami menyadarinya saat pertemuan pertama kami.” Chaerin menjeda. Dalam diamnya ia berusaha untuk menenangkan sang dominan yang meraung pelan akibat memori kelam yang kembali dibuka. “Saat ulang tahun Kak Yunga kemarin.”

 

“Benarkah? Kenapa kamu baru menceritakannya?”

 

Lagi, Chaerin harus menarik napas dan lebih dalam hanya untuk menenangkan debaran jantungnya.

 

“A-Aku..”

 

“Kami butuh waktu untuk saling mengenal Bi. Waktunya pun saat itu bisa dibilang kurang tepat karena Chaerin tengah kurang sehat. Jadi kami tidak bisa untuk berbicara banyak.” Terang Jayson.

 

Chaerin langsung memutar kepalanya. Menatap alpha itu dengan dahi berkerut dan tatapan penuh tanya. Sementara Jayson, ia hanya membalas tatapan itu dengan senyum dibibir dan bahu yang digerakkan ke atas. Bertingkah imut untuk pertama kalinya. Chaerin pun langsung membuang mukanya, tidak sanggup melihat wajah Jayson yang membuat pipinya perlahan menghangat.

 

Sial. Kenapa dia harus semanis itu?!, batinnya kesal.

 

Ibu Yunga pun mengangguk.

 

Kegiatan makan mereka kembali berlanjut. Setelah pertanyaan dari Ibu Yunga, tidak ada lagi yang membuka topik mengenai pertemuan Chaerin dan Jayson. Mereka tampak mengerti dengan keadaan keduanya. Mereka pikir keduanya masih muda dan butuh waktu lebih lama untuk bisa sampai pada tahap pengenalan kepada keluarga. Mereka tidak mempermasalahkannya. Toh, sekarang Chaerin telah memberitahukan perihal Jayson.

 

Perbincangan di tengah jamuan tersebut kemudian berganti menjadi seputar pekerjaan. Tidak aneh karena memang Tuan Min adalah pebisnis yang akhirnya menurun kepada anak dan cucunya. Selain itu Jayson juga menjadi pebisnis muda walaupun perusahaannya tidak sebesar milik keluarga Min. Sehingga tidak aneh jika permasalahan kantor akan terdengar di tengah kegaiatan makan mereka. Walaupun Ibu Chaerin dan Ibu Yunga terkadang kesal jika saat makan ada yang membahas mengenai pekerjaan. Bagi mereka waktu makan adalah waktu terbaik untuk membicarakan tentang keluarga, bukan tentang pekerjaan yang sudah mereka geluti sejak pagi hingga petang.

 

Keramaian di sana berhasil menyembunyikan Chaerin yang membisu dikursinya. Omega itu tampak berusaha membuat jarak dengan keluarganya. Tidak ingin terlalu ikut serta pada pembicaraan yang tengah terjadi.

 

Dalam diamnya, Chaerin terus berpikir. Apakah yang ia lakukan tepat?

 

Maksudnya, ia memberitahu perihal Jayson kepada keluarganya. Padahal dirinya sendiri masih belum bisa mempercayai alpha itu. Chaerin jadi bingung sendiri. Setengah dirinya mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja dengan keberadaan Jayson yang telah diketahui keluarganya. Namun setengah dirinya mengatakan yang sebaliknya. Seakan menjaga diri dari kemungkinan buruk yang akan terjadi.

 

Chaerin jadi ingin berteriak kepada sang dominan. Karena yang menyarankan untuk memberitahu keluarganya adalah dominannya. Tapi sekarang malah sang dominan yang terjebak pada keraguan.

 

Sial!

 

 

*  *  *  *

 

 

Jayson dan Chaerin berjalan berdampingan menyusuri jalan setapak dipinggir sungai. Berlapiskan mantel, tubuh mereka dibawa menembus embusangan angin malam yang dingin. Menikmati pemandangan malam hari saat langit disinari dengan terang oleh rembulan dan taburan bintang yang menghiasi hitamnya, dengan langkah pelan serta mulut yang tak bersuara. Keduanya membiarkan suara keramaian orang lain yang menemani perjalanan mereka. Hingga lelah untuk diam akhirnya tidak bisa ditahan lagi.

 

“Chaerin..” Panggil Jayson.

 

Chaerin berdeham.

 

“Terima kasih.” Ujarnya dengan sebuah tarikan napas panjang. Alpha itu menghentikan langkah kakinya, membuat Chaerin ikut berhenti lalu menoleh dengan bingung.

 

“Untuk?”

 

“Untuk hari ini. Kamu tahu, aku sangat senang sekali.” Ungkap Jayson dengan mata membentuk bulan sabit karena senyum yang merekah.

 

Chaerin tidak bisa bohong saat melihat bagaimana wajah Jayson yang menunjukkan perasaan senangnya. Ini kali pertama Chaerin melihat senyum seperti itu diwajah Jayson, karena sebelumnya ia pasti akan menemukan sorot bersalah di samping lengkungan bibirnya. Chaerin sampai tidak tahu harus berkata apa. Mendengar ucapan alpha di depannya dengan senyum bahagia membuat perutnya terasa aneh, seperti ada yang bergerak dan menggelitik. Sementara dominannya tengah berseru bahagia karena dapat merasakan kegembiraan dominan Jayson.

 

Chaerin menghela pelan. Kemudian melangkahkan kakinya mendekati pembatas. Tangannya dibawa untuk bertumpu pada besi pembatas sedangkan matanya diajak menatap lurus sungai di depannya.

 

“Jay..”

 

Jayson menyahut pelan. Tubuhnya ikut ia sandarkan pada pembatas sambil menunggu Chaerin.

 

“Hal yang mudah sekali dirusak dan sulit untuk dibetulkan adalah kepercayaan. Sejak dulu Ayahku selalu mengatakan jika kepercayaan itu mahal, karena itu aku harus menjaganya dengan baik. Saat kecil aku tidak tahu apa maksudnya, tetapi begitu besar aku memahaminya. Dan aku mempraktikannya dalam kehidupanku dan juga dalam pekerjaan.”

 

Jayson diam. Ia mencoba mendengarkan dengan baik di tengah kegelisahan yang kembali menyerang dirinya. Pikirannya ikut kacau saat rasa takut mulai mendominasi.

 

“Saat aku mendapatkan betrayal, saat itu juga kepercayaan untukmu hancur. Tanpa sadar aku membuat perisai yang begitu besar untuk membentengi diriku dari dirimu. Rasa malu dan direndahkan karena betrayal adalah dasar mengapa aku tidak sudi memiliki mate yang melakukan betrayal. Ditambah dengan sudah tidak adanya lagi rasa percaya yang harusnya kumiliki untukmu membuat kondisinya semakin buruk. Dan kau tahu seberapa murkanya aku dengan takdirku sendiri sampai rasa benci itu tumbuh besar.”

 

Chaerin menarik napas lalu dibuang dengan cepat.

 

“Aku akan jujur padamu.”

 

Ia memutar tubuhnya ke samping dimana Jayson berada. Matanya menatap lekat pada obsidian gelap Jayson tanpa keraguan.

 

“Jayson, aku belum bisa menerima takdirku. Aku belum bisa menerima dirimu sebagai mate-ku. Rasa benci itu masih ada. Sakit dan marah akibat betrayal-mu masih terasa begitu nyata. Luka yang kau buat terlalu dalam dan besar sampai aku tidak tahu bagaimana cara untuk menghilangkannya.”

 

Jayson tidak tahu harus berkata apa. Lidahnya mengelu dengan hati yang tersayat. Ia pun bingung. Ia pikir pertemuan tadi adalah titik terang untuk hubungan mereka. Ternyata semua tidak seperti praduganya. Masih terlalu jauh untuk sampai pada kebahagiaan yang telah didambanya.

 

“Chaerin.”

 

“Tunggu Jayson. Aku belum selesai.” Potong Chaerin.

 

“Aku kira saat aku mengatakan tentang dirimu kepada keluargaku, aku bisa merasakan sedikit rasa lega karena kupikir penerimaan mereka akan membantu mengurangi rasa kecewaku. Tapi ternyata tidak Jayson! Aku sama sekali tidak menemukan kenyamanan tapi justru sebaliknya. Aku merasa terancam dengan keadaanku sendiri. Dan rasa sakitku malah semakin bertambah.”

 

Chaerin menyerah. Kekacauan yang terjadi membuat pertahanan dirinya runtuh. Sikap tangguh yang selama ini ia tunjukkan lenyap seketika. Sekuat apa pun dirinya berusaha untuk menguatkan hatinya, ia tetap omega yang akan lemah saat disakiti.

 

Tubuhnya jatuh bersimpuh. Tangisnya pecah disertai badan yang bergetar.

 

Rasa sakit dan kecewa yang memenuhi relung hatinya begitu menyiksa. Selalu memaksa air mata menetes tetapi Chaerin selalu menahannya. Namun kali itu, rasanya terlalu besar dan menyakitkan hingga Chaerin tidak mampu lagi menahannya. Semua tumpah tepat di hadapan Jayson. Sosok yang menjadi alasan mengapa rasa itu kini yang mendominasi hatinya.

 

Melihat kehancuran Chaerin, Jayson ikut merasakan rasa sakitnya. Ia tidak menyangka jika kebodohannya akan membuat keskaitan yang begitu besar untuk mate-nya. Ia tidak tahu jika selama ini Chaerin masih terbelenggu dengan rasa sakit yang ia ciptakan.

 

Apakah itu berati Jayson adalah orang yang egois karena menginginkan Chaerin ada di dalam hidupnya?

 

Tidak! Bukan itu yang Jayson inginkan. Ia hanya ingin hidup denagn takdir yang telah ditetapkan tanpa harus menyakiti mate-nya. Tapi kenapa saat dirinya ingin mengikuti takdir yang ada, ia malah menjadi sosok yang semakin jahat karena membuat mate-nya semakin tersakiti?

 

Apakah mundur adalah pilihan yang terbaik?

 

Apakah dengan merelakan Chaerin hidup tanpa dirinya adalah cara untuk mencapai kebahagiaan untuk keduanya?

 

Pertanyaan itu kini yang memenuhi pikiran Jayson. Alpha Park itu menjadi kalut dengan semuanya. Setangah hatinya mengatakan jika ia harus terus berusaha untuk takdirnya, tapi setengah hatinya lagi memintanya untuk menyerah demi kebahagiaan mate-nya.

 

Ia tidak tahu, sungguh.

 

“Chaerin..” Lirih Jayson.

 

Tangannya terulur memegang bahu Chaerin dan mengangkatnya perlahan. Membawa tubuh bergetar itu untuk kembali berdiri. Jayson dapat melihat seberapa kacau Chaerin dari wajahnya yang memerah dan dibanjiri air mata.

 

Haruskah aku melepasmu?, batin Jayson saat matanya masih setia memperhatikan wajah Chaerin.

 

TIDAK! JANGAN BODOH PARK JAYSON! KAU TIDAK TAHU TAKDIR DI DEPANMU! CHAERIN ADALAH TAKDIRMU YANG SELENE PILIHKAN, ITU BERARTI APA PUN KONDISINYA KAU DAN CHAERIN ADALAH YANG TERBAIK! JANGAN BUAT AKU JAUH DENGAN MATE-KU! JANGAN BUAT AKU MURKA DENGANMU PARK!, kata sang dominan yang begitu marah dalam pikirannya.

 

Jayson yang mendengar itu terhenyak. Kepalanya menjadi pening karena reaksi penolakan yang dilakukan dominannya. Untuk pertama kalinya sang dominan begitu marah dengannya, melebihi marahnya saat Jayson melakukan betrayal.

 

Selama beberapa saat, Jayson kembali diam. Pikirannya menjadi tidak fokus karena rasa sakit dikepalanya. Ia sampai menggeleng dan memijat pangkal hidungnya dengan harapan dapat mengurangi rasa sakit itu.

 

Hingga satu kalimat terakhir yang ia dengar dari dalam pikirannya seakan menyadarkan Jayson dari kekeliruan yang kembali akan ia buat.

 

MATE-KU HANYA BUTUH KEPERCAYAANNYA KEMBALI!

 

Jayson membuka mata walau rasa pusing masih ada –beruntung tidak separah beberapa saat lalu. Obsidiannya langsung menatap lekat Chaerin yang terlihat telah sedikit tenang walau air mata masih membasahi pipinya. Hatinya semakin terluka melihat kekacaun itu. Namun perkataan dominannya yang kembali terngiang membuat alpha itu dengan cepat menarik tubuh ringkih Chaerin ke dalam pelukannya. Mendekapnya erat sembari mengusap kepala sang omega perlahan.

 

“Aku tahu kamu sulit untuk memaafkan kesalahanku. Tapi aku tidak bisa melepasmu Chaerin. Kamu adalah takdirku dan aku adalah takdirmu. Maaf untuk kebodohanku yang menyebabkan luka dihatimu.” Jayson sedikit memundurkan tubuh Chaerin. Tangannya bergerak menyeka air mata dipipi omega itu.

 

“Kamu tidak harus menerimaku secepat itu, aku akan menunggumu. Selama itu aku akan berusaha untuk mengembalikan kepercayaanmu. Aku akan melakukan semua hal untuk membuat kamu kembali percaya denganku, mate-mu.”

 

Chaerin diam. Onyx-nya balas menatap obsidian Jayson dengan dalam. Ia berusaha mencari kebohongan untuk semua yang Jayson katakan. Sayangnya yang ia temukan hanya kejujuran dan ketulusan yang membuat dirinya tanpa sadar menghela.

 

Ia melepaskan tangan Jayson yang berada dipipinya.

 

“Tapi itu tidak mudah dan butuh waktu yang lama. Rasa kecewaku sudah terlalu besar untukmu Park.”

 

Jayson menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri dengan bar-bar. “Aku tidak peduli Chaerin! Aku akan menunggumu selama apa pun itu. Aku akan berusaha untuk mengembalikan kepercayaanmu dan membantu menyembuhkan luka itu apa pun caranya. Kamu hanya perlu memberikan aku kesempatan untuk membuktikan diriku padamu. ” Tegasnya.

 

Mata mereka saling menatap. Jayson berusaha menyampaikan kesungguhannya sedangkan Chaerin masih mencari kebohongan dari tatapan tersebut. Tapi ketika hanya ada keyakinan dari sorot itu, Chaerin akhirnya mengalah. Membuka suaranya dan berucap lemah, “Semoga kau bisa Jay.”

 

Chaerin tidak menyerah. Ia hanya tengah mencoba cara lain untuk menyembuhkan lukanya. Jika dengan cara menentang takdir yang selama ini dilakukan malah membuat dirinya semakin tersakiti –apalagi saat semua pertahanan yang dibangun runtuh dengan mudah hanya karena tatapan teduh Jayson– maka ia perlu mencoba dengan membiarkan dirinya bergerak mengikuti takdir.

 

Karena bagaimana pun dirinya menentang, kenyataannya Chaerin masih meyakini dengan penuh jika keputusan Selene adalah yang terbaik.




T . B . C





- DF -

Comments

Popular Posts