UPSIDE DOWN: Rack and Ruin - Part 13

 


.

.

.

.

.

Terhubung melalui pikiran serta dapat merasakan apa yang tengah dirasakan pasangannya  merupakan hal lumrah yang akan terjadi pada sepasang werewolf yang telah melakukan pengikatan. Mereka diberikan anugerah tersebut untuk memudahkan keduanya dalam mengetahui kondisi pasangan masing-masing. Terdengar baik, tetapi anugerah tersebut tetap saja dapat mengakibatkan kehancuran jika yang dilakukan tidak sesuai dengan takdir.

 

Chaerin yang beberapa hari ini kerap merasa tidak nyaman dihati mulai terpikirkan dengan ikatan antara dirinya dan sang mate. Awalnya ia sama sekali tidak peduli karena dirinya pikir ia hanya tengah dalam kondisi tertekan oleh pekerjaan. Namun rasanya ketidaknyamanan tersebut tidak datang dari beban dan tuntutan pekerjaan. Ada hal lain yang mengganggu dirinya dan baru ia sadari bahwa sisi dominannya juga merasakan hal yang sama.

 

Aneh.

 

Karena seharusnya jika karena pekerjaan, sang dominan tidak akan merasakan kekacawan tersebut. Namun perasaan yang mengusiknya itu telah membuat sang dominan meraung hingga menyebabkan debaran anomali yang tidak dapat ia kendalikan. Sangking kacau jantungnya berdetak, Chaerin sampai datang menemui Sehun untuk meminta obat penenang. Setidaknya ia memerlukannya saat malam. Ia butuh istirahat dan debaran anomali yang terlampau mengusiknya itu kerap membuat ia sulit untuk terlelap.

 

“Kamu yakin obatnya tidak berpengaruh?” Sekali lagi pertanyaan tidak percaya dilontarkan Sehun. Pria berkulit putih pucat itu menatap bingung pada botol obat yang dikembalikan Chaerin.

 

“Tidak, aku sudah mencoba meminumnya selama dua hari ini tetap saja jantungku berdetak cepat.” Ia menarik napas dan menghela perlahan. “Sungguh Sehun adakah obat lain yang bisa membuat jantungku membaik. Kondisi ini sangat menyiksa.” Keluhnya.

 

Sehun menarik napas sebelum mengeluarkan botol lain dari dalam tasnya.

 

“Sebenarnya ini tidak disarankan karena dosis yang tinggi, tetapi melihat kondisimu kamu bisa mengonsumsinya.”

 

Botol kaca berwarna coklat tersebut hampir berada dalam genggamannya andai saja Sehun tidak menarik kembali botol tersebut. Chaerin mengerutkan kening dan memberikan tatapan bingungnya.

 

“Chae, aku rasa obat ini juga tidak dapat menenangkan debaranmu.”

 

Chaerin memiringkan kepalanya. “Apa maksudmu?” Tanyanya tidak mengerti.

 

Sehun yang duduk di depannya terlihat menarik napas dengan wajah ragu yang semakin menimbulkan pertanyaan di dalam benak omega Lim tersebut.

 

“Lihat keluar dan kamu akan tahu maksudku.”

 

Kebingungannya membuat Chaerin mengikuti perkataan Sehun. Kepalanya berputar begitu pun dengan tubuhnya. Matanya bergerak kesana kemari mencari hal yang dimaksud Sehun. Hingga pemandangan asing yang membuat jantungnya berdebar semakin kencang tertangkap oleh indera pengelihatannya. Demi meyakini jika yang ia lihat tidaklah salah, Chaerin sampai memicingkan mata.

 

Sial!, umpatnya.

 

Ia bergegas meraih tas tangan yang berada di kursi sebelah. Hendak pergi tetapi Sehun menghentikannya.

 

“Kamu mau kemana?”

 

“Aku akan mengikutinya.” Jawabnya cepat.

 

“Aku akan menemanimu.”

 

Maka dengan anggukan singkat yang dilakukan Chaerin, keduanya segera pergi meninggalkan kafe untuk mengikuti sedan hitam yang mulai meninggalkan area parkir. Entah kemana kendaraan roda empat itu melaju, Chaerin tetap setia mengikuti dalam jarak amannya. Terus mengendarai mobilnya tanpa memperhatikan sudah berapa lama ia berkendara. Ketika sedan hitam itu melambat, Chaerin juga melakukan hal yang sama. Memastikan kembali jika kendaraannya tidak diketahui pengendara sedan tersebut.

 

“Ini apartemennya?” Pertanyaan itu lolos begitu saja dari Sehun ketika matanya mengamati tower-tower hunian yang menjulang ke atas kini mengitari mereka.

 

Chaerin menggeleng. “Tidak tahu. Aku tidak pernah bertanya atau datang kekediamannya.”

 

Sehun yang tengah sibuk memperhatikan sekitar berhenti dengan mata membulat. Menoleh pada Chaerin yang hanya bisa menggaruk tengkuk.

 

“Serius Chaerin? Setelah hubungan kalian membaik, kamu sama sekali tidak –belum– ” Sehun terlihat kehabisan kata-kata. Tidak habis pikir dengan omega di sampingnya.

 

Chaerin pun hanya bisa menghembuskan napas panasnya. Kepalanya menoleh hingga obsidiannya kembali melihat pada sedan yang masih belum ada pergerakan.

 

“Kamu tahu kepercayaan yang sudah dirusak akan sangat sulit untuk dikembalikan. Sekali pun aku mulai membiarkan dia masuk ke dalam hidupku, tetapi otakku selalu membuat batasan yang akhirnya membuat aku tidak bisa memberikan keyakinan seutuhnya.”

 

Hening pun yang terjadi setelahnya. Pengakuan Chaerin membuat Sehun lebih memilih diam karena terkejut dengan kenyataan yang ia pikir telah membaik. Sedangkan Chaerin ia merasa seperti baru saja membuka aib dirinya sendiri yang selama ini coba ditutupi, hingga membuat ia kehilangan keberanian untuk kembali berucap. Takut jika bibirnya terbuka ia akan kembali menyampaikan isi hati sebenarnya yang tidak seharusnya diketahui orang lain.

 

Sayang keheningan tersebut lenyap ketika Sehun kembali berucap setelah melihat jam yang mengikat pergelangannya.

 

“Sudah hampir sepuluh menit dan tidak ada yang keluar. Sebenarnya apa-”

 

Belum selesai kalimatnya terucap, erangan dari sebelahnya membuat atensi alpha itu teralihkan pada omega yang tengah menempelkan kepalanya pada kemudi. Matanya terpejam dengan dahi yang mengerut. Tangannya menekan keras perpotongan leher dimana ia bisa melihat pendar terang di antara jemari Chaerin.

 

“Astaga Chaerin!” Ia berseru.

 

Dengan cepat ia menarik tubuh Chaerin mundur. Menyandarkan omega tersebut hingga pemandangan baru membuat matanya membulat sempurna. Tanpa meminta izin, Sehun membuka dua kancing teratas pakaian Chaerin untuk meyakini apa yang tengah ia lihat. Ia terkejut kala pemandangan yang tidak ia duga kembali terpampang di depan matanya.

 

“Cha-e ka-mu...”

 

Bet-ra-yal.” Ucap Chaerin susah payah. Lambang yang berpendar terang dengan rasa panas, goresan yang mulai terbentuk didada, ditambah rasa sakit diulu hati membuat tubuh omega itu melemah. Kekuatan yang ia miliki perlahan menghilang kala lebam biru mulai menghiasi tubuhnya. Sama seperti sebelumnya ketika betrayal pertama yang ia alami.

 

Mendapati kenyataan pahit, egonya mulai memenuhi diri. Mencoba membunuh akal sehat kala rasa sakit semakin mendominasi. Membangunkan kembali angkara yang telah tertidur. Lebih parahnya, angkara tersebut bertambah besar hingga mampu mengalahkan jerit menyedihkan sisi dominannya.

 

Masih dengan rasa sakit yang menemani, Chaerin memilih meninggalkan kendaraannya. Berjalan dengan tertarih mendekati sedan hitam di depannya. Kaki jenjang berbalut heels coklat itu berhenti tepat di depan kendaraan tersebut dengan tangan yang sudah tidak lagi menekan lambangnya sekali pun rasa sakit itu masih sangat menyiksa.

 

Dengan sorot mata tajam, ia dapat melihat bagaimana terkejutnya penghuni sedan tersebut. Matanya tidak berhenti mengamati setiap pergerakan di dalam hingga pengendara sedan tersebut keluar diikuti penumpang di sebalahnya.

 

Wah.. Park Jayson. Kau benar-benar alpha bajingan.”

 

“Chaerin aku bisa jelaskan-”

 

Chaerin mengangkat tangannya. “Jangan mendekat. Aku tidak sudi didekati pengkhianat sepertimu.”

 

“Chaerin..”

 

Chaerin menempelkan telunjuk dibibir. “Sstt! Aku tidak ingin mendengar apa pun. Aku tidak peduli padamu dan omega itu. Terserah pada apa pun yang kalian lakukan karena...” Chaerin menjeda ucapannya. Salah satu sudut bibirnya tertarik membentuk seringai menyeramkan.

 

Tangannya kini digerakkan menyentuh bagian tubuh dimana lambangnya masih setia berpendar tentu dengan rasa sakit. Menekan di sana sebelum vokalnya kembali terucap. “Aku Lim Chaerin menarik kembali sumpahku atas ­mate-ku.”

 

“Chaerin!”

 

“Menghapus seluruh ikatan yang terbentuk dan melepaskan diri dari kewajiban sebagai mate serta menghapus hak atas mate-ku.”

 

Tidak peduli dengan teriakan dan usaha Jayson untuk menghentikannya, Chaerin tetap melanjutkan penarikan sumpahnya. Keputusan yang ia ambil beberapa saat lalu sudah bulat. Lebih baik hidup tanpa mate dibandingkan harus menghabiskan sisa hidup dengan pasangan yang tidak bisa memegang sumpah.

 

“Selamat Park Jayson, kau bebas. Dan kau, selamat sudah mendapatkan mate pengkhianat ini.”

 

Bohong jika penarikan sumpah yang ia lakukan tidak berdampak pada dirinya. Karena nyatanya ia tengah menahan rasa yang teramat sakit yang menyerang lambang dan dadanya. Menusuk pada ulu hati hingga membuat tangan yang terkepal di sisi tubuh bergetar karena tidak mampu manahan rasa sakit tersebut.

 

Beruntung Sehun segera menghampirinya dan membawa tubuh penuh getar itu pergi. Jika tidak mungkin saja ia akan mengalami kesusahan yang sangat besar untuk membawa dirinya pergi dari tempat yang dipenuhi dengan sumpah serapah yang ia lontarkan dalam hati.

 

 

*  *  *  *

 

 

SIALAN KAU PARK!”

 

Yunga masih terus melayangkan tinjunya. Menulikan telinga dan membutakan mata pada keadaan Jayson yang tergeletak di lantai. Mengabaikan bagaimana tangis wanita yang berstatuskan sebagai bibinya pecah kala mendengar pengakuan Jayson. Melupakan keberadaan kakek dan orang tuanya yang masih terpaku di sofa.

 

“APA YANG KAU PIKIRKAN BRENGSEK?! KAU MELAKUKAN BETRAYAL LAGI PADAHAL CHAERIN BELUM SEPENUHNYA PERCAYA PADAMU.”

 

Yunga kembali berteriak. Menumpahkan seluruh amarahnya pada sosok alpha bajingan yang sayangnya adalah sahabatnya. Otaknya tidak habis pikir dengan apa yang telah dilakukan sang sahabat. Bagaimana bisa sahabat yang telah ia anggap seperti saudaranya itu melukai adik terkasihnya? Mencium omega lain walaupun hanya sentuhan ringan –menurut pengakuannya. Apa yang ada dipikiran alpha biadab ini? Dia telah mengikrarkan janji untuk setia pada mate-nya tetapi apa yang telah ia perbuat? Ia malah melukai –kembali– mate-nya yang tengah berproses memupuk kepercayaan. Wah gila, sungguh gila!

 

Tangan putih seputih susu itu masih terkepal dan setia melayang membentur permukaan wajah Jayson. Menciptakan lebam yang bersemayam di seluruh wajah hingga menciptakan noda darah yang termuntahkan oleh Jayson. Ia lelah tetapi amarahnya tidak mengizinkan untuk berhenti. Sore yang ia pikir dapat dihabiskan dengan bersantai di ruang keluarga ternyata berubah seratus delapan puluh derajat kala Jayson datang dengan raut cewas bercampur khawatir mencari Chaerin. Kebingungan langsung menyergap yang membuat Yunga tanpa pikir panjang menanyakan alasannya. Saat bibir tebal yang bergetar itu mengatakannya, saat itu juga ia merasakan alpha iblisnya mencuat menggantikan akal sehat yang selama ini dipakai.

 

“Yunga berhenti, kau bisa membunuhnya!”

 

Tuan Min –kakeknya– berusaha mengehentikan. Dibantu dengan sang ayah yang berusaha menjauhkan sang anak dari Jayson. Sedangkan ibunya sibuk menenangkan sang bibi yang masih terbelenggu dalam tangis. Membayangkan bagaimana sakit dan hancurnya sang anak karena pengkhianatan yang dialami. Dua kali, gadis cantiknya mengalami kesakitan yang tidak seharusnya ia alami.

 

“MIN YUNGA!” Tuan Min kembali bersuara, lebih keras dan lebih mendominasi. Namun Yunga masih tetap pada amarah yang membelenggu hingga peringatan terkahir yang diberikan sang kakek baru bisa mengembalikan akal sehatnya.

 

“BERHENTI MIN YUNGA! INGAT HIDUP CHAERIN ADA DITANGANNYA.”

 

Seketika Yunga melepaskan genggamannya pada kerah Jayson. Tubuhnya melemas dan jatuh tepat di samping Jayson yang kini terbatuk. Wajahnya penuh luka dengan darah yang mengalir dari mulut dan hidung.

 

“Kakek tahu kau sangat marah, kakek juga begitu pun bibi dan orang tuamu. Tapi tidak dengan membunuh sahabatmu sendiri. Yang terpenting sekarang adalah kita harus menemukan Chaerin karena kondisinya yang tidak baik. Kakek tidak ingin cucu perempuan satu-satunya keluarga Min dalam bahaya.”

 

Tuan Min berusaha mengutamakan akal sehatnya. Berpikir logis dan berperilaku tenang, walaupun sebenarnya dalam hati tengah terjadi kekacauan yang sangat besar. Bahkan kepalanya ikut pusing dibuatnya.

 

“Maaf Tuan, ada Nona Jiyeong.” Seorang pelayan rumah datang mengantarkan tamu yang tidak diketahui kapan datangnya. Pelayan itu membungkuk sebelum mempersilahkan Jiyeong untuk menemui sang majikan.

 

Sesaat keheningan menyergap hingga sosok gadis berperawakan tinggi walau tidak setinggi Chaerin muncul dengan mata sembab. Tanpa perlu bertanya, keluarga Chaerin sudah tahu mengapa wajah sahabat Chaerin semenyedihkan itu. Pasti gadis itu sudah mengetahui apa yang telah terjadi pada sahabatnya.

 

“Ma-Maaf saya mengganggu..” Jiyeong berujar gugup. Pasalnya ia tidak menyangka akan bertemu Jayson dengan kondisi yang semengenaskan itu. Melihat bagaimana penampilan Jayson serta keberadaan Yunga di sebelahnya, Jiyeong sudah bisa menebak jika telah terjadi baku hantam di kediaman sang sahabat.

 

Tunggu, bukan itu alasan mengapa ia datang ke sana. Bukan untuk menilai bagaimana kondisi rumah keluarga Min. Melainkan ada hal penting yang harus ia beritahukan kepada keluarga sang sahabat.

 

Menarik napas panjang, Jiyeong lantas merogoh tas tangannya kemudian mengeluarkan sepucuk kertas yang kemudian ia serahkan pada Yunga. Alpha Min itu menerimanya dengan dahi berkerut. Memperhatikan lembar putih ditangannya lantas menatap kembali Jiyeong yang masih setia dengan raut sedih sebelum kembali pada lembaran ditangannya itu. Kalimat yang ditulis di tengah lembaran bertintakan warna hitam menyapa pengelihatannya saat tangan yang masih terasa sakit membukanya.

 

Kalimat singkat yang dituliskan Chaerin membutuhkan waktu sedikit lama untuk bisa dipahami Yunga. Alpha Min itu mencoba mencerna dengan baik kalimat tersebut agar apa yang ia pikirkan tidaklah salah. Namun seberapa banyak ia membacanya ulang, maknanya tetap sama. Hingga tubuhnya jatuh bersimpuh bersamaan dengan lembar surat yang ikut terlepas dari genggamannya.

 

“Yunga!” Ayahnya berseru terkejut kala melihat perubahan drastis sang anak. Kebingungan yang menyerang membuat sang ayah mengambil carcik kertas yang tergeletak tidak jauh dari Yunga yang hanya dapat menatap kosong.

 

“Chaerin pergi, Paman. Dan tidak ada yang tahu dimana keberadaannya.”

 

 

“Aku pergi untuk alasan yang akan atau mungkin sudah kalian ketahui. Tolong jangan cari aku.”

 

 

*  *  *  *

 

 

Yunga geram. Emosi yang ditahannya kembali pecah saat ia tidak juga berhasil menemukan Chaerin. Apartemen, taman kota, kafe, dan tempat lain yang kerap omega itu kunjungi telah dirinya datangi. Namun hasilnya tetap nihil. Ia dan sahabatnya tidak menemukan keberadaan sang adik sepupu.

 

ARGH!” Yunga berteriak penuh emosi. Tangan yang dikepal ia pukulkan pada kemudi beberapa kali. Menimbulkan rasa nyeri yang diabaikan karena rasa khawatirnya lebih besar. Sampai Yujin yang menemaninya harus memaksa Yunga untuk tidak lagi mencederai tubuhnya.

 

“Bajingan itu..” Desisnya dengan gigi beradu. “ Jika terjadi apa-apa pada Chaerin, aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri.” Imbuhnya dengan emosi yang masih tinggi.

 

Membuat Yujin yang duduk di sebelahnya menelan ludah tanpa sadar. Membayangkan kemungkinan buruk itu membuat bulu kuduknya berdiri. Ia tahu pasti jika Yunga tidak pernah main-main dengan kata-katanya. Jika ia berkata A, maka ia akan melakukannya. Jadi jika Yunga bertekad untuk menghabisi Jayson jika Chaerin dalam kondisi tidak baik, maka hal itu akan terjadi.

 

Tapi sebagai sahabat, Yujin masih dilingkupi ego untuk menjaga keutuhan persahabatan mereka. Walau dirinya tahu jika Jayson memang dalang dari permasalahan yang ada dan wajar jika Yunga diliputi amarah, tetapi ia tidak mau persahabatan mereka hancur begitu saja. Ia tidak ingin amarah yang merundung sang sahabat membuat ia salah dalam mengambil tindakan. Belum lagi ini berkaitan dengan kelangsungan hidup Chaerin. Yujin dan semua orang pasti tahu jika keberlangsungan hidup mate ada ditangan pasangannya. Seburuk apa pun Jayson, Yunga tetap tidak bisa melakukan apa pun jika ingin hidup Chaerin terus berlanjut.

 

“Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk berteriak atau memaki..” Yujin menarik napasnya. “Kita harus segera menemukan Chaerin karena kau pun tahu alasannya. Chaerin akan mengalami kesakitan yang teramat akibat betrayal dan penarikan sumpah yang telah dilakukan.”

 

Yujin memejam. Kembali membayangkan bagaimana seorang omega harus berjuang dengan rasa sakit membuat hatinya bergetar hebat. Ia ingin menangis membayangkan Chaerin yang nyatanya juga ia sayangi seperti sosok adik –walau tidak sebesar kasih sayang seorang Min Yunga– bertaruh hidup dengan kesakitannya. Menahan rasa sesak, nyeri, hingga perih akibat luka sayat serta pendar pada lambang yang juga menimbulkan rasa panas seperti terbakar. Sungguh ia sejujurnya ingin sekali memukul Jayson. Namun saat melihat kondisi Jayson, niatnya memudar. Masih ada rasa tidak tega dan sayang kepada sahabatnya itu.

 

“Aku tahu kau marah, tapi keiinginanmu untuk membunuh Jayson bukanlah solusi yang tepat. Kau harus pikirkan juga Chaerin. Bagaimana pun Selene telah menetapkan Jayson dan Chaerin sebagai sepasang mate.”

 

Yujin memberikan sedikit jeda. Ia kembali menoleh untuk meneliti raut Yunga yang masih terlihat keras dengan tatapan mata yang dipenuhi amarah, sedang tangannya tengah mencengkram dengan sangat kuat kemudi mobil hingga menyebabkan buku-buku jarinya memutih.

 

“Sekarang kau harus bisa mengendalikan emosimu. Proses pencarian Chaerin ini masih panjang, aku tidak ingin terjadi apa-apa pada kita karena emosimu yang membara. Dan mengenai Jayson, kita akan bicarakan lagi setelah kau berhasil mengendalikan dirimu.” Yujin kembali menarik napasnya –kali ini lebih panjang– dan mengembuskan perlahan.

 

“Ingat Yun, Jayson adalah satu-satunya orang yang dapat menyembuhkan Chaerin. Sebenci apa pun Chaerin, semarah apa pun kau, tetap saja hanya Jayson yang bisa mengembalikan kondisi Chaerin. Aku tidak memihak pada siapa pun, aku juga tidak membenarkan tindakan Jayson. Aku hanya mengingatkan dirimu.

 

”Yunga mendesis tidak suka. “Sial! Kenapa adikku harus dipasangkan dengan alpha bajingan seperti Jayson?! Kenapa Selene melakukan itu?!”

 

Yunga kembali memukul kemudinya. Menimbulkan suara hantaman yang lebih keras dari sebelumnya.

 

Yujin meletakkan tangannya di atas pundak sang sahabat. Memukul pelan pundak itu –menenangkan. “Pasti ada alasan mengapa mereka ditakdirkan bersama. Jangan menyalahkan Selene karena dia lebih tahu apa yang terbaik untuk kita.”




T . B . C





- DF -

Comments

Popular Posts