UPSIDE DOWN: Rack and Ruin - Part 17

 


.

.

.

.

.

Perjalanan yang panjang untuk kisah Jayson dan Chaerin yang belum juga menemukan ujung. Dimulai dari pengkhianatan karena cinta yang tidak semestinya tumbuh, kemudian pertemuan tidak terduga yang dibalut dengan amarah terpendam, pengikraran janji tanpa dasar menerima, hingga pembatalan sumpah yang membawa petaka bagi keduanya. Semua itu seakan belum cukup untuk menguji takdir mereka. Padahal bukankah Selene yang menentukan dengan siapa mereka akan dipasangkan. Tapi kenapa ujian untuk keduanya masih berlanjut?

 

Selene seakan belum dapat yakin dengan hati seorang Lim Chaerin dan Park Jayson. Selene seperti ingin menguji kesetiaan mereka sebagai sepasang mate. Mereka ingin meyakinkan alpha dan omega tersebut jika takdir yang mereka tetapkan adalah mutlak dan terbaik. Walaupun harus ada kesakitan yang mendera.

 

Seperti halnya hari itu. Setelah melalui perjalanan kembali ke ibukota serta menempatkan Chaerin yang masih belum sadar ke salah satu rumah sakit terbaik untuk mendapatkan perawatan lanjutan, nyatanya belum ada kabar yang dapat menghilangkan beban dihati keluarga. Chaerin masih dinyatakan kritis oleh dokter bahkan setelah Jayson menyembuhkan luka betrayal pada tubuh omega itu. Tidak dipungkiri jika ketakutan kian bertambah kala Yoona hanya bungkam setelah pemeriksaan yang dilakukan bersama dengan kolega dokternya. Seakan mengikis harapan besar yang mereka pupuk untuk kembali melihat mata omega  itu terbuka.

 

Jayson sendiri kian digelut perasaan bersalah setelah menemukan seberapa buruk luka gores ditubuh mate-nya. Ia tidak menyangka jika Chaerin lebih memilih merasakan kesakitan dibandingkan bertahan dengan sumpahnya. Walau dirinya tahu jika tidak ada pasangan yang mau mengalami pengkhianatan hingga dua kali.

 

“Kenapa kau masih di sini?” Suara bariton itu mengalihkan atensi Jayson dari Chaerin. Kepalanya menoleh untuk menemukan sosok Yunga masih dengan jasnya yang lengkap berjalan memasuki ruang perawatan.

 

“Aku akan menemani Chaerin.”

 

“Tidak perlu. Aku yang akan menjaganya malam ini.”

 

Jayson tampak menghela dengan pelan. “Bang, tolong jangan membuat ini semakin sulit.” Mohonnya dan terdengar sangat putus asa.

 

Yunga tertawa remeh. “Bukan aku, tapi kau yang menyulitkan dirimu sendiri Park Jayson!”

 

“Tolong percaya padaku. Aku tidak mengkhianati Chaerin.”

 

Yunga berdecak. Mengangkat kepalanya hanya untuk meredakan amarah yang kembali membuncah. Perkataan Jayson terdengar seperti bualan ditelinga Yunga. Lagi pula, mana ada penjahat yang akan dengan mudah mengakui kesalahannya. Bisa penuh penjara jika semua orang jahat melakukan hal itu.

 

“Apa pun pembelaanmu, luka sayat ditubuh adikku sudah cukup untuk menyadarkanku jika kau adalah alpha yang tak layak untuk Chaerin. Walaupun Kakek memberikanmu izin untuk berdekatan dengan Chaerin, tapi tidak denganku. Aku akan pastikan jika Chaerin sadar nanti, kau tidak akan bisa menemuinya.”

 

Jayson mengusap wajahnya kasar. Ia yang semula terduduk di samping bangkar Chaerin berangsur bangkit hanya untuk menyamakan tinggi dengan Yunga yang setia menatapnya tajam. Memancarkan kemarahan alpha itu pada dirinya.

 

“Sungguh, aku tidak melakukan pengkhianatan malam itu. Kau harus mendengarkan penjelasanku dulu.”

 

Alpha putih itu tertawa remeh. Ia masih tidak habis pikir dengan Jayson yang terus berusaha meyakinkan dirinya kalau ia tidak melakukan betrayal.

 

“Sudah kukatakan bukan, jika luka betrayal Chaerin adalah bukti jika kau mengkhianatinya keparat!” Serunya penuh emosi. Ia yang berusaha untuk tenang akhirnya tersulut karena merasa semua ucapan Jayson adalah omong kosong. Semua yang dikatakan adalah kebohongan untuk menutupi kesalahannya saja.

 

Bang Yunga!” Panggilnya dengan suara yang ikut meninggi. “Aku tidak melakukan pengkhianatan. Tolong percaya padaku. Malam itu Hana memang menciumku, tapi-”

 

BRENGSEK KAU PARK JAYSON!”

 

Emosinya sudah tidak dapat terkendali hingga membuat Yunga berjalan cepat mendekati Jayson dan menghantamkan bogemnya tapat dipipi alpha muda itu. Melupakan fakta jika mereka tengah berada di rumah sakit, di depan Chaerin yang masih tertidur di atas bangkar.

 

 

*  *  *  *

 

 

Chaerin masih terus berjalan menyusuri hamparan putih yang tidak berujung. Mencari jalan untuk keluar dari kebingungan. Menemukan hal lain selain putih yang setidaknya bisa meredakan rasa takut dan gelisah yang bersemayam di dada.

 

Matanya tidak henti meneliti setiap sisi dari hamparan tersebut. Berharap ada secarcik harapan baginya bisa menemukan sesuatu untuk dijadikan penenang. Sayang, sudah jauh kedua kaki tanpa balutan itu melangkah tidak ada hal yang berhasil ia temukan. Hanya gema suaranya saja yang mampu ia dengar setiap kali ia berteriak.

 

Ia menyerah. Tidak tahu harus melangkah kemana lagi. Semua sisi yang dilihatnya sama saja. Tidak ada beda yang membuat ia merasa jika berjalan ke arah sana akan lebih baik. Lelah dirasa saat ia memutuskan untuk bersitirahat di atas hamparan yang terasa dingin kala bersentuhan dengan kulitnya. Memandang sekitar pun ia pikir sama saja karena hanya ada putih dan putih yang kedua bola matanya mampu lihat.

 

“Sebenarnya dimana ini?” Lirihnya putus asa.

 

Saat pertama kali ia tersadar, rasa bingung langsung menghantamnya. Membuat matanya mengerjap kebingungan hingga menimbulkan kerutan didahi. Vokalnya terucap memanggil nama-nama yang ia harap akan muncul untuk menolongnya. Tetapi tidak ada satu pun yang muncul untuk membawanya kembali ke dunianya. Hingga ia memutuskan untuk mencari pertolongan, tidak ada satu pun yang dapat menolongnya. Ia hanya seorang diri, di tengah hamparan putih tanpa ujung.

 

Ia merebahkan tubuhnya dan memandang ke atas yang juga berwarna putih. Pikirannya melayang jauh kala putih itu menarik dirinya kembali pada ingatan di dalam otak. Setiap kejadian yang ia alami hingga saat ia mengalami serangan heat  yang parah, telah terputar bagaikan pemutar film lama. Hanya saja, saat ingatan menyakitkan yang terputar hatinya tidak merasakan sakit seperti sebelumnya. Ia merasa biasa saja dengan rentetan kejadian yang membuat dirinya menarik kembali sumpah atas mate-nya. Malah ada getaran aneh yang belum pernah dirinya rasakan saat pikirannya kembali memunculkan wajah Jayson kala itu.

 

Apakah ini yang dinamakan takdir?

 

Tidak!

 

Tapi getaran aneh itu membuat matanya memproduksi cairan bening tanpa diperintah. Kemudian mengalirkan satu tetes cairannya ke pipi.

 

Sial!

 

Ia tidak tahu kenapa perasaan aneh ini begitu menyiksa sampai ia menangis. Ia ingin berhenti tetapi matanya mengelak. Kedua matanya seakan menolak keinginan dan bekerja di luar kendali dirinya.

 

“Itu karena takdir yang mengikat kalian, Chaerin..”

 

Suara bariton yang baru saja mengalun ke dalam pendengarannya membuat Chaerin seketika membuka mata. Kedua matanya membulat sempurna. Tubuhnya langsung terduduk dengan menjadikan pemilik suara itu sebagai pusat atensinya.

 

“A-Ayah..” Lirihnya dengan mata yang semakin berkaca.

 

Ia begegas berdiri. Berjalan perlahan mendekati sosok alpha dengan pakaian putih yang berdiri beberapa langkah di depannya. Langkah tertatihnya ditemani dengan aliran air mata yang jatuh bebas membasahi kedua pipi.

 

Saat kedua kaki tanpa pelindung itu telah berhenti di hadapan sosok alpha tersebut, tubuh bergetarnya langsung ditumpukan pada tubuh tegap di depannya. Rasa hangat dan penuh perlindungan kembali dirasakannya. Aroma chypre yang dominan kembali memenuhi penghidunya. Membawa kembali ingatan masa lalu serta kehangatan yang telah lama menghilang dari dirinya.

 

“Aku merindukan ayah.” Isaknya dalam dekapan hangat alpha itu.

 

Usapan lembut didapatkan Chaerin. Menguarkan kerinduan yang selama ini ia pendam di dalam hati.

 

“Ayah juga rindu dengan anak manja ini.”

 

Suara beriton yang begitu ia rindukan itu kembali menambah pundi-pundi air mata yang siap jatuh membasahi pakaian alpha yang dipeluknya. Jujur, ia tidak bisa melepaskan pelukannya dari tubuh alpha tersebut. Rasanya seperti sebuah mimpi. Kembali bertemu dengan sosok Ayah yang telah lama pergi.

 

“Ayah, jangan tinggalkan Chaerin. Bawa Chaerin pergi bersama ayah.” Lirihnya dengan tangis yang semakin menjadi. Pelukannya mengerat seakan tidak ingin sosok alpha itu kembali meninggalkan dirinya.

 

Alpha itu terkekeh sedih sembari tetap mengusapkan tangannya di punggung Chaerin.

 

“Ayah ingin, tetapi belum waktunya Chaerin.”

 

Chaerin menjauhkan tubuhnya saat mendengar jawaban itu. Matanya yang merah menatap sang Ayah dengan tatapan meminta penjelasan. Sementara sosok yang diberikan tatapan tersebut hanya menyunggingkan senyum kecil sembari menyekah sisa linangan air mata diwajah Chaerin.

 

“Waktumu di dunia masih panjang. Tempat ini belum menjadi tempat terakhirmu. Kamu masih harus hidup menemani ibu, Yunga, kakek, teman-temanmu, dan juga mate-mu. Mereka semua menunggumu, Chaerin.”

 

“Tidak ayah, Tidak.” Tolaknya. Kepalanya ikut menggeleng cepat menolak penuturan sang Ayah.

 

“Aku lelah ayah. Mate-ku melakukan betrayal. Kak Yunga membiarkan bajingan itu menandai dan membuat sumpahnya atas diriku. Sedangkan ibu, kakek, dan teman-temanku pasti malu karena memiliki keluarga dan teman yang mengalami pengkhianatan hingga dua kali.” Ia menarik napas panjang. “Jadi lebih baik aku bersama ayah saja. Aku yakin ibu pasti akan tenang karena ia tahu ada ayah yang akan menjagaku di sini.

 

Alpha itu tersenyum. Mengusap kepala Chaerin dengan afeksi yang selalu berhasil membuat hangat hati sang anak.

 

“Mau dengar sebuah cerita?”

 

 

*  *  *  *

 

 

“Yunga!” Seruan dari sosok yang baru saja memasuki ruang rawat Chaerin tidak menghentikan Yunga yang dengan emosinya memukul Jayson. Alpha Min itu seakan menulikan telinga hanya untuk memuaskan nafsu amarahnya. Hingga keduanya harus dipisahkan secara paksa walaupun pemberontakan dilakukan oleh Yunga.

 

“Kau gila, ini rumah sakit!”

 

“Lepas bang, aku ingin memberikan pelajaran pada keparat ini!” Seru Yunga tak mau kalah.

 

Bang, tolong berhenti.”

 

“Diam kau Vee!” Bentak Yunga yang masih berusaha melepaskan dirinya.

 

Jayson yang sama sekali tidak menghentikan Yunga hanya dapat merintih dengan tubuh yang disanggah oleh Kavee. Matanya menatap sedih pada Yunga yang hanya menatap tajam dirinya. Ia tahu jika sahabatnya itu masih begitu marah dengannya. Tetapi ia juga tidak mau disalahkan tanpa berusaha menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Ia ingin, tetapi Yunga selalu menyelaknya. Membuat ia tidak akan pernah bisa menyampaikan kebenaran.

 

Keributan itu tiba-tiba terusik saat ketukan dari pintu terdengar. Hobee yang berada tidak jauh dari sana membukakan pintu geser tersebut hingga terlihat sosok omega berdiri di sana.

 

“Maaf telah mengganggu, saya Hana.”

 

Seketika suasana kembali mencekam kala suara tipis itu melantunkan namanya. Membawa atensi Jayson begitu pun Yunga yang seakan kembali dibakar emosi.

 

“Kau, mau apa kau ke sini? Belum puaskah kau menyakiti adikku? Pergi dari sini! Jangan pernah tunjukkan wajahmu di hadapanku jika ingin tetap hidup!”

 

Bukannya takut dengan ancaman Yunga, omega bernama Hana itu justru masuk ke dalam dengan langkah pelan.  Matanya bergerak, mengabsen wajah-wajah yang tidak dikenalinya. Terkecuali sosok Jayson yang kini menatapnya dengan wajah terkejut.

 

Hana sempat menyunggingkan senyumnya pada Jayson yang membuat Yunga tertawa sinis.

 

“Aku datang untuk menjelaskan semuanya.”

 

“Tidak perlu! Dalam dunia ini tidak ada penjahat yang akan suka rela mengakui kesalahannya. Begitupun dengan pengkhianat seperti kalian. Mungkin saja yang kau katakan hanya bualan untuk menutupi betrayal yang telah kalian lakukan dan mungkin akan kalian lakukan lagi dimasa depan.”

 

Hana tampak menarik napasnya. Ia sudah bisa menebak jika keluarga Chaerin akan menolak apa pun yang akan ia katakan. Namun dirinya tidak bisa diam saja. Ia tidak ingin hubungan Jayson dan mate-nya rusak hanya karena dirinya.

 

“Aku tahu akan sulit untuk mempercayai ucapan pengkhianat, tapi berikan aku kesempatan untuk mengatakannya.” Pintanya lirih. Rasa bersalah yang ia pendam begitu besar sampai membuat sesak tiada tara.

 

Yunga menyunggingkan senyum remehnya. Tidak memberikan jawaban. Memilih untuk melepaskan dirinya dari cengkraman Yujin dan membuang mukanya. Tidak sudi menatap sepasang pengkhianat itu.

 

Sementara Hana, ia berusaha untuk tenang. Aura penuh intimidasi yang menguar dari diri Yunga telah berhasil menyiutkan nyalinya. Ia tidak menyangka jika keluarga Min adalah keluarga yang begitu kuat, walaupun dirinya sudah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Chaerin menyabut sumpahnya.

 

“Hari itu aku yang meminta untuk bertemu. Jayson menolaknya tetapi aku memaksa karena ada hal penting yang ingin kusampaikan, di samping itu aku juga ingin memastikan satu hal penting. Aku tidak tahu kenapa bisa terpikirkan untuk melakukannya, tapi hanya itu yang bisa kulakukan untuk meyakinkan diriku sendiri.” –Hana memejamkan matanya singkat– “Aku akan menikah. Tetapi ada ketakutan akan perasaanku pada Jayson. Karena itulah aku menciumnya, untuk meyakinkan diriku kalau sudah tidak ada perasaan khusus untuknya. Tapi ternyata rencanaku tidak berjalan sesuai harapan. Chaerin datang dan melihat kami. Sebelum aku dapat menjelaskan yang sebenarnya, ia telah lebih dulu menarik sumpah dan pergi.”

 

Yunga yang mendengar itu membalikkan tubuhnya cepat. Matanya menatap sangat tajam hingga membuat rasa tidak nyaman bergelayut dibenak Hana. Alpha itu seakan tengah menelanjangi Hana dengan tatapannya.

 

“Kau gila atau bodoh, Nona? Kau melukai adikku hanya karena ketakutan sialanmu itu!” Makinya.

 

Hana menunduk. Sedih sekaligus terluka mendengar makian Yunga. Tetapi ia memakluminya. Ia tahu dan sadar jika yang ia lakukan hari itu sangat salah karena menentang takdir yang sudah ditetapkan.

 

“Aku tahu, karena itu aku datang untuk meminta maaf padamu dan juga Chaerin.”

 

Yunga mendecak. “Apakah kau pikir permintaan maafmu akan mengembalikan adikku? HA?!”

 

Teriakan Yunga semakin membawa kepala Hana tertunduk dalam.

 

“Maaf, aku sungguh meminta maaf atas kebodohanku.” Bisiknya nyaris tidak terdengar. Aura kelam yang terpancar dari diri Yunga begitu menakutkan, seperti lubang hitam yang menarik masuk dalam kedinginan tiada tara.

 

“Kau?! ARGH! Sial.” Yunga mengusap wajahnya kasar. Pikirannya makin kacau, seperti benang kusut tanpa bisa mengurainya. Ia memandang sosok Hana yang masih terdiam dengan kepala tertunduk. Tidak tega. Semarah apa pun dirinya, ia masih memiliki hati kecil yang akan selalu menyadarkannya dari belenggu amarah. Membawa ia kembali pada pikiran logis yang sebelumnya terkalahkan oleh emosi yang meledak.

 

“Aku harap Chaerin dapat mendengar permintaan maafmu dan mau memaafkan omega sepertimu.”

 

Walau bukan sebuah ucapan penerimaan maaf secara langsung, tetapi kalimat Yunga telah berhasil mengangkat beban berat yang Hana pikul. Ia tahu secara tidak langsung Yunga telah memberikan maafnya walaupun ia sadar jika mungkin permintaan maafnya belum bisa diterima sepenuhnya mengingat kondisi Chaerin yang masih belum sadar dengan rasa marah yang masih memenuhi hati.

 

Setidaknya itu juga yang ada dipikiran para sahabat Yunga termaksud Jayson. Mereka berpikir jika Yunga telah memberikan maafnya walau mereka juga tahu jika Jayson harus tetap berusaha untuk mendapatkan izin seorang Min Yunga agar bisa berada di sisi Chaerin.

 

Selama beberapa saat yang ganjil, tidak ada suara yang dilontarkan oleh siapa pun. Mereka seperti sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Hingga bunyi pada monitor di sebelah bangkar Chaerin terdengar nyaring, diikuti dengan kejang yang dialami Chaerin membuat seluruh atensi kembali pada sosok omega yang bahkan untuk bernapas pun memerlukan bantuan masker. Mereka terkejut hingga selama beberapa detik menegangkan, tidak ada yang bergerak. Sampai suara teriakan Yunga membawa siapa pun yang ada di ruangan itu kembali pada kesadaran masing-masing.

 

Yunga segera berlari menghampiri Chaerin. Memegang tubuh sang adik. Sementara Juna menekan tombol yang berada di atas bangkar. Jayson yang sejak tadi berada di dekat bangkar hanya mampu menggenggam tangan Chaerin dengan jantung yang berdegup tidak menentu.

 

Tidak lama Yoona, Sehun, dan seorang dokter lain bersama perawat datang. Sang perawat meminta Yunga dan yang lainnya untuk keluar sebentar. Walau hati kecil ingin menolak, tetapi Yunga tahu jika para dokter akan mengalami kesulitan jika mereka tetap berada di sana. Maka dengan berat hati, ia melangkah pergi. Kepalanya sempat menoleh untuk melihat Chaerin yang tengah mendapat penanganan kemudian menggerakkan bibirnya tanpa suara.

 

Kakak mohon bertahanlah..”




T . B . C







- DF -

Comments

Popular Posts