UPSIDE DOWN: Rack and Ruin - Part 18

 


.

.

.

.

.

Chaerin lantas terdiam. Cerita sang ayah berhasil membuat ia terkejut. Pikirannya seakan berhenti bekerja. Tidak mampu mencerna lebih banyak lagi informasi yang tengah disampaikan sang ayah. Perasaannya mengacau sejak untuk pertama kali dirinya mendengar jika betrayal juga dialami oleh sang ibu. Keterkejutannya semakin parah kala sang ayah menyampaikan dengan gamblang jika ia yang melakukan pengkhianatan.

 

Sebenarnya apa yang telah keluarganya lakukan hingga seakan Selene mengutuk keluarga mereka?

 

Kenapa pengkhianatan kembali terulang dikeluarganya?

 

“Penerimaan atas takdir itu sangatlah sulit. Ayah telah berusaha tetapi saat itu ternyata ego yang ayah miliki lebih besar hingga membutakan ayah pada takdir terbaik yang telah ditetapkan.” Alpha  itu menarik napas. Matanya masih tetap menatap lurus ke depan, mengabaikan linangan air mata di wajah Chaerin.

 

Hatinya sesak saat sang ayah menceritakan lebih dalam bagaimana ia bisa melakukan betrayal. Sesak yang sama yang ia rasakan saat mengetahui jika mate yang belum ia temui melakukan pengkhinatan. Luka lamanya kembali terbuka saat membayangkan bagaimana hancurnya hati sang ibu saat mengetahui jika suaminya, mate terkasihnya, melakukan betrayal disaat dirinya tengah mengandung. Jujur, Chaerin tidak menyangka itu. Pasti jauh lebih menyakitkan dibandingkan dirinya.

 

“Ta-Tapi, ke-napa? Ba-gai..ma-na?” Chaerin bergumam tak jelas. Hati dan pikirannya kacau saat mengetahui fakta menyakitkan di balik kehidupan keluarganya yang bahagia.

 

Alpha itu pada akhirnya menoleh pada sang putri. Menatap dengan teduh seakan menenangkan Chaerin dari kegusarannya.

 

“Kamu tahu, semua yang telah diputuskan oleh Selene adalah yang terbaik. Dan syah menyadarinya begitu kamu lahir. Kamu adalah bukti seberapa berartinya ibumu dikehidupan ayah. Ibumu tidak pernah marah dengan kesalahan ayah, walau ayah sadar jika pasti kekecewaan tidak mungkin tidak ada.” Ia mengusap pipi Chaerin yang telah basah dengan air matanya.

 

“Tapi ibumu selalu berkata jika ia telah memaafkan ayah walaupun hatinya masih sakit. Ayah bingung kenapa bisa ibumu tidak marah bahkan tidak ada satu kata cacian yang terlontar dari bibirnya. Dan kamu tahu apa yang ibu katakan?”

 

Sang alpha menyunggingkan senyum kecilnya kala Chaerin menggelengkan kepalanya. Masih dengan isakan yang sepertinya akan sulit untuk dihentikan.

 

“Ibu bilang jika Selene tidak pernah salah. Apa yang telah terjadi memang sudah menjadi takdir. Karena Ibu percaya jika dibalik rasa sakitnya ada kebahagiaan besar yang tengah menanti. Dan semua menjadi kenyataan bukan? Keluarga kita hidup sangat bahagia setelah betrayal yang ayah lakukan dan kesediaan ibu untuk menerima alpha pengkhianat ini.”

 

Penuturan sang ayah kembali membungkam Chaerin. Ia seperti kehilangan kata-katanya walaupun banyak hal yang ingin ia sampaikan. Rasanya terlalu mendadak untuk dirinya yang tidak siap dengan cerita masa lalu yang ternyata pahit.

 

“Ayah..” Panggil Chaerin berbisik.

 

Air mata masih mengalir saat onyx-nya bertemu dengan obsidian sang ayah. Ia juga menarik napas saat satu pertanyaan yang sejak tadi bermain dengan kurang ajar di dalam pikirannya sudah tidak bisa ia tahan untuk tidak ditanyakan. Dengan mengembuskan napasnya secara bertahap, Chaerin mulai menguatkan dan mempersiapkan diri atas apa pun yang akan didengarnya.

 

“Apakah ayah menyesal dengan pengkhianatan yang ayah lakukan? Kenapa ayah bisa menyesal sedangkan ayah memutuskan untuk mengkhianati ibu saat itu?”

 

Sang alpha kembali memasang senyumnya yang lebih lebar dari sebelumnya. Sedangkan tangannya meraih tangan Chaerin untuk dibawa dalam genggaman tangan besarnya.

 

“Jika tidak ada penyesalan maka tidak mungkin kamu hidup dalam keluarga yang utuh Chaerin. Dan penyesalan itu muncul saat ayah melihat senyum ibumu walaupun ditubuhnya baru saja terbentuk goresan menyeramkan karena ulah ayah. Senyum yang tidak akan pernah ayah lupakan. Senyum tulus ibumu yang seakan mengerti jika ayah saat itu masih belum bisa menerima takdir.”

 

Alpha itu menarik napasnya. Tangannya masih setia menggenggam dan mengusap punggung tangan Chaerin. Matanya juga setia menatap wajah Chaerin dengan tatapan penuh kasih sayang yang selalu ia tunjukkan pada anak tersayangnya itu.

 

Selene tidak mungkin salah dalam memilihkan pasangan untuk kita. Semua yang terjadi memang sudah Selene atur. Karena itu, cobalah berdamai dengan ego dan amarahmu. Dengarkan bagaimana suara hatimu dan pertimbangkan reaksi dominanmu.” Ia menjeda sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada yang sedikit tegas. “Sekarang, coba pejamkan matamu. Rasakan apa yang saat ini dominanmu rasakan.”

 

Mengikuti ucapan sang ayah, perlahan Chaerin memejamkan matanya. Membawa pikirannya pada ketenangan hingga ia dapat mendengar suara lain di dalam dirinya. Sebuah suara raungan antara sedih, sakit, dan harapan. Tak tahu kenapa bisa ada harapan yang ia rasakan dari raungan sang dominan.

 

Ketika merasa cukup, Chaerin kembali membuka matanya dengan perlahan. Wajah teduh dengan senyum manis sang ayah menyambutnya.

 

“Ayah tahu jika ada yang tidak kamu mengerti dengan apa yang kamu rasakan. Tetapi ayah tidak bisa menjelaskannya, kamu harus mencari tahu sendiri jawaban atas kebingunganmu.”

 

Ia mengernyitkan dahinya, tidak paham dengan maksud sang ayah.

 

“Kembalilah dan cari jawabannya.”

 

Mendengar itu secara otomatis kepalanya menggeleng. Chaerin tidak ingin pergi. Ia hanya ingin bersama sang ayah yang selalu bisa memberikan rasa terlindungi untuknya. Ia tidak butuh siapa pun lagi termaksud mate-nya.

 

“Chaerin, sekarang belum waktumu. Tempat ini bukanlah tempatmu. Kamu harus kembali, karena kebahagiaan tengah menantimu.”

 

Chaerin masih menggeleng. Ia menolak semua yang dikatakan sang ayah. Bahkan ia sampai membenamkan dirinya dalam dekapan sang ayah karena ketidakinginannya untuk pergi.

 

“Percaya pada ayah. Tidak akan ada lagi rasa sakit yang kamu rasakan, asalkan kamu mau berdamai dengan egomu.” Ujar alpha penuh dengan perhatian.

 

Sang alpha sedikit mengurai pelukannya. Menatap tepat pada onyx Chaerin yang ternyata sudah dipenuhi dengan air mata. Menyunggingkan senyumnya sembari mengangguk singkat.

 

“Ayah menyayangimu, dan akan selalu berada di sini.” Ia menunjuk tepat di depan jantung Chaerin. Perlakuan singkat itu berhasil menghancurkan benteng pertahanan yang baru saja dibangun Chaerin. Membawa kembali air mata pada pipinya yang sudah mengering setelah sang ayah menyekah tangisnya.

 

Ia kembali membenamkan wajahnya di dada bidang sang ayah. Merasakan kehangatan tubuh ayahnya yang secara perlahan mulai menghilang. Sedikit menyadari jika setelah kehangatan itu menghilang akan ada hal menyakitkan yang harus ia hadapi.

 

Jika sebelumnya ia akan tersulut emosi dengan mudah, untuk saat ini ia ingin mengikuti ucapan sang ayah. Ia ingin meredam amarahnya dan berdamai dengan egonya. Ia harus bisa melakukan hal itu jika tidak ingin membuat sang ayah bersedih apalagi kecewa karena egonya.

 

 

*  *  *  *

 

 

Keadaan ruang tunggu berubah kelam setelah kepergian para dokter. Walau mereka menyatakan jika kondisi Chaerin telah kembali stabil setelah mengalami kejang, tetapi tidak membuat para alpha itu dapat bernapas lega. Pasalnya Yunga masih mengintimidasi Jayson dengan tatapan tajamnya, tanpa ada ucapan sepatah kata pun. Takut akan terjadi baku hantam lanjutan, Jeka menjadi satu-satunya alpha yang diminta untuk menemani Chaerin di dalam –bagaimana pun Chaerin tidak bisa ditinggal sendiri sekali pun kesadarannya belum kembali.

Menuruti para abangnya, Jeka akhirnya menemani Chaerin dan meninggalkan yang lain di luar. Berharap jika permasalahan antara Yunga dan Jayson dapat selesai tanpa perlu ada kekerasan. Itu adalah harapan tulus dari alpha termuda di sana.

 

Masih belum ada yang membuka suara setelah kepergian Jeka. Hanya ada kewaspadaan jikalau nanti Yunga meledak karena amarahnya yang belum tersampaikan. Mata mereka masih setia memperhatikan gerak-gerik Yunga begitu pun Jayson yang bisa saja melakukan atau mengatakan sesuatu yang kembali menyulut kemarahan. Bahkan Juna kini ikut duduk untuk memisahkan Yunga dengan Jayson. Setidaknya walau ada jarak tetap perlu ada yang memisahkan untuk meminimalisir kemungkinan terburuk.

 

Keheningan yang terasa seperti mencekik itu berubah kala Yunga berdeham. Menarik seluruh atensi pada alpha Min itu. Kewaspadaan mulai ditingkatkan, lagi-lagi karena alasan takut jika sahabat mereka akan lepas kendali lagi.

 

“Aku tidak akan berbasa-basi.” Dia menjeda sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada determinasi. “Jayson, apa yang kamu rasakan pada Chaerin? Bagaimana perasaanmu untuk adikku?”

 

Jayson tidak langsung menjawab. Dirinya tengah bertanya pada sang hati mengenai perasaannya. Ia takut akan jawaban yang salah. Ia  tidak ingin mengulangi kesalahan hingga menyebabkan kesakitan bagi orang lain. Setidaknya ia perlu meyakinkan dirinya bahwa apa yang dirasakan adalah yang sebenarnya dan bukan karena kesemuan.

 

Keterdiaman Jayson malah membuat keadaan terasa semakin mencekam. Ketakutan mulai menggerayangi para sahabat atas jawaban Jayson.

 

“Aku..” Jayson memejam singkat sebelum membawa obsidiannya menatap obsidian coklat Yunga dengan yakin. “Aku mencintai Chaerin, bang. Perasaanku tulus, bukan karena kasihan atau yang lainnya.”

 

“Sejak kapan?”

 

“Mungkin ketika Chaerin membuat sumpahnya. Saat itu aku merasakan rasa hangat yang berbeda. Tapi aku baru menyadarinya saat melihat kedekatan Chaerin dengan salah satu kliennya.”

 

Jawaban penuh keyakinan itu kembali membawa hening yang tetap terasa menyesakkan. Ketakutan dan kewaspadaan masih menyelimuti mereka saat Yunga tak kunjung membuka suara. Mereka yakin masih ada yang ingin dikatakan oleh alpha itu, tetapi mereka tidak tahu apa yang akan dikatakan hingga membuat resah kini memenuhi pikiran mereka.

 

“Jay-”

 

Belum sempat berkata, derap langkah cepat yang memenuhi lorong menarik atensi hingga membuat lupa dengan apa yang ingin dikatakan. Yunga menukikkan alisnya saat dari kejauhan ia mengenali sosok yang tengah berjalan cepat ke arahnya. Melihat sosok tersebut entah kenapa jantungnya kembali berpacu cepat dengan desiran darah yang ikut kelewat cepat. Hatinya berubah kacau hingga mengembalikan rasa takut yang sempat lenyap.

 

“Ada apa, Dok?”

 

Yoona, omega itu tidak memberikan waktu bagi Yunga mendapatkan jawaban. Ia telah lebih dulu melangkah memasuki kamar rawat Chaerin bersama seorang suster. Setelah pintu tertutup, tidak lama pintu kembali terbuka dengan sosok Jeka yang berjalan keluar.

 

Bang...” Suaranya yang bergetar kembali membawa kegelisahan dibenak Yunga.

 

“Jeka, apa yang terjadi di dalam? Katakan!” Titahnya.

 

Bukannya menjawab, Jeka malah memeluk Yunga. Membuat tubuh alpha itu semakin menegang karena merasakan getaran dari tubuh Jeka.

 

 

*  *  *  *

 

 

Hatinya menjadi hangat melihat senyum sang ibu yang sedari tadi duduk di sebelahnya, walau terbesit rasa bersalah karena telah membuat tangisan keluar dari matanya. Namun tidak membuat syukur hilang dari dirinya.

 

“Maaf bu..”Lirihnya entah sudah berapa kali.

 

Sang ibu menggeleng pelan. Mencium punggung tangan Chaerin yanh sedari tadi ia genggam.

 

“Tidak, jangan minta maaf. Ibu paham, sayang. Tapi tolong..” Ada jeda singkat sebelum suara yang membuat teduh perasaan Chaerin kembali mengalun. “Jangan lakukan ini lagi ya. Ibu tidak mau kehilanganmu. Kamu adalah kebahagiaan ibu.”

 

Chaerin hanya mampu menganggukkan kepala sembari tangannya menyekah air mata yang kembali membasahi pipi sang ibu.

 

Kemudian ia menoleh guna mencari keberadaan sang kakek. Saat mata mereka berserobok, Chaerin dapat menemukan tatapan haru sekaligus kecewa dari mata sang kakek. Dirinya tahu jika kekecewaan yang sang kakek rasakan adalah karena keputusan sepihak yang dirinya ambil.

 

“Kakek, maafkan Chaerin.” Sesalnya.

 

“Aku tahu kalau yang aku lakukan salah dan merepotkan orang lain, termaksud kakek. Karena itu aku ingin minta maaf. Tidak hanya pada Kakek, tetapi juga dengan paman dan bibi. Tolong maafkan aku.” Sambungnya dengan menatap satu per satu keluarganya.

 

Jujur saja, Chaerin seperti merasakan beban yang begitu berat. Rasa bersalahnya pada keluarga membuat dirinya seperti terikat tali tak terlihat. Sesak dan sulit sekali bergerak. Matanya juga seperti ingin menangis setiap kali teringat keputusan bodoh yang telah diambilnya. Namun semua itu seperti menghilang saat anggukan dari sang kakek dan senyum dari paman dan bibinya muncul. Beban yang menumpu dipundaknya seakan menghilang saat kakeknya menerima permintaan maaf penuh sesal itu.

 

“Kakek ingin memarahimu, tetapi kakek tahu kamu sudah cukup menderita. Jadi kakek tidak akan memarahi dirimu atas keputusan yang kamu buat. Tapi jangan ulangi lagi karena kakek tidak akan pernah memberikan maaf jika hal seperti ini kembali terulang. Mengerti?”

 

Chaerin mengagguk. “Aku mengerti.”

 

Tak lama sorot matanya teralih. Mengabsen satu per satu wajah yang berada di ruangannya. Hingga terhenti pada sosok alpha yang berdiri cukup jauh dari bangkarnya. Mata keduanya bertemu. Saling menatap dengan tatapan yang tidak terbaca. Membiarkan waktu bergerak tanpa berniat untuk membuka suara. Mengikis penghalang yang selama ini terbangun di antara mereka. Mengizinkan setiap dominan merasakan apa yang tengah dirasakan sang hati, sekali pun itu kesakitan dan kekecewaan.

 

Sampai suara ketukan dan derit pintu menghentikan mereka. Chaerin menoleh cepat. Memutus kontak mata dengan mengalihkan pada sosok yang baru saja masuk. Ia dapat mengembuskan napas lega –bersyukur– atas kedatangan Sehun. Sahabatnya itu telah menyelamatkan ia dari hal bodoh yang baru saja ia lakukan.

 

Sementara Jayson, alpha itu sedikit kesal dengan kehadiran dokter muda yang merupakan sahabat Chaerin. Kedatangan Sehun telah membuat kesempatan dominannya untuk merasakan dominan Chaerin menghilang. Bayangkan, setelah sekian lama ia ingin berkomunikasi dengan dominan mate­-nya dan akhirnya dapat terjadi tetapi harus berakhir cepat karena sosok yang tidak ia inginkan kehadirannya.

 

“Selamat siang.”

 

“Siang, dok.”

 

“Apa dokter ingin memeriksa Chaerin?”

 

“Iya. Apakah boleh untuk meninggalkan ruangan sebentar?”

 

Sanak keluarga Chaerin menyetujui permintaan tersebut. Sang ibu sempat memberikan ciuman singkat sebelum meninggalkan ruang rawat bersama dengan yang lainnya. Yunga berjalan di belakang, menepuk pundak Sehun singkat sebelum berlalu mengikuti yang lain. Sedangkan Jayson, alpha itu sama sekali tidak bergerak hingga atensi Chaerin mengarah kepadanya yang membuat Sehun ikut memusatkan perhatian ketitik yang sama.

 

“Saya tidak akan melakukan apa pun pada mate­ anda. Jadi tidak perlu khawatir.” Ujarnya yang seakan mengetahui keraguan Jayson untuk meninggalkan Chaerin bersama dengannya.

 

Jayson akhirnya menghela pelan sebelum mengikuti langkah yang lain keluar dari ruang rawat tersebut. Berat hatinya, tetapi tidak ada pilihan lain. Sehun memerlukan privasi untuk menjalankan tugasnya sebagai dokter.

 

“Jadi bagaimana perasaanmu?” Tanya Sehun setelah suara pintu yang tertutup terdengar.

 

“Lumayan.”

 

Sehun menggerakkan stetoskopnya. Telinganya fokus mendengarkan irama jantung Chaerin. Setelahnya memeriksa mata dan selang infus yang terpasang.

 

“Sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?”

 

“Satu setengah bulan.”

 

Wow.”

 

Sehun memutar bola matanya. Kesal dengan respon tidak berotak Chaerin.

 

Wow katamu?” Tanyanya mencibir. “Kamu nyaris membuatku mati Lim Chaerin!”

 

Ia menarik napasnya. Emosinya langsung tersulut berkat satu kata yang diucapkan sang sahabat. Padahal hanya satu kata, tapi berhasil membuat Sehun seperti ingin melemparkan Chaerin ke dalam jurang. Benar-benar menyebalkan.

 

“Maaf, jangan marah seperti itu. Aku hanya terkejut saja. Kukira hanya beberapa hari atau paling lama satu minggu.”

 

Sehun dibaut kembali mendengus.

 

“Beberapa hari? Kamu bahkan nyaris kehilangan nyawamu jika Jayson tidak segera menyembuhkan luka ditubuhmu itu!” Sarkas Sehun yang sudah tidak bisa menerima jawaban apa pun dari mulut Chaerin. Ia terlampau kesal dengan sang sahabat. Pasalnya omega itu seperti tengah bermain-main dengan nyawanya. Menganggap kritis yang ia alami hanya seperti guyonan. Padahal keluarga, kerabat, bahkan dirinya nyaris kehilangan harapan dengan kondisi Chaerin yang tak kunjung membaik.

 

Sehun menarik napasnya. Sepertinya emosi telah menguasi pikirannya. Ia jadi tidak memperhitungkan kondisi Chaerin yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya.

 

“Maaf, aku terbawa emosi.”

 

Chaerin tersenyum kecil dan menggeleng.

 

“Tidak, kamu benar Hun. Maafkan aku.”

 

Selama sepersekian detik, keduanya hanya diam. Chaerin dengan pandangan yang lurus pada langit-langit. Sedangkan Sehun memilih memusatkan perhatiannya pada langit luar melalui kaca. Menyelami keheningan. Merasakan bagaimana tenang membawa mereka pada pikiran yang lebih damai. Menghilangkan segala emosi yang membelenggu. Hingga Sehun mengalihkan atensinya. Kembali menatap wajah sang sahabat yang terlihat lebih baik dari saat matanya terpejam.

 

“Bagaimana sekarang? Apa yang akan kamu lakukan? Kamu sudah merasakan bagaimana takdir itu bekerja.”

 

Kini giliran Chaerin yang menarik napas dalam dan mengembuskannya berkala.

 

“Aku bertemu dengan ayahku.”

 

Sehun menukikkan alisnya. Sorot mata yang sebelumnya tidak mengarah pada mata Chaerin seketika berubah dan menjadikan onyx coklat itu pusat perhatiannya. Ia mencari kebohongan di sana.

 

“Apa yang kamu maksud?” Tanyanya saat mata omega itu sama sekali tidak sedang menunjukkan kebohongan atau lelucon.

 

Chaerin memejam singkat. Ia mencoba membawa kembali ingatannya ketika bertemu dengan sang ayah. Mulai dari bagaimana mereka bertemu, apa saya yang dibicarakan, hingga ekspresi sedih bercampur kecewa yang ditunjukkan sang ayah. Semuanya ia bangkitkan lagi, mengumpulkannya guna disampaikan dalam bentuk cerita kepada Sehun.

 

Tidak peduli dan tidak mau ambil pusing dengan pemikiran Sehun akan dirinya. Jika alpha itu menganggap dirinya gila, yasudah dalam kenyataan ceritanya itu sulit untuk diterima akal sehat. Tapi jika sebaliknya –jika Sehun mempercayainya– tidak berpengaruh besar pada dirinya juga.

 

“Aku tidak memaksamu untuk percaya dengan ceritaku, jadi jangan menatapku seperti itu.” Sinis Chaerin begitu ia selesia menceritakan semuanya.

 

Sehun sendiri malah menggaruk tengkuk yang sejujurnya tidak gatal. Ia meringis, merasa tidak enak dengan sang sahabat. Jika boleh jujur, ia bukannya tidak mempercayai cerita Chaerin walau sedikit tidak masuk akal. Dalam logika memang tampaknya mustahil tetapi tidak ada yang pernah tahu kuasa Selene. Mungkin saja memang yang diceritakan Chaerin adalah cara Selene untuk menyadarkan Chaerin. Ia hanya bingung harus bereaksi seperti apa dengan cerita tersebut.

 

“Bukan seperti itu, Chae. Aku hanya terkejut. Aku tidak menyangka jika kamu bertemu dengan Paman Lim dan beliau menceritakan kisah kelamnya.”

 

“Ya begitulah..” Jawabnya sedikit acuh.

 

Hening dan keterdiaman pun tidak bisa dielakkan. Keduanya sama-sama tengah berpikir. Chaerin dengan cerita sang ayah, sedangkan Sehun dengan apa yang ingin ia katakan. Ada ketakutan dalam benak Sehun dengan apa yang ingin ia tanyakan. Masalahnya, pertanyaan yang tengah ia atur katanya agar tidak mengusik Chaerin itu adalah hal sensitif yang mungkin dapat membawa Chaerin kembali pada masa kritisnya.

 

“Chaerin..”

 

Merasa terpanggil, kepalanya lantas menoleh. Matanya seketika menemukan wajah Sehun yang telah dibalut dengan kekhawatiran.

 

“Sekarang apa yang mau kamu lakukan?”

 

“Apa pun, yang tidak akan membuat ayah sedih dan kecewa di sana.” Jawabnya dengan senyum kecil yang terlihat sendu karena mata indah itu tengah diselimuti kristal bening.




T . B . C







- DF -

Comments

Popular Posts