No Longer Chapter 1


 


.


.


.



Bia Asteri, nama yang cantik untuk sosok gadis yang memilih hidup dalam kesepiannya. Dia tidak sendiri, dia memiliki seorang papah yang tampan dan mamah yang cantik, dan jangan lupakan adik laki-laki yang tak kalah tampan seperti papahnya. Hanya saja keberadaannya memang tidak pernah terlihat oleh siapa pun, bahkan keluarganya sendiri.

 

Sedari kecil ia selalu merasa terkucilkan dalam keluarga besarnya hanya karena memiliki fisik yang berbeda. Dia tidak seputih sepupunya yang lain dan juga tidak memiliki wajah cantik. Tidak hanya itu saja, penampilannya pun jauh berbeda bahkan dengan kedua orang tuanya. Ia lebih suka dan nyaman dengan segala sesuatu yang simpel, sedangkan keluarganya begitu memperhartikan penampilan mereka hingga detail terkecil sekali pun.

 

Sedari kecil, ia berusaha untuk mengabaikan semua itu. Ia berusaha berbesar hati untuk menerima semua perbedaan yang ada pada dirinya. Namun semenjak kelahiran Axio Asterion, ia tidak bisa untuk mengabaikan semua sakitnya. Perlahan rasa sakit itu malah muncul dan mengusik dirinya. Bahkan kejadian dimana untuk pertama kalinya sang adik pulang ke rumah itu terus menghantui ingatannya. Bagaimana om dan tantenya saling berlomba memuji wajah tampan Baby Axio dan membandingkan dengan dirinya.

 

Saat itu ia sangat tidak peduli, karena saat itu dihadapannya ada bayi kecil dengan kulit masih merah yang menggenggam jari telunjuknya. Ia lebih suka memperhatikan adiknya itu dibandingkan mendengar ucapan tidak mengenakkan dari keluarganya. Namun seiring berjalannya waktu, kebiasaan mengabaikannya itu tidak bisa ia pertahankan. Lambat laun rasa sakit dan muak mulai memenuhi relung hatinya. Apalagi sejak Axio tumbuh menjadi remaja yang tampan dan pintar.

 

Sejak saat itulah ia merasa semakin sendiri. Tidak ada yang berada di sampingnya, sekali pun sosok mamah dan papah. Mereka terlalu sibuk dengan tumbuh kembang Axio sampai lupa jika ada dirinya yang masih membutuhkan perhatian seperti adiknya. Hingga tanpa sadar pikirannya selalu dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tak bertuan yang hanya semakin menambah sesak dan sakit di hatinya.

 

Apa papah dan mamah enggak sayang sama aku?

Aku bukan anak mereka ya?

Aku sayang adik Cio tapi kenapa mamah sama papah enggak sayang sama aku?

Aku enggak mau benci adik tapi aku selalu sedih setiap liat adik?

Kalau aku pergi, mamah sama papah bakal sayang sama aku enggak ya?

 

Pertanyaan yang tidak seharusnya dipertanyakan oleh anak berusia delapan tahun, tapi malah bermain dengan liar di dalam pikiran seorang Bia Asteri.

 

Apakah hanya sampai disitu?

 

Jawabannya adalah TIDAK. Karena selain pertanyaan itu muncul pertanyaan dan keluhan lain seiring dengan keadaan tidak baik yang harus ia jalani.

 

Apa karena aku enggak secantik mamah makanya mereka enggak mau main sama aku?

Tante sama om juga suka ngomong yang bikin aku sedih.

Tuhan memangnya salah ya kalau Ia suka lari-lari di luar dan menggambar? Ia kan enggak ganggu anak lain.

 

Setiap kali mengingat itu Bia selalu menitihkan air matanya. Bahkan setelah beberapa tahun berlalu dan ia telah tumbuh menjadi gadis cantik, pintar, dan popular di sekolah.

 

Semua yang terjadi pada dirinya saat ini bermula sejak kesendirian yang ia lalui di dalam kamarnya. Tepat saat ia mengetahui jika Helen mamahnya membelikan Cio sebuah ponsel baru untuk digunakan selama di asrama. Padahal sebelumnya Bia telah meminta sang mamah untuk membelikannya ponsel karena memang sudah sangat dibutuhkan. Hanya saja Helen menolak dengan alasan jika saat itu ia tidak memiliki uang. Namun beberapa hari setelahnya ia tahu kalau mamahnya membeli ponsel untuk sang adik agar lebih mudah berkomunikasi dengan adik laki-lakinya itu.

 

Apakah ia marah?

 

Ya, tapi ia jauh lebih merasa kecewa sampai tanpa sadar langsung membanting pintu kamarnya dan tidak pergi keluar hingga besok pagi. Ia menangis di atas kasurnya. Mencurahkan semua perasaan sakit, marah, dan kecewa yang membelenggu dirinya. Sampai tanpa ia sadari jika seseorang masuk ke dalam kamarnya dan duduk di sisi ranjangnya.

 

“Bia sayang..”

 

Bia yang saat itu masih menangis agak terkejut saat mendengar suara yang begitu asing. Ia bangun dengan perlahan sambil mengusap wajahnya yang basah karena air mata. Tubuhnya diposisikan duduk menghadap sosok wanita setengah baya yang tengah tersenyum kepadanya. Melihat keberadaan wanita itu membuat tangis Bia seketika berhenti.

 

“Ka-Kamu siapa?”

 

Wanita itu tidak langsung menjawabnya. Ia malah mengusap wajah memerah Bia dengan lembut.

 

“Kamu kenapa nangis? Anak cantik enggak boleh nangis nanti cantiknya ilang loh.”

 

Mendengar itu, tangis Bia kembali luruh. Air mata yang sempat berhenti mengalir, kini malah jatuh semakin deras dan membasahi pipinya.

 

“Sini sayang, mitéra peluk.”

 

Bia yang memang tengah bersedih, langsung menjatuhkan tubuhnya ke dalam rengkuhan wanita itu. Ia menangis di dalam dekapan wanita yang tidak ia ketahui siapa. Menumpahkan seluruh kesedihannya di dalam pelukan erat dan hangat wanita itu. Cukup lama ia menumpahkan seluruh kesedihannya hingga lelah akhirnya menyapa. Perlahan tangisnya mulai mereda dengan tubuh yang sudah kembali terduduk tegap sambil diusap jejak air mata dipipinya oleh wanita itu.

 

“Udah tenang?”

 

Anggukan kepala Bia berikan kepada sosok itu.

 

“Kalau gitu Bia udah bisa cerita kenapa Bia sedih?”

 

 Tawaran yang tidak pernah ia terima dari sang mamah serta suara yang mengalun dengan begitu lembut membuat Bia tidak bisa untuk tidak mencurahkan apa yang tengah ia rasakan pada sosok asing itu. Tanpa bisa dicegah, mengalirlah seluruh cerita yang selama ini selalu ia pendam seorang diri. Semuanya ia ceritakan pada sosok wanita yang menyebut dirinya sebagai mitéra.

 

“Emangnya salah ya kalau Ia lebih suka lari dan menggambar daripada belajar? Selama ini Ia juga naik kelas terus kok, Ia juga enggak pernah dimarahin guru.”

 

Mendengar penuturan Bia kecil, sosok wanita yang setia mengusap puncak kepala Bia hanya menyunggingkan senyum hangatnya sambil terus mendengarkan keluh kesah dari bibir mungil itu.

 

“Bia enggak salah, karena setiap orang punya kebisaannya masing-masing. Bia cukup lakukan yang terbaik. Jika Bia mau memiliki nilai yang bagus disamping kesukaan Bia, Bia harus belajar lebih giat. Kalau Bia mau terlihat cantik seperti mamah dan sepupu Bia, Bia harus merawat diri Bia.”

 

“Emangnya bisa?” Tanyanya polos.

 

Wanita itu semakin melebarkan senyumnya sembari mengusap pipi tembam Bia.

 

“Bisa, nanti mitéra akan bantu Bia.”

 

Mendengar jawaban itu, membuat Bia tidak bisa untuk tidak menyunggingkan senyumnya. Tanpa disadari tubuhnya kembali menubruk tubuh wanita itu dengan melingkarkan tangannya ke perutnya.

 

“Makasih mitéra.”

 

Sejak hari itu, mitéra menjadi sosok yang selalu menemani Bia. Disaat ia belajar, mitéra selalu menemaninya bahkan dengan sabar menunggui Bia hingga selesai. Disaat sedang bersedih, mitéra selalu memberikan pelukan hangat seorang ibu yang tidak ia dapatkan dari Helen. Begitu pun dengan janjinya untuk membantu Bia berubah, mitéra selalu meberikan arahan dan bantuan dalam merawat diri. Perlakuan yang seharusnya ia dapatkan dari Helen malah ia dapatkan dari sosok asing mitéra.

 

Bia yang baru pulang dari toko buku dengan beberapa alat gambar sedikit terkejut ketika saudara dari papahnya ada di rumah. Ia sedikit canggung tetapi tetap menghampiri mereka untuk memberikan salam.

 

“Ini Bia ya? Wah sekarang udah berubah ya.” Ucap tantenya yang dulu sempat mengatakan jika Bia memiliki warna kulit yang berbeda dengan Helen maupun Gaver.

 

Mendengar itu membuat luka dihatinya kembali sedikit terbuka. Ia menatap tantenya lalu menyunggingkan senyum kecil.

 

“Iya, dulu kan tante bilang aku gelap jadinya aku berusaha untuk merawat diri biar enggak ada yang bilang gitu lagi. Soalnya sakit diomongin kayak gitu sama keluarga sendiri.” Balasnya santai.

 

“Kalau gitu aku izin ke kamar dulu ya. Permisi.” Pamitnya dan lantas segera melenggang pergi meninggalkan sanak keluarganya yang tersentak mendengar penuturan Bia.

 

Malam harinya saat keluarga kecil itu tengah menikmati makan malam, Bia hanya diam untuk menyelesaikan makanan yang ada di piringnya. Sejujurnya ia sudah tidak menemukan kenyamanan di tengah keluarganya sendiri, ia jauh lebih merasa nyaman ketika berada di dalam kamarnya karena keberadaan mitéra di sana.

 

“Ia..”

 

Panggilan itu membuat fokus Bia pada makanannya teralih. Pandangan yang sedari tadi hanya menatap piring berangsur terngkat hingga bertemu dengan wajah Helen.

 

“Boleh mamah tanya sesutu?”

 

Bia hanya mengangguk lalu kembali melanjutkan makannya.

 

“Kenapa tadi Ia ngomong kayak gitu sama tante? Ia taukan itu enggak sopan.”

 

Mendengar pertanyaan itu membuat Bia langsung berhenti menyuapi makanannya. Sambil mengeratkan genggamannya pada sendok dan garpu, Bia kembali menatap Helen dengan perasaan kecewa dan marah.

 

“Sebelum Ia jawab, boleh Ia tanya juga ke mamah dan papah?”

 

Baik Helen dan Gaver sama-sama diam tetapi mengangguk singkat.

 

“Kenapa mamah sama papah enggak pernah ngebela Ia pas tante dan om ngomong buruk soal Ia? Emang salah kalau Ia lebih gelap dari kalian? Emang Ia berdosa kalau enggak secantik mamah? Emang Ia anak yang bodoh karena enggak masuk peringkat 3 besar di sekolah?”

 

Pertanyaan dari Bia berhasil membungkam sepasang suami istri itu. Mereka tidak menyangka jika anak gadisnya bisa menanyakan pertanyaan seperti itu, lebih tepatnya mereka tidak pernah berpikir jika ucapan saudara mereka begitu membekas untuk sang anak.

 

“Diemnya mamah sama papah itu jawaban dari pertanyaan yang mamah tanyain. Kalau kalian enggak bisa bela Ia, siapa lagi yang akan bela diri Ia sendiri kalau bukan Ia.”

 

Setelah mendengar jawaban itu, Helen dan Gaver semakin dibuat bungkam. Dalam diamnya, mereka terus berpikir tentang apa saja yang sudah mereka lewatkan tentang anak pertama mereka ini. Banyak sekali pertanyaan dan juga sesal karena mereka sadar ada kelalaian dalam mengurus Bia selama ini.

 

Keterdiaman itu berlanjut hingga makanan di piring sudah habis. Bia sendiri masih bertahan di sana karena tengah menunggu puding kesukaannya diantarkan oleh asisten rumah tangga. Sekali pun ia tidak merasa nyaman, tetapi ia jauh tidak rela jika mengabaikan makanan kesukaannya. Ketika piring berisi potongan puding telah tersaji di atas meja, tanpa buang waktu Bia langsung menikmati kudapan manis itu dan mengabaikan sekitarnya. Namun suara Axio membuat Bia yang sedari fokus tadi pada piring kecilnya, sesekali mencoba mendengarkan apa yang Axio katakan.

 

“Gitu pah mah, bolehkan?” Tanya Axio dengan penuh harap.

 

“Yaudah besok kita coba liat ke showroom ya..” Jawaban dari Gaver membuat Axio melebarkan senyum hingga matanya membentuk bulan sabit. Sayang senyum itu langsung tertahan ketika Bia kembali berucap.

 

“Aku juga mau.”

 

“Tapi Ia, mamah sama papah enggak punya uang sebanyak itu untuk beli kendaraan kamu sama Cio.”

 

“Kalau aku enggak Cio juga enggak.”

 

“Tapi aku butuh kak.”

 

“Gua juga butuh. Emang lo pikir lo doang yang sekolah, gua juga. Bahkan gua udah mau masuk kuliah.” Jawab Bia tanpa menatap keluarganya.

 

“Ia dengerin mamah ya, kita beliin Cio motornya dulu nanti kamu sementara bisa dianter sama Pak Ardhi dulu.”

 

“Enggak, aku enggak mau! Kalau Cio beli aku juga harus dibeliin. Karena mamah suka banget boong. Mamah inget dulu soal handphone? Pas aku minta, mamah bilang enggak ada uang tapi taunya mamah beliin Cio. Terus emang aku dibeliin? Enggak, aku malah disuruh pake handphonenya papah. Enggak itu aja, laptop dan jalan-jalan pun begitu.”

 

Bia kembali menyuapi potongan puding terakhir ke dalam mulutnya setelah kata demi kata yang menampar Helen dan Gaver terucap dengan santai. Setelahnya ia menandaskan air di dalam gelas yang ada di sampingnya. Lalu tanpa membuang waktu, ia menanggalkan kursinya untuk kembali ke kamar. Namun sebelum itu, dia menyempatkan untuk melihat kembali pada Helen, Gaver dan juga Axio.

 

“Kalau sampe papah sama mamah tetep beliin Cio motor, jangan salahin aku kalau motor itu udah enggak kayak pertama kali kalian beli. Karena kalian enggak bisa berlaku adil, maka aku yang akan cari keadilan itu dengan cara ku sendiri.” Ucapnya yang membuat baik Helen, Gaver, bahkan Axio sekali pun terkejut bukan main. Tidak ada yang membuka suara hingga Bia telah benar-benar meninggalkan ruang makan. Ketiganya masih begitu terkejut dengan apa yang keluar dari mulut Bia.



T . B . C




Hallow, aku balik dengan membawa judul baru.


Cerita kali ini sama kayak cerita yang udah ada di GIGS, ini tuh cerita tentang salah satu keresahan aku dalam kehidupan saat ini. Jadi maaf banget kalau ada yang merasa memiliki kisah yang sama dengan cerita ini.


Aku enggak punya maksud untuk menyinggung atau yang lainnya, aku cuma mau menuangkan isi pikiran aku dalam sebuah kisah. Dan untuk kalian yang memang memiliki kisah yang sama dengan sosok Bia, kalian adalah orang-orang yang kuat.


Semangat yaa..


Oke, udah gitu aja. Semoga cerita ini bisa menemani hari kalian

Dan untuk upside down, masih dalam tahap revisi ya. Akan segera aku selesaikan biar bisa cepet publish.


Terima kasih semua,

See youuuuu


Oh iya, sebelum bener-bener berakhir aku mau memperkenalkan cast untuk series ini

here we go



Comments

Popular Posts