UPSIDE DOWN: Rack and Ruin Part 19
Perlu dua minggu
untuk Chaerin bisa mendapatkan izin perawatan rawat jalan. Ia yang memang sudah
merasa bosan menyambut berita tersebut dengan suka cita. Ia akan kembali ke
rumah dan dapat beraktivitas lebih baik dibandingkan dengan ruang rawatnya
selama ini. Setidaknya itu yang ia pikirkan sebelum sang kakek memberikan
ultimatum untuk Chaerin tetap berada di kamar selama kondisi tubuhnya masih
lemas. Ia tidak bisa menolak terlebih dengan kekacauan yang sudah diciptakan.
Rasanya tidak etis jika membuat anggota keluarganya kesusahan untuk yang kedua
kali karena dirinya.
Maka disanalah
Chaerin sekarang. Di depan jendela yang mengarah langsung ke taman belakang.
Menikmati pemandangan pagi yang indah dari dalam kamar tidurnya. Cicitan burung
terdengar bagai irama yang mengantar ketenangan di pagi hari. Matahari yang
bersinar menyinarkan cahayanya hingga mengenai kulit Chaerin dan memberikan
rasa hangat yang menjalar hingga ke hati. Setidaknya berdiam di kamar dengan
pemandangan taman yang cantik serta sambutan baik dari bumi tidaklah buruk
untuk dirinya yang baru saja terjebak di ruang serba putih dengan infus yang
terpasang di tangan.
Ia menarik napas
panjang dan mengembuskannya berkala. Udara pagi hari adalah yang terbaik untuk
dirinya. Cukup baik sampai suara derit pintu yang terbuka menginterupsi
kegiatannya. Tubuhnya pun berbalik hingga menemukan sang ibu yang berjalan
dengan senyum yang mengembang manis.
āBagaimana
keadaanmu sekarang? Apa masih ada yang sakit?ā Tanya sang ibu dengan balutan
nada khawatir yang wajar terdengar setelah kejadian menyeram kanbelakangan ini.
Chaerin menggeleng
pelan. āAku sudah membaik, hanya masih lemas saja.ā
Ibunya mengangguk
dan tersenyum. Lantas membawa langkah pelannya mendekati sang anak. Tangan yang
mulai keriput itu meraih tangan Chaerin dan menggenggamnya dalam genggaman
hangat seorang ibu. Mengusap punggungnya perlahan dengan tatapan penuh kasih
yang terus dipancarkan.
āChaerin..ā Ada
jeda singkat sebelum sang ibu melanjutkan, āKamu tahu, ibu sangat menyayangimu.
ibu akan melakukan apa pun untuk kebahagiaanmu. Jika ayahmu masih bersama kita,
ibu yakin ayah juga akan berkata yang sama.ā
Maka anggukan kecil
menjadi jawaban Chaerin untuk penuturan tersebut.
āIbu akan
menukarkan nyawa ibu untuk kebahagiaanmu, karena kamu adalah satu-satunya harta
paling berharga yang ibu miliki. Ibu tidak mau kamu terluka atau sedih. Ibu
ingin kamu menjalani hidupmu dengan baik.ā
Omega bernama Aerin itu
mengembuskan napasnya. Matanya masih setia memperhatikan wajah cantik sang
anak. Mensyukuri karunia yang telah diberikan kepadanya karena telah memberikan
anak secantik dan sekuat Chaerin.
āChaerin, ibu tahu
sesakit apa perasaanmu. Ibu memaklumi jika kamu masih marah dengan takdirmu.
Ibu paham hal itu. Namun, ada hal yang perlu kamu pikirkan Chaerin. Dalam hidup
tidak ada yang namanya kebahagiaan tanpa sebuah usaha. Kamu perlu melakukan
sesuatu untuk mewujudkan kebahagiaan yang kamu inginkan sekali pun kesakitan
akan menghalangimu. Kamu harus tetap berusaha melewati kesakitan itu untuk menjemput
kebahagiaan yang sebenarnya.ā
āIbu..ā Panggil
Chaerin cepat.
āAku tahu apa yang
ingin ibu katakan, karena itu aku akan bertemu dengan Jayson.ā
āChaerin, ibu tidak
memaksa kamu untuk menemui Jayson secepat ini. Ibu hanya ingin kamu memikirkan
apa yang ibu katakan. Jika kamu belum siap, maka kamu tidak usah bertemu
dengannya. Ibu tidak mau kamu semakin sakit karena bertemu dengannya.ā Ujar
Aerin penuh dengan kekhawatiran.
Chaerin sendiri
semakin menarik kedua sudut bibirnya. Kini giliran dirinya yang menggenggam
tangan sang ibu. Menenangkan sekaligus menyakinkan sang Ibu jika dirinya akan
baik-baik saja. Keputusannya telah ia pikirkan dengan matang.
āAku sudah
memikirkannya bu. Bahkan jauh sebelum aku pulang ke rumah.ā
Sang ibu hanya bisa
menyunggingkan senyum harunya. Linangan air mata tidak dapat dibendung hingga
jatuh begitu saja membasahi pipinya. Ia sangat bersyukur pada Selene karena telah memberikan Chaerin
kekuatan dan kedewasaan yang membuat dirinya sebagai seorang ibu sangat bangga.
Jujur semenjak sang suami pergi untuk selamanya, ada ketakutan karena Chaerin
akan tumbuh tanpa dampingan seorang ayah. Tapi ternyata didikan suaminya ketika
Chaerin kecil masih membekas di pikiran anak semata wayangnya itu.
āIbu sangat
menyayangimu.ā Ucapnya sembari membawa Chaerin ke dalam rengkuhan tubuhnya yang
sudah tidak muda lagi.
* *
* *
Angin yang berembus
membuat helaian rambut Chaerin ikut beterbangan mengikuti arah angin. Sejuk
yang dibawa memberikan rasa nyaman untuk omega
yang telah berada di taman sejak setengah jam lalu. Bukan tanpa alasan dirinya
melanggar aturan sang kakek, ia keluar dari kamarnya untuk menunggu kedatangan alpha yang telah dipilihkan oleh Selene. Menunggu dan terus menunggu.
Ditemani dengan potongan ingatan pertemuannya dengan sang ayah. Hingga derap
langkah kaki mengembalikan dirinya pada realita hidup yang harus dihadapi.
Tanpa menoleh, ia
sudah tahu siapa sosok yang tengah berjalan mendekat.
Oceanic, grenn,
oriental.
Walau samar, tetapi
feromon tersebut masih bisa dikenali penghidunya.
Jayson, alpha itu menempatkan diri di samping
Chaerin. Memberikan jarak antara dirinya dengan omega tersebut. Memperhatikan sisi wajah sang mate yang sama sekali tidak menolehkan kepala padanya. Ia menghela
pelan. Lantas memutar kepalanya untuk menatap kumpulan bunga di sana.
Selama menit-menit
tenang tetapi ganjil yang terlewat, tidak ada dari keduanya yang membuka suara.
Chaerin memang tidak berniat karena ia yakin jika alpha di sebelahnya lah yang seharusnya berbicara karena ini
kesempatannya. Sedangkan Jayson, pikirannya masih sibuk menyusun kata yang akan
diucapkan selain permintaan maaf tentunya. Ada ketakutan yang menguasai hati
mengingat bagaimana perangai sang omega.
Namun hati kecil
dan juga dominannya terus menyuarakan agar Jayson segera mengatakan kebenaran.
Kesempatan tidak akan datang terus menerus. Ia telah diberikan kesempatan untuk
kesekian kalinya oleh Selene untuk memperbaiki
hubungan dengan mate-nya, maka
gunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Jangan biarkan ketakutan menghalangi
jalan menuju kebahagiaannya.
āChaerin..ā
Panggilnya pelan bersama dengan hela napas yang entah sejak kapan dirinya
tahan.
Ia memejam. Rasanya
ingin menyerah saja karena tidak mendapatkan respon baik dari sang lawan
bicara. Namun sang dominan terus menyemangati, karena reaksi dominan Chaerin
yang dirasakan. Menumbuhkan kembali sedikit keberanian untuk membuka suara.
Walau berat karena ketakutannya sendiri, pada akhirnya Jayson menyuarakan
kebenaran yang belum terungkap.
Menyampaikan
perasaannya melalui intonasi dari setiap kata yang terlontar dari bilah
bibirnya. Hingga di akhir cerita, belum juga Chaerin memberikan reaksi. Omega itu masih setia dengan bilah bibir
yang tertutup dan pandangan yang mengarah ke depan.
āTolong katakan
sesuatu..ā Lirihnya.
Keputusasaan Jayson
berhasil membuat Chaerin menoleh padanya. Membawa onyx-nya bertatapan langsung dengan obsidian gelap Jayson. Meski
belum ada vokal yang terucap, entah mengapa kegelisahan Jayson malah bertambah.
Melihat raut Chaerin yang tidak bisa ia artikan membuat pikiran buruk mulai
memenuhi otaknya. Rasa gelisah bercampur takut mulai mengisi relung hatinya.
āChae-ā
āPulanglah.ā Ujar
Chaerin menyela.
Ia beranjak
meninggalkan kursi. Membawa langkahnya untuk kembali ke dalam rumah. Namun
perkataan Jayson membuat kaki jenjangnya berhenti. Sekedar berhenti tanpa
berbalik pada pemilik suara.
āAku sungguh minta
maaf. Kamu boleh menghukumku dengan apa pun tapi jangan lukai dirimu dengan
penolakan lagi. Aku yang salah, aku yang sepantasnya untuk merasakan sakit.ā
Tutur Jayson, āAku sungguh menyesal, Chae. Tolong katakan sesuatu.ā
āAku memintamu datang
untuk mendengarkan penjelasanmu bukan memberikanmu jawaban Jayson. Karena kamu
sudah menjelaskannya, berarti urusan kita sudah selesai. Karena itu pulanglah
sebelum hari berubah malam.ā Sahut Chaerin dingin sebelum kembali merajut
langkahnya yang tertunda. Meninggalkan Jayson dan kedinginan yang mulai
menyerang hati. Menumbuhkan kegusaran bercampur kesedihan yang membuat sang
dominan meraung sedih.
Apakah ini akhir
dari kisahnya?
Kisah yang bahkan
belum dimulai tapi harus berakhir karena kebodohan serta ketidakmampuannya.
* *
* *
Beberapa hari
setelah pertemuannya dengan Jayson, kondisi Chaerin mengalami penurunan. Ia
harus kembali berbaring di atas ranjang setiap harinya dan tidak boleh pergi
meninggalkan kamar. Semua kebutuhannya telah disiapkan oleh seorang asisten
rumah tangga, baik itu makanan, obat, hingga pakaian. Jika ia ingin mandi, sang
ibu akan mengantar dan menunggui sampai Chaerin kembali berbaring di atas
ranjang.
Kondisi yang tak
kunjung membaik membuat kekhawatiran kembali melanda benak sang ibu. Gelisah
sudah tidak dapat ditutupi lagi. Ketakutan mulai menghantaui saat ingatan akan
sang anak yang terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit kembali datang.
Membuat air matanya bersikeras untuk keluar tetapi dengan sekuat tenaga dirinya
tahan.
Sejujurnya Aerin
sudah memperhitungkan kondisi Chaerin. Ia paham betul tentang perangai anaknya.
Ia juga tahu pola Chaerin berpikir. Maka seharusnya ia tidak perlu terkejut
lagi jika tiba-tiba saja kondisi yang mulai membaik berubah 180 derajat. Namun
tetap saja, dirinya adalah seorang ibu yang tidak akan pernah sanggup dan tega
melihat anaknya sakit.
Hingga akhirnya
sang kakek kembali menghubungi Sehun dan menyampaikan kondisi terakhir Chaerin.
Sehun sendiri terkejut karena saat meninggalkan rumah sakit progres kesehatan
Chaerin cenderung meningkat tapi kenapa hanya dalam beberapa hari menurun
drastis hingga membuat sang sahabat harus tergeletak di atas ranjang. Itulah
yang mendasari mengapa dokter cantik bernama Yoona itu tengah duduk dan
memeriksa Chaerin. Omega yang sudah
Chaerin anggap seperti kakaknya itu datang atas permintaan Sehun yang sudah
memiliki jadwal lain.
Yoona menghela
pelan saat melepaskan stetoskop dari telinganya. Matanya tidak pernah lepas
menatap wajah Chaerin yang masih bisa menyunggingkan senyum sekali pun bibirnya
berubah sedikit pucat. Ia pikir setelah meninggalkan rumah sakit kondisi
Chaerin akan semakin membaik dan perkiraan terburuk yang ia pikirkan tidak akan
terjadi. Sayang, kenyataan tidak mengatakan demikian. Tubuh Chaerin kembali
lemah dan semua itu didasari oleh dirinya yang kembali melakukan penolakan.
āMau mengatakan
sesuatu padaku?ā Tawarnya.
āKetahuan ya..ā
Kikiknya payah. Terdengar sekali jika tubuhnya tidak memiliki tenaga lebih
bahkan hanya sekedar untuk tertawa.
Ia terdiam sejenak.
Kekalutan yang coba ia pikir telah membaik ternyata belum. Ketika dirinya harus
kembali mengingat dan menceritakan apa yang terjadi, rasa tidak nyaman itu
kembali menyeruak memenuhi relung hatinya. Menghadirkan sesak yang tiada tara hingga
rasanya ia sulit untuk bernapas.
Matanya terpejam
bersama helaan napas yang berat. Onyx-nya
kembali menatap Yoona yang masih diam menunggu dirinya. Sebuah tarikan napas
panjang ia lakukan untuk mengawali cerita yang ternyata mampu menghadirkan
kristal bening di matanya. Perlahan bibirnya bergerak. Suaranya keluar bersama
dengan rangkaian katanya. Setiap kata tersampaikan dengan suara yang lemah dan
bergetar. Suara yang mampu membawa Yoona ikut merasakan kesakitan yang tengah
Chaerin rasakan hingga dokter itu meraih tangan Chaerin dan menggenggam erat
āmenyampaikan kekuatan dan dukungannya.
āAku kembali
bingung kak. Aku kembali goyah saat mendengar ceritanya. Rasanya terlalu sakit
dan tidak dapat kumaafkan.ā Adunya dengan lelehan air mata yang membasahi pipi.
Yoona menarik napas
sedangkan tangannya bergerak cepat menyekah air mata dipipi Chaerin sebelum
kembali menggenggam tangannya dan memberikan usapan pelan di sana.
āChaerin, aku juga
pelaku betrayal.ā
Chaerin seketika
menoleh pada Yoona. Matanya membesar sedangkan mulutnya membentuk huruf O.
āBetrayal yang kulakukan tidak seperti
yang mate-mu lakukan.ā Menarik napas
sejenak sebelum melanjutkan ceritanya. āMate-ku
juga memiliki profesi yang sama denganku. Dia seorang dokter bedah yang
kebetulan menangani ayahku. Kami sering bertemu karena aku menjadi wali ayahku.
Di antara kami tidak ada yang tahu jika Selene
menakdirkan kami bersama. Tepat saat hari mengerikan itu datang, kami baru
mengetahuinya.ā
Ada jeda singkat
yang Yoona buat. Pandangannya berubah sendu kala ingatan masa lalu itu kembali
hadir. Luka lamanya kembali dirasakan walaupun tidak sampai membuka bekas luka
di hatinya. Ia telah sembuh dari luka itu hanya saja mengingat kembali ternyata
masih berhasil mengacaukan emosinya.
āAku menentang
takdirku.ā Lirihnya bersama dengan satu tetes air mata yang terjun bebas.
āAku melakukannya
karena ia gagal menyelamatkan ayahku. Aku menyalahkannya atas kegagalan operasi
yang ia pimpin. Semua adalah kesalahannya, itu pikirku. Andai saja ia tidak
lengah hingga menyebabkan pendarahan, mungkin ayah masih ada bersamaku. Selama
dua tahun aku terus menganggap dirinya sebagai pembunuh. Menolak kehadirannya
dan aku juga melakukan hal yang sama sepertimu saat heat-ku datang. Tidak menerima dirinya sebagai mate. Namun semua berubah saat ia datang dengan lebam yang sama
seperti yang kumiliki. Ia bersimpuh dan terus memohon, sekali pun aku menolak
ia akan kembali datang dan terus datang. Hingga malam dimana aku bertemu dengan
ayah dan beliau mengatakan jika aku adalah seorang pengkhianat karena telah
melanggar takdirku sendiri. Apa yang aku lakukan adalah hal menjijikan dan
rendahan yang hanya dilakukan oleh pengecut. Pertemuan dalam mimpi itu berhasil
menamparku. Dan sebelum ayah menghilang beliau juga mengatakan jika kebahagiaan
memang harus diperjuangkan, dan caranya tidak akan pernah sama setiap
individunya.ā
Yoona menoleh dan
mendapati Chaerin yang ternyata juga menitihkan air matanya. Genggamannya pun
semakin mengerat bersama dengan bilah bibir yang kembali terbuka dan vokal yang
terucap.
āKamu adalah
pengkhianat Chaerin. Apa yang kamu lakukan sekarang ini sama saja dengan yang mate-mu lakukan. Kalian sama-sama
pengkhianat, benarkan?ā
Penuturan singkat
itu menjadi sebuah tamparan untuk Chaerin dan ia terbungkam dengan hatinya yang
bergetar.
* *
* *
Keadaan Chaerin
berangsur membaik. Tubuhnya tidak lagi lemah dan dokter tidak perlu datang
untuk memeriksanya. Kakeknya juga sudah memperbolehkan Chaerin untuk
beraktivitas di rumah dengan syarat ia tidak boleh memforsir tenaganya. Walau
masih belum bisa kembali ke kantor, Chaerin cukup senang dengan izin sang
kakek. Setidaknya ia tidak akan merasa bosan karena harus terus berada di
kamarnya.
Sayangnya ada yang
mengganjal bagi Chaerin. Sejak kunjungan Yoona hari itu, perasaannya semakin
terusik. Perkataan Yoona terus terngiang di telinga dan membuat sisi dominannya
merasakan ketegangan yang belum pernah dirasakan. Membuat kepalanya penuh
dengan satu kata. Pengkhianatan.
Kata yang selama
ini ia jadikan tameng untuk melindungi diri dari mate-nya. Kata yang selama ini ia gunakan untuk melawan takdirnya.
Serta kata yang membuat dirinya harus terbaring koma di rumah sakit. Tapi
ternyata kata itu juga tersemat untuknya. Pengkhianat. Dirinya adalah seorang betrayal yang menolak takdirnya. Ia
adalah betrayal atas kehidupan yang
telah dipilihkan oleh Selene. Ia
adalah pengkhianat.
Mengingatnya
membuat rasa sakit kian bertambah. Mengusik dirinya yang tak kunjung menemukan
ketenangan. Mengganggu sang dominan hingga raungan pilu selalu terdengar di
telinganya.
Jujur saja, ia
lelah jika harus menjalani hari dengan perasaan tidak enak dan pikiran yang
kacau. Semua yang dirinya lakukan akan menjadi salah dan berakhir dengan tangis
saat malam. Rasanya keputusan untuk kembali itu salah. Bukankah lebih baik jika
saat itu ia mengikuti sang ayah sekali pun telah dilarang? Setidaknya tidak ada
lagi kerisauan yang mengusik dirinya seperti sekarang ini.
Dalam
keheningannya, Chaerin masih berusaha menemukan cara untuk mengembalikan
kehidupannya yang berubah berantakan. Ia ingin kembali menjalani hidup seperti
sebelumnya, tanpa masalah yang pelik. Ia ingin hidupnya tidak dibebani oleh apa
pun termasuk sebuah pengkhianatan. Ia ingin segala hal baik kembali
dimilikinya.
Tapi pertanyaannya
adalah bagaimana.
Bagaimana caranya
agar hidupnya kembali membaik?
Bagaimana dirinya
bisa hidup tanpa ada pengkhianatan di dalamnya?
Pertanyaan tersebut
terus bermain-main di pikiran Chaerin sampai membuat pening menyerang
kepalanya. Pemandangan langit malam bahkan tidak mampu mengurangi beban
pikirannya. Keheningan taman rumahnya pun tidak dapat mengusir rasa pusing yang
perlahan berubah menyakitkan. Belum lagi erangan penuh pilu yang selalu bergema
di telinganya. Kepalanya terasa seperti ingin pecah bersama dengan hatinya yang
ikut sesak.
Sungguh, adakah
pilihan lain untuk mengembalikan kehidupan termasuk keadaan dirinya seperti
saat ia belum bertemu dengan Jayson?
Adakah cara lain
selain ucapan sang ayah yang kembali teringat olehnya?
Adakah? Jika ada
tolong katakan karena rasanya ia ingin menyerah dengan semuanya. Menyerah untuk
hidupnya yang hancur.
Kepalanya terasa
seperti ingin pecah. Terlalu banyak pertanyaan yang bahkan tidak Chaerin sukai
jawabannya. Karena nyatanya semua pertanyaan tersebut hanya memiliki satu
jawaban. Penerimaan.
Sakit memang.
Ditambah egonya yang belum bisa menerima. Semua seperti sebuah kontradiksi,
pertentangan antara kenyataan dan keinginan.
Di tengah kekacauan
yang terjadi, sakit dikepalanya bertambah menyakitkan. Tubuhnya pun secara
tiba-tiba terasa panas yang ditandai dengan peluh yang muncul di dahi. Belum
lagi tulang-tulangnya yang terasa seperti ingin patah.
Chaerin menyadari
apa yang tengah terjadi pada tubuhnya. Keadaan yang sama seperti saat dirinya
pergi setelah menarik sumpah. Hanya saja, tidak ada rasa sesak akibat lebam di
dada dan perih pada luka yang membelah lambangnya karena sudah tidak ada lagi
lebam dan luka ditubuhnya.
āSial!ā
Ia mengumpat saat
gelombang panas itu menghantam tubuhnya. Menghadirkan semakin banyak peluh
serta rangsangan pada pusat tubuhnya. Menimbulkan rasa gelisah dari sang
dominan karena hasratnya yang datang dengan dahsyat.
Matanya ia pejamkan
dengan harapan dapat mengontrol dirinya. Namun gelombang panas itu malah
semakin terasa menyakitkan. Membuat hasratnya menggebu di dada dan keinginan
untuk mendapatkan sentuhan semakin menggila.
Chaerin menghela
kasar. Dengan sedikit kelimpungan ia berjalan menuju nakas dimana ponselnya ia
letakkan. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya saat jemarinya mulai
bergerak menyentuh permukaan benda pipih itu. Kemudian ia menempelkan ponselnya
ke telinga. Ketidaksabarannya memuncak saat hanya terdengar nada sambung. Ia
merasa telah begitu lama nada menyebalkan itu mengaung di telinganya. Dan
ketika suara dari seberang sana menyapa gendang telinganya, tanpa ia sadari
helaan lega terembus dari mulutnya.
āTo-Tolong..ā
Ucapnya tertatih saat gelombang panas itu kembali menyerang hingga erangan pun
ikut lolos setelahnya.
T . B . C
Comments
Post a Comment