UPSIDE DOWN: Rack and Ruin Part 19



.

.

.

.

.

 

Perlu dua minggu untuk Chaerin bisa mendapatkan izin perawatan rawat jalan. Ia yang memang sudah merasa bosan menyambut berita tersebut dengan suka cita. Ia akan kembali ke rumah dan dapat beraktivitas lebih baik dibandingkan dengan ruang rawatnya selama ini. Setidaknya itu yang ia pikirkan sebelum sang kakek memberikan ultimatum untuk Chaerin tetap berada di kamar selama kondisi tubuhnya masih lemas. Ia tidak bisa menolak terlebih dengan kekacauan yang sudah diciptakan. Rasanya tidak etis jika membuat anggota keluarganya kesusahan untuk yang kedua kali karena dirinya.

 

Maka disanalah Chaerin sekarang. Di depan jendela yang mengarah langsung ke taman belakang. Menikmati pemandangan pagi yang indah dari dalam kamar tidurnya. Cicitan burung terdengar bagai irama yang mengantar ketenangan di pagi hari. Matahari yang bersinar menyinarkan cahayanya hingga mengenai kulit Chaerin dan memberikan rasa hangat yang menjalar hingga ke hati. Setidaknya berdiam di kamar dengan pemandangan taman yang cantik serta sambutan baik dari bumi tidaklah buruk untuk dirinya yang baru saja terjebak di ruang serba putih dengan infus yang terpasang di tangan.

 

Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya berkala. Udara pagi hari adalah yang terbaik untuk dirinya. Cukup baik sampai suara derit pintu yang terbuka menginterupsi kegiatannya. Tubuhnya pun berbalik hingga menemukan sang ibu yang berjalan dengan senyum yang mengembang manis.

 

“Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa masih ada yang sakit?” Tanya sang ibu dengan balutan nada khawatir yang wajar terdengar setelah kejadian menyeram kanbelakangan ini.

 

Chaerin menggeleng pelan. “Aku sudah membaik, hanya masih lemas saja.”

 

Ibunya mengangguk dan tersenyum. Lantas membawa langkah pelannya mendekati sang anak. Tangan yang mulai keriput itu meraih tangan Chaerin dan menggenggamnya dalam genggaman hangat seorang ibu. Mengusap punggungnya perlahan dengan tatapan penuh kasih yang terus dipancarkan.

 

“Chaerin..” Ada jeda singkat sebelum sang ibu melanjutkan, “Kamu tahu, ibu sangat menyayangimu. ibu akan melakukan apa pun untuk kebahagiaanmu. Jika ayahmu masih bersama kita, ibu yakin ayah juga akan berkata yang sama.”

 

Maka anggukan kecil menjadi jawaban Chaerin untuk penuturan tersebut.

 

“Ibu akan menukarkan nyawa ibu untuk kebahagiaanmu, karena kamu adalah satu-satunya harta paling berharga yang ibu miliki. Ibu tidak mau kamu terluka atau sedih. Ibu ingin kamu menjalani hidupmu dengan baik.”

 

Omega bernama Aerin itu mengembuskan napasnya. Matanya masih setia memperhatikan wajah cantik sang anak. Mensyukuri karunia yang telah diberikan kepadanya karena telah memberikan anak secantik dan sekuat Chaerin.

 

“Chaerin, ibu tahu sesakit apa perasaanmu. Ibu memaklumi jika kamu masih marah dengan takdirmu. Ibu paham hal itu. Namun, ada hal yang perlu kamu pikirkan Chaerin. Dalam hidup tidak ada yang namanya kebahagiaan tanpa sebuah usaha. Kamu perlu melakukan sesuatu untuk mewujudkan kebahagiaan yang kamu inginkan sekali pun kesakitan akan menghalangimu. Kamu harus tetap berusaha melewati kesakitan itu untuk menjemput kebahagiaan yang sebenarnya.”

 

“Ibu..” Panggil Chaerin cepat.

 

“Aku tahu apa yang ingin ibu katakan, karena itu aku akan bertemu dengan Jayson.”

 

“Chaerin, ibu tidak memaksa kamu untuk menemui Jayson secepat ini. Ibu hanya ingin kamu memikirkan apa yang ibu katakan. Jika kamu belum siap, maka kamu tidak usah bertemu dengannya. Ibu tidak mau kamu semakin sakit karena bertemu dengannya.” Ujar Aerin penuh dengan kekhawatiran.

 

Chaerin sendiri semakin menarik kedua sudut bibirnya. Kini giliran dirinya yang menggenggam tangan sang ibu. Menenangkan sekaligus menyakinkan sang Ibu jika dirinya akan baik-baik saja. Keputusannya telah ia pikirkan dengan matang.

 

“Aku sudah memikirkannya bu. Bahkan jauh sebelum aku pulang ke rumah.”

 

Sang ibu hanya bisa menyunggingkan senyum harunya. Linangan air mata tidak dapat dibendung hingga jatuh begitu saja membasahi pipinya. Ia sangat bersyukur pada Selene karena telah memberikan Chaerin kekuatan dan kedewasaan yang membuat dirinya sebagai seorang ibu sangat bangga. Jujur semenjak sang suami pergi untuk selamanya, ada ketakutan karena Chaerin akan tumbuh tanpa dampingan seorang ayah. Tapi ternyata didikan suaminya ketika Chaerin kecil masih membekas di pikiran anak semata wayangnya itu.

 

“Ibu sangat menyayangimu.” Ucapnya sembari membawa Chaerin ke dalam rengkuhan tubuhnya yang sudah tidak muda lagi.

 

 

*   *   *   *

 

 

Angin yang berembus membuat helaian rambut Chaerin ikut beterbangan mengikuti arah angin. Sejuk yang dibawa memberikan rasa nyaman untuk omega yang telah berada di taman sejak setengah jam lalu. Bukan tanpa alasan dirinya melanggar aturan sang kakek, ia keluar dari kamarnya untuk menunggu kedatangan alpha yang telah dipilihkan oleh Selene. Menunggu dan terus menunggu. Ditemani dengan potongan ingatan pertemuannya dengan sang ayah. Hingga derap langkah kaki mengembalikan dirinya pada realita hidup yang harus dihadapi.

 

Tanpa menoleh, ia sudah tahu siapa sosok yang tengah berjalan mendekat.

 

Oceanic, grenn, oriental.

 

Walau samar, tetapi feromon tersebut masih bisa dikenali penghidunya.

 

Jayson, alpha itu menempatkan diri di samping Chaerin. Memberikan jarak antara dirinya dengan omega tersebut. Memperhatikan sisi wajah sang mate yang sama sekali tidak menolehkan kepala padanya. Ia menghela pelan. Lantas memutar kepalanya untuk menatap kumpulan bunga di sana.

 

Selama menit-menit tenang tetapi ganjil yang terlewat, tidak ada dari keduanya yang membuka suara. Chaerin memang tidak berniat karena ia yakin jika alpha di sebelahnya lah yang seharusnya berbicara karena ini kesempatannya. Sedangkan Jayson, pikirannya masih sibuk menyusun kata yang akan diucapkan selain permintaan maaf tentunya. Ada ketakutan yang menguasai hati mengingat bagaimana perangai sang omega.

 

Namun hati kecil dan juga dominannya terus menyuarakan agar Jayson segera mengatakan kebenaran. Kesempatan tidak akan datang terus menerus. Ia telah diberikan kesempatan untuk kesekian kalinya oleh Selene untuk memperbaiki hubungan dengan mate-nya, maka gunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Jangan biarkan ketakutan menghalangi jalan menuju kebahagiaannya.

 

“Chaerin..” Panggilnya pelan bersama dengan hela napas yang entah sejak kapan dirinya tahan.

 

Ia memejam. Rasanya ingin menyerah saja karena tidak mendapatkan respon baik dari sang lawan bicara. Namun sang dominan terus menyemangati, karena reaksi dominan Chaerin yang dirasakan. Menumbuhkan kembali sedikit keberanian untuk membuka suara. Walau berat karena ketakutannya sendiri, pada akhirnya Jayson menyuarakan kebenaran yang belum terungkap.

 

Menyampaikan perasaannya melalui intonasi dari setiap kata yang terlontar dari bilah bibirnya. Hingga di akhir cerita, belum juga Chaerin memberikan reaksi. Omega itu masih setia dengan bilah bibir yang tertutup dan pandangan yang mengarah ke depan.

 

“Tolong katakan sesuatu..” Lirihnya.

 

Keputusasaan Jayson berhasil membuat Chaerin menoleh padanya. Membawa onyx-nya bertatapan langsung dengan obsidian gelap Jayson. Meski belum ada vokal yang terucap, entah mengapa kegelisahan Jayson malah bertambah. Melihat raut Chaerin yang tidak bisa ia artikan membuat pikiran buruk mulai memenuhi otaknya. Rasa gelisah bercampur takut mulai mengisi relung hatinya.

 

“Chae-”

 

“Pulanglah.” Ujar Chaerin menyela.

 

Ia beranjak meninggalkan kursi. Membawa langkahnya untuk kembali ke dalam rumah. Namun perkataan Jayson membuat kaki jenjangnya berhenti. Sekedar berhenti tanpa berbalik pada pemilik suara.

 

“Aku sungguh minta maaf. Kamu boleh menghukumku dengan apa pun tapi jangan lukai dirimu dengan penolakan lagi. Aku yang salah, aku yang sepantasnya untuk merasakan sakit.” Tutur Jayson, “Aku sungguh menyesal, Chae. Tolong katakan sesuatu.”

 

“Aku memintamu datang untuk mendengarkan penjelasanmu bukan memberikanmu jawaban Jayson. Karena kamu sudah menjelaskannya, berarti urusan kita sudah selesai. Karena itu pulanglah sebelum hari berubah malam.” Sahut Chaerin dingin sebelum kembali merajut langkahnya yang tertunda. Meninggalkan Jayson dan kedinginan yang mulai menyerang hati. Menumbuhkan kegusaran bercampur kesedihan yang membuat sang dominan meraung sedih.

 

Apakah ini akhir dari kisahnya?

 

Kisah yang bahkan belum dimulai tapi harus berakhir karena kebodohan serta ketidakmampuannya.

 

 

*   *   *   *

 

 

Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Jayson, kondisi Chaerin mengalami penurunan. Ia harus kembali berbaring di atas ranjang setiap harinya dan tidak boleh pergi meninggalkan kamar. Semua kebutuhannya telah disiapkan oleh seorang asisten rumah tangga, baik itu makanan, obat, hingga pakaian. Jika ia ingin mandi, sang ibu akan mengantar dan menunggui sampai Chaerin kembali berbaring di atas ranjang.

 

Kondisi yang tak kunjung membaik membuat kekhawatiran kembali melanda benak sang ibu. Gelisah sudah tidak dapat ditutupi lagi. Ketakutan mulai menghantaui saat ingatan akan sang anak yang terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit kembali datang. Membuat air matanya bersikeras untuk keluar tetapi dengan sekuat tenaga dirinya tahan.

 

Sejujurnya Aerin sudah memperhitungkan kondisi Chaerin. Ia paham betul tentang perangai anaknya. Ia juga tahu pola Chaerin berpikir. Maka seharusnya ia tidak perlu terkejut lagi jika tiba-tiba saja kondisi yang mulai membaik berubah 180 derajat. Namun tetap saja, dirinya adalah seorang ibu yang tidak akan pernah sanggup dan tega melihat anaknya sakit.

 

Hingga akhirnya sang kakek kembali menghubungi Sehun dan menyampaikan kondisi terakhir Chaerin. Sehun sendiri terkejut karena saat meninggalkan rumah sakit progres kesehatan Chaerin cenderung meningkat tapi kenapa hanya dalam beberapa hari menurun drastis hingga membuat sang sahabat harus tergeletak di atas ranjang. Itulah yang mendasari mengapa dokter cantik bernama Yoona itu tengah duduk dan memeriksa Chaerin. Omega yang sudah Chaerin anggap seperti kakaknya itu datang atas permintaan Sehun yang sudah memiliki jadwal lain.

 

Yoona menghela pelan saat melepaskan stetoskop dari telinganya. Matanya tidak pernah lepas menatap wajah Chaerin yang masih bisa menyunggingkan senyum sekali pun bibirnya berubah sedikit pucat. Ia pikir setelah meninggalkan rumah sakit kondisi Chaerin akan semakin membaik dan perkiraan terburuk yang ia pikirkan tidak akan terjadi. Sayang, kenyataan tidak mengatakan demikian. Tubuh Chaerin kembali lemah dan semua itu didasari oleh dirinya yang kembali melakukan penolakan.

 

“Mau mengatakan sesuatu padaku?” Tawarnya.

 

“Ketahuan ya..” Kikiknya payah. Terdengar sekali jika tubuhnya tidak memiliki tenaga lebih bahkan hanya sekedar untuk tertawa.

 

Ia terdiam sejenak. Kekalutan yang coba ia pikir telah membaik ternyata belum. Ketika dirinya harus kembali mengingat dan menceritakan apa yang terjadi, rasa tidak nyaman itu kembali menyeruak memenuhi relung hatinya. Menghadirkan sesak yang tiada tara hingga rasanya ia sulit untuk bernapas.

 

Matanya terpejam bersama helaan napas yang berat. Onyx-nya kembali menatap Yoona yang masih diam menunggu dirinya. Sebuah tarikan napas panjang ia lakukan untuk mengawali cerita yang ternyata mampu menghadirkan kristal bening di matanya. Perlahan bibirnya bergerak. Suaranya keluar bersama dengan rangkaian katanya. Setiap kata tersampaikan dengan suara yang lemah dan bergetar. Suara yang mampu membawa Yoona ikut merasakan kesakitan yang tengah Chaerin rasakan hingga dokter itu meraih tangan Chaerin dan menggenggam erat –menyampaikan kekuatan dan dukungannya.

 

“Aku kembali bingung kak. Aku kembali goyah saat mendengar ceritanya. Rasanya terlalu sakit dan tidak dapat kumaafkan.” Adunya dengan lelehan air mata yang membasahi pipi.

 

Yoona menarik napas sedangkan tangannya bergerak cepat menyekah air mata dipipi Chaerin sebelum kembali menggenggam tangannya dan memberikan usapan pelan di sana.

 

“Chaerin, aku juga pelaku betrayal.”

 

Chaerin seketika menoleh pada Yoona. Matanya membesar sedangkan mulutnya membentuk huruf O.

 

Betrayal yang kulakukan tidak seperti yang mate-mu lakukan.” Menarik napas sejenak sebelum melanjutkan ceritanya. “Mate-ku juga memiliki profesi yang sama denganku. Dia seorang dokter bedah yang kebetulan menangani ayahku. Kami sering bertemu karena aku menjadi wali ayahku. Di antara kami tidak ada yang tahu jika Selene menakdirkan kami bersama. Tepat saat hari mengerikan itu datang, kami baru mengetahuinya.”

 

Ada jeda singkat yang Yoona buat. Pandangannya berubah sendu kala ingatan masa lalu itu kembali hadir. Luka lamanya kembali dirasakan walaupun tidak sampai membuka bekas luka di hatinya. Ia telah sembuh dari luka itu hanya saja mengingat kembali ternyata masih berhasil mengacaukan emosinya.

 

“Aku menentang takdirku.” Lirihnya bersama dengan satu tetes air mata yang terjun bebas.

 

“Aku melakukannya karena ia gagal menyelamatkan ayahku. Aku menyalahkannya atas kegagalan operasi yang ia pimpin. Semua adalah kesalahannya, itu pikirku. Andai saja ia tidak lengah hingga menyebabkan pendarahan, mungkin ayah masih ada bersamaku. Selama dua tahun aku terus menganggap dirinya sebagai pembunuh. Menolak kehadirannya dan aku juga melakukan hal yang sama sepertimu saat heat-ku datang. Tidak menerima dirinya sebagai mate. Namun semua berubah saat ia datang dengan lebam yang sama seperti yang kumiliki. Ia bersimpuh dan terus memohon, sekali pun aku menolak ia akan kembali datang dan terus datang. Hingga malam dimana aku bertemu dengan ayah dan beliau mengatakan jika aku adalah seorang pengkhianat karena telah melanggar takdirku sendiri. Apa yang aku lakukan adalah hal menjijikan dan rendahan yang hanya dilakukan oleh pengecut. Pertemuan dalam mimpi itu berhasil menamparku. Dan sebelum ayah menghilang beliau juga mengatakan jika kebahagiaan memang harus diperjuangkan, dan caranya tidak akan pernah sama setiap individunya.”

 

Yoona menoleh dan mendapati Chaerin yang ternyata juga menitihkan air matanya. Genggamannya pun semakin mengerat bersama dengan bilah bibir yang kembali terbuka dan vokal yang terucap.

 

“Kamu adalah pengkhianat Chaerin. Apa yang kamu lakukan sekarang ini sama saja dengan yang mate-mu lakukan. Kalian sama-sama pengkhianat, benarkan?”

 

Penuturan singkat itu menjadi sebuah tamparan untuk Chaerin dan ia terbungkam dengan hatinya yang bergetar.

 

 

*   *   *   *

 

 

Keadaan Chaerin berangsur membaik. Tubuhnya tidak lagi lemah dan dokter tidak perlu datang untuk memeriksanya. Kakeknya juga sudah memperbolehkan Chaerin untuk beraktivitas di rumah dengan syarat ia tidak boleh memforsir tenaganya. Walau masih belum bisa kembali ke kantor, Chaerin cukup senang dengan izin sang kakek. Setidaknya ia tidak akan merasa bosan karena harus terus berada di kamarnya.

 

Sayangnya ada yang mengganjal bagi Chaerin. Sejak kunjungan Yoona hari itu, perasaannya semakin terusik. Perkataan Yoona terus terngiang di telinga dan membuat sisi dominannya merasakan ketegangan yang belum pernah dirasakan. Membuat kepalanya penuh dengan satu kata. Pengkhianatan.

 

Kata yang selama ini ia jadikan tameng untuk melindungi diri dari mate-nya. Kata yang selama ini ia gunakan untuk melawan takdirnya. Serta kata yang membuat dirinya harus terbaring koma di rumah sakit. Tapi ternyata kata itu juga tersemat untuknya. Pengkhianat. Dirinya adalah seorang betrayal yang menolak takdirnya. Ia adalah betrayal atas kehidupan yang telah dipilihkan oleh Selene. Ia adalah pengkhianat.

 

Mengingatnya membuat rasa sakit kian bertambah. Mengusik dirinya yang tak kunjung menemukan ketenangan. Mengganggu sang dominan hingga raungan pilu selalu terdengar di telinganya.

 

Jujur saja, ia lelah jika harus menjalani hari dengan perasaan tidak enak dan pikiran yang kacau. Semua yang dirinya lakukan akan menjadi salah dan berakhir dengan tangis saat malam. Rasanya keputusan untuk kembali itu salah. Bukankah lebih baik jika saat itu ia mengikuti sang ayah sekali pun telah dilarang? Setidaknya tidak ada lagi kerisauan yang mengusik dirinya seperti sekarang ini.

 

Dalam keheningannya, Chaerin masih berusaha menemukan cara untuk mengembalikan kehidupannya yang berubah berantakan. Ia ingin kembali menjalani hidup seperti sebelumnya, tanpa masalah yang pelik. Ia ingin hidupnya tidak dibebani oleh apa pun termasuk sebuah pengkhianatan. Ia ingin segala hal baik kembali dimilikinya.

 

Tapi pertanyaannya adalah bagaimana.

 

Bagaimana caranya agar hidupnya kembali membaik?

 

Bagaimana dirinya bisa hidup tanpa ada pengkhianatan di dalamnya?

 

Pertanyaan tersebut terus bermain-main di pikiran Chaerin sampai membuat pening menyerang kepalanya. Pemandangan langit malam bahkan tidak mampu mengurangi beban pikirannya. Keheningan taman rumahnya pun tidak dapat mengusir rasa pusing yang perlahan berubah menyakitkan. Belum lagi erangan penuh pilu yang selalu bergema di telinganya. Kepalanya terasa seperti ingin pecah bersama dengan hatinya yang ikut sesak.

 

Sungguh, adakah pilihan lain untuk mengembalikan kehidupan termasuk keadaan dirinya seperti saat ia belum bertemu dengan Jayson?

 

Adakah cara lain selain ucapan sang ayah yang kembali teringat olehnya?

 

Adakah? Jika ada tolong katakan karena rasanya ia ingin menyerah dengan semuanya. Menyerah untuk hidupnya yang hancur.

 

Kepalanya terasa seperti ingin pecah. Terlalu banyak pertanyaan yang bahkan tidak Chaerin sukai jawabannya. Karena nyatanya semua pertanyaan tersebut hanya memiliki satu jawaban. Penerimaan.

 

Sakit memang. Ditambah egonya yang belum bisa menerima. Semua seperti sebuah kontradiksi, pertentangan antara kenyataan dan keinginan.

 

Di tengah kekacauan yang terjadi, sakit dikepalanya bertambah menyakitkan. Tubuhnya pun secara tiba-tiba terasa panas yang ditandai dengan peluh yang muncul di dahi. Belum lagi tulang-tulangnya yang terasa seperti ingin patah.

 

Chaerin menyadari apa yang tengah terjadi pada tubuhnya. Keadaan yang sama seperti saat dirinya pergi setelah menarik sumpah. Hanya saja, tidak ada rasa sesak akibat lebam di dada dan perih pada luka yang membelah lambangnya karena sudah tidak ada lagi lebam dan luka ditubuhnya.

 

Sial!

 

Ia mengumpat saat gelombang panas itu menghantam tubuhnya. Menghadirkan semakin banyak peluh serta rangsangan pada pusat tubuhnya. Menimbulkan rasa gelisah dari sang dominan karena hasratnya yang datang dengan dahsyat.

 

Matanya ia pejamkan dengan harapan dapat mengontrol dirinya. Namun gelombang panas itu malah semakin terasa menyakitkan. Membuat hasratnya menggebu di dada dan keinginan untuk mendapatkan sentuhan semakin menggila.

 

Chaerin menghela kasar. Dengan sedikit kelimpungan ia berjalan menuju nakas dimana ponselnya ia letakkan. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya saat jemarinya mulai bergerak menyentuh permukaan benda pipih itu. Kemudian ia menempelkan ponselnya ke telinga. Ketidaksabarannya memuncak saat hanya terdengar nada sambung. Ia merasa telah begitu lama nada menyebalkan itu mengaung di telinganya. Dan ketika suara dari seberang sana menyapa gendang telinganya, tanpa ia sadari helaan lega terembus dari mulutnya.

 

“To-Tolong..” Ucapnya tertatih saat gelombang panas itu kembali menyerang hingga erangan pun ikut lolos setelahnya. 



T . B . C





Comments

Popular Posts