UPSIDE DOWN: Rack and Ruin Part 20

 



.

.

.

.

.



Sadarnya Chaerin dari tidur panjang tidak serta merta memberikan kebahagiaan untuk Jayson. Bisa melihat kembali onyx coklat Chaerin memang membuat dirinya dan sang dominan mengucap syukur, rasanya seakan tali yang mengikat dadanya lepas dan memberikan kelegaan untuknya. Tapi jika boleh jujur, kesedihan seperti tidak pernah ingin meninggalkannya. Chaerin yang sudah bangun dari koma sama sekali tidak bisa membuat dirinya merasakan kebahagiaan yang utuh seperti yang dirasakan Yunga. Sang sahabat tampak begitu bahagia dengan kembalinya sang adik.

 

Semua itu karena dirinya sangat tahu jika perjalanan untuk mencapai titik kebahagiaan yang sebenarnya masih sangatlah jauh. Masih banyak yang perlu diperjuangkan untuk kebahagiaannya dan juga kebahagiaan mate-nya. Walaupun keraguan itu masih bergelayut manja dibenaknya –mengingat bagaimana perangai Chaerin.

 

Ia harus meminta maaf dan mendapatkan maaf. Ia juga harus menjelaskan semua yang terjadi karena hanya itu yang dapat memberikan peluang untuk kebahagiaan dirinya dengan Chaerin.

 

Tapi masalahnya adalah bagaimana caranya.

 

Ia sama sekali tidak memiliki akses untuk melakukan itu. Tidak ada kesempatan baginya untuk mengatakan yang sebenarnya pada mate-nya. Saat Chaerin masih di rumah sakit, omega itu tidak pernah sendiri. Jika tidak ditemani Yunga pasti sahabatnya. Sekali pun sendiri, Chaerin tidak pernah memberinya waktu. Ia lebih memilih untuk memejamkan mata dan membiarkannya terdiam di kursi tunggu.

 

Dan ketika dokter memberikan izin untuk pulang, Jayson merasa semakin buruk. Jika di rumah sakit saja ia sulit berbicara dengan Chaerin, apalagi jika omega itu sudah kembali ke rumahnya. Peluang untuk bertemu akan semakin kecil bahkan bisa dibilang tidak ada. Dirinya perlu alasan untuk bisa bertemu dengan Chaerin, dan alasan itu harus dipastikan tidak bertentangan dengan kehendak keluarga sang mate yang menginginkan kesembuhan untuknya.

 

Jayson putus asa. Tentu saja, siapa yang tidak akan merasakannya saat harus terpisah tanpa ada kata yang terucap. Penyesalan pun masih membelenggu hingga membuat hidupnya tidak tenang. Setiap hari seperti siksaan yang merenggut sedikit demi sedikit kehidupannya.

 

Jika ada yang mengatakan jika dirinya tidak berusaha, maka kalian salah. Karena nyatanya, Jayson sudah melakukan banyak hal untuk membuat Chaerin setidaknya memberikan kesempatan untuk ia menjelaskan dari sisinya. Bukan sebuah usaha yang terlihat bar-bar karena ia harus memikirkan kondisi Chaerin. Tetapi tetap saja, omega tersebut seperti menolak kehadirannya. Bahkan Yunga sendiri tidak dapat membantunya lagi karena memang Chaerin yang memintanya untuk tidak membahas mengenai Jayson dan masalah mereka.

 

Bukankah sudah seperti jalan bantu?

 

Maka tidak ada cara lain selain memohon pada Selene. Jayson yakin jika Selene dan hanya Selene  yang dapat membantu. Selene yang memasangkannya dengan Chaerin, Selene yang menyadarkan atas kesalahannya, dan pasti Selene juga yang dapat membantunya untuk menebus kesalahannya.

 

Dan di tengah kegundahannya, sebuah pesan yang baru saja diterima menarik atensi Jayson dari hal tidak menentu yang ia pandangi dari balik meja kerjanya. Tangannya meraih benda pipih itu tanpa meninggalkan kursi. Matanya memperhatikan layar tersebut hingga senyum kecil terbentuk bersama dengan debaran anomali pada jantungnya.

 

Sebuah pesan yang ditulis dengan begitu lugas dan jelas  itu entah mengapa membuat harapannya tumbuh. Membuat sang dominan dapat kembali mengecap kebahagiaan –walau kecil– yang selama ini seperti terenggut darinya. Tanpa membuang banyak waktu, dengan cepat Jayson meninggalkan ruangannya untuk bisa segera menemui sang pengirim pesan. Sembari memanjatkan doa dan harapan agar kebahagiaan sudi untuk mendatanginya.

 

 

*   *   *   *

 

 

Jayson merajut langkah menuju taman belakang setelah asisten rumah tangga yang membukakan pintu mempersilahkannya. Ia melangkah dengan perasaan kacau dan pikiran yang tidak menentu. Banyak hal yang kini tengah bermain-main di pikirannya hanya untuk sebuah kata maaf. Semakin mendekati tujuan, jantungnya kian berdetak kencang. Ia juga merasakan sesak di dada bersama dengan kegelisahan yang semakin mendominasi.

 

Napasnya berembus begitu matanya melihat sesosok omega yang tengah duduk di kursi taman membelakanginya. Jayson tidak tahu apa yang tengah dilakukan omega tersebut, tetapi hatinya menghangat hanya dengan melihat eksistensi sang omega. Kegelisahan yang ia rasakan mulai berkurang saat dominannya dapat merasakan lebih keberadaan dominan pasangannya serta aroma feromon yang menguar mampu menenangkan kekacauan yang terjadi di otaknya.

 

Musk, jasmine, pink grapefruit.

 

Aroma yang telah menguasai pikirannya sejak pertama kali bertemu. Aroma yang mampu menggoyahkan perasaannya dan mempertanyakan apa yang sebenarnya ia rasakan. Aroma yang perlahan menjadi candu sekaligus racun baginya.

 

Jayson menghidu tamak-tamak aroma feromon yang menyenangkan untuk sang dominan. Memindai aroma itu hingga rasanya paru-parunya telah terisi dengan hanya aroma tersebut. Sedikit merasa sedih karena feromon yang menguar tidak sekuat sebelumnya.

 

Ia memejam sejenak sebelum memutuskan untuk mendekati sang omega yang masih duduk tenang membelakanginya. Berjalan dengan perlahan hingga tubuhnya telah berdiri sempurna di sebelah sang omega. Ia mengembuskan napas, berusaha mengontrol kecemasan yang mulai mengganggu sebelum menempati sisi kursi yang kosong.

 

Nyatanya hati dan otaknya tidak sejalan. Keinginan untuk menarik sang omega ke dalam dekapannya dan memeluknya erat ternyata tidak sejalan dengan otaknya yang lebih memilih untuk berdiam diri. Hingga membuat pertemuan pertama mereka setelah kepulangan dari rumah sakit itu diawali dengan aksi saling diam. Ia menoleh, memperhatikan wajah sang omega yang nyatanya sulit untuk dimengerti. Terlihat tenang atau malah acuh, tapi terbesit gurat harapan dari bagaimana mata itu menatap lurus ke depan.

 

Begitu rumit hingga rasanya Jayson ingin mengubur dirinya saja karena terlalu bingung. Sang dominan terus memberikan dorongan untuknya, tapi disisi lain hatinya dipenuhi kegelisahan yang sulit untuk dihilangkan. Konflik internal yang terjadi membuat kepalanya terasa ingin pecah. Ia ingin menyerah saja tetapi lagi-lagi raungan tidak setuju sang dominan membuat ia mengurungkan niatnya.

 

Sampai beberapa saat yang membingungkan, Jayson akhirnya memberanikan diri dan melupakan sejenak ketakutan dan kegelisahannya. Ia menoleh dan kembali mendapati sang omega yang masih setia menatap lurus ke depan. Bilah bibirnya terbuka bersama dengan panggilan yang ia layangkan untuk omega tersebut.

 

Matanya terpejam sebelum rangkaian kata yang sejak tadi ia susun tersampaikan walau dengan suara yang lemah dan hati yang dipenuhi kegelisahan.

 

Selama beberapa menit ia menyampaikan semua yang sejak lama ingin ia katakan. Kata maaf pun berulang kali diucapkan tetapi hingga pengakuannya berakhir, sang omega tetap bersikeras pada keterdiamannya. Ia ingin menangis saja ketika omega tersebut tidak mengatakan apa pun selain menyuruhnya pulang. Sang dominan menjerit kala rasa sakit menghantam perasaannya. Diabaikan bukanlah hal baru untuknya, tapi kenapa pengabaian hari itu seperti tamparan keras yang cukup membuat dirinya semakin sadar jika ia telah terlalu jauh menyakiti hati sang omega.

 

Sampai pertanyaan tidak bertuan yang membuat hati dan dominannya meraung sedih kembali memenuhi pikirannya.

 

Apakah ia pantas bersanding dengan mate-nya sendiri setelah pengkhianatan yang ia lakukan?

 

Apakah Selene begitu murka atas pengkhianatan yang ia lakukan hingga membuat dirinya harus merasakan kesakitan atas takdir yang ia miliki sendiri?

 

 

*    *   *   *

 

 

Setelah pertemuan singkat mereka, Jayson semakin tidak bisa merasakan ketenangan. Pikiran dan hatinya selalu dipenuhi dengan ketakutan dan kecemasan. Dirinya selalu berprasangka hingga membuat jantungnya berdenyut menyakitkan. Dominannya pun malah memperburuk keadaannya dengan kekacauan yang dirasakannya. Membuat pikirannya meliar bersamaan dengan ketidaknyamanan yang tubuhnya rasakan.

 

Pernyataan singkat sang omega saat itu terus terngiang olehnya. Bagaikan sebuah film yang berputar tanpa henti di pikirannya. Ingin dihentikan tetapi ia tidak mampu melakukannya.

 

Apakah ini hukuman lain yang Selene berikan?

 

Sungguh, ia ingin berakhir. Dirinya tidak sanggup lagi dengan beban psikis yang setiap harinya hanya membuat sesak.

 

Katakan dirinya pengecut dan lemah. Jayson tidak peduli karena kenyataannya memang begitu. Ia sudah menyerah dengan keadaannya. Ia berani bermain dengan api tapi tidak sanggup menanggung akibatnya.

 

“Jayson.”

 

Panggilan itu berhasil mengembalikan Jayson dari dalam pikirannya yang rumit. Ia mengangkat kepala dan membawa pandangannya pada pemilik suara yang tengah memperhatikan dirinya.

 

“Kau bilang Chaerin memintamu datang bukan? Lalu bagaimana sekarang?”

 

Jayson menghela pelan. “Aku tidak tahu bang. Chaerin tidak merespon apa pun. Aku bingung.” Keluhnya dengan mengusap wajah kasar.

 

Sosok yang ia panggil itu lantas menepuk pundaknya pelan. Memberikan senyum kecilnya.

 

“Aku tahu bagaimana adikku Jay. Berikan dia waktu dan kau akan tahu jawabannya.”

 

“Bang..” Panggilnya merengek. “Tapi bagaimana jika Chaerin tetap menolaknya? Aku tidak masalah jika ia tidak ingin bersamaku, tapi aku tidak mau jika dirinya yang menerima segala kesakitan atas penolakan itu. Aku yang salah. Aku yang telah berkhianat. Karena itu biarkan aku yang merasakan sakitnya.”

 

“Jayson, percayalah. Mendengar jika Chaerin meminta bertemu dan memberikanmu kesempatan untuk menjelaskan adalah hal yang sangat baik. Itu berarti Chaerin mulai mau berdamai dengan ego dan amarahnya. Berikan ia sedikit waktu untuk berpikir dan menenangkan dirinya.”

 

Jayson mengangkat kepalanya yang semula tertunduk. Ia memperhatikan bagaimana sosok alpha yang merupakan kakak sepupu Chaerin itu melihatnya dengan tatapan penuh pengertian. Jayson sangat senang. Ia tidak menyangka jika Yunga akan kembali memberikan dukungannya setelah menentang keberadaannya. Sungguh Selene masih begitu baik untuk dirinya yang kotor dan jahat itu.

 

“Bang, kau mendukungku? Kau sudah tidak marah padaku?”

 

Yunga menghela kasar. Ia membawa tubuhnya bersandar dan matanya menatap pada langit-langit.

 

“Aku masih marah padamu. Tapi kakek dan ayah memberiku pengertian, dan aku juga begitu menyayangi Chaerin. Aku akan melakukan apa pun untuk kebahagiaannya, dan yang seperti kakek katakan, apa pun yang terjadi kebahagiaan Chaerin adalah dirimu dan begitu sebaliknya.”

 

Mendengarnya membuat seulas senyum merekah di bibir Jayson. Alpha itu merasa sedikit lega karena salah satu masalah yang ia hadapi sudah menemukan titik terang. Tapi rasanya tidak bisa dibandingkan dengan masalah utama yang sampai saat itu belum juga terselesaikan. Ia masih dibelenggu dengan penyesalan dan akan terus menyesal jika mate-nya lebih memilih untuk menyakitkan diri dibandingkan memaafkannya.

 

Pikiran Jayson kembali terusik kala dering ponsel terdengar. Benda pipih itu berdering dan bergetar dari dalam saku jasnya yang langsung dirogoh. Dahinya mengernyit ditambah gelenyar aneh saat layar benda itu menampilkan sebuah nama yang tidak ia duga. Ia sempat melirik Yunga sekilas sebelum membawa benda itu mendekat pada telinga.

 

Hallo..”

 

Hembusan napas berat serta erangan kecil menyambut gendang telinganya. Menggiring gelenyar yang Jayson rasakan pada sebuah kecemasan yang membuat tubuhnya menegang.

 

Chaerin ada apa? Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja kan?

 

Mendengar nama Chaerin disebut Jayson dengan cemas membuat atensi Yunga mengarah pada sang sahabat. Alisnya menukik dan jantungnya berdetak tidak kalah cepat dari Jayson. Rasa cemas pun mulai melanda ketika melihat Jayson berdiri dengan wajah yang diselimuti ketakutan.

 

Chaerin tenang, aku akan segera datang.

 

Jayson mengakhiri panggilan tersebut. Matanya berubah merah bersama rasa sakit yang mulai menyerang lambangnya, tidak terlalu menyakitkan tetapi cukup membuat dominannya terjerat temperamen.

 

“Jayson ada apa?”

 

“Sepertinya heat Chaerin datang. Aku harus segera menemuinya.” Kata Jayson cepat sebelum membawa langkah kakinya pergi meninggalkan Yunga yang hanya mampu berdoa untuk sang adik tercinta.

 

Jayson memasuki mobilnya dengan perasaan yang sangat kacau. Dominannya pun juga sudah mengaung marah saat hawa panas mulai merambat tubuhnya, walau tidak akan separah yang dirasakan Chaerin. Mempercepat laju mobilnya dan berharap jika ia bisa sampai secepat mungkin. Ia tidak ingin membuat mate-nya berada pada kesakitan terlalu lama. Ia harus segera sampai dan membantu Chaerin untuk menyelesaikan heat-nya. Sisi protektif dari dominannya terus menyuarakan untuk segera menyelamatkan mate-nya yang tengah berjuang melawan hasratnya.

 

Dibalik kegelisahan dan kecemasan yang tengah melanda, Jayson merasakan kehangatan menjalar hatinya serta kelegaan yang mulai mengurai rasa sesak di dadanya. Panggilan Chaerin begitu berarti untuknya. Hanya satu kata yang dilontarkan Chaerin tetapi mampu membuat harapan tumbuh dalam diri Jayson. Semoga saja Selene tidak lagi menghukumnya. Semoga saja ini adalah akhir dari kemarahan Selene. Dan semoga saja setelah ini kebahagiaan sudi untuk menyapa hidupnya.

 

Jayson terus berdoa dan berharap. Setidaknya hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang ini. Karena bagaimanapun, dirinya tidak tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Akan berakhir dimana takdirnya. Apakah kesalahannya akan termaafkan atau tidak. Semuanya tergantung pada Selene dan tentunya penerimaan mate-nya.

 

Jayson segera keluar dari mobil setelah memarkirkannya. Ia berjalan cepat menuju pintu utama dan menekan bel. Ia berjalan bolak-balik –gelisah– di depan pintu, menunggu seseorang di dalam sana membukanya. Saat pintu terbuka, ia segera menanyakan keberadaan Chaerin. Ketika dipersilahkan Jayson segera melesat pergi menuju lantai dua rumah keluarga Min. Ia berlari menaiki anak tangga menuju salah satu pintu yang berada di ujung lorong. Dengan tidak sabaran ia langsung membuka pintu itu ketika ia telah sampai di depannya.

 

Saat pintu terbuka, matanya menyorot tajam pada Chaerin yang tengah mengerang di atas ranjangnya. Peluh telah memenuhi dahinya, kulit putihnya telah berubah merah, dan jangan lupakan pakaiannya yang tersingkap akibat ulah tangan omega itu.

 

Melihatnya membuat hatinya berdenyut aneh, antara tidak tega dan gairah yang bersatu.

 

Maka dengan keyakinan yang dimiliki, Jayson berjalan mendekat setelah memastikan pintu kamar Chaerin telah terkunci. Tangannya bergerak menyentuh dahi Chaerin yang berhasil membuat omega itu tersentak dalam usahanya menahan hasrat seksualnya. Pandangan mereka pun bertemu. Ada buncah aneh yang Jayson rasakan saat melihat Chaerin yang menatapnya dengan pandangan sayu yang berbalut gairah.

 

“Ja-Jayson..”

 

Jayson menggerakkan tangannya pada pipi Chaerin, menyentuh dan mengusapnya dengan ringan. Menimbulkan afeksi yang membuat Chaerin memejamkan mata dan semakin menekankan pipinya pada telapak tangan Jayson.

 

“Tolong..” Lirihnya nyaris berbisik. Beruntung Jayson masih dapat mendengarnya.

 

Saat satu kata itu mengalun ke dalam telinganya, Jayson mulai kehilangan kendali atas dirinya. Dominannya mulai menguasai hingga hasratnya kian bertambah besar. Kabut gairah mulai terlihat dari pancaran mata Jayson.

 

Omega itu terlihat lemah dengan hawa panas yang menguar bersama feromonnya. Tangannya tak henti bergerak, menyentuh tubuhnya sendiri untuk mendapatkan pelampiasaan atas hasrat yang tidak kunjung dapat disalurkan. Erangan kecil bersama peluh semakin menambahkan kesan yang membuat dominan Jayson membuas. Ditambah terhubungnya kembali dominannya dengan dominan omega itu, yang mempermudah Jayson untuk mengetahui apa yang tengah dirasakan Chaerin.

 

“Chaerin..” Bisik Jayson tepat ditelinga Chaerin. Suaranya yang berat berhasil membuat tubuh Chaerin semakin menggelinjang dalam setiap sentuhan tangannya sendiri. Ini baru bagi Chaerin. Sebelumnya tidak pernah ia merasakan afeksi yang sebesar ini, bahkan saat Jayson pertama kali menandainya.

 

Ia memaksakan matanya untuk terbuka. Menubrukkan onyx-nya pada obsidian gelap Jayson. Ia berusaha menyelami diri alpha tersebut tetapi hasratnya telah memonopoli dirinya. Membuat dirinya melenguh saat tangannya menyentuh salah satu titik sensitifnya yang langsung dihentikan oleh Jayson.

 

“Jangan lakukan itu, aku yang akan melakukannya.” Ujarnya dengan sengaja mengembuskan napas pada perpotongan leher Chaerin dimana lambangnya berada. Menghidu feromonnya sebelum menenggelamkan wajahnya di sana.

 

Sementara bibirnya sibuk mengecup di sana, tangannya tidak tinggal diam. Jemari dinginnya mulai bergerak menyentuh tubuh Chaerin yang hanya bisa meremas seprai sebagai pelampiasan dari sensasi liar yang tengah dirasakan. Dimulai dari punggung tangan, lengan, pundak, pipi, pinggang, hingga berhenti pada bagian tubuh yang beberapa saat lalu Chaerin sentuh dengan kasar. Jayson menyentuhnya pelan sebelum tangan besarnya memberikan tekanan bersamaan dengan sesasapannya pada area leher yang membuat Chaerin mengerang atas sentuhan yang ia dapatkan.

 

Mendengarnya membuat seringai muncul di bibir Jayson. Dominannya ikut menggila atas euforia yang dirasakan. Gairahnya bertambah saat tangannya semakin liar menyentuh area sensitif itu dan merasakan bagaimana kenyalnya bagian tubuh itu.

 

Perlahan tangannya mulai bergerak menyentuh ujung pakaian Chaerin. Menariknya sembari menyentuhkan jemarinya pada permukaan kulit Chaerin yang terbuka karena pakaiannya mulai ditanggalkan. Sementara bibirnya tidak tinggal diam. Setelah meninggalkan beberapa tanda di sekitar leher, bibir tebal itu mulai menyesap dan melumat bibir merah Chaerin. Membuat erangan kembali  lolos saat tangan Jayson kembali menyapa titik sensitifnya yang sudah tidak terlapiskan apapun dengan remasan yang semakin meningkatkan hasrat seksualnya.

 

Maka dengan sisa kesadaran yang menipis, Chaerin memutuskan untuk berdamai dengan egonya. Bukan karena sebuah pelampiasan seksual yang tengah dirinya dapatkan. Namun karena reaksi dominannya yang ternyata begitu mendamba pasangannya. Tidak ingin munafik jika ternyata ia sendiri juga merasakan kenyamanan pada keberadaan Jayson, atau bolehkah jika Chaerin mengatakan jika dia merasa membutuhkan eksistensi Jayson di dekatnya –walau sedikit terlambat.

 

Memejamkan mata, Chaerin akhirnya membiarkan hatinya berlabuh pada takdir yang telah ditetapkan. Membiarkan dirinya terbang bersama kegembiraan sang dominan karena penerimaannya atas mate-nya. Melebur pada setiap sentuhan yang ia terima hingga angkara yang selama ini dirasakan tergantikan oleh kehangatan atas rasa dimiliki yang membuncah.

 

Perlahan Chaerin membuka matanya. Ia ingin merekam apa yang tengah terjadi untuk menggantikan seluruh ingatan buruk antara dirinya dengan Jayson. Sampai tangannya bergerak menyentuh kepala Jayson yang tengah berusaha membawa diri mereka untuk menembus langit tertinggi. Sentuhan ringannya membawa tatapan mereka kembali bertemu. Terlihat gurat bahagia yang dipancarkan Jayson hingga tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyum yang tulus ia berikan untuk sosok alpha yang tengah menggagahinya.

 

Chaerin tidak ingin menutup matanya sekali pun desakan yang ia terima di bawah begitu kuat. Belum lagi dengan tubuh bagian bawahnya yang mulai menegang bersama dengan hentakan yang semakin kencang. Ia masih ingin menatap Jayson yang juga tidak memutus kontak mata mereka. Hingga tubuhnya mengejang bersamaan dengan pelepasannya yang terjadi begitu dahsyat. Chaerin masih berusaha untuk menyaksikan setiap detik terbaik dalam hidupnya. Tidak lama setelahnya rasa hangat ia rasakan di dalam sana bersama dengan erangan berat yang lolos dari bibir Jayson.

 

Keduanya sama-sama terengah. Jayson lantas menjatuhkan kepalanya di ceruk leher Chaerin. Hidungnya menghirup dengan rakus feromon sang omega. Sementara Chaerin masih terus menggerakkan tangannya di atas rambut Jayson. Sebuah kecupan dilayangkan Jayson tepat di atas permukaan lambang Chaerin yang telah terbentuk sempurna walau masih menghitam. Dengan sisa tenaganya, Jayson mengangkat sedikit tubuhnya untuk menatap Chaerin dan menjadikan kedua lengannya sebagai sanggahan.

 

“Terima kasih, dan maaf atas penolakan yang sudah aku lakukan.” Chaerin menarik napas dengan mata yang terpejam. Keputusan yang sulit telah diambilnya dan sekarang ia hanya perlu memberitahukannya pada Jayson.

 

Saat matanya kembali dibuka, ia menemukan bagaimana Jayson menatapnya dengan penuh kasih sayang. Saat itulah dirinya semakin yakin jika memang Selene tidak pernah salah dan apa yang akan ia katakan selanjutnya tidak akan menimbulkan kesakitan lagi untuknya.

 

“Mari mulai dari awal dan lupakan apa yang telah terjadi dimasa lalu.”



T . B . C





Comments

Popular Posts