No Longer Chapter 2


 


.


.


.



Bia masuk ke dalam rumah dalam keadaan setengah nasah. Kulitnya memucat dengan tubuh yang sedikit bergetar. Usahanya untuk menghangatkan tubuh dengan mengusap kedua tangannya sama sekali tidak berhasil. Ia tetap merasa dingin setelah terkena hujan.

 

“Ia, kamu dari mana aja?” Helen menghampiri dengan cemas.

 

“Kok basah sayang?” Tanyanya lagi dengan khawatir. Ia memegang tubuh Bia yang masih berbalut seragam itu dan mengecek keadaannya.

 

“Cio pulang sama siapa?”

 

Bukannya menjawab pertanyaan Helen, Bia malah balik bertanya.

 

“Dijemput papah mamah, ini kita baru aja sampe.”

 

“Yang nyetir Pak Ardhi?”

 

Cio mengangguk. “Iya.”

 

“Ini yang mamah bilang aku bisa dianter jemput sama Pak Ardhi sedangkan Cio dibeliin motor. Kalian aja jemput Cio disupirin Par Ardhi sampe lupa kalau masih ada aku yang belum pulang. Kalian sadarkan kalau sekarang ini musim hujan, kenapa enggak papah aja yang nyetir biar aku bisa dijemput Pak Ardhi?”

 

Pertanyaan itu membuat Helen tersentak. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.

 

“Sayang, maafin papah. Papah lupa kalau Pak Ardhi yang jemput kamu.”

 

“Iya maafin mamah juga. Karena mamah terlalu semangat jemput adik kamu, sampe mamah lupa untuk jemput kamu.”

 

“Terserah, aku udah enggak peduli lagi kalian mau inget aku atau enggak. Udah ya aku mau istirahat, aku juga mau belajar soalnya besok masih ada ujian.”

 

Tanpa memberikan kesempatan untuk kedua orang tuanya mengatakan sesuatu, Bia telah lebih dulu melanjutkan langkahnya menuju kamar. Namun saat dipijakan pertama anak tangga, ia sempat memutar tubuhnya untuk melihat pada Cio.

 

“Enak ya jadi lo, enggak pernah dilupain dan semua yang lo mau pasti dikasih sama papah dan mamah.” Ujarnya sinis membuat Cio yang duduk lantas langsung berdiri dan berniat untuk menghampiri Bia, tetapi Bia telah lebih dulu berlari pergi meninggalkan keluarganya dengan sejuta rasa sesal.

 

“Pah..” Helen berucap lirih.

 

“Nanti kita bicara lagi sama Bia.” Gaver merangkul Helen dan membawanya untuk kembali duduk. Sementara Axio masih menatap kepergian Bia dengan mulut yang terkunci rapat.

 

Bia buru-buru memasuki kamar mandi dengan membawa pakaian bersih dan handuk. Ia perlu membilas tubuhnya dengan air hangat untuk mengurangi rasa dingin yang menyerang hingga ke tulang. Air hangat itu ia biarkan mengalir dari ujung kepalanya hingga kaki. Mengusapkan keseluruh tubuh bersama dengan sabun dan shampoo.

 

Setelah merasa cukup, Bia segera keluar dengan pakaian tidur yang menutupi seluruh badannya. Ia duduk di atas kasur dan hendak mengerinkan rambutnya dengan handuk. Namun pergerakannya terhenti saat ada tangan yang mengambil handuk itu.

 

“Mitéra..” Bia berucap dengan lengkungan lebar di bibir.

 

“Anak cantik kenapa baru pulang?”

 

Bia tidak menjawab, dia malah melingkarkan tangannya pada pinggang mitéra dan menempelkan kepalanya pada perut wanita itu.

 

“Kalau kamu peluk mitéra, kapan rambut kamu bisa kering sayang. Ayo duduk di kursi belajar kamu, mitéra tau kamu masih harus belajar buat ujian besok kan.”

 

Bia hanya terkekeh kecil lalu mengikuti ucapan mitéra. Dia duduk di kursi belajarnya sambil membuka buku pelajarannya. Sedangkan sosok mitéra mulai mengeringkan rambut Bia dengan handuk yang ia pegang. Perlahan ia mengusapkan handuk itu pada helaian hitam legam rambut Bia hingga setengah kering, lalu ia menggantinya dengan hairdryer yang berada di rak  di sebelah meja belajar untuk mengeringkan rambut Bia secara keseluruhan.

 

“Mitéra, besok kan hari terakhir. Aku boleh pergi main arcade?” Tanyanya saat mitéra tengah merapihkan kembali peralatan kecantikan miliknya.

 

“Kamu mau pergi sama siapa?”

 

“Sendiri aja. Aku mau me time.”

 

“Boleh, tapi pulangnya jangan malem-malem ya.”

 

Ok mitéra.” Jawabnya dengan penuh semangat. Lalu Bia kembali fokus pada buku pelajarannya yang membuat mitéra tersenyum melihat tingkanya. Setelah selesai, mitéra berlalu menuju kasur sambil mengusap pelan puncak kepala Bia untuk menungguinya.

 

“Mitéra jangan pergi.”

 

“Enggak, mitéra nunggu kamu di sini. Oh iya, kamu udah makan?”

 

Bia menggeleng tanpa mengalihkan matanya dari buku di meja.

 

“Kenapa enggak makan dulu?”

 

“Tadi aku pulang udah kedinginan, jadinya langsung buru-buru ke kamar dan sekarang langsung belajar.”

 

Terdengar helaan dari mitéra, sebelum akhirnya wanita itu bangkit dari duduknya dan kembali menghampiri Bia di mejanya.

 

“Ini, kamu makan roti dan minum susunya. Mitéra enggak mau kamu sakit karena telat makan. Ini juga ada cokelat biar kamu enggak stress.”

 

Bia menatap mitéra dengan mata yang berbinar.

 

“Mitéra yang cantik dan baik, makasih yaa.. aku sayang banget sama mitéra.”

 

Wanita itu lantas mengusap kedua pipi Bia dengan penuh kasih sayang.

 

“Yaudah kamu belajar sambil dimakan makanannya. Kalau mau minum air putih, itu ada di nakas.”

 

“Ehh.. mitéra mau kemana? Mitéra enggak pergi kan?”

 

“Enggak, mitéra enggak pergi. Mitéra akan nungguin kamu sampai selesai abis itu nemenin kamu dan meluk kamu sampai tidur. Mitéra mau duduk lagi di kasur.”

 

Bia pun mengangguk lalu kembali melanjutkan belajarnya. Kehadiran mitéra telah berhasil membuatnya lupa akan rasa kecewa yang kembali ia dapatkan dari orang tuanya sendiri. Saat ini bagi seorang Bia, mitéra adalah segalanya. Mitéra bisa memberikannya kesempatan untuk merasakan figur ayah dan ibu yang tidak bisa ia rasakan dari papah dan mamahnya sendiri.

 

Setelah berkutat cukup lama dengan buku pelajarannya, akhirnya Bia memutuskan untuk menyudahi kegiatan belajarnya disaat jam di dinding telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia merapihkan buku-bukunya dan memasukkan beberapa keperluan untuk besok ke dalam tas sekolah. Setelah itu dia bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan gigi dan mencuci mukanya.

 

“Mitéra..” Panggil Bia dari depan pintu kamar mandi setelah selesai mengeringkan wajahnya.

 

“Udah selesai? Sini..”

 

Mitéra menepuk sisi kasur di sebelahnya untuk ditempati Bia. Dengan langkah pelan, Bia menghampiri mitéra dan membaringkan tubuhnya di samping wanita itu.

 

“Gimana hari ini?” Tanay mitéra sembari memberikan usapan di kepala Bia.

 

“Aku bisa ngerjain soalnya mitéra, karena semalem ada mitéra jadinya aku enggak kebingungan pas belajar.”

 

Mitéra pun tersenyum mendengar jawaban itu. Masih mengusap surai Bia, mitéra kembali menanyakan keseharian Bia dihari itu. Ini adalah hal yang sudah menjadi kegiatan rutin mereka. Setiap malam sebelum tidur akan ada waktu untuk Bia menceritakan harinya yang akan ditanggapi oleh mitéra.

 

“Terus nanti pas pengumuman kelulusan, kamu mau ngapain?”

 

Bia tampak berpikir. Dia mencoba mencari tahu apa yang ia inginkan.

 

“Aku enggak punya keinginan tertentu, tapi kayaknya aku mau makan cake bareng mitéra aja. Nanti pas pulang dari sekolah aku beli cake-nya, terus kita makan bareng di sini. Nanti kita potong kuenya barengan, aku pegang pisaunya terus mitéra pegang tangan aku. Terus nanti kita saling suap-suapan.” Terang Bia dengan mata yang kembali berbinar.

 

“Terus kamu mau beli cake apa?”

 

Cheesecake atau matcha cake?”

 

“Kenapa enggak beli matcha cheesecake kan kamu suka dua-duanya, biar enggak bingung. Di toko yang sering kamu datengin jual matcha cheesecake kan?”

 

Bia pun mengangguk.

 

“Beli itu aja, biar kamu enggak usah galau kayak gini.”

 

Ok mitéra. Mitéra emang paling bisa diandelin. Aku makin sayang sama mitéra.”

 

“Mitéra juga sayang banget sama anak cantik dan pinter ini.” Ujarnya lalu mengecup kening Bia dengan penuh kasih sayang.

 

“Udah sekarang kamu tidur biar besok enggak terlambat.”

 

Lagi-lagi, Bia menganggukkan kepalanya. Lalu matanya pun dipejamkan dengan tangan yang kembali melingkari pinggang mitéra. Merasakan rasa hangat dari usapan yang diberikan mitéra sebelum benar-benar terlelap dalam alam mimpinya.



T . B . C



- DF -

Comments

Popular Posts