No Longer Chapter 3
.
.
.
Beberapa bulan berlalu dan Bia
telah dinyatakan lulus dari sekolahnya dengan predikat siswa terbaik. Ia begitu
senang dengan semua pencapainnya hingga saat itu. Ia tidak bisa menampik jika
apa yang telah ia dapatkan selain atas usahanya juga tidak lepas dari dukungan
sosok wanita yang selalu meneman Bia selama ini. Wanita yang telah berhasil
menemani Bia ketika merasa sepi dan seorang diri. Wanita yang berhasil membuat
Bia merasa dihargai akan paras dan kemampuan otaknya.
Mitéra.
Wanita yang hadir bak malaikat
untuk Bia. Wanita yang begitu Bia sayangi bahkan melebihi mamahnya sendiri.
Wanita yang berhasil memberikan perhatian dan kasih sayang yang selama ini Bia
cari.
“Bia..”
Panggilan itu membuat Bia yang
tengah gelisah menatap layar laptopnya behenti sejenak untuk melihat keberadaan
pemilik suara itu.
“Mamah boleh masuk?”
Bia hanya mengangguk singkat.
Kemudian ia kembali memfokuskan atensinya pada layar datar di depannya.
“Kamu lagi apa?”
“Nunggu pengumuman penerimaan
mahasiswa baru.”
“Oh hari ini ya? Mau mamah temenin?”
“Enggak usah mah, Ia bisa
sendiri.”
Mendapat penolakan dari Bia
membuat rasa kecewa bercampur sedih itu mencuat di hatinya. Helen tidak bisa
membohongi diri jika ia telah abai dalam memperhatikan Bia, hingga akhirnya
anak itu tumbuh dan menjauh darinya.
“Beneran? Emang kamu enggak mau
mamah temenin?”
Bia menggeleng singkat.
“Aku udah biasa sendiri. Mamah
juga nanti bosen nungguin aku.”
“Enggak sayang, mamah enggak
bosen kok. Mamah temenin ya?”
Sekali lagi, gelengan kepala
menjadi jawaban atas permintaan Helen. Namun kali ini gelengan itu terlihat
lebih tegas dibandingkan sebelumnya.
“Enggak usah mah, makasih.”
Helen yang sudah mendapatkan
penolakan untuk kedua kalinya hanya mampu menghela dengan berat. Ia menatap
sang anak yang sama sekali tidak melihatnya dalam diam. Ia memperhatikan Bia
hingga tangannya tanpa sadar terulur untuk mengusap puncak kepala Bia.
“Mamah sayang sama Ia..”
Tidak ada jawaban. Bia hanya
fokus pada layar laptop dan juga jam duduk di sisi kirinya.
“Kalau gitu mamah keluar dulu
ya.”
Bia hanya mengangguk tanpa
berniat mengalihkan pandangannya dari layar datar itu. Hal itu membuat Helen
tanpa sadar menitihkan air mata. Sebelum benar-benar pergi, dia mengecup
singkat puncak kepala Bia dengan perasaan yang berat. Dalam hati, Helen terus
mengucapkan kata maaf kepada sang anak sulung.
Kepergian Helen sama sekali tidak
mengubah Bia. Dia masih pada posisi awal dengan kekhawatiran yang tidak
berkurang. Bahkan usapan dan kecupan yang ia terima tidak juga memberikan efek
apa pun kepadanya. Bia hanya bisa merasa hampa dengan kehadiran Helen.
Menunggu waktu pengumuman dengan
harap-harap cemas itu begitu menyiksanya. Bia ingin sekali merebahkan tubuhnya
yang pegal tetapi pikirannya tidak mengizinkan. Dia tidak mau telat satu detik
saja untuk mengetahui nasibnya. Namun dengan rasa takut, khawatir, ditambah
debaran jantung yang begitu hebat sungguh telah menguras tenaga Bia. Dia lelah.
Mau tidak mau, Bia akhirnya
merebahkan kepala ke atas meja.
Jemarinya tidak berhenti mengetuk meja itu untuk menimbulkan suara yang dapat
menyamarkan suara debaran jantungnya. Masih ada beberapa menit untuk jam
pengumuman, dan beberapa menit itu terasa seperti beberapa jam bagi Bia.
“Sayang..”
Panggilan dan usapan lembut di
kepalanya membuat Bia langsung kembali duduk tegap. Matanya langsung berbinar
begitu melihat siapa pemilik tangan yang masih berada di puncak kepalanya itu.
“Mitéra..” Ia berseru senang dan
dalam hitungan detik langsung menempelkan kepalanya pada perut mitéra
dengan tangan yang melingkar di sana.
“Gimana hasilnya?”
Dalam pelukan itu, Bia menggeleng
singkat.
“Belum, masih ada beberapa menit
lagi. Aku juga udah coba refresh lamannya.”
“Yaudah kamu yang tenang ya. Mitéra
yakin kamu pasti dapet kabar baik itu.”
“Semoga mitéra.”
Sosok mitéra sama sekali tidak
melepaskan pelukan Bia dari pinggangnya. Ia juga tetap mengusap puncak kepala
Bia, karena ia tahu jika Bia sedang risau. Dan mitéra tahu jika yang Bia butuhkan
adalah pelukan untuk meredakan semua ketakutan dan kekhawatirannya.
Tidak berselang lama, ponsel Bia
berdering dan dengan terburu Bia melepaskan pelukannya untuk langsung kembali
menghadap laptopnya.
“Mitéra temenin aku, satu menit
lagi pengumumannya.”
Sosok mitéra hanya mengangguk. Dia juga
tetap berdiri di samping Bia dengan tangan yang tidak henti mengusap surai
panjang Bia.
“Tenang sayang, jari kamu jangan
gemetar seperti itu.”
Bia tidak menjawabnya karena
memang sulit untuk mengendalikan getaran jarinya. Dia begitu takut dan khawatir
dengan hasil yang akan dirinya ketahui.
“Mitéra, ini aku teken ya..”
Gumaman dari mitéra
menjadi tanda untuk jemari gemetar itu menekan tombol result setelah
beberapa data terisi. Bia langsung menutup matanya karena begitu takut untuk
melihat hasil dari segala usaha yang telah ia lakukan.
“Mitéra gimana?” Tanyanya setelah
beberapa saat berlalu. Dan Bia yakin, seharusnya hasilnya sudah muncul di layar.
“Kamu lihat sendiri dong..”
“Enggak mau mitéra,
takut.”
“Sayang, buka dulu matanya. Kamu
percaya kan sama mitéra?”
Masih dengan mata yang terpejam,
Bia menganggukan kepalanya.
“Kalau gitu buka ya, ayo..” Bujuk
mitéra.
Bia pun dengan perlahan
melepaskan tangannya yang menutupi mata kemudian membuka kelopak matanya
sedikit demi sedikit.
“Gimana? Kamu udah lihat kan?”
Bia tidak langsung menjawab. Dia
masih membaca dengan seksama apa yang tertera di layar laptopnya. Berulang kali
ia membaca itu, tetapi hasilnya masih tetap sama. Maka, ia pun menoleh dan
menemukan wajah mitéra yang terseyum penuh kebanggaan kepadanya.
“Selamat ya sayangnya mitéra,
kamu diterima.”
“Mitéra..”
Bukannya melompat, Bia malah
menangis di dalam pelukan mitéra. Rasa senangnya begitu besar sampai
tidak terbendung hingga tanpa sadar air matanya meluruh begitu saja.
“Aduh sayangnya mitéra,
jangan nangis dong. Nanti matanya perih.”
“Mitéra, aku lolos..” Ujarnya
dengan sesenggukan.
“Iya sayang, kamu berhasil. Selamat
ya..”
“Mitéra, aku seneng banget. Rasanya
aku enggak bisa berhenti nangis.”
“Sayangnya mitéra,
udah berhasil ya. Semua kerja keras dan usaha Ia selama ini sudah membuahkan
hasil. Tapi Ia harus inget, kalau Ia tidak boleh lengah. Ia harus tetap berusaha
untuk masa depan Ia. Ia ngertika maksud mitéra?”
Bia lagi-lagi hanya bisa
menganggukkan kepalanya saja. Dia tengah berusaha mati-matian untuk meredakan
tangis harunya.
“Semua berkat mitéra.
Makasih ya mitéra udah hadir dihidup Ia. Ia sayang banget sama mitéra.
Mitéra
jangan pernah tinggalin Ia ya..” Pintanya dengan penuh harap.
“Iya sayang, mitéra
akan selalu ada bersama Ia..” Balasnya dengan kedua sudut bibir yang tertarik
membentuk lengkungan manis.
T . B . C
- DF -
Comments
Post a Comment