No Longer Chapter 4
.
.
.
Langit gelap adalah teman
perjalanan Bia menuju ke rumah. Sejak awal dirinya sudah tahu jika ia akan
sampai ketika langit telah gelap dengan sejuta rasa lelah. Namun dia menikmati
rutinitas itu. Dia senang dengan padatnya jadwal sebagai mahasiswa, karena
seluruh waktu itu ia gunakan selain untuk perkuliahan juga untuk mengikuti
kegiatan mahasiswa yang menarik untuknya.
Saat perkenalan kampus, Bia
langsung tertarik dengan salah satu kegiatan mahasiswa MUN. Ia pikir kegiatan
itu sangat relevan dengan jurusannya. Ia juga berpikir jika akan ada banyak
pengalaman menarik yang akan dirinya lalui jika ikut serta dalam kegiatan
tersebut. Dan dugaannya benar. Selama mengikuti kegiatan MUN, selain
mendapatkan teman, ilmu, ia juga bisa menemukan peluang untuk pergi keluar.
Tidak hanya itu saja, Bia
benar-benar menggunakan masa kuliahnya untuk menyalurkan hobi yang tidak pernah
mendapat dukungan dari keluarga. Mulai dari keikutsertaannya pada olahraga lari
serta mengambil mata kuliah tambahan seni gambar. Semua hal itu yang akhirnya
membuat Bia harus berangkat pagi dan pulang malam. Beruntung ada Pak Ardhi yang
siap siaga untuk mengantar dan menjemputnya.
Namun setelah satu tahun berlalu,
Bia tidak lagi bersama dengan Pak Ardhi. Ia memutuskan meminta bantuan Altair
untuk mengantar jemputnya. Selain lebih mudah karena temannya itu fleksibel, ia
juga ingin membantu Altair karena laki-laki itu tengah mencari uang tambahan.
Altair tidak berasal dari keluarga dengan ekonomi rendah, hanya saja ia ingin
mulai mandiri dengan cara mencari uang sakunya sendiri. Karena itu akhirnya Bia
membuat kesepakatan dengan Altair hingga akhirnya sudah satu tahun berlangsung,
Altair mengantar dan menjemput Bia.
āThanks ya..ā Ujar Bia
sambil menyerahkan helm yang tadi ia pakai ke Altair.
āSip, gua balik ya.ā
Bia pun mengangguk lalu menunggu
hingga Altair pergi sebelum berjalan masuk. Namun langkah kakinya itu terhenti
begitu ia menyadari ada yang berbeda di garasi yang masih terbuka itu. Melihat
keberadaan benda itu, ia sama sekali tidak merasakan apa pun. Rasa marah, iri,
atau pun kecewa sudah tidak lagi dirasakan. Mungkinkah ia sudah mati rasa?
Mungkin saja. Karena lambat laun
hatinya akan lelah dengan semua rasa sakit yang keluarganya berikan.
Tidak mau terpikirkan hal yang
tidak ada gunanya, Bia kembali melangkah meninggalkan pekarangan rumahnya.
Masuk ke dalam dengan tubuh yang lelah dan keinginan untuk segera mandi dan
beristirahat. Ketika akan menaiki tangga, suara Axio yang memanggilnya
menghentikan gerak kakinya. Dengan malas, ia memutar tubuh dan melihat wajah
Axio dengan senyum yang mengembang dari kedua sudut bibirnya.
āKak, lo kalau pulang kampus
selalu malem kan?ā
Bia mengangguk malas.
āKalau gitu mulai besok, gua yang
akan jemput lo.ā
āThanks tapi gak usah. Gua
bareng temen gua.ā
āEnggak kak, sama gua aja. Tadi
papah baru beliin gua motor buat berangkat sekolah. Kan sekolah gua cuma sampe
sore, jadi gua bisa jemput lo. Jangan sama temen lo, nanti ngerepotin dia.ā
Terang Axio dengan antusias.
Namun senyum yang merekah itu
langsung memudar kala Bia menggeleng dengan penuh keyakinan.
āGua sama temen gua aja.ā
āKenapa kak?ā
Bahunya diangkat.
āEnggak mau aja.ā
āIa..ā Suara berat dari
belakangnya membuat Bia menoleh dan melihat Gaver yang sedang menuruni tangga.
āKalian ngapain di sini?ā
āAku tadi bilang mau jemput Kak
Ia soalnya papah udah beliin motor, tapi Kak Ia enggak mau karena bareng
temennya.ā
āBener kayak gitu?ā Tanya Gaver
yang telah berdiri di samping Bia.
Bia hanya mengangguk sekilas
tanpa berniat untuk membuka mulutnya.
āSama Cio aja ya Ia, kasian temen
kamu kalau harus nganterin kamu.ā
āEnggak usah, aku lebih suka sama
Altair. Setidaknya kita saling menguntungkan. Aku ada yang anter jemput, dia
juga bisa dapet uang tambahan.ā
āKamu nolak bukan karena marah
soal motor buat Cio kan?ā
āEnggak.ā Jawabnya dengan
gelengan singkat.
āLagian buat apa marah, toh kalau
aku marah juga enggak akan ngubah apa-apa. Kan yang kalian utamakan emang
selalu Cio.ā
āEnggak gitu sayang, kamu jangan
salah paham.ā
āIni bukan salah paham lagi pah,
tapi kenyataan.ā Bia menjeda ucapannya. Lalu terdengar helaan panjang dan berat
yang keluar dari mulutnya.
āUdah pah, aku tuh capek abis
dari kampus. Jangan buang waktu aku cuma untuk ngomongin kenyataan yang selalu
papah denail. Dan soal motor atau apa pun itu yang mau papah beli buat Cio,
terserah. Aku enggak peduli karena ujung-ujungnya juga yang aku omongin enggak
didenger kan.ā
Setelah mengatakan kalimat yang
membungkam Gaver, Bia langsung pergi meninggalkan keduanya di dasar tangga. Dia
pergi dengan membawa langkah beratnya serta meninggalkan rasa sedih dihati
Gaver.
Apakah sudah sebesar itu rasa
kecewa yang ia berikan untuk Bia sampai membuat anak perempuannya menjauhi
mereka? Sudah separah apa rasa sakit yang Bia rasakan atas sikap dan perlakuan
yang ia berikan?
Keesokan harinya sama seperti
hari sebelumnya, Bia telah rapih 15 menit sebelum Altair menjemputnya. Dengan
menyampirkan tas ke pundak serta tas kecil yang ia pegang, Bia keluar dari
kamarnya untuk mengambil sarapannya. Ia akan memakan roti dan sekotak susu di
teras agar ketika Altari datang dia bisa langsung menghampirinya dan berangkat
ke kampus.
Namun di pagi itu, ia tidak bisa
melakukan kebiasaannya itu karena Gaver memintanya untuk makan bersama di meja
makan. Mau tidak mau Bia mengikuti permintaan sang ayah. Dia duduk di kursinya
dan langsung menyuapi roti bakar dengan olesan selai kacang dan taburan keju
itu.
āIa..ā
Bia mengangkat pandangannya untuk
melihat Helen.
āMamah sama papah udah bicara
soal motornya Cio, papah nanti akan beli juga buat kamu. Biar kamu bisa pulang
dan pergi sendiri.ā
Mendengar itu membuat Bia yang
sedang meminum susu kotaknya meletakkan susu itu kembali ke atas meja. Dia
menatap bergantian Helen dan Gaver lalu menghela pelan.
āEnggak usah. Aku sama Altair
udah punya kesepakatan, jadi jangan rusak kesepakatan itu. Lagi pula buat apa
lagi kalian beliin aku motor, aku kan udah nemuin solusi untuk masalah itu.
Beli motor sekarang tuh udah enggak ada gunanya, cuma buang-buang uang papah.
Mending ditabung aja buat Cio, siapa tau Cio mau beli mobil kan.ā
āEnggak sayang, beliin kamu motor
enggak ngebuang uang papah. Papah cuma mau kamu sama kayak Cio, punya motor.
Enggak apa-apa, papah beliin aja ya.ā
Bia menelan sisa terakhir susu
dari kotaknya itu lalu mengambil tasnya dan kembali dikesampirkan di pundak.
āPapah sama mamah telat kalau
belinya sekarang. Kenapa enggak kepikiran pas kalian beliin Cio? Kenapa baru
mau beli setelah pembicaraan semalem?ā
Ia beranjak dari kursinya.
āUdah ya pah mah aku berangkat,
kayaknya sebentar lagi temen aku dateng. Dah..ā
Lalu dengan langkahnya yang
ringan, Bia pergi meninggalkan Gaver dan Helen begitu saja. Dia tidak mau tahu
dengan apa yang tengah kedua orang tuanya itu pikirkan setelah mendengar
penolakannya. Dia tidak peduli juga, toh mereka juga sejak dulu tidak pernah
peduli dengan perasaannya. Jadi buat apa ia terus menerus memikirkan orang
lain.
T . B . C
- DF -
Comments
Post a Comment