No Longer Chapter 5
.
.
.
Sudah menjadi kebiasaan Bia
membuat sketsa setelah kegiatan MUN-nya berakhir sambil menunggu Altair menjemputnya.
Dia tidak bosan, karena dengan menggambar rasanya waktu bergerak dengan cepat.
Dia selalu berhasil membuat sketsa kecil setiap kali menunggu Altair. Namun
kali ini dia memutuskan untuk menyelesaikan sebuah sketsa pemandangan sebuah
rumah yang sempat ia tunda penyelesaiannya.
“Nungguin ojek pribadi nih?”
“Jahat lo, gitu-gitu dia pinter
loh.”
Sosok yang baru saja bergabung
dengan Bia itu tekekeh sambil membuka buku sketsa milik Bia yang ada di
sampingnya.
“Ini siapa Ia?”
Bia kembali menoleh untuk melihat
siapa yang tengah ditanyakan kepadanya.
“Itu mitéra Nay.”
“Mitéra yang lo suka ceritain itu?”
Bia mengangguk.
“Mitéra itu orang luar ya? Mukanya
bukan kayak asia. Terus style bajunya emang gini atau lo aja yang gambar
kayak gini?”
“Emang gitu, mitéra
selalu berpenampilan kayak gitu.”
Mendengar jawaban Bia membuat
Kanaya terdiam sambil memperhatikan sketsa ditangannya. Dia pandangi secara
keseluruhan gambar itu. Namun tetap saja ia merasa aneh dengan sosok mitéra
yang telah digambar oleh temannya. Kenapa mitéra ini terlihat seperti bukan
sosok manusia pada umumnya. Bahkan dari gambar saja ia terlihat sangat berbeda,
seperti tokoh fiksi masa lalu.
“Ia, gua mau nanya lagi boleh?
Tapi kalau lo enggak mau jawab juga gapapa.”
Bia yang mendengar itu sejenak
menghentikan gerakan tangannya untuk melihat Kanaya. Lalu ia mengisyaratkan
Kanaya untuk melanjutkan ucapannya.
“Kalau boleh tau, lo ketemu sama
mitéra
dimana?”
Bia terdiam. Dalam diamnya, ia tengah
memikirkan apa yang harus dikatakan kepada Kanaya. Bukan karena Bia tidak tahu
jawabannya, hanya saja ia tidak berani memberikan jawabannya. Dia takut Kanaya
akan berpikir yang aneh tentangnya.
Melihat keraguan dari mata Bia,
Kanaya akhirnya berdeham sambil menutup kembali buku sketsa itu.
“Udah Ia, lupain aja. Gak usah lo
jawab.”
“Bukan gitu nay, gua cuma
bingung.”
Kanaya yang mendengar itu melihat
ke wajah Bia yang saat ini sedang membuka kembali buku sketsanya kehalaman
gambar mitéra.
“Kalau lo mau cerita, lo bisa
cerita ke gua. Gua janji enggak akan berpikiran buruk tentang apa pun itu.”
Ucap Kanaya yang berusaha meyakinkan Bia akan janjinya.
Selama beberapa detik yang
ganjil, Bia diam karena ia sedang bingung harus menceriatakn darimana kisahnya
dan mitéra.
Haruskan dari permasalahan keluarganya atau hanya dari saat pertemuan
pertamanya dengan mitéra hingga detik ini.
“Ia..”
Bia mengerjap pelan. Kepalanya
lalu menoleh untuk melihat Kanaya yang sedang menunggu jawabannya dengan sabar.
Melihat wajah tulus dan tidak menuntut itu, Bia akhirnya semakin yakin untuk
menceritakan apa yang selama ini hanya dirinya ketahui. Diawali dengan tarikan
napas panjang, akhirnya setiap kata pun terlontar dari bibir Bia. Terangkai
menjadi banyaknya kalimat yang membentuk sebuah cerita mengenai mitéra.
Selama Bia menceritakan kisahnya,
selama itu juga Kanaya mendengarkan tanpa menunjukkan tatapan offensive
terhadap ceritanya. Kanaya juga tidak menyelak ceritanya dan membiarkan Bia
untuk menyelesaikan apa yang selama ini ia sembunyikan dari orang lain.
“Gitu Nay…”
“Tunggu, jadi maksudnya gimana?”
Kanaya masih belum bisa mengerti
atau lebih tepatnya dia berusaha mencari keyakinan dari asumsi yang tengah
bermain liar dalam pikirannya.
“Pertanyaan pertama lo, ya
jawabannya gua enggak tau mitéra itu darimana. Gua ketemu dia di
kamar pas gua lagi ngerasa kecewa berat sama orang tua gua.”
Kanaya diam. Dari jawaban Bia, ia
ingin sekali menolak apa pun keyakinan Bia terkait sosok mitéra.
Namun Kanaya sangat yakin jika hal itu akan sulit karena hubungan Bia dan mitéra
sudah berlangsung begitu lama.
“Ia..”
Bia menatap Kanaya yang malah
terlihat khawatir. Jauh berbeda dengan pikirannya yang akan melihat wajah mengejek
saat ia mendengar ceritanya.
“Lo mau enggak ceritain ini ke
mamah gua?” Tawar Kanaya. Namun ia buru-buru menjelaskan maksud penawarannya
itu ketika timbul kerutan di dahi Bia.
“Maksud gua gini Ia. Jujur gua
bingung sama mitéra, tapi kalau inget cerita lo malah bikin gua makin
bingung.”
Kanaya mengambil tangan Bia untuk
ia genggam.
“Gua enggak berpikiran buruk
tentang lo setelah dengar ini. Gua ngajak lo ketemu mamah gua biar lo sendiri
tau alesan kenapa ada mitéra, karena lo sendiri pasti juga bingung kan kenapa mitéra
bisa selalu nemenin lo.”
“Tapi mamah lo-”
Kanaya menggeleng cepat.
“Iya, mamah gua psikiater. Tapi
bukan berarti kalau lo cerita ke mamah gua lo tuh orang gila Ia. Itu pikiran
orang lama soal profesi mamah gua. Tapi kenapa gua mau ngajak lo ketemu mamah,
biar kita tau terutama lo tau semua kebingungan yang lo alami saat ini. Siapa
tau mamah gua bisa bantu lo nemu jawaban dari kebingungan itu.”
Bia tidak langsung menanggapi
seluruh ucapan Kanaya, karena dalam dirinya tengah terjadi pergulatan besar
atas semua kalimat yang Kanaya ucapkan. Setengah dari dirinya menganggap jika
dia tidak perlu mendapatkan jawaban apa pun mengenai mitéra, tetapi setengahnya lagi
sangat ingin tahu atas kebingungannya selama ini. Bia sangat penasaran akan
sosok mitéra
yang telah memberinya limpahan kasih sayang.
“Ia..”
“Eh iya, Nay.” Bia mengerjapkan
matanya cepat. Lagi-lagi matanya menatap lurus tepat pada manik Kanaya yang
terlihat begitu khawatir kepadanya. Hingga untuk kesekian kalinya, Bia
mengembuskan napas beratnya.
“Ok, gua mau Nay.”
Mendengar jawaban itu membuat
Kanaya refleks memeluk tubuh Bia.
“Tenang Ia, lo enggak apa-apa
kok. Lo baik-baik aja, dan gua berharap setelah ini lo jauh lebih baik.”
“Makasih ya Nay, makasih banyak.
Lo orang kedua setelah mitéra yang ngertiin gua. Kita baru kenal tapi lo baik banget
sama gua. Makasih Nay.”
“Sama-sama Ia. Gua seneng bisa
kenal sama lo. Gua juga seneng bisa bantu lo. Ke depannya, kalau lo butuh
sesuatu lo temuin gua aja ya.”
Bia mengangguk. Tanpa bisa dicegah
setetes air bening jatuh bebas dari matanya. Bukan air mata kesedihan, tetapi
ini adalah air mata yang menunjukkan rasa leganya karena telah berhasil
menceritakan rahasia besarnya kepada orang lain. Bahkan orang itu dengan
baiknya mau membantu untuk menyelesaikan semua keresahan dan kebingungan yang
selama ini bercokol di hatinya.
T . B . C
- DF -
Comments
Post a Comment