No Longer Chapter 6
.
.
.
Sejak berpamitan dengan Kanaya
dan Dokter Adista, Bia tidak bisa berhenti memikirkan apa yang dikatakan ibu
temannya itu. Ia ingin menolak semua penjelasan yang dirinya dengar, tetapi
semua itu lagi-lagi diterima dengan baik oleh akal dan logikanya. Rasanya ia
ingin menangis sejadi-jadinya. Ia tidak bisa, jika kenyataan yang sebenarnya
adalah apa yang dikatakan oleh Dokter Adista.
Tidak. Bia tidak mau. Ia tidak
ingin kesepian lagi.
Memasuki rumahnya, Bia sudah
tidak kuat lagi menahan seluruh luapan emosi yang bersarang di hatinya. Tanpa
mempedulikan siapa pun, Bia langsung menaiki tangga dan mengunci dirinya di
kamar.
Kedatangan Bia dan perilaku
anehnya langsung menyita perhatian Axio yang sejak tadi tengah menonton siaran
sepak bola. Bahkan Helen yang berada di dapur juga tidak kalah terkejut dengan
kedatangan Bia. Dia ingin menyusul tetapi Gaver menahannya.
“Biar aku aja.”
Helen ingin menolak. Dia ingin menghampiri sendiri, tetapi
gelengan serta tatapan Gaver membuat Helen akhirnya menghela dan membiarkan
suaminya itu untuk menyusul Bia.
“Mah..” Panggil Axio yang kini
menghampiri Helen.
“Kak Ia kenapa nangis gitu ya
mah?”
“Mamah juga enggak tau sayang.
Kita tunggu papah ya..”
Axio mengangguk lalu mereka
kembali pada urusan masing-masing.
Di lain tempat, Bia sedang
berusaha dengan keras untuk menahan tangisnya agar tidak terlalu kencang. Namun
rasa takut yang begitu besar membuat tangis itu malah semakin keras dan
menyesakkan.
“Mitéra..” Panggilnya lirih. Namun
sosok wanita berpakaian klasik kuno itu tak datang.
Hal itu semakin membuat Bia
menangis hebat. Sesaknya juga semakin menyakitkan bahkan kini telinganya ikut
berdengung akibat mencoba meredam suara tangisnya sendiri.
Hingga sebuah ketukan di daun
pintu membuat Bia sedikit tersentak. Walau masih menangis, Bia berusaha untuk
menghentikan suaranya agar orang yang berada di depan pintunya tidak bisa mendengar
tangisnya.
“Boleh papah masuk?”
“A-Aku mau sendiri.”
“Papah khawatir, setidaknya biar
papah liat kamu dulu.”
“Pah, tolong sekali aja ngertiin
aku. Aku mau sendiri.” Jawabnya lagi, tapi kali ini lebih tegas dari
sebelumnya.
Mendengar penolakan itu membuat
Gaver hanya mampu menghela napasnya. Dia tidak berani untuk kembali memaksakan
keinginannya. Bisa-bisa Bia malah semakin tidak suka dengannya.
“Yasudah kalau gitu, papah ke
bawah lagi ya. Kalau kamu udah mau ketemu papah, kamu bisa panggil papah.”
Tidak ada jawaban, karena Bia
kembali menangis di atas bantal yang cukup berhasil meredam suaranya. Sementara
Gaver pergi meninggalkan Bia yang tidak ingin ditemui.
Selama rasa sakit dan kecewa yang
tengah mengungkung perasaannya, selama itu juga Bia terus meluruhkan air
matanya. Bahkan rasa perih dan lelah tidak membuat genangan itu berhenti
mengalir membasahi pipinya. Dia masih bertahan dengan tangisnya walau posisi
tubuhnya telah berubah.
Mitéra, setiap mengingat nama itu,
setiap kali itu juga ucapan dari Dokter Adista terus bermain liar dalam pikiran.
Setiap penjelasan yang ia terima rasanya bagai belati yang ditancapkan
setelahnya diputar hingga jantungnya terasa begitu sakit. Bagaimana bisa?
Bagaimana bisa mitéra
hanya khayalannya saja? Tidak mungkin bukan. Tidak mungkin sosok yang sudah
berhasil mengisi kekosongan peran orang tuanya itu hanya khayalan yang ia
hadirkan karena rasa kesepian yang begitu besar.
“Sosok itu tidak ada Bia, itu
hanya khayalan kamu.”
Bia tertegun mendengar jawaban
Adista.
“Maksudnya, gimana tante?”
“Mitéra,
dia adalah sosok yang kamu buat dalam pikiran kamu.”
Jawaban itu mebuat Bia
menunduk. Ia masih tidak paham kenapa mitéra adalah sosok khayalan. Itu
aneh. Tidak mungkin kan jika hanya khayalan tetapi bisa melakukan hal-hal
seperti manusia.
“Boleh tante jelasin?”
Permintaan itu membuat Bia
kembali mengangkat kepalanya. Dia mengamati wajah Adista hanya untuk melihat
keseriusan yang terpancar. Melihat itu, dengan ragu ia mengangguk.
Dengan senyum hangat, Adista
memulai penjelasannya sekaligus untuk memberitahukan kondisi Bia sekarang ini.
“Kamu pasti bingung kenapa mitéra
cuma khayalan kan? Itu karena kamu sedang mengalami maladaptive daydreaming.”
“Maladaptive daydreaming?” Beo
Bia.
Kepala Adista mengangguk.
“Singkatnya Bia, kamu selama
ini sedang berkhayal tapi kamu tidak sadar. Kamu terjebak dalam khayalan yang
kamu buat sampai kamu tidak bisa membedakan kehidupan asli kamu dan khayalan
kamu. Dan selama kamu berkhayal itu kamu sudah membuat ketertarikan emosional
yang kuat dengan sosok mitéra, karena itu kamu merasa dia bisa
menggantikan peran orang tua kamu. Apa yang tidak kamu dapatkan dari orang tua
kamu, bisa kamu dapatkan dari sosok mitéra.”
Selain terkejut, ternyata
sedih itu langsung memenuhi relung hatinya. Air mata yang tidak pernah ia duga
akan jatuh malah sudah lebih dulu membuat satu aliran di pipinya. Dengan
terburu, Bia pun menyekah basah itu dari sana. Kemudian ia menatap mata Adista,
masih dengan genangan air mata yang sudah menggenang.
“Ta-Tapi kenapa bisa?”
“Karena perasaan kesepian yang
kamu rasain Bia. Kamu merasa sendiri, kamu merasa tidak pernah mendapat
perhatian, kamu merasa tidak ada yang peduli. Semua itu yang membuat kamu
menciptakan sosok mitéra selama ini. Dan yang ia lakukan
selama ini, itu kamu yang lakuin sayang. Karena sebenarnya tidak ada sosok
itu.”
Bia sudah tidak bisa membendung
tangisnya ketika sebuah pemikiran terbesit dalam benaknya. Jika selama ini, itu
adalah khayalan apakah mungkin dirinya sakit? Jika tidak sakit kenapa dia bisa mengkhayalkan
sosok mitéra hingga sampai ke hal-hal kecil yang dilakukannya?
Melihat tangisan Bia yang
pecah, Adista memberikan beberapa lembar tissu. Ia juga memberikan waktu untuk
Bia menangis agar seluruh emosi yang selama ini terpendam dapat dikeluarkan.
Karena pada dasarnya, Bia hanya membutuhkan tempat untuk menunjukkan
perasaannya.
“Tante, apa itu tandanya aku
sakit?” Tanya Bia setelah berhasil menghentikan tangisnya.
Pertanyaan Bia tidak membuat
Adista terkejut. Dia tah,u pasti ada orang yang berpikir demikian apa lagi
setelah mendengar penjelasan dari seorang psikiater. Maka dengan senyum
kecilnya, Adista menggeleng pelan.
“Tidak sayang, kamu tidak
sakit. Namun jika kamu terus dalam kondisi seperti ini, itu tidak baik.”
“Maksud tante gimana?”
“Kalau kamu terus membiarkan
sosok mitéra ada di hidupmu, bukan tidak mungkin ke depannya kamu
akan mengalami tekanan klinis dan gangguan kesehatan.”
“Tante aku enggak mau sakit.
Aku mau kayak dulu lagi, aku mau baik-baik aja.”
Adista mengangguk.
“Kalau gitu kamu mau ketemu
tante lagi? Kamu bisa cerita apa pun ke tante dan kita sama-sama memperbaiki
semuanya.”
Tawaran Adista tidak langsung
disetujui oleh Bia. Selama beberapa menit yang ganjil, Bia terus berperang
dengan dirinya sendiri. Di satu sisi dia ingin menghilangkan khayalan itu karena
masih banyak hal yang ingin ia lakukan, tapi satu sisi lainnya masih dipenuhi
keraguan.
Jika tidak ada mitéra,
lalu dengan siapa dirinya. Karena selama ini hanya mitéra
yang selalu berada di sampingnya. Mitéra yang menemaninya belajar. Mitéra
yang menghiburnya ketika sedih. Mitéra yang selalu perhatian
dengannya. Pada akhirnya mitéra adalah segalanya.
Semua itu berputar dengan liar
di dalam pikirannya hingga rasanya kepala Bia ingin pecah. Namun ucapan Adista
selanjutnya membuat Bia menatap Adista yang tersenyum hangat kepadanya.
“Jika kamu masih ragu karena
kamu takut sendiri, kamu tidak sendiri Bia. Masih ada keluarga kamu, kamu hanya
perlu berbicara dengan mereka. Kamu sampaikan semua yang kamu rasa dan kamu
pikirkan selama ini. Tidak mungkin mereka akan membiarkan kamu terus merasa
kesepian ketika kamu sudah menyampaikan yang sebenarnya ke mereka. Kamu juga
masih ada Kanaya, tante yakin Kanaya sayang sama kamu karena itu dia ngajak
kamu buat ketemu tante. Dan jangan lupakan tante, tante akan selalu bantu
kamu.”
Dengan menarik napas panjang
lalu mengembuskannya dengan cepat, Bia akhirnya mengangguk walaupun masih ada
perasaan tidak rela kehilangan sosok mitéra.
“Iya tante, aku mau.”
Masih dengan ucapan Adista yang
terngiang di kepalanya, Bia kini memperhatikan seisi kamarnya. Dia mengamati
setiap sisi hingga kini ia benar-benar menyadari jika tidak ada keberadaan mitéra
di sana, padahal ia sedang bersedih. Biasanya mitéra selalu ada kapan pun apa
lagi disaat dirinya sedang berada pada titik rendahnya.
“Jadi emang enggak ada ya. Jadi mitéra
cuma khayalan aku..” Lirihnya dengan tangis yang kembali pecah entah untuk keberapa
kalinya.
T . B . C
- DF -
Comments
Post a Comment