How Hurt : Part 1
(DISCLAIMER: Penggunaan nama tokoh dalam cerita tidak ada hubungannya dengan sosok asli dalam kehidupan sebenarnya.)
.
.
.
Jeon Aerin, gadis
berusia 21 tahun yang hidup bersama dengan ayah, kakak
kembarnya, serta Nenek dan Kakek. Jangan tanyakan dimana sang ibu karena
hanya akan membuka pilu yang ia coba kubur tapi tidak bisa lenyap dari hatinya.
Ia tinggal di sebuah rumah besar dengan fasilitas yang sangat memadai. Semua lengkap
hingga anggapan hidupnya sangat beruntung kerap disemangatkan untuk dirinya.
Tidak salah memang.
Karena mereka tidak menjalani hidup sebagai seorang Aerin. Mereka hanya melihat
bagaimana rumah Aerin, mobil yang digunakan untuk mengantar-jemput,
barang-barang branded yang terpasang
di tubuhnya, serta sosok kakak kembar yang menjadi primadona dimana pun ia berada.
Untuk yang
terakhir, tidak bisa disalahkan juga karena Aerin dan sang kakak memiliki
paras yang begitu sempurna. Paras yang mampu menarik atensi dari banyak orang.
Hanya saja yang membedakan adalah Aerin memiliki paras seperti sang ibu yang
berdarah Korea-Finlandia, sedangkan kakaknya mengikuti paras ayahnya āKorea. Mata Aerin
berwarna biru terang dengan rambut pirang alami sedangkan kakaknya
memiliki rambut berwarna hitam dan warna mata seperti hazelnut.
Sejujurnya Aerin
tidak mempermasalahkan perbedaan tersebut. Ia mensyukuri apa yang Tuhan
berikan, apalagi dirinya memiliki kemiripan dengan sang ibu. Aerin
merasa senang.
Namun semua berubah
setelah sang ibu pergi untuk selamanya. Hidupnya yang biasa saja berubah mengerikan
saat tidak ada lagi yang memberikan sandaran untuknya. Aerin merasa
ditinggalkan di tengah keluarganya sendiri. Tidak ada yang membelanya bahkan
memberikan kasih sayang seperti sang ibu.
Ayahnya sibuk
dengan pekerjaan begitu pun dengan kakeknya. Sang nenek juga tidak terlalu
memperhatikannya. Wanita paruh baya itu lebih cenderung memperhatikan
perkembangan kakaknya karena bagi keluarganya keturunan laki-laki adalah yang paling
berharga.
Aerin tidak bisa
marah karena semua itu sudah ada bahkan sebelum dirinya lahir. Tapi yang
membuat dirinya merasa sangat sakit adalah saat diskriminasi didapatkan dari
sepupunya. Ia dikucilkan hanya karena memiliki fisik yang berbeda dengan mereka. Mengenaskannya
lagi adalah, tidak ada yang menghentikan sepupu-sepupunya padahal kejadian
itu terjadi di hadapan keluarga yang lain.
Ayahnya hanya
melirik sekilas sebelum kembali menyambung pembicaraan dengan yang lain. Sang nenek yang
duduk tidak jauh darinya hanya diam sembari menyesap secangkir teh hangat.
Bibinya sibuk dengan makanan yang akan mereka santap. Hingga yang terburuk
adalah, kakak kembarnya ikut menutup mulutnya rapat-rapat padahal dirinya telah
menatap dengan pandangan memohon.
Saat itu Aerin
seperti kehilangan kekuatan pada dirinya. Ia seperti ditampar kenyataan jika
tidak ada yang peduli dengannya. Padahal usianya saat itu baru menginjak
sepuluh tahun. Bukankan sangat menyakitkan untuk gadis kecil yang baru
ditinggal sosok ibu?
Ia hanya bisa
tertunduk lemah. Membiarkan sepupunya berceloteh tentang bagaimana anehnya ia
dengan rambut berwarna terang dan mata birunya. Ia hanya berusaha untuk tidak
terisak di tengah acara makan keluarga besarnya. Ia tidak ingin dimarahi lagi
oleh sang nenek hanya karena menangis.
Aerin sudah sangat
lelah dengan omelan wanita paruh baya itu yang semakin menjadi semenjak sang ibu meninggal.
Semua yang Aerin lakukan jika tidak atas keputusan neneknya maka salah. Aerin
hanya boleh menjalankan apa yang telah neneknya pilihkan. Ayahnya
tidak membelanya. Pria setengah baya itu percaya jika yang dilakukan ibunya adalah
yang terbaik untuk Aerin. Ia membiarkan sang ibu sekali pun wanita
paruh baya itu tidak bosan mengomeli Aerin bahkan hanya karena hal sepele.
Sesaknya sudah
tidak terbendung saat celotehan sang sepupu semakin menjadi. Aerin sudah ingin
menyerah. Ia ingin membiarkan air matanya jatuh bersama dengan tubuh yang
dibawa pergi dari sana. Namun seorang malaikat datang saat kesabarannya hampir
lenyap. Laki-laki itu datang dan langsung menggenggam tangannya yang terkepal
di atas pangkuan. Mengusapkan ibu jarinya pada punggung tangan Aerin hingga
membuat Aerin mengangkat kepalanya untuk melihat wajah dengan senyum hangat di
bibirnya.
Bukan! Bukan kakaknya atau ayahnya.
āJangan dengarkan
mereka. Mereka hanya iri karena kamu memiliki apa yang tidak mereka miliki.
Kamu cantik Aerin.ā Bisiknya menenangkan.
Aerin hanya mampu
menahan isakannya yang tertahan di tenggorokan dan membiarkan satu tetes air
mata terjatuh dari bendungan di pelupuknya.
āJangan menangis. Oppa bersamamu.ā
āHoseok oppa..ā Lirihnya.
* *
* *
Suara ketukan
membuat Aerin mengerang. Ia mengusap matanya, berusaha membiasakan cahaya
terang masuk ke dalam retina. Tubuhnya menggeliat pelan di atas ranjang sebelum
dengan perlahan dibawa duduk dengan kaki yang menggantung ke bawah.
āAku sudah bangun bi.ā Balasnya
pada sang pengetuk.
āBaik, kalau begitu
bibi
kembali ke dapur. Nona jangan terlalu lama, nanti terlambat berangkat ke
kampus.ā
āIya, terima
kasih.ā
Setelahnya suara
langkah kaki yang menjauh terdengar. Aerin masih setia duduk di atas ranjang
dan menatap lurus tembok dengan pandangan yang menerawang jauh. Ia kembali
teringat akan mimpinya yang tidak menyenangkan.
Kenapa juga ia
harus kembali memimpikan kisah menyedihkan itu?
Hanya membuat lelah
saja. Seharusnya segar yang dirasakan, tetapi karena mimpi buruk itu tubuhnya malah merasa yang sebaliknya.
Kesal, Aerin
mengacak rambutnya. Ia menghentakkan kaki saat menuju kamar mandi. Harinya
pasti tidak akan berjalan baik jika sudah seperti ini. Mood-nya telah hancur hanya karena sebuah mimpi tentang masa lalu
yang telah mengubah dirinya menjadi sosok Jeon Aerin saat ini.
Untuk Aerin, tidak butuh
waktu lama dalam mempersiapkan dirinya. Tidak butuh make-up tebal untuk mempercantik wajahnya.
Tidak perlu menyulitkan diri dengan memasangkan pakaian hanya untuk tampil
keren. Karena semua yang ia pakai pasti akan terlihat cocok dan pas. Ia
hanya perlu memoleskan beberapa krim perawatan beserta bedak tipis di wajah, dan vuala, Aerin akan terlihat
mempesona. Bahkan dengan pewarna bibir yang hampir menyerupai
warna bibir aslinya, Aerin
tetap terlihat sempurna.
Meniliti sekali
lagi tampilan santai untuk hari itu kemudian meraih tas yang tersimpan di kursi
belajarnya. Tak lupa dengan ponsel yang berada di atas meja yang ia ikut
masukkan ke dalam tas. Aerin siap untuk memulai aktivitasnya sebagai mahasiswi
psikologi di kampus idaman seluruh orang.
āBi, aku tidak
sempat sarapan. Dibekalkan saja sandwich-nya.ā
Ujarnya pada asisten rumah tangga yang bertugas menyiapkan makanan untuk
seluruh penghuni rumah.
āBaik Nona.ā
Pelayan itu
bergagas menuju dapur meninggalkan Aerin yang terduduk di kursi pantry sembari meminum segelas susu yang
baru saja disiapkan.
āAerin.ā
Kepalanya terangkat
kemudian tangannya meletakkan gelas susunya kembali ke atas meja. Aerin lantas
berdiri dari kursi menunggu kelanjutan panggilan tersebut.
āIni..ā Aerin
menatap bingung pada lembaran yang diulurkan ke arahnya. Dengan ragu ia mengambil
lembaran itu.
āTolong berikan
pada Jungkook. Katakan padanya karena ayah kalian sedang di luar negeri, jadi nenek yang
menandatanganinya.ā
āIni apa nek?ā
āSurat pesetujuan
untuk magang.ā
Aerin terdiam untuk
beberapa waktu. Ia menatap surat itu kemudian beralih pada sang nenek.
āBagaimana dengan
suratku, nek?ā
Wanita paruh baya
itu menghela. Terlihat lelah bercampur jengah .
āAerin, sudah
berapa kali nenek katakan. Kamu itu anak perempuan, tidak masalah jika kamu magang di
kota
ini. Sedangkan Jungkook itu anak laki-laki, dia harus memiliki banyak
pengalaman di luar sana.ā Ada jeda singkat sebelum sang nenek kembali
melanjutkan ucapannya.
āSudah tidak usah
dibahas lagi. Lebih baik kamu segera berangkat. Nenek ingin ke taman dulu.ā
Wanita itu segera
berbalik. Melangkahkan kedua kakinya pergi meninggalkan Aerin yang hanya
menatap dingin kepergiannya. Tanpa disadari tangannya mengepal hingga nyaris
membuat kertas yang dipegangnya rusak.
āAku sudah tahu
jawabannya. Bodoh kamu Aerin! Kenapa kamu masih berharap lebih!ā Makinya pada
diri sendiri.
Emosinya kembali
membuncah ketika rasa sakit hatinya mulai mendominasi perasaannya. Sial! Paginya semakin buruk saja.
āNona, ini.ā
Suara lain akhrinya
menarik kembali perhatian Aerin dari sesak yang menyiksa dadanya. Ia menoleh
dan menemukan pelayan tadi datang dengan sebuah kotak bekal di tangannya. Aerin
pun mengambil bekalnya dan berucap terima kasih sebelum pergi dari neraka yang
sayangnya adalah tempat tinggalnya selama ini.
Aerin memasuki
mobil dan langsung bersandar pada jok. Jam masih menunjukkan pukul 9 tetapi ia
sudah kehilangan banyak tenaga hanya karena menahan emosinya. Sangat tidak
sehat untuk hidupnya yang kacau ini. Bisa-bisa ia punya penyakit organ dalam
hanya karena terus menahan semua perasaannya seperti itu.
Selama perjalan,
Aerin lebih memilih untuk memejamkan mata. Menikmati suara musik dari radio
yang dihidupkan oleh sang supir. Ini adalah kebiasaan Aerin dan pria setengah
baya itu mengetahuinya. Menjadi supir pribadi dirinya sejak ia masuk sekolah sangat
membantu pria itu untuk mengenali bagaimana karakter sang majikan. Jika Aerin
datang dengan wajah dingin, itu berarti dirinya tidak perlu banyak bicara dan
membiarkan musik yang menemani perjalanan mereka. Tapi jika Aerin datang dan
menyapanya, itu tandanya ia diperbolehkan untuk membuat pembicaraan ringan
disela-sela perjalanan mereka.
Berbicara tentang
supir, adalah salah satu hal yang Aerin benci dari keluarganya. Bukan karena
keberadaan supir itu, tetapi lebih pada larangan hingga membuat Aerin harus
selalu ditemani seorang supir jika ingin pergi.
Sebagai seorang
anak perempuan, Aerin tidak diperbolehkan untuk menyetir mobil. Alasannya hanya
satu, perempuan tidak perlu pandai menyetir karena itu tugas laki-laki. Alasan
konyol apa lagi yang harus Aerin dengan dan patuhi? Sudah banyak hal konyol dan
kolot yang ia dengar yang membuat pergerakannya terhambat. Semua didasari
karena dirinya adalah anak dan cucu perempuan keluarga Jeon.
Aerin muak!
Sungguh. Tapi lagi-lagi, sebagai keturunan perempuan keluarga Jeon, tidak ada
yang bisa Aerin lakukan selain diam dan mengikuti.
Sudah banyak usaha
yang dilakukan Aerin untuk mendapatkan hak seperti yang Jungkook miliki,
misalnya perihal menyetir dan mengikuti UKM olahraga, tetapi tidak ada satu pun
dari usahanya yang membuahkan hasil. Neneknya pasti menolak keras begitu pun
dengan sang ayah yang akhirnya menyetujui keputusan neneknya.
Sejak awal masuk
kuliah Aerin sudah meminta untuk diperbolehkan belajar menyetir karena sang kakak kembar
sudah melakukan hal itu bahkan sejak sekolah dan saat kuliah ia malah
mendapatkan mobil sebagai hadiah. Tapi keinginannya ditolak mentah-mentah
sekali pun ia telah memohon di hadapan ayah, Kkkek, nenek, dan juga
Jungkook. Begitu pun dengan keinginannya untuk bergabung dengan tim hockey kampus. Keinginan itu harus pupus
karena tolakan keras sang nenek yang lebih memilih Aerin untuk mengikuti
kelas masak di rumah. Menurut neneknya, memasak lebih cocok untuk Aerin karena di
masa depan ia akan menikah dan hal itu menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang
istri.
Aerin sudah sangat
tidak sanggup dengan semua aturan keluarganya. Ia pikir hidup bersama dengan
keluarga sang ayah akan menyenangkan, tetapi ternyata tinggal bersama dengan keluarga
sang ibu yang tidak memiliki kekayaan sebanyak ayahnya jauh lebih baik.
Sekali pun dirinya harus berkulish sambil bekerja, tetapi ia masih memilik hak untuk memilih.
Jujur saja, Aerin
ingin pergi. Jika bisa ke tempat dimana tidak ada yang mengenal dirinya. Tapi
janji yang terlanjur diucapkan kepada sang ibu menghalangi keinginan
itu. Ia harus bisa bertahan sekali pun setiap harinya seperti di neraka. Ia
harus bisa menyesuaikan dirinya dalam kondisi apa pun sekali pun kondisinya
sangat menyulitkan. Ia harus bisa menjadi anak yang kuat seperti yang ibunya katakan
beberapa saat sebelum malaikat membawanya pergi.
Aerin harus kuat
demi ibunya.
Setelah lama
memejamkan mata untuk menetralkan seluruh kekecauan yang tengah dirasakan,
kedua kelopak Aerin perlahan terbuka saat sang supir memberitahu jika mereka
telah sampai. Ia menarik napasnya sangat dalam dan menghelanya berkala sebelum
membuka pintu dan keluar dari mobil.
Aerin mengeluarkan
ponselnya dari dalam tas lantas mengetikkan pesan kepada Jungkook. Ia harus
menyerahkan surat kakaknya itu sebelum menuju wilayah fakultasnya.
Jungkook
Dimana?
Di taman samping, ada apa?
Aerin kembali
menyimpan ponselnya dan merajut langkah menuju tempat dimana Jungkook berada.
Sesampainya di
taman, Aerin segera mencari-cari keberadaan Jungkook. Kepalanya menoleh kesana kemari
hanya untuk mencari dimana Jungkook berada. Hingga retinanya menemukan
keberadaan laki-laki itu, di bawah pohon besar tidak jauh dari air mancur. Tanpa membuang waktu,
Aerin segera pergi menghampirinya.
Ia berdiri tepat di
depan Jungkook. Membuat laki-laki itu langsung berdiri dari duduknya hingga
membuat Aerin harus sedikit mendongak untuk bisa melihat wajahnya.
āAda apa?ā
Aerin tidak
menjawab. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan kertas milik Jungkook.
āIni milikmu. Ayah
sedang pergi keluar negeri, jadi nenek yang menandatangani.ā Ujarnya sambil memberikan kertas tersebut.
Jungkook
menerimanya dengan senyum di
bibir.
āTerima kasih.ā
Ia membuka kertas
itu dan membacanya cepat sebelum kembali memberikan atensinya pada Aerin.
āLalu kamu? Apa kamu
sudah menyerahkannya?
Mau bareng?ā
Aerin yang
mendengarnya hanya mendengus. Jungkook ini sedang pura-pura tidak tahu atau
pura-pura lupa ingatan? Apakah kepalanya habis terbentur hingga sebagian
memorinya hilang? Kenapa ia masih menanyakan pertanyaan yang sudah sangat jelas
jawabannya!
āMenurutmu
bagaimana?ā
Mendengar jawaban
sinis Aerin membuat senyum Jungkook luntur dan berganti dengan gurat
bingung.
āAerin..ā
āSudah Kook. Aku
tidak punya waktu untuk membicarakan hal ini. Aku pergi.ā
Baru saja tubuhnya
memutar, Jungkook malah menghentikannya dan kembali memutar tubuh Aerin hingga
menghadap padanya.
āApa lagi?ā
Tanyanya dingin.
āKatakan padaku, nenek tidak
menyetujui suratmu?ā
Aerin mendelik
semakin kesal. Usahanya untuk meredam seluruh emosi yang dilakukan saat
perjalanan tadi ternyata hanya sia-sia saja karena Jungkook kembali memicu
emosi tersebut. Laki-laki itu seperti tengah menyulutkan api pada bensin.
āRin.ā Panggil
Jungkook menuntut.
āKamu sudah tahu
jawabannya, jadi tidak perlu bertanya lagi. Membuang waktu saja.ā Ucapnya
dengan suara yang dipelankan saat kalimat terakhirnya terucap.
āKenapa? Ok, aku akan meminta nenek untuk-ā
āTidak perlu!ā Sela
Aerin cepat. āTidak ada yang bisa mengubah keputusan nenek, sekali pun itu
dirimu. Bairkan saja, toh memang
sejak dulu aku diperlakukan seperti ini. Jadi tidak perlu terkejut dan berusaha
menjadi pahlawan kesiangan untukku Kook!ā
Jungkook terhenyak.
Ia terkejut mendengar ucapan kembarnya itu. Pahlawan kesiangan? Ia sama sekali
tidak berpikiran seperti itu.
āSudah aku mau
pergi. Kamu membuang waktuku saja!ā Ujarnya tanpa mempedulikan Jungkook yang
masih terdiam di hadapannya. Lantas ia kembali membawa kedua tungkainya pergi
meninggalkan Jungkook dengan sejuta pemikiran di dalam otaknya.
Jungkook sendiri
hanya bisa menatap kepergian Aerin dalam diam hingga dirinya lupa jika ada dua
sahabat yang sedari tadi berada di sana. Melihat dan menyaksikan apa yang
terjadi antara dirinya dan sang kembaran.
āSudahlah Kook,
jangan terlalu dipikirkan. Mungkin saja Aerin sedang datang bulan makanya dia
jadi sinis seperti itu.ā
Jungkook menunduk.
Ia menarik napasnya untuk mengisi rongga di paru yang seperti kehilangan isi
karena begitu terkejut mendengar ucapan penuh sindiran dari seorang
Jeon Aerin.
āDia tidak sedang
datang bulan, tetapi dia memang telah berubah sejak sebelas tahun lalu.ā Tutur
Jungkook lemah. Suaranya nyaris berbisik tapi masih dapat terdengar oleh
sahabatnya.
āApa?!ā
āDia berubah, Gyu.
Aerin berubah.ā
Mingyu hanya
terdiam, tidak mengerti dengan ucapan Jungkook. Berubah? Aerin? Kenapa?
āSudahlah, aku mau
pergi ke departemen jurusan. Sampai bertemu nanti siang.ā
Jungkook segera
pergi, meninggalkan Mingyu dengan sejuta kebingungannya.
T . B . C
Hallow, aku balik dengan judul baru
Kali ini penggunaan nama tokohnya sama dengan nama aslinya, maaf ya. Tapi tolong banget, jangan disamain sama kehidupan asli pemilik namanya ya. Ini murni hanya untuk visualisasi tanpa ada niatan buruk.
Tapi, aku berharap kalian tetep suka sama ceritanya terlepas dari nama yang aku pakai.
Oke deh, sampai bertemu di part kedua teman-teman
See yaa
- DF -
Comments
Post a Comment