No Longer Chapter 7 (END)


 


.


.


.



Waktu berjalan begitu lambat bagi Bia. Dimulai dari dirinya yang harus datang berkonsultasi dengan Adista hingga detik ini dimana dia telah memutuskan untuk hidup seorang diri. Bukan karena rasa sakitnya, tetapi karena ia pikir sudah waktunya. Ia ingin menjadi mandiri dengan mulai hidup seorang diri.

 

Mengenai keluarganya, Bia sudah berdamai. Tidak ada yang bisa diubah dengan kisah masa kecilnya. Cerita itu akan selalu ada dan tidak akan pernah ia lupakan. Sayangnya walau sudah berdamai, tetapi untuk menjadi dekat tampaknya sangat sulit untuk ia lakukan. Rasa kecewa yang besar dan telah lama terpendam membuat luka itu sulit sekali untuk disembuhkan. Bahkan proses berdamai yang ia lakukan selalu dalam pendampingan Adista.

 

Hingga kini setelah memutuskan untuk menyewa apartemen yang dekat dengan kantornya, Bia baru bisa merasakan yang nama lega. Entah bagaimana bisa selama ini dia begitu sesak walaupun sudah berusaha memaafkan apa yang terjadi padanya. Namun ternyata memafkan belum tentu memberikan kenyamanan untuk dirinya. Buktinya setelah memaafkan dia masih belum bisa merasakan perasaan lega seperti saat ini.

 

Bia menjalani aktivitasnya sebagai seorang pekerja di kantor kementerian luar negeri. Jurusan yang ditempuh serta kegiatan yang ia pilih selama menjadi mahasiswa telah menuntunnya untuk mencapai posisi yang sekarang. Bukan posisi penting, ia masih hanya seorang staf biasa yang ternyata memiliki kesempatan untuk berkarir di luar negeri.

 

Senang?

 

Tentu saja! Siapa yang tidak senang jika akhirnya bisa memiliki karir yang bagus dan dapat mewujudkan keinginan masa kecilnya dengan kemampuan sendiri. Tentu saja Bia merasa sangat senang.

 

Melihat pantulan dirinya di cermin, Bia tidak bisa untuk tidak menarik kedua sudut bibirnya. Senyuman itu adalah wujud dari betapa bahagia dan bangganya ia dengan dirinya saat ini. Ia tidak pernah berpikir jika akan menjadi sosok yang memiliki berjuta kebanggaan dalam hatinya. Apa lagi kalau mengingat bagaimana kehidupannya dulu. Ia sama sekali tidak pernah membayangkannya, mungkin tidak berani.

 

Masih mematut diri di cermin, Bia kembali merapihkan sedikit tatanan rambutnya. Memastikan ikatan dan juga hiasan di rambut hitam itu terpasang dengan baik. Lalu dipakaikannya anting-anting pada kedua telinganya. Sebuah anting emas yang menjadi hadiah pertama dari Bia untuk dirinya sendiri atas keberhasilannya diterima bekerja.

 

Lagi-lagi rasa bangga itu kembali memenuhi relung hatinya. Semua hal yang kini ada di depan matanya adalah bentuk nyata dari alasan rasa bangga itu tidak akan pernah bisa hilang dari dalam diri Bia. Namun jauh dari semua itu, rasa bangga yang kini memiliki tahta terbesar dan tertinggi di hatinya datang dari keberanian dan keberhasilannya untuk menjadi sosok kuat. Kuat menjalani hidup dengan rasa kecewa dan kuat untuk terlepas dari sosok mitéra.

 

Semenjak kedatangan pertama Bia ke rumah Kanaya, sejak saat itu ia rutin mendatangi rumah temannya itu untuk melakukan sesi konsultasi. Dia menyampaikan apa yang diraskaan dan dipikirkan kepada Adista dan setelah itu memberanikan diri untuk melakukan apa yang disarankannya. Bia berusaha untuk bisa melepaskan sosok mitéra dari kehidupannya. Walaupun itu sulit, bahkan sangat sulit karena selama ini mitéra-lah yang selalu mendampingi Bia. Namun dia sudah bertekad untuk melakukan itu.

 

Hingga sampai fase dimana akhirnya kedua orang tuanya bahkan Axio tahu mengenai hubungan Bia dan sosok bernama mitéra itu. Adista yang menyampaikannya karena melihat kesulitan Bia melupakan sosok mitéra. Penjelasan Adista tak urung mebuat Helen begitu terbelenggu dengan sesal dan sedih. Begitu juga dengan Gaver yang merasa gagal menjadi sosok pelindung untuk putrinya. Bahkan Axio pun ikut merasakan sedih dan bersalah karena secara tidak langsung dia juga menjadi alasan mengapa ada sosok bernama mitéra dalam kehidupan kakaknya.

 

Karena itulah akhirnya Bia berusaha berdamai. Berdamai dengan keluarganya sama saja berdamai dengan rasa kecewanya. Dia berusaha keras karena nyatanya dengan berdamai itu dia baru bisa terlepa dari bayang-bayang mitéra.

 

Ketika dirinya tengah menata barang-barang ke dalam tas yang akan dibawa, sebuah pesan baru saja masuk ke dalam kotak pesannya. Pesan group yang datangnya dari keluarganya sendiri.

 

Familia

 

Papah

Ia, mau dijemput aja?

 

Aku sendiri aja

Kita ketemu di tempat aja

 

Mamah

Bareng aja sayang, kita nanti ke apartemen kamu

 

Cio

Atau aku yang jemput kak?

 

Enggak usah, aku bisa sendiri

Lagi pula jalan ke apartemen dan restonya lawanan arah

 

Papah

Yaudah kamu hati-hati ya

 

Mamah

Iya sayang

 

Cio

Kak, kalau berubah pikiran kasih tau aja ya

 

Setelah membaca pesan balasan dari keluarganya, Bia kembali menyusun beberapa barang kecil ke dalam tas setelahnya baru dia berjalan menuju pintu apartemen untuk menunggu taksi yang sudah dirinya pesan.

Malam ini Bia akan menghadiri undangan makan malam dari tantenya sebagai bentuk perayaan kecil dan juga pembicaraan mengenai proses lamaran anaknya yang akan segera dilakukan. Bia tidak masalah untuk menghadiri acara itu, toh baginya kini keluarga hanyalah sebuah nama. Dia tidak perlalu menjadikan nama itu sebagai alasan untuk menjadi dekat.

 

Bia yang baru saja sampai di lobi langsung menemukan taksi yang dirinya pesan terparkir di dekat pintu utama. Tanpa membuang waktu, ia langsung menaiki kuda baja itu dan membiarkan sang supir menjalankan tugasnya mengantarkan Bia ke tempat tujuan. Ia menikmati perjalanannya. Memandangi langit malam dan juga terangnya lampu lalu linta dan kendaraan di sekitar merupakan salah satu kegiatan kesukaan Bia.

 

Jarang sekali Bia bisa melakukan kegiatan itu. Hanya beberapa kali saja itu pun kalau ada temannya yang mengajak. Maka dari itu setiap kali ia memiliki kesempatan untuk pergi keluar pada malam hari seperti saat itu, dia akan begitu menikmati perjalanannya sekali pun lalu lintas tengah padat.

 

Bia menjadi orang yang terakhir sampai di acara itu. Dia datang dan langsung duduk di samping Axio. Jika bisa memilih dia ingin duduk tidak di dekat siapa pun, tapi karena tidak bisa maka pilihan terbaik adalah berada di dekat keluarganya sendiri. Setidaknya ia tidak harus memikirkan jawaban dari pertanyaan random orang lain.

 

“Kok lama kak?” Bisik Axio ketika Bia baru saja menduduki kursi.

 

“Namanya juga weekend, pasti dimana-mana macet.”

 

“Mau minum apa kak?”

 

Bia melihat ke meja, di sana hanya ada air mineral dan gelas kosong. Sedangkan di depan Axio, sudah ada segelas jus berwarna merah..

 

“Enggak usah, gua minum air putih aja.”

 

Axio kembali diam. Dia memperhatikan bagaimana wajah Bia yang saat ini langsung memainkan ponselnya. Sudah lama dia tidak bertemu tetapi rasanya masih sama. Kakaknya ini masih tidak memberikan afeksi sebesar harapannya.

 

Jujur saja, Axio menyesali semua kebodohannya kala itu. Andai saja dia lebih peka dan andai saja dia tidak banyak meminta pada kedua orang tuanya, mungkin ia akan bisa merasakan yang namanya kedekatan dengan seorang kakak. Mengingat itu membuat dirinya menghela tanpa sadar.

 

“Kenapa?” Bisik Gaver ketika mendengar helaan itu.

 

Axio menoleh padanya sejenak sebelum kepalanya kembali bergerak ke samping kearah Bia.

 

“Kita usaha lagi ya buat balikin kakak kamu.” Ucap Gaver ketika meihat ke arah yang sama dengan arah pandang Axio.

 

Setelahnya tidak ada lagi yang berbicara. Mereka hanya mendengarkan apa saja yang dikatakan oleh pemilik acara, termasuk rencana lamaran yang akan segera diselenggarkan itu. Hingga tanpa disadari acara makan malam akhirnya dimulai. Makanan yang telah dipesan akhirnya disajikan ke atas meja oleh para pelayan. Bia yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya langsung berhenti untuk fokus pada makannannya.

 

Ia mulai menyantap makanannya. Menikmati setiap rasa pada hidangan yang ada di atas meja. Semua terasa menyenangkan bagi Bia bahkan hingga sampai kepada piring berisikan cake dan ice cream. Ia kembali menikmati kudapan manis itu dan harus dihentikan ketika seorang wanita dengan usia tidak jauh berbeda dengan orang tuanya berdiri di samping.

 

Ia yang sedari tadi begitu fokus ke piring makan kini harus mengangkat pandangannya untuk melihat kepada sosok tersebut yang tengah tersenyum sembari mengusap pundaknya.

 

“Gimana kabar kamu?”

 

“Baik Tante.”

 

“Kerjaan kamu gimana? Masih di kantor yang lama?”

 

Bia sekali lagi mengangguk.

 

“Kamu betah ya di sana.”

 

Sebelum membuka vokalnya, Bia terlebih dahulu menelan beberapa teguk air dari gelasnya.

 

“Iya tan, soalnya nyaman, temennya enggak aneh, boss-nya manusiawi, terus banyak kesempatan bagus yang bisa aku dapetin.”

 

“Terus gimana? Di sana ada yang kamu suka enggak? Kalau ada mah deketin aja, biar kamu enggak sendiri kayak gini. Adara juga gitu, calonnya tuh temen kantornya yang dulu.”

 

Bia yang sedari tadi masih memegang alat makan karena berkeinginan untuk menghabiskan dessert malam itu langsung kehilangan seleranya. Dia meletakkan kedua benda itu ke atas piring lalu membersihkan mulutnya dengan kain yang ada di atas pangkuannya.

 

“Maaf tan, tapi itu kayaknya bukan jadi urusan tante. Tante enggak perlu pusing mikirin kehidupan aku. Soal pasangan atau menikah itu cukup aku aja yang tau, bahkan mamah sama papah aja enggak punya hak untuk ikut campur sedalem itu soal pernikahan apa lagi orang luar. Maaf bukan bermaksud tidak sopan, tetapi pertanyaan tante sudah melanggar privasi saya. Itu tidak sopan tante.”

 

Bia lantas berdiri dari kursinya. Hal itu semakin menarik perhatian anggota keluarga yang lain. Perubahan sikap Bia sudah bukan hal yang mengejutkan bagi mereka karena semua tahu tentang hal itu dan mereka juga sadar jika perubahan sikap Bia karena kesalahan mereka juga. Begitu pun dengan bagaimana Bia berbicara malam itu. Hal itu bukan yang aneh untuk mereka lihat.

 

“Karena bagi saya menikah itu bukan ajang perlombaan, kalau yang satu nikah terus yang lain juga harus buru-buru nikah. Nikah itu sakral dan tanggung jawabnya besar. Saya hanya enggak mau ketika secara mental saya belum siap tapi saya sudah harus mendapat tanggung jawab dalam mengurus orang lain apa lagi anak. Saya enggak mau menjadi sosok orang tua yang gagal menjadi orang tua bagi anaknya.”

 

Dia melirik kepada orang tuanya. Bukan karena ingin menyindir tetapi hanya ingin memgingatkan jika dirinya telah menjadi korbannya.

 

“Maaf jika omongan saya menyakitkan. Saya hanya ingin mengingatkan kalau perdamaian yang saya lakukan tidak serta merta membuat kalian bebas mengatakan semua yang ingin kalian katakan tanpa memikirkan perasaan saya. Tanpa tante sadari, tante masih sama seperti dulu saat tante dengan mudahnya bilang ke saya kalau saya hitam karena suka lari-larian di taman, hobi menggambar saya tidak ada gunanya dan hanya membuang waktu saja.”

 

Bia lalu mengambil tasnya. Dia sudah cukup dengan ucapannya dan sudah tidak ingin berlama-lama dengan “keluarganya”. Semakin lama di sana hanya membuat rasa kesalnya tidak bisa dibendung. Belum lagi ingatan kejadian masa lalu yang menghadirkan kembali sedikit rasa sesak di hatinya.

 

“Oh iya, tante, om, dan para sepupu semuanya. Dulu saya suka lari karena emang lari itu menyenangkan buktinya saya bisa ikut kejuaran nasional walaupun cuma dapet perunggu. Terus ya, ternyata saya bisa dapet uang loh dari hobi gambar itu. Jadi apa yang kalian bilang sia-sia dan jelek sampai saya down itu salah.”

 

Baru saja akan melangkah, Bia kembali mengurungkan niatnya.

 

“Dar, nanti pas lo udah nikah dan sebelum lo punya anak. Tolong lo ambil kelas parenting. Itu penting biar anak lo enggak ngerasain apa yang tantenya rasain. Setidaknya di keluarga ini kondisi anak yang mentalnya hancur karena keluaraganya sendiri berhenti di gua. Karena ngurus anak tuh bukan cuma membesarkan sampe dia sarjana aja tapi penuhin kebutuhan mentalnya.”

 

Setelahnya, Bia baru benar-benar pergi dari restoran. Ia meninggalkan keluarganya dengan rasa sesal karena kembali membuka lamanya. Apa lagi Helen dan Gaver, selain sesal mereka juga semakin kecewa dengan diri mereka sendiri. Perasaan gagal yang sudah ada kini malah semakin besar bersemayam di hatinya setelah mendengar ucapan Bia.

 

Maafin mamah Bia sayang.

 

Maafin papah Ia.

 

Familia

Aku minta maaf karena omongan tadi

Aku cuma mau bilang aku udah maafin semuanya

Tapi maaf kalau untuk melupakan aku enggak bisa

Selamat malam mah, pah, Cio

Hati-hati pas pulang

 

Axio yang melihat pesan masuk di group keluarga buru-buru membukanya. Dia membaca setiap kata yang dikirimkan dengan sedih.

 

“Kak, lo kuat banget. Maaf karena menjadi salah satu alesan lo terluka dan makasih karena udah maafin kita.”



E . N . D



Hai hai...

Kisah Bia akhirnya selesai

Terima kasih buat yang udah baca dari pertama sampai akhir ini. Semoga kalian terhibur dan bisa menikmati cerita ini. Semoga gak hanya terhibur, tapi ada yang bisa kalian mengerti dari kisah Bia Asteri.

Sudah cukup deh cuap-cuap ku ini. Terima kasih dan sampai bertemu di next project semua



- DF -

Comments

Popular Posts