How Hurt : Part 3


 



(DISCLAIMER: Penggunaan nama tokoh dalam cerita tidak ada hubungannya dengan sosok asli dalam kehidupan sebenarnya.)


.

.

.


 


Ketika senja mulai berubah gelap. Ketika ramai burung berganti senyap. Ketika hangat menjadi sangat dingin. Kondisi dimana Aerin telah berada di dalam kamarnya sebelum semua perubahan itu terjadi. Menutup dan mengunci semua akses keluar.

 

Ini adalah rutinitas yang dilakukan Aerin setiap harinya. Bukan tanpa alasan, ia seakan mengurung dirinya karena tidak ingin aura negatif dari luar masuk dan mengganggunya. Ia tidak ingin kamarnya ikut dipenuhi aura negatif karena dari seluruh ruangan di rumah besar itu hanya kamarnya yang bisa memberikan rasa nyaman dan aman untuk dirinya –yang sendiri.

 

Aerin ingin tenang. Dan cara mendapatkannya hanya dengan mengunci dirinya di dalam kamar dan membuat jarak sejauh mungkin dengan keluarganya sendiri. Berbicara yang cukup saja. Tidak usah menceritakan apa pun yang terjadi padanya.

 

Di malam yang baru datang, Aerin telah terduduk di atas kursi belajarnya. Menghadap layar laptop yang tengah menampilkan sebuah draft tulisan, bagan, dan hitungan statistik. Jemarinya bergerak lincah di atas keyboard. Mengetikkan kata-kata pada draft mengikuti hitungan yang ia kerjakan. Menyusunnya dalam bentuk kalimat hingga selesai menjadi sebuah paragraf yang lengkap.

 

Ini adalah kegiatan baru Aerin semenjak jenjang pendidikannya ada di tingkat 3 akhir. Tidak hanya mengerjakan tugas dari dosennya, Aerin juga melibatkan diri dalam penelitian beberapa dosen. Awalnya hanya iseng, dengan tujuan agar ia memiliki hal untuk dikerjakan dan bisa mendistraksinya dari keadaan di rumah. Tapi ternyata beberapa bulan dilalui, Aerin malah menemukan dirinya yang senang melakukan penelitian. Alhasil, hingga di akhir semester ini Aerin telah mengikutsertakan dirinya dalam lebih lima proyek dosen hingga membuat namanya tercatat pada empat jurnal yang dua di antaranya berskala internasional.

 

Sebuah kebanggaan untuk diri sendiri dan juga orang yang mendukungnya, siapa lagi kalau bukan Yunji dan Kakak sepupunya –Jhonny. Karena hanya keduanya yang Aerin beri tahu, dan hanya keduanya yang selalu mendukung dirinya.

 

Ketukan di pintu kamarnya berhasil membuat Aerin berhenti mengetik dan menoleh ke arah pintu. Matanya mengamati pintu itu dengan mendengarkan ucapan wanita yang mengetuknya. Aerin lantas menghela sebelum menjawabnya. Sepertinya waktu untuk berperang sudah tiba. Ia harus keluar dari kamar untuk menjalani rutinitas makan malam bersama. Sebenarnya ia ingin sekali makan di kamarnya tetapi tidak bisa karena aturan di rumah itu mengatakan jika saat makan setiap orang harus makan bersama di meja makan.

 

Ia mematut diri di cermin. Membenarkan ikatan rambutnya yang berantakan kemudian pakaiannya yang sedikit kusut. Aerin harus berpenampilan baik untuk bertemu dengan keluarganya, semua itu adalah aturan sang Nenek yang tidak ingin keturunannya terlihat acak-acakan walau hanya di rumah. Maka sebagai cucu yang baik dan penurut, Aerin menurutinya. Ia tidak pernah keluar dari kamar dengan pakaian tidur. Dirinya tidak pernah keluar dari kamar dengan celana di atas lutus atau kaos tanpa tangan. Dan Aerin akan selalu merapihkan rambutnya.

 

Merajut langkahnya menuju ruang makan, Aerin hanya berdoa agar dirinya tidak menarik minat siapa pun. Tidak ingin mencuri perhatian. Ia ingin menjadi invisible di tengah keluarganya. Jika perlu anggap dirinya tidak ada, itu lebih baik.

 

Jika kalian menganggap itu menyakitkan, maka Aerin akan menjawab dia baik-baik saja. Dirinya sudah biasa dengan perlakuan seperti itu. Sedari kecil ia telah dibedakan dengan kenyataan sebagai keturunan perempuan serta keadaan fisik yang berbeda. Itu adalah makanan sehari-hari Aerin. Karena itu hatinya sudah kebal dengan segala diskriminasi dan penganaktirian yang didapatnya. Walaupun tidak munafik jika terkadang rasa sakit itu tetap dirasakan Aerin saat pikirannya sedang tidak sehat atau kebalikannya, saat pikirannya sehat.

 

Memasuki ruang makan, Aerin sempat terkejut saat mendapati keberadaan Ayahnya di sana. Ia kira pria setengah baya itu masih lama di luar negeri,  eh atau memang sudah lama Ayahnya pergi tapi dia yang tidak perduli?

 

Sudah Aerin tidak mempedulikannya. Tidak penting juga untuk dipikirkan. Tidak ada guna untuknya.

 

Aerin berjalan menuju kursinya yang berada di samping Jungkook. Duduk dengan tenang menunggu pelayan datang menyiapkan makannya. Ia berusaha untuk memisahkan diri dari pembicaraan yang terjadi antara Kakek, Nenek, Ayah, dan saudara kembarnya. Biarkan mereka berbincang dan tinggalkan dirinya sendiri. Aerin tidak tertarik –sangat. Ia lebih tertarik pada makanan di piringnya yang akan dinikmati.

 

“Bagaimana kuliahmu Kook?”

 

“Baik, Kek.”

 

“Magangmu bagaimana?”

 

“Sudah kukumpulkan suratnya beberapa minggu lalu, tinggal menunggu informasi lanjutan dari kampus. Tapi dosenku bilang kemungkinan besar aku akan di tempatkan di perusahaan tekstil terbesar di Korea, katanya mereka yang meminta.”

 

“Itu bagus. Kau harus sungguh-sungguh saat di sana. Pelajari apa yang dapat dipelajari dan aplikasikan nanti di perusahaan keluarga.” Kata sang Kakek dengan senyum bangganya yang tak ketinggalan.

 

“Lalu pertandingan sepak bola itu bagaimana?” Kini giliran Neneknya yang bertanya.

 

Jungkook meraih gelasnya dan meminum isinya.

 

“Kami akan mengikuti putaran semi final, dan di pertandingan itu pelatih dan anggota lain memilihku untuk menjadi kapten.” Terangnya dengan raut senang yang begitu kentara. Membuat Aerin mengumpat dalam hati.

 

“Kalau gitu kamu harus jaga kesehatan. Nenek akan buatkan minuman tradisional untuk meningkatkan staminamu.”

 

“Terima kasih Nek.”

 

Pembicaraan mereka pun berlanjut dengan pembahasan kemajuan perusahaan. Ayahnya menjelaskan bagaimana progres pertemuan kemarin dan kesepatan yang sudah ditandatangani. Aerin lagi-lagi hanya diam dan sebisa mungkin meneyelesaikan makannya dengan cepat. Ia ingin segera pergi dari sana. Telinganya sudah lelah mendengar banyak suara di sana. Ia ingin ketenangan dan itu hanya di kamarnya.

 

Namun hal tak terduga terjadi dan membuat Aerin seketika berhenti dan hanya menatap makanan di piring. Sampai suara bariton yang sama kembali terdengar memanggilkan namanya, kesadarannya baru kembali. Ia mengangkat kepalanya. Membawa pandangan pada pemilik suara berat itu dengan wajahnya yang bingung.

 

“Aerin, bagaimana dengan kuliahmu?”

 

Ia mengerjapkan matanya karena masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat dan dengar. Ayahnya baru saja menanyakan kabarnya dan kini semua mata tengah menatap dirinya.

 

“I-Itu, ba-ik.”

 

Lalu rencana magangmu?”

 

Mendengar tentang magang membuat perasaannya sedikit kacau. Ada rasa kecewa yang kembali muncul setelah berusaha ia kubur dalam-dalam.

 

“Aku sudah mendaftar di beberapa tempat, tapi sepertinya aku lebih memilih klinik dosen pembimbingku agar bisa lanjut hingga tugas akhir.”

 

Ayahnya mengangguk singkat.

 

“Itu bagus.” Ujarnya sebelum kembali melanjutkan makannya.

 

Setelahnya tidak ada lagi yang berucap. Semuanya kembali menyantap hidangan di atas meja dan meninggalkan Aerin yang lagi-lagi terdiam di kursinya. Matanya mengamati sang Ayah selama beberapa saat sebelum berganti pada anggota keluarga lainnya bergantian.

 

Sudah? Hanya itu saja.

 

Gila! Aerin hampir kena serangan jantung saat mendengar sang Ayah. Ia pikir Ayahnya telah sadar dan berubah. Ia hampir saja terjatuh dalam fatamorgana yang sang Ayah ciptakan karena perhatian kecil itu. Tapi ternyata yang Ayahnya hanya basa-basi saja. Tidak ada ketulusan seperti sosok Ayah yang ia dambakan.

 

Memang seharusnya Aerin berhenti saja berharap, sekali pun itu kecil. Karena pada akhirnya harapan yang ia miliki hanya membuat dirinya terbuai dan bisa terjatuh kembali dalam kesedihan. Sudah tidak memiliki siapa-siapa di sampingnya, terluka pula, sudahb hancur saja.

 

Aerin lantas tersenyum hambar. Ia tidak menyangka jika eksistensinya benar-benar diabaikan. Ia bagaikan pelengkap di rumah itu, yang jika tidak ada pun tidak apa-apa. Ah.. sudahlah. Memang seperti itulah keluarganya. Selalu mengutamakan keturunan laki-laki, menganggungkan mereka, hingga memberikan perhatian lebih. Tapi mengabaikan eksistensi keterunan perempuan dan menjadikan mereka boneka yang sudah di atur semua garis hidupnya. Melupakan jika keturunan perempuan pun juga memiliki hak hidup yang sama.

 

 

*   *   *   *

 

 

Aerin akhirnya menepati janjinya dengan Jaehyun. Ia mengajak Jaehyun makan di kedai mie dekat kampus yang menjadi langganannya bersama Yunji. Semua itu berawal karena Jaehyun yang mengejutkannya di lorong dekat kantin. Laki-laki itu sepertinya sengaja menunggu Aerin di sana untuk menagih janji gadis Jeon itu. Aerin yang kebetulan tidak ditemani Yunji akhirnya mengiyakan ajakan Jaehyun hingga akhirnya mereka tiba di kedai dan memilih meja dekat dinding. Alasannya agar tidak terganggu dengan lalu lalang orang lain, tidak penting bukan.

 

Tanpa pikir panjang, Aerin langsung memesan satu porsi jjampon yang menjadi makanan kesukaannya. Aerin itu suka sekali makanan laut dan juga mie, dan dulu Ibunya sering membuatkan makanan laut hanya untuk dirinya. Tapi setelah Ibunya pergi, tidak ada lagi yang memasakkannya. Mungkin orang-orang di rumahnya tidak ingat tapi mungkin juga karena bagi mereka itu tidak penting, toh yang menjadi bintang utama di rumah adalah Jungkook.

 

“Saya pesan dak kalguksu.”

 

“Mohon tunggu, kami akan segera membuatkan pesanannya.” Ujar sang pelayan sebelum pergi menyerahkan kertas pesanan kepada juru masak.

 

Sepeninggalnya, Aerin dan Jaehyun kembali melanjutkan pembicaraan ringan yang telah terjadi saat mereka berjalan bersama menuju kedai. Jaehyun dengan cerita lucunya telah berhasil membuat senyum cukup lebar Aerin terbit di bibirnya. Walau tidak sampai membuat gadis itu terpingkal, tapi berhasil melahirkan durasi senyum yang sangat panjang. Jaehyun cukup puas dengan usahanya membuat Aerin tersenyum, setidaknya gadis di hadapannya ini tidak lagi memasang raut dingin tanpa emosi seperti biasanya.

 

Saat asyik mengobrol, seseorang memanggil Aerin hingga membuat gadis itu menolehkan pandangannya dari Jaehyun. Aerin mencari pemilik suara itu sampai sosok wanita tertangkap oleh indera pengelihatannya. Lantas, tubhnya langsung berdiri dan bergerak memeluk tubuh wanita dengan belanjaan di kedua tangannya.

 

“Bibi Ahn!”

 

Wanita itu semakin tersenyum lebar dan membalas pelukan Aerin walau agak sulit.

 

“Kamu datang bersama siapa nak?”

 

Aerin melirik sekilas pada Jaehyun yang melihat dirinya dan Bibi Ahn dengan wajah polos laki-laki itu.

 

“Bibi,kenalkan ini temanku Jung Jaehyun. Dan Jaehyun ini Bibi Ahn, pemilik kedai ini yang sudah aku anggap seperti Ibuku.”

 

Jaehyun pun berdiri dan membungkuk hormat. “Saya Jaehyun.”

 

“Panggil Bibi Ahn saja sama seperti Aerin.” Ujar Bibi Ahn lembut. Ia kemudian melirik Aerin yang setia berdiri di sampingnya. “Nah, kalian lanjutkan saja lagi. Bibi harus merapihkan belanjaan ini ke dapur.”

 

Bibi Ahn menepuk pundak Aerin sebelum pergi membawa belanjaannya dan menghilang di balik pintu karyawan.

 

Tidak lama, pelayan yang sama datang kembali dengan membawa pesanan keduanya. Ia meletakkan semangkuk mie dengan isian seafood di hadapan Aerin sedang mangkuk besar dengan kuah kaldu di hadapan Jaehyun.

 

Wah kelihatannya lezat!” Seru Aerin. Matanya berbinar saat melihat mangkuk dengan kuah merah di depannya.

 

“Selamat makan.”

 

“Selamat makan juga Rin.” Ucap Jaehyun tersenyum senang saat melihat bagaimana Aerin menyantap makanannya.

 

Keduanya pun larut dengan kelezatan makan siang mereka serta pembicaraan ringan yang kembali berlanjut. Mungkin karena Jaehyun bisa membuat Aerin merasa nyaman, Aerin jadi merasa tak perlu sungkan dengan laki-laki itu. Ia merasa bebas berbicara apa pun dengan Jaehyun, walau tidak sebebas saat dirinya berkeluh kesah dengan Yunji. Karena bagaimana pun dalam hidupnya hanya Ibu dan Yunji yang sangat dirinya percayai. Sisanya tergantung pada bagaimana mereka bisa merebut kepercayaan Aerin.

 

Banyak hal yang keduanya bicarakan hingga mie di dalam mangkuk tandas. Saking banyak dan lamanya, Jaehyun sampai tahu jika Aerin tengah mengurus karya tulis hasil penelitian dosen pembimbingnya  yang siap untuk dipublikasi di portal jurnal internasional, walaupun saat menceritakan itu Aerin sedikit menunjukkan raut kesalnya karena harus beberapa kali melakukan revisi.

 

Jaehyun tidak menyangka dan seketika kekagumannya meningkat. Ia tahu jika Aerin itu gadis pintar, tapi dirinya tidak menyangka jika gadis itu akan sangat pintar. Namanya sudah beberapa kali tercatat dalam beberapa jurnal dan saat ini ia masih mengurus salah satu jurnal yang akan kembali mencatatkan namanya. Walau bukan sebagai penulis pertama, tetapi untuk seorang mahasiswa sarjana yang belum lulus, pencapaian Aerin adalah sangat luar biasa.

 

Namun ada perasaan miris saat dirinya melihat raut bangga pada wajah Aerin saat gadis itu bercerita. Pikirannya kembali teringat pada cerita Aerin mengenai keluarganya. Andai saja keluarga Jeon itu suportif, Jaehyun yakin pasti akan ada banyak hal yang bisa Aerin lakukan dan banggakan –sama seperti Jungkook.

 

Jujur, Jaehyun semakin mengagumi sosok Aerin setelah acara makan siang mereka ini. Semua yang ada dalam diri Aerin membuat Jaehyun enggak habis pikir. Sesempurna itu seorang Jeon Aerin, wajah kalau banyak mahasiswa di kampus mereka yang tertarik sama Aerin. Sayang Aerin sama sekali enggak menggubris mereka. Aerin lebih memilih mengabaikan sekali pun dianggap sok jual mahal.

 

Tapi dengan semua kelebihan yang Aerin miliki, kenapa gadis Jeon itu malah mendapatkan diskriminasi hanya karena warna mata dan rambutnya yang berbeda dengan orang Korea pada umumnya. Dan yang lebih menyakitkan adalah keluarganya sendiri yang membedakan Aerin hanya karena penampilan fisik gadis itu.

 

Apakah keluarganya sudah gila?

 

Bukankah setiap orang memang memiliki perbedaan? Lalu kalau fisik Aerin yang jauh beda dari mereka itu apakah kesalahan Aerin? Apakah pantas hanya karena perbedaan itu Aerin harus menghadapi semua kata-kata menyakitkan dari sepupu-sepupunya? Apakah pantas juga ia diabaikan oleh Kakek, Nenek, dan bahkan Ayahnya sendiri?

 

“Jae.” Panggilan Aerin menyadarkan Jaehyun dari pikirannya yang berkecamuk.

 

“Sepertinya aku harus kembali ke kampus sekarang. Dosen pembimbingku meminta bertemu untuk membahas revisi yang aku kerjakan dan juga program magangku.” Imbuhnya dan sudah bersiap untuk pergi.

 

“Kalau begitu kita kembali bersama saja. Aku juga ada janji dengan tim sepok bola.” Usul Jaehyun sembari mengambil tasnya yang berada di kursi samping.

 

Keduanya pun pergi. Mereka kembali berjalan beriringan melewati jalan yang sama menuju kampus sembari melanjutkan obrolan keduanya. Namun kali ini Jaehyun yang menceritakan tentang dirinya sesuai permintaan Aerin.

 

“Aku anak tunggal.”

 

Aerin mengangguk dan berucap cukup pelan tetapi masih dalam jangkaun pendengaran Jaehyun. “Pasti kesepian sama sepertiku.”

 

Mendengar reaksi sedih Aerin membuat Jaehyun terhenyak dan diam. Ia melirik Aerin dengan ekor matanya. Memastikan jika ceritanya tidak semakin melukai hati gadis itu. Ia tidak yakin bisa melanjutkan ceritanya jika Aerin malah tersakiti. Tapi beruntung Aerin tidak menunjukkan kesedihannya hingga Jaehyun memberanikan diri untuk melanjutkan ceritanya.

 

Dimulai dari dirinya yang sangat menyukai ayam sampai bisa makan tiga kali dalam seminggu. Kemudian kondisi keluarganya, sedikit tahu kalau Jaehyun berasal dari keluarga yang cukup berada karena perusahaan warisan dari Kakeknya kini dikelola Ibunya sebagai ahli waris dan Ayahnya. Jaehyun juga menjadi cucu kesayangan sang Kakek karena wajahnya yang mirip dengan Ayah dari Kakeknya. Dengan kepribadiannya yang manis dan penurut, Jaehyun kecil jadi pusat kasih sayang keluarganya.

 

Dari gambaran singkat Jaehyun, Aerin bisa dengan mudah menemukan perbedaan hidup mereka. Sungguh, hidupnya dengan Jaehyun sangat berbeda. Mereka sama-sama hidup dalam kemewahan, hanya saja Jaehyun jauh sangat beruntung karena berada dalam keluarga yang hangat, pengertian, dan penyayang sedangkan dirinya kebalikan dari laki-laki Jung itu.

 

“Kamu beruntung banget Jae.” Ungkap Aerin yang enggak menyadari dengan apa yang baru saja ia katakan. Rasa irinya membuat Aerin akhirnya tanpa sadar menyampaikan isi hati terdalamnya yang ia pikir sudah dengan berlapang dada menerima kondisi keluarganya. Tapi ternyata, ada bagian terkecil dalam hatinya yang masih berharap untuk bisa hidup seperti dalam keluarga Jaehyun.

 

Lirihan Aerin membuat Jaehyun seketika berhenti berjalan dan memerhatikan Aerin yang masih berjalan dan tidak menyadari dirinya. Matanya tidak lepas menatap punggung kecil itu dengan denyut aneh di dadanya. Sampai Jaehyun dengan langkah lebarnya memangkas jarak mereka lalu menarik pelan lengan Aerin hingga tubuh mungil itu ada di dalam pelukannya.

 

“Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih.”

 

Aerin yang mendengarnya hanya tergelak pelan dan melepaskan dirinya dari pelukan Jaehyun.

 

“Tak apa Jae, aku sudah biasa kok.” Balasnya dengan tertawa kecil.

 

Jaehyun pun mengangguk pelan dan kembali mengucapkan maaf. Ia tidak ingin memperpanjang kesalahannya walau dirinya merasa ada kesedihan di balik tawa kecil itu. Ada keiinginan untuk mendengar lebih tentang kesedihan Aerin. Tapi Jaehyun tak ingin menekan Aerin untuk lebih terbuka pada dirinya. Ia ingin Aerin bercerita sendiri padanya atas kemauan gadis itu.

 


T . B . C



- DF -

Comments

Popular Posts