How Hurt : Part 4
(DISCLAIMER: Penggunaan nama tokoh dalam cerita tidak ada hubungannya dengan sosok asli dalam kehidupan sebenarnya.)
.
.
.
Aerin telah siap
dengan jeans, white tee, serta sneakers
di pagi yang masih cukup pagi itu. Belum ada tanda-tanda sinar yang terik.
Masih hanya seraut sinar hangat yang menyinari bumi dan seiisinya. Ia bergegas
pergi meninggalkan kamarnya hanya untuk bertemu dengan kekosongan rumah
besarnya.
Mengernyit bingung saat
tidak menemukan keberadaan Kakeknya dengan secangkir kopi dan selembar koran
yang ditemani sang Nenek yang tengah menyeruput teh hangatnya di ruang tengah.
Begitupun dengan Ayahnya yang tidak terlihat di taman belakang seperti biasa.
Padahal pria setengah baya itu akan menghabiskan paginya untuk berolahraga
kecil di taman jika tidak ada pekerjaan. Tapi pagi itu semua yang seharusnya
ada karena rutinitas mendadak menghilang.
Tapi Aerin tidak
mau memikirkannya. Janji bertemu dengan sang sahabat jauh lebih penting. Ia
sudah menunggu pagi itu sejak semalam, sampai-sampai dirinya sulit terpejam
karena euforia yang dirasakan.
Karena itu, Aerin
segera bergegas menuju mobilnya dan meminta sang supir untuk mengantarkannya ke
kediaman Yunji. Mereka janji bertemu di rumah sahabatnya itu karena katanya
Yunji ingin memberikan Aerin hadiah berupa sarapan pagi buatannya.
Memikirkannya
membuat Aerin terkikik geli. Yunji itu tipikel gadis yang enggan masuk ke
dapur. Hubungan yang terjalin antara mereka lebih kepada parasitisme. Jika
Yunji cedera maka dapur akan baik-baik saja, tapi jika Yunji baik-baik saja itu
berarti dapur rumahnya akan berubah seperti habis perang. Bukan berarti Yunji
tidak pandai memasak, hanya gadis itu selalu mengalami hal buruk ketika
memasak.
Aerin keluar dari
mobilnya dan menapaki kedua kakinya di jalan setapak. Kaki jenjang berbalut sneakers itu melangkah menuju pintu
utama lalu mengetuk pintu putih di depannya. Tidak perlu menunggu lama, Aerin
langsung mendapat sambutan kelewat bahagia oleh Yunji begitu pintu terbuka.
Sahabatnya itu langsung melompat dan memeluknya dengan erat sampai Aerin
tercekik karena kedua tangan Yunji yang melingkar di lehernya.
āSelamat sahabat
terbaikku!ā
āUhuk..ā Aerin menepuk punggung Yunji.
āTe-Terima-kas-ih uhuk..ā
Masih terus
memukuli punggung Yunji yang bergelayut padanya, Aerin kembali berucapa dengan
susah payah.
āTa-pi lepaskan
ini. Ka-mu mence-kik-ku.ā Ia berucap dengan terbata.
Yunji segera
melepaskan dirinya dan tersenyum lebar sembari menggaruk lehernya yang tidak
gatal. Lalu ia berkata, āMaaf, aku terbawa suasana.ā Dan tertawa canggung.
Aerin memelototi
sang sahabat sembari mengusap lehernya yang sempat tercekik. Jika tidak ingat
sahabat, Yunji pasti sudah ia pukul. Enak saja meminta maaf setelah hampir
membuatnya kehabisan napas. Untung sayang, kalau tidak nasib Yunji pasti buruk
di pagi yang cerah itu.
āAh! Ayo masuk. Sarapan spesialmu sudah
tersaji.ā
Aerin memasuki
rumah itu setelah Yunji memberikan ruang baginya. Kemudian mereka berjalan
beriringan setelahYunji kembali menutup dan mengunci pintu di belakangnya.
āIbu dan Ayahku
juga ada di meja makan. Mereka ikut senang saat aku menceritakannya.ā
Aerin hanya bisa
mengembangkan senyumnya semakin lebar. Dalam hati dirinya bersyukur. Ternyata
masih ada yang peduli padanya. Masih ada yang merasa senang dengan
pecapaiannya. Sekalipun itu bukanlah keluarganya.
Setelah
menghabiskan sarapan spesial yang dibuatkan Yunji dan mengobrol singkat dengan
kedua orang tua sahabatnya itu, Aerin dan Yunji akhirnya pamit untuk pergi ke
taman bermain. Keduanya sengaja pergi pagi-pagi, karena mereka ingin menaiki
semua wahana di sana. Mereka ingin merayakan pencapaian lainnya seorang Jeon
Aerin dengan bermain. Mengeluarkan stress dengan berteriak sembari menaiki
wahana ekstrim, tertawa saat menaiki wahana lucu, atau ketakutan karena
memasuki wahana menyeramkan.
Intinya kedua gadis
itu ingin menghabiskan hari sabtu mereka hanya berdua. Bermain, berlarian, dan
tertawa selama satu hari penuh tanpa ada yang mengganggu. Melupakan kepenatan
hidup sebagai seorang mahasiswa. Apa lagi keduanya akan memulai masa magang
dalam beberapa minggu ke depan. Pasti akan semakin penuh tekanan dan
melelahkan.
Suasana taman
bermain sudah ramai saat mereka sampai. Beruntung beberapa wahana tidak banyak
yang mengantri sehingga Aerin dan Yunji memutuskan untuk menaiki wahana
tersebut sebelum mengikuti antrian yang lebih panjang. Yang pertama adalah
wahana kora-kora. Mereka memilih untuk menempati kursi paling belakang karena
yang paling menakutkan. Itu adalah ide Yunji si pemberani. Gadis itu begitu
menggilai wahana esktrim sampai akhirnya Aerin menjadi terbiasa.
Saat wahana mulai
bergerak, baik Aerin atau Yunji masih belum menunjukkan reaksi ketakutan mereka.
Mereka masih bisa tersenyum tanpa ada teriakan. Namun saat wahana mulai
bergerak lebih cepat, Aerin mulai berteriak dan diikuti Yunji sembari tertawa. Ketika
pergerakannya semakin kencang, tawa mereka ikut semakin kencang. Ralat. Tidak
ada ketakutan seperti yang terlihat di wajah pengunjung lainnya. Aerin dan
Yunji hanya tertawa kencang sambil menikmati berpacunya adrenalin mereka.
Jadi ini rasanya
menikmati hidup tanpa harus memikirkan masalah pribadi. Menikmati waktu dengan
hanya tertawa dan berteriak bersama dengan orang yang tidak dikenal ternyata
lebih menyenangkan dibandingkan terperangkap dalam kandang emas. Aerin jadi
sadar jika sebenarnya dalam hidup itu bukan tentang setenang apa tempat ia
berada, tapi sebebas apa dirinya di tempat itu.
Ia jadi teringat
Ibunya. Dulu ia merasa begitu nyaman di rumah karena ada sosok Ibu. Tapi sejak
kepergiannya, rumah yang ia pikir tempat paling baik ternyata berubah menjadi
tempat yang paling tidak Aerin sukai. Jika boleh jujur, Aerin lebih suka berada
di rooftop kampusnya di bandingkan
rumah dengan segala kemewahan.
Di rooftop Aerin bebas melakukan apa pun.
Berteriak sekencang-kencangnya. Menangis sejadi-jadinya. Tertidur lama. Apa pun
itu yang ia lakukan, tidak akan ada komentar menyakitkan yang akan ia dengar.
Tapi berbeda saat ia menyembunyikan dirinya di dalam kamar. Pasti akan ada
suara pelayang yang mengganggu atas perintah sang Nenek. Setiap gerakannya
menjadi terbatas oleh aturan yang ada.
Sama seperti di
taman bermain ini. Aerin merasa bebas berteriak dan tertawa. Ia bisa berlari
sesuka hatinya tanpa takut dengan omelan sang Nenek. Hak bebasnya seperti
kembali ia dapatkan.
āAerin aku lapar.ā
Keluh Yunji setelah mereka turun dari bianglala.
āAku juga. Ayo kita
makan, ini juga sudah lewat jam makan siang.ā
āEm.ā Yunji menganggukkan kepalanya.
āKita makan di luar ya. Aku sudah lelah bermain.ā
Setelah menaiki
banyak permainan, adrenalin yang membuncah akhirnya telah membawa tubuh Aerin
dan Yunji pada rasa yang namanya lelah. Keduanya menyerah untuk melanjutkan
permainan yang ada. Rasa pegal sudah menyerang kaki mereka karena berlari dan
berdiri untuk mengantri. Belum lagi perut mereka yang belum diisi makanan,
membuat tubuh mereka semakin kekurangan tenaga.
Sampai akhirnya
keduanya keluar dari taman bermain untuk bergegas menuju restoran di salah satu
pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari sana. Yunji masih memiliki tugas untuk
menyetir karena hanya dirinya yang bisa. Sementara Aerin duduk tenang di
sebelahnya.
Sekitar setengah
jam, keduanya telah sampai di pusat perbelanjaan. Mereka memasuki tempat ramai
itu dan segera menuju restoran jepang yang menjadi kesukaan Yunji. Beruntung
keduanya datang saat jam makan siang telah lewat, mereka jadi tidak perlu
mengantri untuk mendapatkan meja karena keadaan restoran yang tidak ramai.
Yunji langsung
bersandar dengan kaki yang memanjang di bawah meja. Menghelakan napas beratnya
karena rasa pegal yang bersarang di tubuh. Tidak mau ketinggalan, Aerin juga
melakukan hal yang sama setelah selesai memesankan makanan. Ia bersandar
kemudian merentangkan tangan hingga bunyi gemertak terdengar.
āRin..ā
āHmm.ā
āLaptopmu
bagaimana?ā
āBagaimana apanya?ā
Yunji mendecakkan
lidah. āAku tahu kalau seminggu yang lalu laptopmu jatuh dari meja. Lalu
sekarang bagaimana?ā Tanyanya dengan kesal.
āMasih bisa
kugunakan kok. Hanya retak di ujung dan
patah di sisi kiri.ā Jawab Aerin tidak acuh.
āKamu tidak ingin
membeli laptop baru?ā
āTidak.ā Aerin
menatap Yunji. āAku sedang menabung Ji. Aku juga tidak ingin meminta pada
Ayah.ā
āKenapa?ā
Aerin mengembuskan
napas sebelum kembali menolehkan kepalanya.
āKamu tahukan
bagaimana keluargaku. Kalau pun dibelikan pasti akan sangat lama, Ayahku kan selalu lupa jika mengenai aku. Jika
tidak dibelikan pasti aku disuruh menggunakan punya Jungkook. Karena Jungkook
sudah beberapa kali ganti padahal laptopnya masih sangat bagus.ā
āLoh kenapa Jungkook dibelikan dan kamu
tidak?ā
āTsk!ā Aerin kesal dan memutar bola
matanya. āTentu untuk menunjang kegiatan belajar Jungkook. Apa pun pasti
diberikan jika itu Jungkook. Terlebih Nenek, beliau sangat menyayangi Jungkook
karena keterunan laki-laki satu-satunya dari satu-satunya anak laki-laki Nenek
dan Kakek.ā
Yunji lantas
membuang napasnya. Tidak menyangka jika sang sahabat telah hidup dalam
bayang-bayang saudara kembarnya. Andai saja ia bisa memohon pada Tuhan, mungkin
yang akan dia katakan pertama kali adalah kebahagiaan untuk Aerin. Ia tidak
bisa membiarkan Aerin hidup seperti itu. Hatinya ikut sakit merasakan kesedihan
sang sahabat.
āKalau begitu aku
yang belikan bagaimana? Anggap saja sebagai hadiah untukmu.ā
Aerin sontak
menengok dan menatap Yunji dengan tajam.
āTidak. Selama
laptopku masih bisa beroperasi dengan benar, aku tidak membutuhkan yang baru.
Laptop itu kenang-kenangan Ibu, jadi sampai laptop itu sangat rusak dan tidak
bisa digunakan lagi aku baru akan menggantinya.ā
Matanya berubah
sendu saat ingatan akan Ibunya kembali melintas di dalam pikirannya. Tidak bisa
memungkiri jika Aerin sangat merindukan kehadiran Ibunya. Jika bisa ia akan
lebih memilih untuk ikut saja dengan sang Ibu. Hidup berdua dengan orang yang
paling dicintainya.
āUntuk hadiah yang
kamu bicarakan, aku akan memintanya lain kali. Dan saat aku mengatakan
permintaanku kamu tidak bisa menolaknya
Ji. Karena ketika waktu itu datang, itu berarti aku sangat membutuhkan
bantuanmu melebihi keiinginan untuk membeli laptop baru.ā
āHei! Kamu membuatku takut tahu. Jangan
berbicara yang aneh-aneh. Hari ini kan
perayaan untuk jurnal dengan namamu yang sudah dipublikasikan.ā
Aerin tertawa
kecil.
āMaaf. Tapi apa
yang aku katakan tadi benar-benar akan datang. Aku merasa jika di masa depan
nanti aku akan menghancurkan sangkarku. Dan aku pasti membutuhkan bantuanmu.ā
Yunji tertegun.
Matanya mengamati Aerin yang terlihat menerawang jauh ke depan. Terbesit di
benaknya jika yang dikatakan Aerin memang akan terjadi. Tapi Yunji berusaha
menampiknya. Ia tidak ingin menerka hal yang belum pasti terjadi.
āIya iya. Aku janji
akan membantumu.ā
āSudah tidak usah
dibicarakan lagi. Kamu hanya membuatku pusing dan tidak tenang.ā Imbuh Yunji
sedikit kesal.
Aerin hanya dapat
menyunggingkan senyumnya menanggapi keluhan dan kekesalan Yunji. Tidak
melanjutkan lagi ucapannya karena pikirannya tengah melayang tidak menentu.
Ditambah perasaannya yang berubah tidak baik.
Ia hanya bisa berdoa
agar yang dirinya pikirkan tidak menjadi kenyataan di masa depan.
* *
* *
Aerin pulang saat
matahari senja hampir berganti rembulan. Ia memasuki rumahnya dengan dahi
mengerut karena melihat asisten rumah tangga yang berjalan bolak-balik. Ada
yang membawa alat kebersihan, ada yang membawa makanan di piring dan juga
minuman dingin, dan ada juga yang hanya berjalan tanpa membawa apa pun tapi
langkahnya lebih cepat.
Ia bingung. Apakah
ada acara di rumahnya sampai para pelayan terlihat sibuk? Biasanya penampakan
di depannya ini terjadi saat acara makan malam keluarganya di akhir bulan. Tapi
ini belum waktunya.
Aerin bahkan sampai
membuka kalender di ponselnya hanya untuk memastikan jika dirinya tidak salah
tanggal.
āKamu baru sampai?ā
Suara bariton berat
itu membuat Aerin menoleh. Ia melihat sosok Ayahnya yang tengah berdiri di
dekat tangga dengan ponsel di tangan.
āIya. Ayah ini ada
apa?ā
Sang Ayah menatap
Aerin sejenak. āOh, Nenek mengadakan
makan malam keluarga untuk merayakan pertandingan Jungkook tadi. Paman, Bibi,
dan Sepupumu yang lain sedang dalam perjalanan. Lebih baik kamu bersiap-siap
sekarang.ā Terangnya. Pria itu lantas kembali mengatensikan pandangannya pada
layar datar di tangannya. Mengabaikan Aerin yang seketika berubah dingin saat
mendengar penjelasannya.
Ia menghela napas sebelum
merajut langkahnya menuju kamar. Mengabaikan sapaan pelayan yang berpapasan
dengannya. Langsung mengunci diri di dalam kamar guna menghindari orang-orang
di luar.
Ternyata masih terasa sakit.,
batinnya berucap.
Aerin terduduk di
lantai. Punggungnya disandarkan pada kasur. Pemandangan senja dari balik pintu
balkonnya menemani Aerin yang terlihat sendu.
āIbu, aku berhasil
mempublikasikan jurnal lagi, walau aku bukan sebagai penulis utamanya. Tapi aku
sangat senang, karena itu berarti namaku sudah ada dalam lima jurnal. Aku
bangga dengan diriku, Bu. Tapi...ā
Aerin menarik
napasnya. Tiba-tiba saja matanya terasa panas dan tidak lama pelupuknya mulai
penuh dengan air mata. Aerin kesal dibuatnya. Kenapa setiap kali ia bercerita
dengan sang Ibu, air mata sialannya selalu memaksa keluar. Aerin tidak mau
menangis. Ia tidak ingin membuat sang Ibu bersedih karena melihat dirinya
menangis.
āSepertinya tidak
ada yang peduli. Nenek, Kakek, bahkan Ayah dan Jungkook pasti biasa saja
menanggapinya. Semua pasti sama saja Bu. Mereka tidak pernah bangga dengan apa
yang aku lakukan, beda dengan Jungkook. Semua yang Jungkook lakukan pasti
selalu mendapat perhatian dari yang lain, terutama Nenek.ā
Ia berhenti sejenak
untuk menyekah air mata yang telah membasahi pipi tanpa seiizinnya.
āAku iri Bu. Aku
iri dengan saudara kembarku sendiri. Aku ingin seperti Jungkook walau cuma satu
hari. Aku ingin merasakan bagaimana diperhatikan dan selalu mendapat
penghargaan setiap kali melakukan sesuatu.ā
Semakin banyak
keluh kesah yang tersampaikan, semakin banyak juga air mata yang mengalir.
Aerin muak tapi ia tidak bisa membuat matanya berhenti menangis. Ia tetap saja
menangis dan semakin terisak saat sesaknya semakin terasa menyiksa. Bahkan ia
sampai kesulitan melanjutkan ceritanya karena terlalu emosional.
Sampai seseorang
mengetuk pintu kamarnya lalu memberitahu jika keluarganya telah tiba dan Aerin
diminta untuk turun. Aerin harus berusaha keras untuk menyembunyikan isakannya
agar pelayan yang mengetuk tidak tahu jika dirinya menangis. Setelah kepergian
sang pelayan, tangis Aerin kembali pecah. Tangannya semakin erat menggenggam
ponsel yang digunakan untuk merekam suaranya. Kebiasaan merekam suara yang
dilakukan Aerin sama seperti yang Ibunya dulu lakukan. Seperti halnya
orang-orang yang menulis di buka diary,
tapi Aerin lebih memilih mengikuti sang Ibu dengan merekam suaranya.
āIbu tolong berikan
aku kekuatan, setidaknya sampai acara makan ini selesai. Dan tolong lindungi
aku dari atas sana Bu. Ibu aku sangat menyayangimu.ā
Aerin mengakhiri
rekamannya. Ia lantas berdiri dan bergegas menuju kamar mandi untuk mencuci
muka dan berganti pakaian. Setelahnya ia keluar dari kamar dengan hati yang
masih sesak dan rasa kecewa yang tiba-tiba tumbuh di benaknya.
Memasuki ruang
keluarga, Aerin memilih duduk di sofa tunggal dan berjarak dengan keluarganya.
Ia lebih baik mengasingkan dirinya lebih dulu daripada diasingkan sepupunya,
seperti biasanya. Ia mencoba mengabaikan sekitarnya. Menutup kedua telinga dari
ucapan penuh bangga untuk Jungkook atas kemenangan tim sepak bola yang
dipimpinnya. Ditambah lagi sanjungan sang Nenek yang menyaksikan langsung
penampilan Jungkook tadi pagi.
Oh jadi itu alasan
kenapa tadi pagi rumahnya sangat sepi. Ternyata Nenek, Kakek, dan Ayahnya pergi
menonton pertandingan sepak bola Jungkook.
Aerin berusaha
sangat keras untuk mengabaikan semuanya. Tapi telinganya mengelak dan malah
mendengarkan setiap ucapan keluarganya. Pujian, sanjungan, dan ucapan yang
disampaikan untuk Jungkook seperti sebuah pisau yang dilemparkan ke jantungnya.
āAerin.ā
Ia mengangkat
kepalanya dan menemukan sosok Hoseok telah berdiri di depannya. Laki-laki itu mengusap puncak
kepala Aerin sebentar sebelum menduduki sofa di sebelahnya.
āSelamat! Oppa bangga padamu. Ini hadiah untukmu.ā
Ucapnya sembari memberikan paper bag
dengan logo laptop terkenal.
Aerin terlihat
bingung. Ia menatap bergantian Hoseok dan paper
bag yang ada di depan wajahnya.
āOppa sepertinya salah. Aku tidak
melakukan apa pun, tapi Jung-ā
āSstt. Oppa tahu kalau kamu berhasil mempublikasikan jurnal dan oppa juga tahu kalau laptopmu baru saja jatuh.ā
āBa-Bagai-mana..ā
Aerin tergagap. Ia tidak menyangka jika Hoseok mengetahui hal itu. Seiingatnya
ia tidak menceritakan apa pun pada Hoseok.
āOppa tadi melihatmu dengan Yunji di
restoran dan tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Tadinya Oppa ingin menghampirimu, tapi rekan oppa mengajak untuk segera pergi.ā
Aerin tidak berkata
lagi. Lidahnya menjadi kelu dengan perhatian yang Hoseok berikan untuknya. Sungguh ia senang
sekali karena setidaknya masih ada sosok Hoseok yang memperhatikannya. Sampai
membuat matanya kembali memproduksi cairan bening hingga lelehan hangat kembali
mengalir di pipinya.
āKenapa kamu tidak
bercerita pada Oppa?ā
Aerin tertunduk. Ia
tidak berani menatap mata Kakak Sepupunya itu. Ada rasa bersalah karena
menutupi sesuatu dari Hoseok.
āI-Itu, aku pikir
tidak akan ada yang peduli. Jadi aku tidak mengatakan apa-apa.ā Lirihnya dengan
suara yang bergetar dan air mata yang mengalir.
Hoseok bergeming
dengan hanya helaan napasnya saja yang terdengar. Aerin mengira jika Hoseok
marah padanya. Ia menjadi takut. Takut jika akhirnya Hoseok ikut mengabaikannya
karena ia yang tidak mengatakan apa pun. Tapi perkiraannya salah karena ia
merasa tangannya digenggam dengan erat dan wajahnya diangkat.
āAerin.ā Hoseok
menarik napasnya. āOppa akan selalu
peduli padamu. Jadi jangan menutupi apa pun lagi dari Oppa, mengerti?ā
Aerin hanya bisa
mengangguk pelan. Hatinya kembali menghangat hanya karena perhatian dan
pengertian yang Hoseok berikan.
āOppa akan berbicara dengan Paman
Minhyun. Mereka harus tahu kalau kamu baru saja menorehkan prestasi, tidak
hanya Jungkook.ā
āTidak. Oppa tidak perlu melakukan itu.ā Potong
Aerin cepat dengan menahan pergelangannya.
Hoseok terlihat
heran. āKenapa?ā Tanyanya.
Aerin tersenyum
simpul. Obsidannya menatap lekat manik milik Hoseok hingga membuat laki-laki
itu merasa seperti tenggelam dalam lautan nan biru tanpa dasar.
āAku sudah terbiasa
diabaikan. Jika Oppa mengatakannya
pada Ayah atau Nenek dan Kakek sekali pun, itu tidak akan mengubah apa pun.
Karena di keluarga ini, keturunan laki-laki yang paling berharga dan itu adalah
Jungkook.ā
T . B . C
- DF -
Comments
Post a Comment