How Hurt : Part 5

 


 



(DISCLAIMER: Penggunaan nama tokoh dalam cerita tidak ada hubungannya dengan sosok asli dalam kehidupan sebenarnya.)


.

.

.





Aerin menutup pintu di belakangnya setelah hampir satu jam ia duduk berhadapan dengan dosen pembimbing. Ia merasa lega karena salah satu bebannya telah terangkat, walaupun masih menunggu masukan dari pembimbingnya terkait laporan yang baru saja ia kumpulkan. Tapi setidaknya satu hal sudah ia selesaikan dengan baik. Isi kepalanya jadi berkurang karena kegiatan magang juga telah usai. Seharusnya Aerin bersorak, tapi ia tidak bisa. Ada hal lain yang masih memenuhi pikirannya sekali pun beban di kepalanya telah berkurang.

 

Untuk kesekian kalinya, embusan hangat keluar. Entah kenapa hanya memikirkan apa yang baru saja ia bicarakan dengan pembimbingnya membuat lelah itu kembali datang. Euforia karena laporannya telah selesai menghilang begitu saja tanpa jejak.

 

“Jeon Aerin!”

 

Suara memekikan itu menginterupsi Aerin dari kegelapan pikirannya. Seketika kepalanya tertoleh ke arah suara berasal dan menemukan sang sahabat tengah berjalan menghampirinya/

 

Ck! Gadis itu selalu saja berteriak. Membuat Aerin malu karena suaranya yang nyaring.

 

“Kamu habis mengumpulkan laporan magang kan?” Tanya Yunji dengan kening yang mengerut dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Aerin.

 

“Tapi kenapa mukamu kusut sekali?”

 

Aerin lagi-lagi menghela napasnya yang berat. Ia kemudian meletakkan tangannya di atas pundak Yunji sembari mengajak sahabatnya itu untuk pergi dari depan ruang dosen.

 

“Kamu tahu, semester depan itu semester akhir. Kita sudah harus memikirkan skripsi kita bodoh.”

 

Eh itu.” Yunji terlihat menggaruk kepalanya. “Aku lupa.” Kemudian tertawa malu.

 

Aerin sendiri hanya mendengus dan tetap melanjutkan langkah kakinya dengan Yunji di samping. Dalam hati Aerin meminta maaf pada Yunji karena lagi-lagi membohongi sahabatnya itu –walau tidak sepenuhnya karena permasalahan skripsi juga menjadi salah satu alasan mengapa kepalanya teras penuh dan akhirnya pusing. Aerin belum siap untuk mengatakan apa yang terjadi tadi kepada siapa pun. Ia perlu mencari waktu yang tepat untuk menjaga kebaikan semua orang.

 

“Kita jadi ke toko kan?”

 

“Tentu saja! Aku sudah tidak sabar untuk pergi makan seafood.” Seru Aerin dengan mata yang berbinar. Membuat Yunji akhirnya mengembangkan senyumnya, ikut senang dengan Aerin. Jarang-jarang sahabatnya itu bisa tersenyum selebar itu. Hanya ada dua hal yang bisa membuatnya merasa sangat senang, yang pertama adalah Ibunya dan yang kedua adalah makanan laut.

 

Di tengah perjalanan menuju tempat parkir, perjalanan mereka harus terhenti karena kehadiran Jaehyun. Laki-laki berlesung pipi itu menyapa Aerin dengan senyum maut andalannya yang dibalas dengan senyum kecil tapi manis milik Aerin. Sementara Yunji, ia memicingkan matanya. Mengamati dengan lekat sosok Jaehyun dengan perasaan yang aneh.

 

“Kamu sudah mengumpulkan laporanmu?”

 

Aerin hanya mengangguk singkat.

 

“Lalu bagaimana magangmu?”

 

Em.. biasa saja. Aku menemani dosenku melakukan konseling lalu ketika pasiennya sudah pergi aku merangkum semuanya dan membuat diagnosa awal. Lalu bagaimana denganmu? Apakah menyenangkan magang di perusahaan pemerintah?”

 

“Cukup menyenangkan. Aku banyak mendapat pelajaran beru di sana.”

 

“Itu bagus!”

 

Ehem!” Deheman kencang dari Yunji membuat Aerin dan Jaehyun menoleh. Jaehyun melihat dengan bingung sahabat Aerin itu sementara Aerin mengamati raut wajahnya. Sampai akhirnya dia memukul pelan keningnya, membuat Jaehyun kembali mengalihkan atensi padanya.

 

“Maaf Jae aku dan Yunji harus pergi sekarang. Kami ada janji dengan Jhonny Oppa.”

 

Sekektika raut Jaehyun berubah sedih.

 

“Benarkah? Padahal aku ingin mengajak pergi makan.”

 

“Mungkin lain kali. Sekali lagi maaf. Aku dan Yunji pamit dulu. Sampai jumpa.”

 

Maka dengan cepat Aerin menarik tangan Yunji, meninggalkan Jaehyun yang hanya bisa memandangi kepergian mereka dengan sedih. Kemudian ada rasa kesal yang tumbuh saat teringat Aerin menyebutkan nama Jhonny. Ia ingat siapa laki-laki bernama Jhonny itu. Sejujurnya Jaehyun tidak menyukai kedekatan Aerin dengan Jhonny. Mereka terlalu akrab untuk ukuran atasan dan pegawai. Tapi Jaehyun berusaha untuk tenang. Ia tidak mau membuat Aerin tidak nyaman karena kecemburuannya. Lagi pula Jaehyun tidak menemukan tatapan aneh dari Aerin untuk Jhonnya waktu itu. Ia hanya melihat bagaimana Aerin menatap kagum sosok itu. Mungkin karena Jhonny memperlakukan Aerin seperti seorang Kakak –Jaehyun berusaha berpikir positif.

 

Namun sedikit tahu jika sebenarnya di balik semua itu, Aerin memang memiliki perasaan lebih pada Jhonny. Tidak ada yang tahu hal itu kecuali Aerin dan sang Ibu karena ia selalu menceritakannya pada sang Ibu melalui rekamanan. Aerin sangat pandai menutupi perasaannya sampai Yunji saja tidak sadar jika sahabatnya menyukai sepupunya.

 

Semua berawal saat Jhonny menemani Aerin ketika hujan turun. Malam itu kota Seoul dilanda hujan berangin dan Aerin lupa membawa payungnya. Ia akhirnya menunggu di toko dan berencana pulang saat hujan reda. Jhonny yang kebetulan masih ada di sana akhirnya menemani Aerin karena berpikir jika tidak baik meninggalkan Aerin sendiri.

 

Jujur, perhatian kecil itu membuat Aerin sangat tersentuh. Jhonny adalah orang kedua –setelah Yunji– yang memikirkan keselamatannya. Rela menemani Aerin walaupun hari hampir larut. Hal yang seharusnya dilakukan oleh keluarga tapi malah didapatkan Aerin oleh orang lain. Hatinya menghangat karena itu. Rasa hangat yang sudah lama tidak dia rasakan dan akhirnya dapat Aerin kembali rasakan.

 

Namun kehangatan itu tidak bertahan lama. Rasa hangatanya hilang berganti dingin seperti udara di luar saat dirinya sampai di rumah. Saat Aerin membuka pintu utama, keadaan rumah sudah berubah gelap. Ia kemudian melirik jam tangannya dan menghela cukup keras saat mengetahui jika hari telah larut. Ia bergegas menuju dapur berharap masih ada makanan yang tersimpan di meja makan. Tapi harapannya kandas saat melihat meja sudah bersih. Hingga akhirnya dengan rasa dingin dan tubuh yang menggigil, Aerin membuka pintu lemari es dan menuangkan susu ke dalam gelas. Dirinya meminum sampai habis cairan putih itu dan berharap rasa laparnya dapat hilang.

 

Sial! Tahu begitu lebih baik tadi dia beli makan di luar. Harusnya ia tidak usah berharap jika keluarganya mengingatnya. Sudah jelas bukan keberadaannya tidak terlalu penting untuk keluarganya sendiri.

 

Aerin pikir setelah bangun tidur tubuhnya akan membaik tapi ia malah terkena demam. Ia merasa kedinginan sampai harus memakai jaket disaat matahari bersinar cerah. Saat keluar dari kamar rasanya Aerin ingin beristirahat saja di rumah, tapi sialnya hari itu ada kuis yang tidak boleh dilewati. Aerin mau tak mau tetap berangkat dengan kondisi yang sangat tidak baik.

 

Ia memang sudah tidak berharap banyak pada keluarganya. Sejak malam tadi, Aerin sudah bersumpah untuk menjalani harinya seperti tidak memiliki siapa pun. Sudah cukup rasanya menggantungkan harapan tapi tak juga digapai. Ia lelah berharap dalam ketidakpastian.

 

Maka saat Aerin tiba di ruang makan, ia tidak berpikir jika ada satu saja anggota keluarganya yang menanyakan keadaannya atau paling tidak merasa aneh dengan dirinya. Di meja besar itu Kakek, Nenek, Ayah dan Jungkook makan seperti biasanya. Tidak ada yang menyadari kondisi Aerin yang terlihat pucat. Bahkan Jungkook yang kembarannya saja juga tidak merasa aneh dengan Aerin, padahal katanya saudara kembar itu memiliki ikatan batin yang kuat. Jika salah satu sakit biasanya kembarannya akan merasakannya juga. Tapi itu tidak berlaku untuk Aerin dan Jungkook. Mereka bukan seperti saudara kembar pada umumnya.

 

Di tempat duduknya, Aerin hanya bisa berusaha menahan rasa dingin yang menyerang hingga persendiannya. Menahan getaran tubuhnya. Dan berusaha memakan sarapannya sekali pun tangannya bergetar dan lidahnya terasa pahit. Mengabaikan rasa nyeri di hati karena keluarganya. Benar jika ia sudah menarik semua harapan atas keluarganya, tapi rasa sakit hatinya ternyata masih terasa hingga membuat matanya ikut memanas.

 

“Jeon Aerin!”

 

Aerin terkesiap. Ia menoleh dan mendapati Yunji yang menatap dirinya dan jalan bergantian. Wajah sahabatnya itu terlihat khawatir.

 

“Kamu kenapa? Aku sudah memanggil sejak tadi tapi kamu malah melamun.” Tanya Yunji yang kembali memfokuskan pandangannya ke depan.

 

“Aku tiba-tiba teringat masa lalu.” Jawab Aerin jujur. Tidak ada yang harus ditutupi toh sahabatnya ini juga tahu kejadian itu.

 

Walau hanya sebuah ingatan tapi rasa sakitnya ternyata masih dapat Aerin rasakan. Sampai membuat Aerin hampir menangis jika saja suara Yunji tidak mengusik gendang telinganya.

 

“Hanya itu?”

 

Em.”

 

Terdengar Yunji yang mengembuskan napasnya dengan kencang. Matanya masih melihat ke depan saat vokalnya kembali terucap.

 

“Jangan bohong. Aku tahu ada hal lain yang kamu pikirkan.” Ia memberikan jeda singkat. “Aku tidak memaksamu untuk bercerita padaku. Tapi tolong jangan berbuat yang aneh-aneh.”

 

Aerin terdiam. Ia sedang mencerna perkataan Yunji. Tidak tahu kenapa setelah mendengar Yunji, ia jadi ingin menceritakan kegelisahannya. Ia merasa perlu membaginya jika tidak ingin gila. Sudah lama ia memendam kegelisahan yang tidak dirinya ketahui apa penyebabnya.

 

“Ji, perasaanku tidak enak.”

 

Itu adalah kalimat pertama Aerin setelah membiarkan beberapa menit terlewat dalam hening. Aerin tidak menatap Yunji, sedangkan Yunji menoleh sebentar sebelum kembali fokus ke depan.

 

“Kenapa?”

 

Ia menghela napasnya yang berat. “Aku juga tidak tahu, tapi rasanya seperti saat Ibu pergi. Aku takut Ji, bagaimana jika ini sebuah pertanda juga?”

 

Kini giliran Yunji yang menghela napas. Tepat saat itu lampu lalu lintas berubah merah, Yunji menggunakan kesempatan itu untuk memutar tubuhnya menghadap Aerin.

 

“Aku tidak tahu harus berkata apa, tapi yang pasti aku akan selalu di sampingmu. Jadi berhenti berpikiran yang aneh-aneh. Kamu bisa cepat tua jika terlalu banyak pikiran, tau?”

 

Aerin bergeming. Lantas Yunji kembali melajukan mobilnya saat lampu lalu lintas berubah hijau.

 

“Ji, jika nanti memang firasatku terbukti. Aku mohon bantu aku.” Ucap Aerin saat mobil yang ditumpanginya telah kembali berjalan.

 

“Tanpa kamu minta aku akan membantumu, Rin. Kita ini sahabat, bukan?”

 

Aerin mengangguk. Senyum di bibirnya pun terbit setelah dirundung murung.

 

“Oh iya,” Suara Yunji kembali mengalun dan membuat Aerin mau tidak mau menatap sang sahabat.

 

“Mengenai Jaehyun.” Sambungnya yang membuat kerutan timbul di kening Aerin.

 

“Aku tidak tahu apakah kamu sudah tahu atau belum, tapi aku dengar jika Jaehyun itu salah satu sahabat Jungkook. Mereka mulai dekat sejak bergabung di tim sepak bola bersama Eunwoo dan Mingyu.”

 

 

*   *   *   *

 

 

Aerin sama sekali tidak berselera. Ia hanya mengaduk makanannya tanpa berniat menyuapkan nasi beserta hidangan lainnya ke dalam mulut. Pikirannya melanglang buana bersama dengan hati yang semakin gusar. Entah kenapa saat menginjakkan kaki di rumah, kekhawatiran dan ketakutan Aerin kian menggila. Ia menjadi merasa sesak tanpa tahu apa penyebabnya. Jika dibolehkan untuk tidak makan, Aerin pasti memilih untuk berdiam di kamarnya dengan lampu yang dimatikan.

 

Ia mengembus napasnya sepelan mungkin. Tidak ingin menarik perhatian keluarganya karena bisa memicu pertanyaan yang tidak ingin Aerin jawab –dengar saja tidak. Sebisa mungkin bertahan untuk beberapa saat lagi hingga acara makan malam ini berakhir.

 

Sayangnya saat ia pikir dirinya bisa kembali ke kamar, Kakeknya malah meminta seluruh anggota keluarga untuk tetap di sana karena ada yang ingin dikatakan. Aerin bersungut kesal tapi tidak bisa menolak. Ia yang telah berdiri dari duduk kembali menempati kursinya, masih dengan ketakutan dan kekhawatiran yang menyesakkan dadanya.

 

“Satu bulan yang lalu aku datang ke makam sahabatku. Hari itu adalah peringatan satu tahun kepergian Jaehan. Aku di sana berdoa dan bertemu dengan keluarganya. Aku masih ingat anak perempuan Jaehan yang kini meneruskan bisnisnya itu karena dulu aku dan Jaehan sering bertemu. Kalau tidak salah namanya Byun Hana.” Kakeknya menjeda.

 

“Dia bilang jika pengacara keluarganya menyampaikan pesan dan dia memberitahu isi pesan itu kepadaku. Aku sempat terkejut dan seketika merasa bersalah karena isi pesan yang disampaikan Hana adalah janji yang aku dan Jaehan buat. Janji itu adalah keiinginan untuk memperkuat hubungan persahabatan yang sudah terjalin lama dengan cara menikahkan keturunan kami.” Sambung sang Kakek.

 

Aerin yang terdiam di kursinya sama sekali tidak tertarik dengan cerita yang sedang Kakeknya ceritakan. Mengenai persahabatnya hingga janjinya. Sejujurnya Aerin tidak peduli akan hal itu. Tapi semakin lama Kakeknya bercerita, Aerin malah menjadi was-was. Ia jadi merasa semakin takut, apa lagi saat Kakeknya terus menekankan kata perjodohan. Pikirannya mulai kacau dengan prasangka buruk yang timbul.

 

Ketika Kakeknya mengatakan jika ia ingin merealisasikan janji itu dengan menjodohkan cucu sahabatnya dengan cucu perempuannya, Aerin merasa darahnya berdesir hebat. Debaran jantungnya semakin menggila hingga tangannya terasa dingin.

 

Dalam kegusaran yang semakin menggila, Aerin berusaha untuk tenang dalam duduknya. Diam-diam ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya pelan. Mencoba untuk berpikir positif dengan apa yang Kakeknya sampaikan.

 

Ingat!

 

Aerin bukan cucu perempuan satu-satunya. Masih ada sepupunya yang lebih layak untuk memasuki jenjang seserius itu.

 

“Dan aku berencana untuk menjodohkannya dengan Aerin.”

 

Aerin seketika terhenyak. Tubuhnya mematung. Detak jantungnya seperti dihentikan tiba-tiba, begitu pun dengan darahnya yang ikut berhenti mengalir. Bahkan ia sampai tidak bisa merasakan kakinya menapak di lantai. Nyawanya seakan ditarik paksa keluar dari tubuh ketika namanya di lafalkan. Aerin membisu dalam keterkejutan yang begitu besar. Ia sampai tidak menyadari jika sang Kakek sudah beberapa kali memanggilnya meminta pendapat. Aerin terlalu terkejut bahkan untuk menarik kembali Aerin dari rasa terkejutnya itu, Jungkook harus mengusap tangan Aerin yang berada di atas pangkuannya.

 

Sentuhan tiba-tiba itu kembali membuat Aerin terkejut. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum menunduk untuk melihat apa yang terjadi. Ketika menyadari tangannya ada dalam genggaman Jungkook, ia berusaha untuk melepaskannya. Lalu Aerin langsung menatap sang Kakek –masih dengan wajah yang terkejut.

 

“Di-Dijodohkan?”

 

Kakeknya mengangguk.

 

“Kenapa aku? Bukankah Hyejin Eonni lebih tua dariku. Kenapa harus aku?”

 

Terlihat Kakeknya yang menghela sembari membenarkan posisi duduknya.

 

“Karena Ayahmu setuju sedangkan Pamanmu, Ayah Hyejin tidak. Dan karena hanya kalian berdua cucu perempuan keluarga ini, makanya Kakek menjodohkan kamu.”

 

Aerin berdiri dari kursi. Matanya memerah menahan amarah sekaligus air mata. “AKU ENGGAK MAU!”

 

Sang Kakek sedikti terkejut sampai mengerjap cepat karena untuk pertama kali Aerin meninggikan suaranya, begitu pun dengan anggota keluarga yang lain. Bahkan sang Ayah sampai memperingati untuk tetap berperilaku sopan karena bagaimana pun Aerin tengah berbicara dengan Kakeknya.

 

“Kakek?” Aerin berdecak. “Setelah sekian lama melupakanku, akhirnya berani menyebut diri sebagai Kakek tapi saat ada maunya. Wow!”

 

“AERIN!” Ayahnya berteriak marah hingga berdiri.

 

“APA?” Tantang Aerin dengan suara yang tak kalah tinggi.

 

Tanpa diduga sebuah tamparan keras didapatkan Aerin. Kepalanya seketika terteleng dan kupingnya berdengung cukup kencang. Aerin diam. Otaknya masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

 

Sementara itu, Neneknya sampai menutup mulut karena terkejut. Sang Nenek tidak menyangka jika Anaknya akan melakukan tindak kekerasan pada Cucunya. Sedangkan Jungkook ikut berdiri setelah satu tamparan Ayahnya mengenai wajah sang saudara. Jungkook langsung memposisikan dirinya di depan Aerin seakan melindungi saudaranya dari sang Ayah.

 

“Apa yang Ayah lakukan?” Jungkook bertanya marah.

 

Sang Ayah hanya bisa terdiam. Pria setengah baya itu juga tidak kalah terkejut dengan apa yang baru saja dilakukan. Tatapannya pun berubah sendu dan penuh sesal saat melihat Aerin di balik tubuh putranya.

 

Kebisuan yang terjadi terasa cukup menyakitkan. Tidak ada yang pernah membayangkan jika makan malam yang biasanya berjalan baik, malam itu malah berubah mengerikan. Kakeknya sampai berpikir apakah ia salah menyampaikan berita itu saat makan malam. Tapi tak lama pikirannya mengatakan bahwa yang ia lakukan sudah tepat. Sementara Ayahnya juga tidak tahu mengapa ia bisa lepas kendali. Padahal selama ini dirinya sangat bisa mengontrol emosi, tapi kenapa malam itu tidak bisa.

 

Di lain sisi, Aerin mulai kembali pada kesadarannya. Ia mencoba untuk meluruskan kepalanya. Lalu memusatkan tatapannya dan menghilang seluruh emosi yang ada di wajahnya. Dari balik tubuh tegap Jungkook Aerin menatap sang Ayah dengan tatapan kecewa dan sakit hati.

 

Wow! Inikah yang disebut keluarga?” Ia menarik napas. “Baik, lakukan apa pun yang kalian mau. Atur saja semuanya. Bukankah itu yang selama ini kalian lakukan? Pada akhirnya keluargaku ini tidak akan mendengar pendapatku, tidak pernah mau mencoba berada diposisiku. Terus saja jadikan aku boneka kalian.”

 

Setelah mengatakan isi hatinya, Aerin langsung berlari pergi menuju kamarnya. Mengabaikan Jungkook yang mengejar dan memanggil namanya. Ia mengunci diri di sana. Lantas menyembunyikan diri di dalam lemari pakaian, karena hanya di dalam ruangan kecil itu tangisnya tidak akan terdengar dan Aerin juga mempercayai jika sang Ibu tidak akan bisa melihat dirinya yang lemah dan menangis di dalam sana. Aerin menangis sejadi-jadinya dengan tangan yang memegangi dada. Ternyata sakit di hatinya jauh lebih mengerikan dibandingkan di pipinya.




T . B . C



- DF -

Comments

Popular Posts