How Hurt : Part 7


 



(DISCLAIMER: Penggunaan nama tokoh dalam cerita tidak ada hubungannya dengan sosok asli dalam kehidupan sebenarnya.)


.

.

.


 



Suasana pagi hari akhir pekan di kediaman Jeon masih seperti biasanya. Kursi terujung ditempati sang Kakek –Jeon Gyusang– di sebelahnya sang Nenek –Park Haneul– dan Jeon Minhyun –Ayah Jungkook dan Aerin– serta Jungkook yang duduk di sebelah sang Ayah. Keempatnya menjalani rutinitas pagi seperti pada umumnya, sarapan dan sedikit berbincang tentang kemajuan perusahaan dan kegiatan Jungkook. Tapi ada yang berbeda tetapi tidak disadari oleh keempatnya. Keberadaan Aerin yang sudah satu minggu ini tidak terlihat.

 

Entah apa yang ada di dalam otak keluarga itu. Apakah begitu tidak pentingnya keturunan perempuan dalam keluarga mereka sampai mereka mengabaikan Aerin sedemikian rupa. Melewati hari dengan tenang tanpa memikirkan Aerin yang mereka ketahui berada di kamar.

 

Di tengah kegiatan makan yang tenang itu, seorang pelayan datang menginterupsi keempatnya.

 

“Ada apa?” Tanya sang Nenek pada pelayan tersebut.

 

“Maaf Nyonya, saya ingin memberitahu jika Nona Aerin sudah satu minggu tidak keluar dari kamarnya. Saya mencoba mengantarkan makanan tetapi tidak ada jawaban.”

 

“APA? Kenapa kau baru mengatakannya?”

 

Pelayan tadi semakin menunduk dalam saat Minhyun berteriak marah. Ia tidak berani menatap pria itu karena wajahnya akan terlihat sangat menyeramkan. Selain itu juga karena dirinya tidak ingin dianggap tidak sopan karena menatap majikannya.

 

“Ma-Maaf Tuan. Ta-Tapi sa-ya sudah berusaha mengatakannya, tetapi selalu tidak tersampaikan.” Jawabnya dengan suara yang pelan.

 

“Maksudmu?”

 

Pelayan itu terlihat menarik napas sebelum memberanikan diri menjawab pertanyaan majikannya.

 

“Dihari kedua saya mengantarkan makanan, saya sudah berusaha untuk mengatakannya pada Nyonya tapi saat itu Nyonya sedang terburu-buru jadi tidak sempat. Kemudian besoknya saya berusaha mengatakannya kepada Tuan tapi tiba-tiba Tuan dapat panggilan penting dan pergi. Saat bertemu dengan Tuan besar saya juga mencoba untuk mengatakannya, tapi Tuan besar juga tidak sempat. Dan kemarin saya berusaha untuk mengatakannya kepada Tuan muda, tapi Tuan muda langsung pergi saat menerima panggilan. Maafkan saya karena kelalaian yang saya lakukan.” Tuturnya ketakutan.

 

Sang Ayah yang mendengarnya seketika berdiri dan bergegas menuju kamar Aerin, diikuti Jungkook dengan raut khawatir yang sama seperti sang Ayah. Mereka melangkah dengan langkah lebar sampai melewati beberapa anak tangga untuk bisa sampai ke kamar Aerin. Begitu keduanya telah berada di depan pintu coklat yang setia tertutup rapat, tangan besar sang Ayah langsung mendarat dipermukaan benda padat itu. Mengetuk sembari menyerukan nama Aerin.

 

Namun seperti yang dikatakan pelayan rumahnya, tidak ada sahutan dari dalam. Hal itu membuat Jungkook akhirnya ikut mengetuk lebih keras dari sang Ayah. Suaranya terucap sedikit berteriak saat dirinya juga tidak mendapatkan jawaban.

 

“AERIN!” Ayahnya masih berusaha memanggil tapi hasilnya tetap sama.

 

“Apakah Aerin benar-benar tidak keluar?” Tanya Kakeknya yang ternyata telah berdiri dua langkah di belakang Jungkook dan sang Ayah.

 

“Tidak Tuan.” Pelayan itu menggeleng. “Bahkan jendela kamarnya juga tertutup dengan tirai, dan setiap malam lampu kamar juga tidak dihidupkan.”

 

“Ayah aku akan mendobraknya.”

 

Sang Ayah menganggukkan kepala. Dia mundur beberapa langkah guna memberikan ruang bagi Jungkook. Dengan kekuatan kakinya, Jungkook menendang gagang pintu. Dua kali percobaan dan pintu akhirnya terbuka. Jungkook segera masuk begitu pun sang Ayah, sementara Neneknya mengikuti bersama dengan Kakeknya.

 

Hal pertama yang mereka sadari adalah kasur Aerin masih rapih seperti tidak tersentuh. Jungkook berinisiatif untuk mencari sang saudara di dalam kamar mandi. Namun hasilnya sama, tidak ada siapa pun di sana. Bahkan lantainya juga kering seperti tidak pernah digunakan.

 

“Aerin tidak ada di dalam.” Seru Jungkook.

 

Ayahnya lantas memeriksa isi lemari Aerin. Membuka setiap pintu tetapi tidak menemukan kejanggalan di sana. Baju-baju Aerin masih tertata rapih sementara kopernya juga masih berada di sana.

 

“Bagaimana?” Tanya sang Kakek.

 

“Semua bajunya masih ada begitu pun dengan kopernya.”

 

“Lalu kemana Aerin?”

 

Pertanyaan yang dilontarkan sang Nenek tidak langsung mendapat jawaban. Baik Jungkook atau Ayahnya tidak tahu kemana gadis itu, apalagi Kakeknya.

 

“Aku akan mencoba menanyakan kepada sahabatnya.” Tukas Jungkook sembari mengeluarkan ponselnya.

 

Ia mengotak-atik benda itu, mencari salah satu nama yang ia yakini tahu dimana Aerin. Menekan lambang telepon, Jungkook lantas mendekatkan ponselnya ke telinga. Ia menunggu dengan tidak sabar seseorang di seberang sana. Ketika panggilannya terhubung, tanpa basa-basi Jungkook langsung menanyakan keberadaan Aerin.

 

Aku tidak tahu. Aku tidak bersama Aerin.” Jawab Yunji marah.

Jangan bohong Yunji, kau sahabatnya!

 

Jungkook dapat mendengar geraman kesal Yunji saat ia terus memaksa dan menyudutkan gadis itu.

 

Aku memang sahabatnya tapi kau kembarannya. Lalu kenapa kau tidak tahu?

 

SKAK!

 

Jungkook terhenyak. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Pertanyaan Yunji seperti menyadarkan Jungkook jika selayaknya dia yang harus tahu dibandingkan Yunji.

 

Kau diam? Kenapa? Tidak tahu? Dasar saudara gila!” Serang Yunji. Umpatan gadis itu masih dapat Jungkook dengar walaupun gadis di seberang sambungannya berucap berbisik.

 

Ada jeda yang ganjil saat Jungkook masih tertegun atas pertanyaan Yunji. Namun suara Yunji kembali membuat ia tersadar dari lamunan singkatnya.

 

Jika tidak ada lagi, aku akan matikan. Aku sedang sibuk.

Tunggu.” Jungkook menghentikan Yunji panggilannya benar-benar diputus.

Dimana kau?

Yunji terdengar tergelak. “Aku? Memangnya apa urusanmu?

 

Jungkook yang mulai kehilangan kesabarannya karena merasa terpojokkan tidak bisa untuk tidak menggeram marah. Ia tanpa sadar mengepalkan tangannya yang bebas sementara tangan satunya menggenggam ponselnya seperti ingin meremukkan benda persegi panjang itu.

 

Sudah katakan saja!

Ada hela jengah sebelum Yunji kembali berucap. “Aku di toko bunga keluargaku.

Dimana?

Di dekat Stasiun Hongdae. Kau cari saja toko berwarna putih dengan garis biru, tidak jauh dari area busking.

 

Mendapatkan jawabannya, Jungkook segera mematikan sambungannya. Ia lalu memutar tubuhnya.

 

“Aku akan menemui sahabat Aerin.”

 

“Baiklah. Cepat kabari Ayah jika ada kabar tentang Aerin.”

 

Jungkook mengangguk. Kemudian ia bergegas pergi meninggalkan Kakek, Nenek, dan Ayahnya yang terlihat bingung dan tidak tahu.

 

Dengan mengendarai mobil mewah hadiah kelulusannya, Jungkook membawa dirinya menuju tempat dimana Yunji berada. Ia sangat yakin jika sahabat Aerin itu tahu dimana saudaranya berada. Walau rasa yakinnya sama besar dengan keyakinan jika Yunji tidak akan mengatakan tentang Aerin. Dari suaranya tadi, Jungkook sadar jika Yunji tahu apa yang terjadi dengan Aerin selama ini. Tapi Jungkook tidak bisa menyalahkan siapa pun selain dirinya.

 

Yunji benar, seharusnya sebagai saudara bukankah Jungkook yang harus lebih tahu mengenai Aerin. Tapi kenapa ia malah bertanya pada orang luar yang tidak sewajarnya tahu.

 

Jujur, ada rasa sesal yang menggelayuti hatinya. Andai saja ia mempunyai keberanian yang lebih untuk berada di samping Aerin, mungkin ceritanya tidak akan seperti ini. Dalam hati Jungkook tahu jika dirinya juga mengambil andil besar untuk kehidupan Aerin yang menyakitkan.

 

Ia memarkirkan mobilnya tepat di toko yang tadi disebutkan Yunji. Kemudian memilih bergegas keluar untuk menemui gadis itu. Suara bell yang terdengar sangat tidak beraturan menandakan jika Jungkook baru saja membuka pintu toko dengan keras. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru toko yang isinya tengah menatap terkejut ke arahnya. Hingga seorang pegawai menghampiri menanyakan keperluannya.

 

“Saya ingin bertemu dengan Yunji, apakah dia ada?”

 

“Maaf jika boleh tahu anda ada siapa dan ada keperluan apa dengan Nona muda?” Tanya sang pegawai penuh selidik.

 

“Saya temannya. Saya..” Jungkook berhenti seketika. Otaknya berpikir cepat untuk menemukan jawaban yang pas agar pegawai di depannya bisa segera memanggilkan Yunji. “Katakan pada Yunji jika Jeon Jungkook menunggunya di depan. Dia pasti tahu.”

 

Pegawai itu terlihat ragu. Ia mengamati Jungkook beberapa saat sebelum kepalanya mengangguk dan pergi dari sana.

 

Jungkook memperhatikan kepergian pegawai tersebut sampai menghilang menaiki tangga. Ia memutar tubuhnya dan berjalan keluar. Seperti yang dikatakan kalau dirinya akan menunggu Yunji di depan. Jungkook tidak ingin pembicaraannya di dengar oleh pegawai toko itu. Ia masih memiliki malu untuk mengumbar masalah yang terjadi.

 

Lamunan Jungkook terhenti saat suara dehamana terdengar bersama dengan munculnya sosok gadis yang ia cari. Jungkook lantas memutar tubuhnya dan menatap Yunji dengan tajam.

 

“Katakan dimana Aerin!” Titahnya.

 

Sementara Yunji bergeming. Ia malah balas menatap Jungkook dengan tidak kalah tajam. Matanya seakan mengatakan kau saudara terburuk di abad ini dengan senyum remeh yang terbit di bibirnya.

 

“Aku tidak ada waktu, katakan dimana Aerin!”

 

“Tidak tahu.” Jawab Yunji tak berminat.

 

“Jangan bohong Son Yunji! Aku tahu kau pasti mengetahui keberadaan Aerin. Tolong katakan dimana Aerin.”

 

Mendengar Jungkook memohon membuat kemarahan Yunji semakin menjadi-jadi. Wajahnya berubah dingin dalam sekejap dan matanya menatap nyalang. Jika tatapan bisa membunuh, mungkin Yunji sudah melakukan itu dengan matanya yang mulai berubah merah dengan urat-urat di leher yang ikut timbul.

 

“Untuk apa HA?” Yunji meninggikan suaranya. “Untuk kau dan keluargamu abaikan lagi? Untuk menjalani hidup tanpa kasih sayang? Untuk melakukan apa yang keluargamu katakan tapi kemudian tidak dihargai? Untuk menjadi penghias keluargamu? Untuk menjadi barang yang bisa keluargamu jual dengan mengatasnamakan ikatan persahabatan? Atau untuk apa?”

 

Yunji menarik napasnya. Emosi yang dipendam ternyata mengambil sebagian energinya saat diutarakan. Ia lelah padahal kemarahan dan kekecewaannya belum tersampaikan semua. Masih banyak rasa sakit yang ia pendam di hati untuk keluarga sang sahabat.

 

“Kau tidak tahu apa-apa, jadi jangan asal bicara! Aku datang ke sini bukan untuk meladeni kemarahanmu tapi untuk mencari Aerin. Jika kau tidak tahu maka aku akan pergi.”

 

Yunji mendecih. Hal itu membuat Jungkook kembali berbalik menatapnya.

 

“Aku tidak tahu apa-apa?” Tanyanya dengan mata berbinar penuh ketertarikan. “Bukankah itu lebih pas jika disematkan untukmu dan keluargamu?”

 

Ia maju satu langkah hingga kini jaraknya dan Jungkook cukup dekat. Matanya tidak lepas menatap manik gelap Jungkook yang terlihat menahan emosinya.

 

“Aku tahu apa yang terjadi di dalam kelaurgamu Jeon! Kalian semua mempercayai dan meyakini patriarki. Budaya yang membuat sahabatku hidup seperti dalam sangkar emas. Mewah tapi tak bebas. Memiliki segalanya tapi sendiri. Sangat berkecukupan tapi menyakitkan.” Ia menjeda.

 

“Apakah kau pikir aku tidak tahu jika Nenekmu selalu mengutamakan dirimu. Apakah aku tidak tahu jika Kakekmu memberikan semua akses terbaik untuk masa depan untukmu. Apakah aku tidak tahu jika semua yang Aerin lakukan adalah atas titah Ayahmu. Dan apakah aku tidak tahu juga jika setelah mengklaim­ untuk masa depan Aerin, kalian tetap mendiskriminasikannya. Bahkan kau yang saudara kembarnya tidak mencoba untuk melindungi atau paling tidak berada di sampingnya saat Aerin mendapatkan diskriminasi menggilakan itu. Hei Jeon! Kau tidak butakan untuk melihat bagaimana sepupumu merendahkan Aerin hanya karena warna matanya, rambut dan kulitnya yang tidak sama seperti kalian. Tapi apa yang kau lakukan? Kau hanya diam saja dan membiarkan Aerin tenggelam dalam diskriminasi yang hampir membuat dirinya meregang nyawa!”

 

Ah aku lupa, kau memang tidak tahu bukan jika kembaranmu hampir mati karena meminum obat penenang. Untung saja sepupumu yang bernama Hoseok itu datang sebelum Aerin benar-benar overdosis.” Yunji kembali memasang senyum remehnya.

 

“Ya setidaknya masih ada satu orang di keluargamu yang berpikiran waras. Tidak semena-mena dengan Aerin hanya karena dia keturunan perempuan dan memiliki fisik yang berbeda dari kalian.” Sambungnya dengan tersenyum semakin meremehkan.

 

Jungkook yang sebelumnya sempat tersulut emosi karena Yunji membawa keluarganya, tiba-tiba saja bungkam setelah pengakuan yang dilontarkan gadis Son itu. Ia tidak sadar jika selama ini Aerin sangat menderita. Ia tahu tapi tidak berpikir jika Aerin begitu menderita sampai hampir mati karena kepercayaan keluarganya tentang keturunan perempuan.

 

“Kenapa kau diam? Apakah seekor kucing sudah kehilangan lidahnya?”

 

Yunji menarik napas. Rasanya tidak ada gunanya lagi berbicara dengan Jungkook. Ia sudah mengatakan seluruh isi hatinya yang telah dipendam karena permintaan Aerin. Dan Jungkook pun sepertinya sudah mengetahui apa yang selama ini dirasakan Aerin. Bukankah akan buang-buang waktu jika dia tetap berada di sana sementara toko bunganya tengah membutuhkan bantuannya?

 

“Aerin sudah pergi jangan kalian cari lagi!” Ucap Yunji sebelum tubuhnya berbalik. Ia akan membuka pintu tokonya saat suara bariton Jungkook menghentikannya.

 

“Kemana?”

 

Yunji sedikit memutar tubuhnya. Salah satu sudut bibrinya tertarik membentuk senyum miring sementara matanya tidak bosan menatap remeh Jungkook yang selama ini selalu menjadi top star di keluarganya dan lingkungan pertemanannnya.

 

“Tidak tahu. Yang jelas tempat yang menerimanya dengan baik dan jauh dari keluargamu yang sakit.”

 

“Yunji.”

 

Gadis itu menoleh dan menemukan Kakak sepupunya tengah menatap dirinya lalu Jungkook.

 

“Dia temanmu?”

 

Yunji menoleh ke Jungkook.

 

“Bukan. Dia Jeon Jungkook.”

 

“Oh kau kembarannya Aerin. Sedang apa di sini?”

 

“Kau mengenal Aerin?” Jungkook balik bertanya dan mengabaikan pertanyaan yang lebih dulu ditujukan untuknya.

 

Jhonny tersenyum. Ia berjalan dan berhenti tepat di samping Yunji.

 

“Tentu. Aerin sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Dia sering membantu di toko ini.”

 

“Kau mencari Aerin?”  Lanjutnya.

 

Jungkook hanya mengangguk pelan.

 

“Aerin telah mengundurkan diri dari toko ini, alasannya karena urusan pribadi. Jadi kau tidak akan menemukannya di sini.” Jhonny menoleh ke arah Yunji. “Jangan terlalu lama, pegawai yang lain mulai kerepotan.” Ucapnya mengingatkan.

 

“Jungkook, maaf aku harus kembali ke dalam karena ada pekerjaan yang harus ku selesaikan.” Jhonny lantas tersenyum dan berbalik pergi, kembali meninggalkan Yunji berdua dengan Jungkook.

 

“Sudahkan? Lebih baik kau pergi jangan ganggu lagi. Aku sedang sibuk membantu di dalam karena salah satu pegawai mengundurkan diri.”

 

Yunji berbalik pergi. Ia baru saja akan membuka pintu kaca tokonya tapi urung saat teringat sesuatu. Lantas ia kembali memutar tubuhnya menghadap Jungkook.

 

“Sebagai mahasiswa psikologi, aku ingin menyarankan untuk kau dan keluargamu pergi ke dokter. Tanyakan bagimana psikis kalian. Aku tidak menyalahkan budaya patriarki yang kalian yakini karena nyatanya keluargaku juga meyakininya. Mereka membanggakan keturunan laki-laki tapi tidak sampai mengabaikan kami yang perempuan.” Ada jeda singkat sebelum kalimat selanjutnya terucap yang membuat Jungkook seperti tertampar. “Aku mengatakannya untuk memberitahu saja jika bukan budayanya yang salah. Bukan patriarkinya. Tapi orang yang menjalankan budaya itu. Dan dalam masalah ini, keluargamu lah yang salah! Kau tahukan maksudku, Jeon Jungkook?”

 

Senyum miringnya semakin terbit saat melihat keterdiaman Jungkook yang menatapnya dengan sorot sendu. Yunji mengabaikannya. Kembali kepada tujuan awalnya untuk masuk ke dalam toko guna membantu pegawai yang lain. Meninggalkan Jungkook yang masih terdiam di tempatnya. Tapi Yunji tidak peduli hal itu.




T . B . C



- DF -

Comments

Popular Posts