How Hurt : Part 11

 


 



(DISCLAIMER: Penggunaan nama tokoh dalam cerita tidak ada hubungannya dengan sosok asli dalam kehidupan sebenarnya.)


.

.

.


 



Untuk pertama kali setelah kepergian sang Ibu, Jungkook kembali menginjakkan kaki di tempat kelahiran Ibunya. Sudah sangat lama, pantas saja banyak perubahan yang terlihat berdasarkan ingatan kala masih kanak-kanak. Menikmati embusan angin dingin yang selalu membawa kesejukan saat menerpa kulitnya. Keramaian kota yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Seoul, tetapi selalu menarik untuknya. Apa lagi dengan karakter fisik para wanita yang sangat mirip dengan Ibu dan saudara kembarnya. Sejenak ada sesak dan nyeri yang mengusik relung hatinya ketika teringat kembali tentang Aerin.

 

Andai saja ia peka.

 

Andai saja ia kuat.

 

Dan andai saja ia mau berusaha.

 

Mungkin kedatangannya ke Rovaniemi bukan untuk bertemu Aerin yang telah meninggalkan rumah, tetapi ia dan Aerin akan datang ke sana untuk mengunjungi keluarga lainnya dan berlibur.

 

Jungkook menarik napasnya dalam-dalam dan mengembusnya berkala. Rasanya segar sekali saat udara dingin itu telah mengisi relung dadanya setelah sesak yang menguasai. Walaupun tidak memberikan efek besar untuk hatinya yang masih dilingkupi kesedihan mengingat apa yang telah terjadi.

 

“Ayo Jungkook.”

 

Suara sang Ayah menyadarkan Jungkook dari lamunannya. Ia menoleh dan menganggukkan kepala lalu mengikuti langkah sang Ayah memasuki taksi bandara.

 

Sepanjang perjalanan menuju hotel, Jungkook tidak henti memandangi jalanan kota. Mengamati apa saja yang berubah dengan senyum kecil di bibir. Ia seperti bernostalgia dengan masa lalu saat beberapa tempat yang dilewati adalah tempat yang pernah ia dan keluarganya kunjungi. Ia bahkan masih bisa mengingat bagaimana raut senang dan perasaan gembira keluarganya saat mereka berkunjung dan menghabiskan libur natal di sana.

 

 

*   *   *   *

 

 

Jungkook menggenggam tangan kanan Ibunya sedangkan Aerin tangan kiri. Mereka berjalan beriringan meninggalkan Ayah mereka di belakang dengan senyum lebar karena melihat kegembiraan keluarga kecilnya. Itu adalah waktu keluarga yang tidak akan pernah dan bisa dilupakan bagi mereka. Rasanya pria itu ingin menghentikan waktu agar keluarganya tetap bisa merasakan kebahagiaan itu.

 

“Ibu, aku ingin lolipop tongkat yang di sana.”

 

Aerin menunjuk sebuah toko permen berhias ornamen natal yang terletak di seberang jalan.

 

“Kalau Aerin lolipop, kamu mau apa Kookie?”

 

Jungkook diam sejenak untuk berpikir.

 

“Kentang goreng!” Serunya dengan mata yang semakin membulat.

 

Eh, kentang goreng?” Ibunya terlihat terkejut mendengar keiinginan anak pertamanya. Masalahnya ia tidak melihat restoran atau toko yang menjual kentang goreng. Sekeliling mereka hanya ada toko kue dan pernak-pernik natal.

 

“Aku mau kentang goreng. Aku tidak mau permen Bu.” Rengeknya sembari menarik tangan sang Ibu.

 

Sang Ayah yang melihat itu mendakit putranya.

 

“Ada apa?”

 

“Aku mau kentang goreng.”

 

“Kookie mau kentang goreng? Kalau begitu ayo kita beli.” Ujarnya dengan mengusap surai Jungkook.

 

Jungkook lantas melompat girang lalu berhambur memeluk sang Ayah singkat.

 

“Terima kasih Yah!”

 

Jungkook dan Ayahnya akan memutar langkah untuk berjalan berlawanan arah. Namun suara Aerin menghentikan mereka.

 

“Tapi aku ingin lolipop yang di sana.”

 

Sang Ayah melepaskan pegangan tangannya dan memposisikan tubuhnya agar sejajar dengan putrinya. Tangannya terulur lalu mengusap dengan sayang puncak kepala Aerin.

 

“Kita akan beli lolipop setelah membeli kentang goreng untuk Kakakmu, ok?”

 

Aerin terdiam selama beberapa detik yang ganjil sebelum kepalanya mengangguk pelan.

 

Good girl. Ayo kita cari kentang goreng.”

 

Dengan sedikit kecewa, Aerin akhirnya mengikuti di belakang masih bergandengan dengan Ibunya. Kegembiraan yang dirasakan sedikit memudar karena keputusan sang Ayah yang berbelok untuk mencari kentang goreng bagi sang Kakak. Kenapa tidak membelikan lolipop dulu untuknya? Padahal toko permen itu jauh lebih dekat dengan mereka dibandingkan tempat membeli kentang goreng yang belum diketahui dimana.

 

Ayahnya membawa mereka ke rumah makan cepat saji karena hanya itu restoran terdekat yang berhasil mereka temui. Pria itu mengantri bersama dengan sang Istri sementara Aerin dan Jungkook menunggu disalah satu meja.

 

Selama menunggu, Aerin tidak lelah menundukkan kepalanya. Digelung kecewa membuat Aerin ingin menangis. Tetapi ia masih di tempat umum dan banyak orang. Ia malu jika menjadi pusat perhatian karena menangis. Hei, Aerin memang masih anak-anak tetapi dia bukan anak kecil yang suka menangis dimana pun dan kapan pun. Apalagi alasannya karena lolipop. Lagi pula Ayahnya juga sudah bilang jika akan membelikan lolipop setelah membeli kentang goreng. Tapi memang Aerin saja yang sensitif sampai terbuai dengan kekecewaannya sendiri.

 

Ayah dan Ibunya kembali dengan membawa dua nampan berisikan minuman untuk mereka, kentang goreng, chicken nugget, dan cheese stick. Nampan itu diletakkan di atas meja. Jungkook langsung menyerbu kentangnya sedangkan Aerin masih bertahan dengan kepala tertunduk.

 

“Kamu tidak makan?” Tanya sang Ibu.

 

Aerin menggeleng lemah. “Aku tidak lapar Bu.”

 

“Tapi ini chicken nugget kesukaanmu.”

 

“Dibawa pulang saja atau Ibu bisa berikan pada Jungkook Oppa.” Balas Aerin lalu membuang mukanya. Menghindari kontak mata dengan sang Ibu yang terus mengamatinya.

 

Perasaan kecewanya ternyata masih mengontrol Aerin. Ia jadi tidak berminat dengan yang lain sekali pun itu chicken nugget –makanan kesukaannya.

 

Makanan dan minuman yang mereka pesan akhirnya habis tetapi Aerin sama sekali tidak menyentuh apa pun –bahkan minumannya. Ia setia memperhatikan anak-anak yang bermain di wahana permainan. Mencoba abai dengan keluarganya –lagi-lagi karena rasa kecewa yang belum ada penyembuhnya.

 

“Ini sudah sore, kita pulang saja ya. Nenek kalian pasti sudah menunggu.” Cetus sang Ayah.

 

Aerin menoleh dengan cepat saat mendengar ucapan sang Ayah.

 

“Tapi Ayah tadi-”

 

“Aerin, kita harus pulang. Malam ini malam natal pasti Paman, Bibi, dan Aiden sudah tiba di rumah Nenek.”

 

Aerin tidak lagi menjawab. Ia hanya berdiri dan berjalan mengikuti Ayahnya dengan kepala sedikit menunduk, mata yang mengabur karena air mata, serta rasa kecewa yang semakin besar hingga berhasil mengubur kegembiraan yang sedari tadi ia rasakan.

 

Dalam diamnya, Aerin terus bertanya-tanya tentang dirinya sendiri. Apa yang salah dengannya? Apakah sebelumnya ia melakukan hal buruk? Kenapa lagi-lagi ia seperti terlupakan?

 

Ia tidak tahu jawaban atas semua pertanyaannya. Ia masih kecil untuk mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya dan tentang orang lain. Ia hanya seorang anak perempuan yang polos yang hanya menginginkan hidup yang senang.

 

Sesampainya di rumah sang Nenek, Aerin langsung pergi memasuki kamar yang dirinya tempati selama mereka berada di sana. Ia menutup pintu hingga rapat lalu berbaring di atas ranjang. Rasa kecewa yang dirasakannya ternyata telah berubah menjadi sesak hingga membuat Aerin ingin sekali menumpahkan air mata. Karena itu, dirinya mengambil bantal untuk digunakan sebagai penutup wajahnya sekaligus untuk membendung tangisnya agar tidak terdengar orang lain.

 

“Aerin, boleh Ibu masuk.”

 

Suara yang lembut itu membuat Aerin menjauhkan bantal dari wajahnya. Kemudian dirinya mengusap wajahnya yang basah karena menangis. Lantas berucap dengan suara yang mulai parau.

 

“Ma-Masuk saja Bu.”

 

Pintu kamar terbuka dengan sosok sang Ibu yang berdiri dengan senyum hangat khasnya. Ibunya menutup pintu kamar sebelum mendekati Aerin dan mendaratkan bokongnya di atas ranjang di samping Aerin.

 

“Kenapa menangis?” Tanyanya dengan mengusap surai Aerin penuh sayang.

 

Mendengar suara sang Ibu, air mata Aerin malah kembali jatuh dan membuat dirinya kembali terisak. Aerin membenamkan kepalanya di dada sang Ibu sementara tangannya memeluk dengan erat pinggang Ibunya.

 

“A-Aku ke-ce-wa.” Jawabnya dengan sengguk.

 

“Apa yang membuat anak cantik Ibu ini kecewa dan menangis?”

 

“A-Ayah.” Aerin berhenti karena ia tersedak dengan tangisnya. “Ke-napa Ayah lupa dengan janjinya?”

 

“Ayah tidak lupa.” Balas sang Ibu dengan usapan yang tidak pernah berhenti.

 

Aerin buru-buru melepaskan pelukannya dan menatap sang Ibu dengan air mata yang masih membasahi pipinya.

 

“Ibu bohong.”

 

Ibunya menggeleng. Kemudian ia mengulurkan tangannya ke depan.

 

“Ini untukmu.” Ibunya lalu berbisik di telinga Aerin. “Ayah yang membelikannya, katanya rahasia hanya untukmu.”

 

“Be-Benarkah?”  Aerin masih tidak percaya dengan lolipop tongkat yang kini sudah berada di tangannya. Matanya menatap lugu sang Ibu yang membalasnya dengan anggukan dan senyum hangat yang semakin melebar.

 

Aerin lantas kembali memeluk sang Ibu –lebih erat. Membenamkan kepalanya dengan derai air mata yang kembali mengaliri kedua pipinya.

 

Sang Ibu ikut membalas pelukan itu. Ia tahu jika Aerin telah kembali senang karena tangis anak perempuannya itu dibarengi dengan ucapan terima kasih dan ungkapan cintanya untuk sang Ayah dan juga dirinya. Ia sangat bersyukur karena telah berhasil mengembalikan kegembiraan dan keceriaan Aerin di malam natal itu.

 

Seperti yang ia yakini, kalau di malam natal tidak boleh ada duka dan kesedihan. Mereka harus diselimuti suka cita karena natal tiba. Begitu pun dengan Aerin, anak perempuan satu-satunya –permata hatinya, yang harus tetap gembira. Tidak hanya di malam natal, tetapi seumur hidupnya. Sekali pun kebohongan yang ia berikan pada gadis kecil itu –hanya untuk sebuah kebahagiaan semu.

 

 

*   *   *   *

 

 

Jungkook dan sang Ayah masuk ke dalam setelah asisten rumah tangga mempersilahkan. Sore itu saat matahari berhasil menembuskan cahayanya ke dalam, kenanangan masa lalunya terputar dan menampar kesadarannya. Sudah lama sekali ia tidak datang ke rumah sang Nenek. Tidak banyak yang berubah dari tempat tinggal ini, hanya ada beberapa perabotan baru menggantikan yang lama. Foto Nenek dan Kakeknya juga masih menghiasi meja di dekat pintu masuk. Begitu pun dengan foto Ibu dan Bibinya, saat mereka kecil hingga besar. Foto-foto mereka dengan keluarga masing-masing pun juga ikut meramaikan kumpulan foto di sana.

 

Tidak bosen dan lelah menoleh ke kanan dan kiri hanya untuk mengamati seisi rumah yang jika dibandingkan dengan rumahnya di Seoul terlihat lebih kecil. Tetapi rasa hangat yang dirasakan Jungkook di sana jauh lebih besar dibandingkan rumah Kakeknya.

 

“Kukira kau sudah lupa dengan wanita renta ini Hyun.”

 

Suara seorang wanita menginterupsi Jungkook. Ia memutar kepalanya dan menemukan seorang wanita dengan mata berwarna biru yang memegangi tongkat menghampiri mereka. Duduk di sofa  yang berada di sebalah sofa panjang yang dirinya duduki.

 

“Tidak seperti itu. Aku tidak mungkin melupakanmu, Mom.” Ujar sang Ayah.

 

Pria setengah baya itu lantas berdiri dan menghampiri wanita itu untuk memberikan pelukan hangat.

 

“Aku hanya menebak saja. Soalnya kau tidak pernah lagi datang menemuiku setelah Sofia meninggal.”

 

Sang Ayah menggelengkan kepala. “Aku sibuk bekerja. Maafkan aku karena tidak pernah menyempatkan waktu untuk menjengukmu.” Tuturnya sedih.

 

Wanita itu mengangguk mengerti. “Aku paham. Bagaimana pun kau adalah satu-satunya penurus bisnis keluargamu. Sofia sering mengatakannya, dulu.”

 

Lantas ia mengalihkan pandangannya. Jungkook yang melihat mata biru itu menatapnya kemudian berdiri dan menghampiri wanita itu.

 

“Aku merindukanmu, Grandma.” Ucapnya dengan memberikan pelukan yang cukup erat.

 

“Aku juga merindukan Cucuku.”

 

Neneknya melerai pelukan mereka. Tangan keriputnya bergerak mengusap wajah kokoh dan tampan Jungkook dengan penuh sayang.

 

“Kau tumbuh dengan baik Davey.”

 

“Terima kasih Grandma.”

 

Agenda temu kangen itu berakhir saat asisten rumah tangga datang dengan minuman dan juga beberapa makanan kecil. Ditelakkannya dengan rapih di atas meja lalu mempersilahkan sang tuan rumah dan tamunya untuk menyicipi.

 

Sekembalinya asisten itu, Jungkook juga telah kembali duduk. Tapi kali ini ia menempati sisi sebalah sang Nenek. Menggenggam tangan keriput Neneknya dengan usapan pelan pada punggungnya.

 

“Aku senang kalian datang.” Ia menebar senyumnya. “Tapi pasti ada alasannya bukan?”

 

Satu pertanyaan yang dilontarkan wanita paruh baya itu langsung mengubah suasana di sana. Tiba-tiba saja Jungkook merasakan hawa dingin hingga bulu halus di lehernya berdiri. Ibu jarinya sampai berhenti mendadak begitu suara Neneknya mengalun dengan lembut melewati gendang telinganya.

 

Jungkook melirik sang Ayah yang belum juga membuka suaranya. Ia mengamati dari tempatnya, bagaimana raut Ayahnya berubah tegang dan matanya tak lagi menatap sang Nenek.

 

“Minhyun.” Panggilannya dengan lembut, tetapi terasa menakutkan di telinga Jungkook –dan mungkin juga Ayahnya.

 

Sang Ayah menarik napas panjang.

 

“Aku datang untuk bertemu Aerin, Mom.” Jawabnya pelan.

 

Sang Nenek tidak merespon apa-apa. Ia hanya diam tetapi matanya tidak pernah lepas menatap Minhyun. Dari wajahnya saja, Neneknya tahu kalau ada kesedihan yang coba anak menantunya ini tutupi. Belum lagi sesal yang juga terlihat dari sorot matanya saat menyebutkan nama sang anak. Tapi Neneknya juga tidak bisa menutupi jika ada karakter superior yang coba Minhyun redam.

 

Walau ia sudah sangat jarang bertemu dengan anak menantunya ini, tetapi wanita paruh baya itu masih dapat mengingat dengan jelas perawakan Minhyun saat Sofia masih hidup dan mereka datang berkungjung. Anak menantunya itu adalah keturunan laki-laki satu-satunya. Ia selalu menjadi yang diprioritaskan dalam keluarganya. Karena itulah Minhyun tumbuh menjadi pria yang sangat mengagungkan posisinya sebagai seorang laki-laki.

 

Tidak salah selama Minhyun tidak melakukan tindak kekerasan pada keluarganya. Tetapi ketakutan akan sikapnya itu membuat wanita yang telah melahirkan Sofia selalu mewaniti-wanti sang anak. Bahkan ketika anaknya ada di negara yang berbeda dengannya, ia akan menyempatkan waktu untuk menghubungi Sofia dan mengingatkan anaknya.

 

Sofia selalu mencoba memberikan dirinya pengertian dan memintanya untuk tetap tenang. Tetapi naluri sebagai seorang Ibu itu tidak pernah salah. Ia terus mengingatkan Sofia sampai akhirnya anak perempuannya menyerah dan mengakui juga ketakutannya itu. Sampai akhirnya ketakutan mereka benar-benar terjadi.

 

Aerin, cucu perempuan satu-satunya itu pergi meninggalkan rumahnya di Seoul dan datang ke rumahnya –yang jaraknya sangat jauh– dengan hanya membawa beberapa potong baju pemberian sang Ibu, kebutuhan lainnya yang berasal dari sang Ibu, serta uang yang tidak seberapa –katanya hasil Aerin bekerja di toko bunga milik keluarga sahabatnya. Datang dengan mengembangkan senyum tetapi ia menemukan sekelebat kekecewaan dari sorot mata Aerin. Ia tidak menampik jika segelintir rasa sedih langsung menyambutnya saat melihat Aerin di rumahnya kala itu. Tanpa perlu bertanya lebih lanjut, dirinya tahu jika ketakutan yang ia dan sang anak rasakan akhirnya menjadi kenyataan.

 

Hidup cucu perempuannya benar-benar berantakan karena keyakinan yang dimiliki keluarga anak menantunya. Tapi lagi-lagi ia juga tidak bisa menyalahkan mereka karena itu adalah budaya mereka. Budaya yang mereka yakini dan jalankan sejak lama.

 

Karena itu, ia akhirnya hanya bisa membuka tangannya dengan lebar dan menyambut Aerin dengan pelukan hangatnya. Membiarkan kedua tubuh mereka menempel dengan erat sampai akhirnya Aerin tidak bisa lagi bersembunyi di balik topengnya. Cucunya itu menangis di dalam pelukannya.

 

“Kau tahu, ini adalah ketakutan yang sudah lama aku dan Sofia rasakan. Kami takut kalau di masa depan keadaan ini datang di tengah keluarga kalian. Dan sekarang semua benar-benar terjadi.”

Ujar wanita paruh baya itu dengan pandangan menerawangnya.

 

“Analie tidak menceritakan apa pun padaku, tapi aku sedikit tahu apa yang terjadi dengannya. Jika kau ingin tahu, mungkin bisa kau tanyakan pada Aiden.”

 

“Aiden?”

 

“Iya sepupumu, anak Auntie Delania.” Jawab sang Nenek yang sudah menoleh kepada Jungkook. “Sejak Aerin sampai, Aiden yang selalu menemaninya. Mereka selalu bersama, bahkan kadang-kadang tertidur bersama di ruangan ini setelah menonton film.” Imbuhnya lagi.

 

“Minhyun.” Panggil Nenek dari Jungkook itu –Fiona.

 

“Kau harus berbicara dengan Aerin jika ingin anakmu kembali. Coba posisikan dirimua sebagai Aerin, karena jika tidak, sampai kapan pun masalah ini tidak akan pernah selesai. Dan bisa saja hubungan kalian tidak akan pernah kembali seperti dulu.” Lanjut Fiona yang mencoba memperingati di tengah saran yang dirinya berikan.




T . B . C



- DF -


Comments

Popular Posts