How Hurt : Part 13
(DISCLAIMER: Penggunaan nama tokoh dalam cerita tidak ada hubungannya dengan sosok asli dalam kehidupan sebenarnya.)
.
.
.
Tidak perlu
bertanya lagi, Fiona sudah menyadari apa yang terjadi antara Aerin dengan Ayah
dan kembarannya. Semua begitu jelas di matanya saat melihat mata Aerin dan
Jungkook yang merah, serta gurat sedih yang semakin jelas terlihat pada wajah
Minhyun. Walaupun ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi Fiona yakin
pembicaraan mereka tidak berujung baik.
Aerin adalah copy anaknya. Banyak sifat Sofia yang
turun pada Aerin. Tapi Aerin tidak sekuat anaknya. Aerin mudah rapuh
dibandingkan Sofia. Jika diumpamakan, Aerin seperti kapas. Fiona menyadari hal
itu saat malam natal dimana Aerin pulang dengan raut sedih dan tanpa menyapa
yang lain ia langsung pergi ke kamar.
Ditambah Fiona
melihat dengan mata kepalanya sendiri saat kedua saudara kembar ini lahir. Baby Jungkook langsung menjadi pusat
perhatian keluarga anak menantunya. Ia terus berada dalam gendongan Neneknya
dengan sang Kakek yang terus menemani di sebelahnya. Sementara baby Aerin tetap berada di dalam box bayi yang keduanya tempati bersama.
Tapi Fiona tidak
bisa berbuat apa-apa. Ia dan Ardan –suaminya–
hanya bisa menemani Aerin di tengah kegembiraan atas keberadaan Jungkook
di dalam keluarga mereka. Memberikan kasih sayang yang dia miliki dengan
harapan Aerin tidak kekurangan perhatian dari keluarganya sendiri.
Melihat keadaan
sekarang, ada penyesalan yang membombardir hati Fiona. Andai saja dulu ia
mendengarkan permintaan sang Suami untuk membawa Aerin tinggal bersama mereka,
pasti cerita yang terjadi akan berbeda. Sayangnya dulu Fiona masih menaruh
harapan penuh pada Minhyun sebagai kepala keluarga. Ditambah dengan keyakinan
yang diberikan Sofia, membuat dirinya menurut dan Ardan menyerah pada
keiinginannya.
“Malam ini kalian
mau menginap atau kembali ke hotel?”
Fiona membuka
pembicaraan.
“Untuk malam ini
aku menginap di hotel Mom, karena
pakaianku ada di sana. Mungkin besok aku akan menginap.”
Fiona mengangguk.
“Davey?”
Jungkook membolakan
matanya. Mengabsen satu per satu anggota keluarga di meja makan, sampai
maniknya bertemu dengan obsidian Aerin yang ternyata menatapnya seakan menunggu
jawaban yang akan ia berikan. Kedua mata mereka saling bertemu dan mengunci
pandangan masing-masing.
“Apakah aku boleh
menginap Grandma?”
Fiona memunculkan
senyumnya.
“Tentu saja! Sudah
sangat lama cucu-cucu Grandma tidak
berkumpul.” Ia menjeda dan menoleh pada Aerin yang setia memperhatikan
Jungkook. “Malam ini jadwal Aiden dan Analie untuk menonton. Kamu bisa ikut
bergabung Davey.”
* *
* *
Jungkook tidak bisa
bohong jika ada rasa iri saat melihat kedekatan Aerin dan Aiden. Mereka jauh
terlihat seperti saudara dibandingkan dirinya dengan Aerin. Seharusnya yang
duduk di samping Aerin dan berbagi popcorn itu dia bukan Aiden. Seharusnya yang
berbagi selimut itu dia bukan Aiden. Seharusnya yang saling meledek saat
menonton itu dia bukan Aiden. Seharusnya dia yang ada di sana dan bukan
sepupunya.
Tanpa Jungkook
sadari, air mata mengalir bebas melewati kedua pipinya. Sesak yang sudah ada
semakin mengikat dada kala kedua matanya melihat sendiri bagaimana senyum Aerin
terbentuk karena Aiden. Senyum lebar yang membuat kedua pipinya menggembul
lucu.
Usapan lembut pada
bahunya membuat Jungkook buru-buru menyeka air matanya dan barulah ia
menolehkan kepalanya.
“Aunty Nia.”
Wanita setengah
baya dengan wajah yang mirip seperti Ibunya itu menyunggingkan senyum
hangatnya. Senyum yang malah membuat hati Jungkook berdesir nyeri karena rasa
rindu pada sang Ibu.
“Ada apa?”
Kepalanya
menggeleng. “Tidak Auntie.”
“Kamu merindukan
Analie kan?”
Jungkook tidak
menjawab. Ia hanya menunduk. Tapi bagi Delania, sikap Jungkook itu sudah cukup
menjawab pertanyaannya.
“Dav, kamu itu
selalu buruk dalam berbohong.” Delania terkekeh pelan tetapi kembali menatap
Jungkook dengan tatapan yang teduh.
“Tidak ada masalah
yang tidak bisa diselesaikan, Dav. Jika kamu ingin semuanya membaik, maka kamu
harus berusaha untuk memperbaikinya. Yakinkan Analie, hilangkan rasa kecewanya.
Karena tidak ada luka yang tidak dapat disembuhkan. Begitu pun dengan luka yang
ada di hati Analie.”
* *
* *
Suasana pagi itu
tidak seperti biasanya. Keheningan begitu membelenggu tanpa ada sepatah kata
yang terucap. Jungkook hanya terdiam di kursinya sementara Aiden sibuk dengan
ponsel genggamnya. Hingga Fiona datang, keduanya masih begeming sampai wanita
paruh baya itu berdeham yang membuat mereka menoleh bersamaan.
“Kalian baik-baik
saja kan?”
Jungkook menekuk
alisnya. “Iya Grandma, memangnya kenapa?”
“Aiden sehat kok Grandma.”
Aiden ikut menjawab.
“Tidak, Grandma
kira kalian diam saja karena sariawan.” Balas Fiona dengan nada bergurau.
Sengaja ia lakukan karena merasa atmosfir kurang mengenakkan antara kedua cucu
laki-lakinya.
Wanita itu lantas
menarik kursi lalu duduk. Mengabaikan tatapan bingung dari Jungkook dan Aiden
hingga keduanya tanpa sadar saling bertatapan selama beberapa detik sebelum sama-sama
membuang wajah karena canggung yang mendera.
Tidak berselang
lama, Aerin datang dengan membawa menu sarapan yang ia dan Delania buat. Gadis
itu terlihat bingung saat akan menata makanan di atas meja. Ia melihat aneh
neneknya yang tersenyum sedangkan wajah canggung terlihat pada Jungkook dan
juga Aiden. Ia ingin bertanya tetapi suara bell membuat perhatiannya
teralihkan.
“Ana, tolong
bukakan pintu ya.” Pinta sang Nenek masih dengan senyum manis miliknya.
Aerin mengangguk
singkat setelahnya membawa kedua kakinya melangkah pergi. Ia bingung, siapa
yang pagi-pagi seperti ini sudah bertamu ke rumah orang.
Tanpa berpikir
apa-apa, Aerin memutar kunci sebelum tangannya menekan gagang dan pintu utama
terbuka. Seseorang dengan tubuh yang tegap dan rahang tegas mirip seperti
Jungkook berdiri dengan senyum menyapa indra pengelihatannya. Aerin terkejut
dengan keberadaan sang Ayah tapi berusaha untuk menutupinya.
“Aerin..”
Tidak ada jawaban,
Aerin hanya diam dengan tubuh yang bergeser untuk memberikan jalan kepada sang
Ayah.
“Minhyun..” Suara
itu mengalihkan atensi pria setengah baya yang tengah menatap sendu Aerin.
“Mom.”
“Ayo masuk, kita
sarapan bersama.”
Minhyun mengangguk
lantas mengikuti langkah Aerin yang telah lebih dulu kembali ke ruang makan. Ia
menarik kursi di samping Jungkook sedangkan Aerin berada di seberangnya. Matanya
tidak lepas dari Aerin yang begitu mengingatkannya pada sosok sang istri. Wajah
Aerin benar-benar mirip dengan Sofia.
Ia jadi berpikir,
sudah berapa lama dirinya tidak sedekat ini dengan Aerin sampai tidak menyadari
hanya dengan menapat Aerin sudah bisa mengurangi rasa rindunya terhadap Sofia.
“Minhyun, ayo
makan. Ini semua Ana yang membuat.” Ujar Denalisa yang berhasil menyadarkan Minhyun
dari lamunannya.
“Ah, iya..”
Minhyun melirik
sejenak pada Aerin yang masih tidak melihat ke arahnya. Ia menghela pelan
lantas mulai menyuapi makanan yang berada di piringnya.
Terbesit rasa haru
saat indra pengecapnya merasakan bagaimana rasa makanan yang kini tengah
mengisi rongga mulutnya. Rasa yang sama seperti buatan mendiang istri
tercintanya. Rasa yang penah hilang dan akhirnya kembali tanpa pernah ia kira.
Ingatan masa lalu
mereka kembali berputar di kepalanya. Bagaimana untuk pertama kali ia dan Sofia
bertemu sampai mereka memutuskan untuk menikah. Kehidupan awal pernikahan yang
membahagian untuk mereka berdua jalani. Sampai dengan kabar bahwa di dalam
rahim Sofia telah tumbuh janin kembar hasil buah cinta mereka yang semakin
melengkapi kehidupan keduanya. Rasanya kejadian itu baru terjadi karena terasa
begitu nyata, tapi nyatanya Sofia sudah tidak bisa lagi berada di sampingnya.
Minhyun kembali
menatap Aerin yang tengah fokus dengan makanannya. Ia perhatikan wajah anak
gadisnya itu yang benar-benar mirip dengan mendiang sang istri. Sudah berapa
lama sejak terakhir kali ia menghabiskan waktu berdua dengan putrinya, sampai
tidak menyadari apa saja yang terjadi pada diri gadis kecilnya.
Kenapa ia baru tahu
jika putri semata wayangnya ini menuruni keahlian sang Ibu?
Apakah memang sudah
sejauh itu hubungan mereka?
“Davey, kamu juga
jangan diam saja. Lekas dimakan nanti keburu dingin.”
Mendengarnya
Minhyun menoleh pada sang putra. Ia dapat melihat bagaimana mata Jungkook yang
berkaca. Ia tahu kalau Jungkook juga merasakan apa yang dirinya rasakan.
Perasaan nostalgia sekaligus sakit yang bercampur menjadi satu.
Setelah acara makan
bersama, kini mereka tengah bersantai di ruang tengah dengan ditemani teh
hangat. Analie dan Aiden yang seharusnya pergi ke galeri urung atas permintaan
sang nenek. Wanita paruh baya itu ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama
keluarganya yang sulit sekali untuk bertemu.
“Sudah lama kita
tidak kumpul seperti ini.” Ujar Fiona dengan menampilkan senyum hangatnya.
Delania
menganggukkan kepala, membenarkan ucapan sang Ibu. Lain halnya dengan ketiga
anak muda di sana yang hanya terdiam tanpa berniat menimpali sang Nenek.
“Maaf Mom,
aku terlalu sibuk sampai sulit untuk berkunjung.” Sesal Minhyun.
“Tidak apa, selama
kalian sehat dan baik itu cukup untuk wanita tua seperti ku.”
Keadaan menghening
saat teh yang masih mengepulkan asap itu menjadi perhatian mereka. Aroma yang
kuat serta teh yang masih hangat membuat tubuh menjadi lebih nyaman dan pikiran
pun ikut terasa tenang. Fiona yang sangat menggemari kebiasaannya itu semakin
melebarkan senyum kala hangat teh itu mengalir ke dalam tubuhnya. Ia meletakkan
kembali cangkirnya setelah menelan beberapa teguk teh dari gelasnya.
“Kamu akan berapa
lama di sini? Jangan di hotel, jika bisa menginap di sini saja. Bagaimana pun
ini tetap rumahmu juga, Hyun.”
Minhyun yang
mendengarnya lantas meletakkan kembali cangkir teh miliknya. Ia menarik napas
dalam dengan raut menyesal yang terlihat jelas.
“Sebenarnya aku
datang untuk berpamitan sekaligus mengajak Jungkook dan Aerin untuk kembali.
Ayah sedang berada di rumah sakit saat ini.”
Fiona sejenak
terdiam sebelum senyumnya kembali terbit.
“Apa yang terjadi?”
Minhyun menghela
pelan. “Ayah terkena serangan jantung.”
“Sekarang bagaimana
keadaannya?”
“Aku kurang tahu Mom,
tapi katanya hanya serangan ringan. Semoga saja tidak fatal.”
Fiona mengangguk
kecil.
“Kalau begitu
pulanglah, kasihan Ayahmu. Tapi jangan lupa sering-sering kunjungi wanita tua
ini.” Terangnya dengan tawa renyah.
“Iya Mom,
aku berjanji.”
Fiona lantas
menoleh pada Aerin. Cucunya itu sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa pun.
“Ana..” Panggilnya
dengan suara lembut.
“Pulang dengan Ayah
dan Davey ya.”
Aerin diam. Dia
menatap lama iris sang Nenek sebelum kepalanya menggeleng.
Perasaannya menjadi
berantakan kala gusar itu semakin memenuhi relung hatinya. Aerin tidak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi saat dirinya pulang. Rasanya seperti mimpi
buruknya yang kembali datang.
Tanpa mengatakan
apa pun, Aerin bangkit kemudian pergi.
“Ana.” Aiden memanggil dan hendak mengikuti tapi
tertahan oleh sang Ibu.
“Analie, Mom...”
Rengeknya yang hanya dibalas dengan anggukan dan senyum menenangkan.
“Biar Mom yang
bicara dengannya.”
Delania lantas
pergi menyusul Aerin menuju kamarnya. Setelah berdiri di depan pintu kamar yang
ditutup rapat itu, ia mengetuknya.
“Boleh Auntie
masuk?”
Tidak ada jawaban.
“Analie..”
Panggilnya sekali lagi dengan diiringi ketukan ringan.
Namun Aerin tak
juga menjawab.
“Ana...”
Hingga panggilan
ketiganya berhasil membuat pintu putih itu terbuka dengan Aerin yang berdiri di
belakangnya. Aerin membiarkan sang Bibi untuk masuk dan ikut duduk bersamanya di
atas kasur.
Delania tak
langsung membuka suaranya. Ia terlebih dulu mengamati wajah Aerin lalu
mengambil tangan gadis itu ke dalam genggamannya. Kemudian napasnya terembus
begitu pelan.
“Auntie tahu
apa yang kamu pikirkan dan juga ketakutan yang kamu rasakan. Tapi kamu harus
ingat, jika kamu terus menghindar permasalahanmu tidak akan pernah selesai. Bagaimana
pun pada akhirnya kamu akan tetap bertemu dengan mereka, tidak mungkin kamu
terus menghindarinya bukan?” Ia menjedanya.
“Selain itu, kamu
juga masih memiliki tanggung jawab Ana.”
Aerin menoleh.
“Kamu masih harus menyelesaikan
kuliahmu. Kamu tidak lupakan dengan harapan Ibumu, kalau dia ingin anak-anaknya
memiliki pendidikan tinggi. Dan sekarang adalah waktunya. Bukankah tenggang
cutimu sebentar lagi juga akan habis?”
Aerin masih belum
memberikan jawaban apa pun. Mulutnya tertutup rapat sedangkan otaknya masih
terus berpikir.
“Auntie tidak memaksa mu untuk kembali berasama mereka, jika tidak kuat maka pergilah. Tapi di sini Auntie meminta mu untuk mengelesaikan kuliahmu seperti keiinginan Ibumu. Kamu pahamkan maksud Auntie?”
T . B . C
- DF -
Comments
Post a Comment