How Hurt : Part 14


 



(DISCLAIMER: Penggunaan nama tokoh dalam cerita tidak ada hubungannya dengan sosok asli dalam kehidupan sebenarnya.)


.

.

.


 



Aerin menekan gagang dan mendorong pintu di depannya perlahan. Kakinya bergerak memasuki ruangan yang sudah enam bulan ini ditinggalkan. Seketika semua yang terjadi padanya kembali terputar saat aroma khas ruangan itu menyrang penciumannya.

 

Ia menghela pelan. Matanya menelisik setiap sisi ruang kamar itu. Tidak ada yang berubah hanya saja masih tetap bersih seperti terakhir kali ia tinggalkan.

 

“Aku akan meminta Bibi untuk menggantikn sepreimu.”

 

Suara itu menyadarkan Aerin dari lamunannya. Tanpa menoleh ia tetap melangkah masuk dengan vokalnya yang terucap.

 

“Tidak perlu. Biasanya juga aku yang mengganti seprei ini. Itukan aturan di rumah ini.”

 

Jungkook mengembus napasnya berat.

 

“Istirahatlah, aku akan kembali ke kamar.”

 

Aerin tidak menjawab. Ia membiarkan Jungkook pergi dan menutup pintu kamarnya. Ia tidak ingin berbicara lagi karena ternyata tubuh lelahnya semakin terasa lelah saat kedua kakinya kembali menapaki rumah itu.

 

“Aku harus bertahan.”

 

 

*   *   *   *

 

 

Setelah mengganti seprei, membersihkan diri, dan beristirahat Aerin bersiap untuk keluar menemui sahabat yang begitu ia rindukan. Setelah mengirimkan pesan, Aerin bergegas pergi tanpa mengatakan apa pun pada orang-orang di rumah. Tenang saja, tidak ada siapa pun di rumah itu selain Jungkook dan asisten rumah tangga. Lagi pula tidak akan ada yang mencarinya, memang siapa Aerin di rumah itu. Eksistensinya tidak terlalu penting, ia bak figuran saja yang melengkapi kisah keluarga di rumah itu.

 

Bus yang ditunggunya tiba. Aerin segera naik dan menempatkan dirinya pada kursi di dekat jendela. Ini adalah tempat kesukaannya, kare a dari tempatnya ia bisa melihat dan menikmati banyak hal.

 

Sudah enam bulan tetapi tidak ada yang berubah. Semua masih sama seperti saat terakhir Aerin menaiki bus dengan rute ini menuju toko bunga dimana ia bekerja. Ia ingat bagaimana ia menghabiskan waktu perjalanannya dengan mendengarkan musik sembari melihat apa saja yang terjadi di luar. Dulu ia begitu menyukai kebiasaannya ini begitu pun dengan sekarang.

 

Mungkin benar, waktu enam bulan tidak akan mengubah hal secara signifikan. Baik itu lingkungan di luar atau pun dirinya sendiri. Tapi ada satu hal yang Aerin yakini benar-benar berubah, yaitu perasaannya. Ia sudah tidak lagi seperasa dulu. Perasaannya seperti telah mati untuk keluarganya sendiri. Ia tidak merasakan apa pun saat kembali bertemu dengan Kakek dan Neneknya. Tidak ada rasa takut, senggan, senang bahkan sedih saat melihat sang Kakek tertidur di atas bangkar.

 

Aerin berdiri ketika halte tujauannya telah terlihat. Ia bergegas turun saat bus telah berhenti kemudian pergi menuju toko bunga milik keluarga Yunji.

 

Lagi, ia merasa tidak ada yang berubah sepanjang jalan yang dilalui. Bahkan saat kedua kakinya telah berdiri di depan toko, keadaannya masih tetap sama. Kondisi bunga yang dipajang pun tidak ada yang berubah, begitu pun dengan mantan teman kerjanya yang terlihat tengah sibuk di dalam.

 

“Aerin!”

 

Suara itu, suara yang Aerin rindukan. Tanpa pikir panjang ia berbalik dan langsung menubrukkan tubuhnya pada pemilik suara yang berdiri di belakangnya.

 

“Kangen..”

 

“Sama, aku juga.” Balas Aerin dengan mengeratkan pelukannya.

 

Mereka masuk ke dalam ruangan milik Yunji setelah Aerin menyapa pekerja lain yang sudah menjadi temannya juga. Aerin duduk di sofa yang diikuti Yunji setelah mengambil dua botol minuman dari lemari pendingin. Yunji menyerahkan botol berisi teh dengan perisa persik yang diambil dengan senang hati oleh Aerin.

 

“Kamu menyebalkan Rin..” Keluh Yunji.

 

“Kok?” Aerin menatap bingung.

 

Yunji mendengus sebal. “Kamu tidak pernah menghubungiku. Kamu kira aku di sini tidak mengkhawatirkan mu apa?”

 

“Ji..” Aerin meraih tangan sang sahabat.

 

“Aku di sana untuk menangkan diri bukan untuk bertamasya, jika kamu lupa.”

 

“Aku tahu, tapi setidaknya kabari aku walau jarang. Kamu tahu, aku selalu memikirkan mu. Kamu jahat sekali..”

 

Aerin menghela, “Baiklah aku minta maaf. Maaf Yunji yang cantik dan baik hati, maaf telah membuat sahabat kesayanganku ini khawatir.”

 

Keributan kecil itu berakhir ketika Yunji mulai menanyakan bagaimana Aerin selama tinggal dengan keluarga sang Ibu. Keseharian Aerin, keluarganya, hingga perasaan Aerin setelah pergi dari rumah yang selama ini dia tempati.

 

“Jadi kamu pulang atas permintaan Auntie dan juga Grandma-mu?” Yunji mencoba memastikan jika yang didengarnya tidaklah salah.

 

Aerin mengangguk.

 

“Tapi kenapa? Bukankah mereka tahu bagaimana keluarga Ayahmu selama ini kepadmu?”

 

“Karena Kakek sakit, bagaimana pun beliau tetap Ayah dari Ayahku.”

 

Yunji menggaruk kepalanya -sangking kesalnya.

 

“Lalu sekarang kamu mau apa?”

 

Aerin termenung untuk beberapa saat. Kepalanya sedikit menunduk dengan napas beratnya yang diembuskan.

 

“Yang pasti aku akan menyelesaikan skripsiku, selain itu aku masih belum memikirkannya.”

 

Yunji menangguk tanda paham. Ia mengambil botol minumannya lalu meminumnya untuk menghilangkan dahaga karena perbincangan mereka.

 

“Oh iya,” Aerin kembali berucap yang menarik lagi atensi Yunji padanya. “Soal Kakek, kamu tahu apa yang terjadi sampai Kakek dirawat seperti itu?”

 

“Memang kamu tidak dibertahu?” Tanya Yunji dengan mata yang membulat.

 

Aerin menggeleng pelan. “Waktu tiba di rumah sakit, tidak ada yang mengatakan apa pun selain kondisi Kakek yang berangsur membaik dan besok sudah diizinkan pulang.”

 

Kini giliran Yunji yang menghela napasnya.

 

“Kakekmu terkena serangan jantung setelah beberapa investor menarik investasi mereka dari proyek besar yang lagi dijalani perusahaannya. Aku tahu dari Paman Seo, karena beliau salah satu pemegang saham di sana.”

 

“Kenapa bisa begitu?”

 

“Karena skandal yang terjadi dihari yang sama dan waktunya berdekatan.”

 

Aerin mengerutkan kening. “Skandal?”

 

Kepala Yunji mengangguk singkat. “Ini karena ulah sepupumu sendiri,” ia memberikan jeda singkat sebelum kembali melanjutkan ceritanya.

 

“Malam sebelumnya terjadi kecelakaan antara dua mobil salah satunya itu taksi sampai taksinya ringsek, untungnya pengemudi taksinya tidak mengalami luka parah. Dan diwaktu yang berdekatan terjadi perkelahian di club kawasan Hongdae yang menyebabkan korbannya harus ditangani intensif di rumah sakit karena lukanya parah.”

 

Yunji kembali meminum minumannya. Setelah dirasa cukup ia letakkan botol itu di atas meja lalu tubuhnya memutar untuk kembali berhadapan dengan Aerin yang masih setia menunggu kelanjutan ceritanya.

 

“Kamu tahu siapa sepupumu yang kumaksud?”

 

Aerin menggeleng.

 

“Mereka itu, Kim Dongha dan Im Hyeji. Dongha yang berkelahi sedangkan Hyeji yang berkendara ketika mabuk hingga menyebabkan kecelakaan itu. Dan berita keduanya ramai dibicarakan setelah seluruh surat kabar merilisnya.”

 

Aerin terhenyak mendengarnya. Tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Apakah ini karma untuk sepupunya sekaligus teguran untuk Nenek dan Kakeknya? Apakah ia boleh berharap jika memang semua ini adalah karma untuk mereka? Padahal sebelumnya Aerin tidak pernah mengharapkan karma itu datang untuk keluarganya.

 

“Aerin kamu kenapa?” Tanya Yunji sembari mengguncang pelan pundak Aerin.

 

“Ji..” Ia mengangkat pandangannya hingga kedua matanya bertemu pandang dengan manik Yunji. “Boleh enggak kalau aku menganggap kalau ini adalah karma Tuhan untuk mereka? Aku jahat enggak karena berpikir kaya gitu?”

 

Selama beberapa detik yang ganjil, Yunji bungkam. Tapi kemudian tawanya pecah hingga membuat Aerin semakin bingung dibuatnya.

 

“Tentu saja bodoh. Bahkan aku yang mendengarnya saja langsung menganggap jika itu adalah karma untuk mereka.” Tuturnya lantas kembali tertawa.

 

 

*   *   *   *

 

 

Aerin mengeraskan dorongannya hingga menimbulkan suara debuman kencang di pintu kamarnya. Mendudukkan bokongnya di atas kasur dengan wajah merah menahan marah. Kenapa di pagi yang cerah ini ia harus merasa seperti ingin menelan orang hidup-hidup. Kenapa di pagi yang ia kira tidak akan membuat moodnya hancur, ternyata moodnya jauh dari kata hancur -sudah tidak berbentuk.

 

Rasanya ingin sekali Aerin mengutarakan seluruh isi hatinya yang masih mengganjal itu dengan berteriak, tapi tidak mungkin. Kamarnya tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Tidak ada peredam suara yang terpasang di dinding.

 

Jalan satu-satunya adalah dengan meredam teriakannya menggunakan bantal. Sebuah cara yang dulu selalu Aerin lakukan untuk menuntaskan amarahnya. Iya.. pada akhirnya Aerin kembali melakukannya karena tidak kuat menahan debaran hebat di jantungnya.

 

“ARGHHHH!”

 

Kepalanya menjauh. Napasnya ditarik dalam dan diembuskan cepat.

 

“ARGHHHH!”

 

Aerin kembali mengulanginya. Lalu ia meletakkan bantal itu di atas pangkuannya dan memukulkan kepalan tangannya di sana.

 

“Kenapa? Kenapa Ayah menemukanku?!” Marahnya yang masih memukul bantal tak berdosa itu.

 

Ia terus memukul bersamaan dengan mulutnya yang mengucapkan kemarahannya. Namun ketukan di pintu membuat Aerin berhenti sejenak menunggu sosok tersebut berbicara.

 

“Ana, boleh Auntie masuk?”

 

Aerin diam, mempertimbangkan apakah akan memberikan izin atau tidak. Sebenarnya ia tidak ingin diganggu, tetapi ia tidak mau membuat Auntie-nya sedih. Adik Ibunya itu sudah ia anggap seperti Ibunya sendiri. Setelah Ibunya meninggal, sosok Delania-lah yang berhasil mengisi kekosongan hati Aerin walaupun mereka terpisah jarak yang jauh.

 

Maka dengan tarikan napas panjang, Aerin mengizinkan Delania masuk. Ia merapihkan sedikit duduknya dan memeluk bantal yang tadi ia jadikan samsak kemarahannya.

 

Delania berjalan perlahan kemudian ikut bergabung dengan Aerin, duduk di atas kasur. Wanita itu -masih setia menyunggingkan senyum manisnya- menatap dengan hangat Aerin yang masih diselimuti kemarahan. Ia tahu, karena wajah keponakannya itu masih merah dan juga tangannya yang terkepal di atas bantal.

 

“Ana..” Panggil Delania penuh sayang.

 

“Auntie tidak akan bertanya apakah kamu marah atau kenapa kamu marah, karena Auntie tahu jawabannya.” Ia meraih tangan Aerin lalu menguraikan kepalannya.

 

“Auntie juga tahu seberapa kecewanya kamu dengan Ayah dan Davey, serta keluargamu yang lain.”

 

Delania mengusap punggung tangan Aerin yang kini digenggamnya.

 

“Tapi kamu juga harus ingat, kalau tidak selamanya lari adalah jawaban dari permasalahanmu. Kamu juga perlu menghadapinya. Jika Ibumu bisa melakukan itu, Auntie yakin kamu pun bisa.” Ia memberikan jeda singkat sebelum kedua bilah bibirnya kembali terbuka, “Kamu tidak sendiri Ana, Auntie, Grandma, dan Aiden tetap akan di samping mu.”

 

Aerin tersentuh mendengarnya. Ia juga tidak menampik jika kata Ibu yang dilontarkan Delania berhasil menggetarkan hatinya. Entah kenapa, perasaan rindunya kembali memenuhi relung hati hingga sesak itu kembali hadir.

 

Ah.. sudah enam bulan berjalan dan Aerin belum mendatangi makam sang Ibu. Pantas saja rasanya rindu sekali.

 

Aerin menegangkat kepalanya yang sejak tadi ia tundukan. Ia menatap Delania dengan mata yang ternyata sudahh digenangi air mata.

 

“Tapi aku takut. Aku tidak memiliki keberanian seperti Ibu, Auntie.”

 

Delania mengusap pipi Aerin yang telah dialiri air matanya.

 

“Kamu kuat, kamu sama seperti Ibumu Ana. Kalian adalah sosok wanita tangguh yang berani menghadapi semua hal. Jika kamu seorang penakut, tidak mungkin kamu bisa bertahan sejauh dan selama ini. Kamu itu adalah copy Ibumu.”

 

Mendengar itu, tangis Aerin semakin pecah. Sesak di hatinya bertambah belum lagi kerinduannya yang semakin besar.

 

“Auntie dan Grandma tidak meminta kamu untuk bertahan di sana selamanya, tetapi kami meminta kamu untuk menjenguk Kakekmu yang sakit. Seburuk apa pun, beliau tetap Kakekmu. Ayah dari Ayahmu. Kamu tetap harus menghormati dan mengasihi walaupun apa yang kamu terima tidak sesuai dengan harapanmu.”

 

Delania menyekah air mata yang terus membasahi pipi Aerin.

 

“Autie tidak mau kamu menyimpan dendam yang begitu besar di hatimu, dan Auntie yakin Ibumu juga tidak menginginkannya.”

 

“Dan Ana, kepulanganmu kali ini bukan hanya untuk menjenguk Kakekmu. Tapi kamu harus merealisasikan permintaan Ibumu yang belum selesai kamu kerjakan.” Sambungnya lagi.

 

Aerin mengerutkan kening dengan napas yang tersendat-sendat karena menahan raungan tangisnya.

 

“Studimu Ana.. kamu masih harus menyelesaikannya. Sudah ingat?” Tanya Delania dengan tersenyum kecil dan tatapan mata yang terlihat seperti tengah memberikan ingatan lama yang sempat terlupakan oleh Aerin.

 

“Jadi jangan sedih dan marah lagi. Jika kamu memang masih belum benar-benar menghilangkan rasa kecewamu, anggap saja kepulanganmu untuk menyelesaikan skripsimu. Dan jika sudah selesai, kamu bisa kembali ke sini atau kamu bisa merealisasikan mimpi yang kamu ceritakan kepada Aiden.”

 

Aerin terkejut bukan main begitu mendengar kalimat terakhir dari Delania. Kenapa Auntie-nya bisa tahu? Pasalnya tidak ada yang ia  beritahu selain Aiden.

 

“Ba-Bagaimana Auntie-”

 

“Auntie tidak sengaja mendengarnya saat kalian berbicara di taman belakang. Tenang saja, Auntie tidak akan menahanmu karena Auntie sangat menyetujui keiinginanmu itu.”

 

Senyum yang lenyap itu akhirnya kembali bertengger di bibir Aerin saat menerima dukungan dari Delania. Hal yang sulit sekali ia dapatkan dari keluarga Ayahnya. Biasanya diskriminasi dan pengucilan yang selalu ia terima. Sang berbanding terbalik dengan keluarga sang Ibu.

 

“Karena itu, kamu harus secepatnya menyelesaikan kuliahmu supaya keiinginanmu itu bisa kita realisasikan bersama, setuju?”

 

Aerin mengangguk cepat dengan binar bahagia yang terpancar di matanya.

 

“Iya Auntie, iya.”





T . B . C



- DF -

Comments

Popular Posts