How Hurt : Part 16
(DISCLAIMER: Penggunaan nama tokoh dalam cerita tidak ada hubungannya dengan sosok asli dalam kehidupan sebenarnya.)
.
.
.
Aerin tidak
menyangka jika sejauh ini hidupnya masih baik-baik saja. Ketakutan yang ia
rasakan saat akan pulang ternyata tak terjadi, atau mungkin belum terjadi.
Karena ia masih sangsi dengan keluarganya sendiri. Tidak mungkin permasalahan
yang ia tinggal bisa dilupakan begitu saja. Mungkin belum meledak saja, karena
Aerin yang masih diselimuti duka setelah Grandma-nya pergi untuk
selamanya.
Jujur Aerin
sedih, sangat. Ia tidak pernah menyangka jika hari kepulangannya menjadi hari
terakhir ia bertemu dengan sang Grandma. Melihat mata wanita paruh baya
itu yang teduh dan senyum hangatnya yang selalu membuat Aerin merasa nyaman.
Tapi ia juga
tidak bisa terus diselimuti dukanya. Ia harus bangkit untuk Grandma dan
tentu Ibunya. Ia harus merealisasikan janjinya kepada kedua wanita hebat itu.
Ia harus lulus, ya.. itulah janjinya.
Namun sedih itu
tak kunjung reda. Setiap malam tidak pernah Aerin tidak menitihkan air mata dan
menyesal karena memutuskan kembali bersama Ayahnya. Seandainya saja ia lebih
keras menolak bujukan Auntie-nya, mungkin ia masih bisa bersama dengan
sang Grandma disisa waktunya. Tapi jika itu terjadi, akan sulit baginya
untuk mewujudkan janji yang telah diutarakannya.
Dilema.
Mengusap
wajahnya kasar, mengeringkan tangsinya yang kembali pecah saat teringat
kebersamaan dengan wanita yang memiliki wajah mirip dengan sang Ibu. Sudah
hampir dua bulan, tapi Aerin masih begitu merasa kehilangan. Tiada hari tanpa
terbayang oleh wajah Grandma-nya. Bahkan saat sidang skripsinya dan ia
dinyatakan lulus, yang diingat pertama kali adalah sosok Ibu dan juga Grandma-nya.
Kedua wanita itulah yang telah berhasil memberikan semangat untuk Aerin kembali
fokus pada kewajibannya. Tapi kedua wanita itu juga yang membuat tiap malamnya didampingi
tangis karena terlampau sedih dan rindu.
Ia menghela
lelah. Entah kenapa pagi ini ia sangat merasa emosional. Padahal sudah
mensugesti diri untuk tidak menangis lagi, tapi air matanya malah tetap keluar.
Padahal hari ini ia harus pergi ke kampus untuk mengumpulkan berkas
kelulusannya agar bisa mengambil toga dan seperangkat alat wisuda lainnya.
Setelah mematut
diri di cermin untuk memastikan jika make-up tipisnya bisa menutupi
bekas tangisannya, Aerin mengambil tas serta sebuah tote bag yang ia
lipat lalu ia simpan bersama berkas-berkasnya ke dalam tas. Dengan menarik
napas dalam dan diembuskan, ia keluar dari kamar menuju ruang makan yang hanya
menyisakan Kakeknya.
Kemana perginya
sang Ayah dan Jungkook? Tentu saja bekerja.
Bagaimana dengan
Neneknya? Sudah pasti di taman samping untuk merapihkan tanaman bunganya.
Hanya melihat
keberadaan sang Kakek saja, rasanya sudah seperti bertemu pejabat penting
pemerintahan. Jantungnya tiba-tiba berdetak cepat hingga membuat napasnya
terembus berat. Walau begitu, Aerin tetap duduk di kursinya untuk meminum susu
serta memakan roti berselai stroberi yang sudah disiapkan asisten rumah tangga.
Menyapa sang
Kakek yang sibuk dengan teh dan koran di tangannya, dalam hati ia berharap jika
Kakeknya fokus saja dengan apa yang sedang dibaca. Lupakan keberadaannya karena
Aerin tengah tidak ingin diusik. Menangis sejak malam membuat tenaganya
terkuras dan mood-nya kacau.
Mengigit setiap
bagian rotinya. Tidak ada yang aneh. Semua terlihat biasa saja. Tapi sebenarnya
Aerin tengah mati-matiian untuk menghabiskan seluruh sarapannya secepat yang ia
bisa. Duduk hanya berdua dengan Kakeknya masih asing untuk Aerin. Malah
cenderung menyeramkan, sama seperti ia dihadapkan dengan pengujinya saat sidang
kemarin.
Setelah selesai
dengan roti, Aerin buru-buru mengambil gelas berisi susu. Meminumnya dengan
hati-hati tapi berusaha lebih cepat dari biasanya. Jujur, semakin lama ia
semakin tidak nyaman. Ada rasa was-was yang mulai menghantuinya.
Dan benar saja,
ketika ia akan mmeletakkan gelas kosongnya suara sang Kakek membuat debaran di
jantungnya semakin menggila. Ia melihat sang Kakek dalam diam, menunggu
kelanjutan panggilan pria paruh baya itu.
“Bagaimana skripsimu?
Kapan sidangnya?”
Aerin menarik
napas pelan.
“Ma-Masih
menunggu proses sidang Kek.”
“Jangan terlalu
lama. Kakek dengar dari Jungkook kalau jadwal wisuda sebentar lagi. Jadi
usahakan selesai sebelum tenggat wisuda itu. Jangan menunda lagi karena kamu
sudah telat satu semester.”
Aerin hanya bisa
mengangguk lemah. Walaupun ada rasa sedih karena lagi-lagi secara tidak
langsung ia tengah mendapatkan tekanan dari sang Kakek, tetapi Aerin tetap
melanjutkan kebohongannya karena itu rencanannya.
Ingat tote
bag yang ia simpan di dalam tas?
Itu akan ia
gunakan untuk membawa perlengkapan wisudanya yang akan dititipkan pada Yunji. Tidak
ada alasan khusus untuk kebohongannya. Hanya sebuah keiinginan untuk memiliki
hari wisuda yang tenang tanpa harus dihantui rasa was-was yang melelahkan
hatinya. Biarkan dihari itu tidak ada keluarganya yang datang, kehadiran Yunji
saja sudah cukup untuk menemani disalah satu hari terpenting dalam hidupnya.
Sahabatnya itu
adalah segalanya. Yunji adalah temannya, saudaranya, dan juga keluarganya.
“Satu lagi.”
Aerin kembali
duduk saat suara sang Kakek lagi-lagi menghentikannya.
“Ada yang ingin
Kakek bicarakan, jadi batalkan atau undur jika kamu memiliki janji malam ini.
Mengerti?”
“I-Iya Kek.”
Setelahnya,
Aerin benar-benar membawa tungkainya pergi. Melepaskan diri dari kegelapan
akibat aura Kakeknya yang menyeramkan.
* * * *
Aerin menyandarkan
dirinya sambil menatap langit dari dalam ruangan Yunji. Setelah menyelesaikan
semua urusan administrasi dan mengambil perlengkapan wisudanya, ia langsung
pergi menuju toko bunga dimana Yunji bekerja. Sejak berbicara dengan Kakeknya,
Aerin benar-benar tidak tenang. Entah kenapa ras takutnya semakin lama semakin
besar, dan bayang-bayang negatif yang ia tkutkan mulai memenuhi pikirannya.
Sungguh Aerin
lelah. Lelah dengan semua yang terjadi di hidupnya. Setiap harinya bahkan
ditiap menitnya selalu saja merasa tidak tenang. Bahkan saat akan tidur ia
masih digulung rasa takut yang tak kunjung sirna. Saat akan tidur saja
-mungkin- rasa takutnya juga tengah ikut tidur, makanya ia tidak merasakan apa
pun.
“Hei..” Yunji
menepuk pundaknya lalu ikut bergabung dengan Aerin di sofa.
“Tumben melamun,
ada apa?”
Aerin hanya
melirk sebentar sebelum kembali menikmati teriknya matahari di siang hari itu.
“Engga tau.” Ia
menarik napas.
“Rasanya
deg-degan dan takut.” Cicitnya tetapi terdengar jelas oleh Yunji.
“Takut kenapa?”
Aerin menghela. Melepaskan
atensinya pada langit di luar dengan menoleh pada Yunji yang menatapnya
bingung.
“Ini soal Kakek,
dia ingin bicara dengan ku.”
Yunji semakin
dibuat heran.
“Terus kenapa?”
Lagi dan lagi,
napasnya terhela begitu saja.
“Aku takut ini
tentang perjodohan itu. Kamu tahukan aku sangat menentangnya. Aku tidak mau dan
tidak sudi melakukan hal itu. Mereka yang membuat janji kenapa aku yang harus
menepati. Itukan gila!” Adunya dengan ledakan emosi yang sudah ia tahan seja
pagi tadi.
“Kamu tolak lagi
saja.”
“Iyalah, aku
akan tetap menolaknya. Tapi Ji, semua tidak akan semudah seperti sebelumnya.
Aku merasa Kakek seperti telah merencanakan sesuatu untuk memaksa ku. Aku takut
Ji..”
Kini gilian
Yunji yang menghela. Ia ikut merasakan kegusaran Aerin walau hanya mendengar
ceritanya saja. Ia semakin tak habis pikir dengan keluarga Aerin. Kenapa suka
sekali mencampuri kehidupan pribadi Aerin?
“Ayahmu dan
Jungkook, bagaimana? Katamu mereka sudah berubah. Sudah mulai mengerti dan
memperhatikanmu.”
“Entah Ji, aku
tidak yakin.” Ia mengusap wajahnya. “Walau Ayah sudah mulai memihakku, tapi
pemegang kendali terbesar tetap Kakek. Aku takut jika akhirnya Ayah tetap
mengikuti ucapan Kakek.”
“Aku tidak tahu
harus mengakatan apa lagi, selain kamu tidak sendiri Rin. Aku akan selau berada
di sampingmu. Aku akan menjadi sandaranmu. Jika kamu butuh aku, katakan dan aku
akan langsung mendatangimu. Kita hadapi ini bersama ya..”
Aerin
mengangguk. Kemudian memeluk Yunji erat. Sungguh, ini adalah hal yang Aerin
butuhkan. Tidak perlu sebuah tindakan besar, cukup kata-kata saja sudah bisa
membuat sedikit masalahnya berkurang. Karena Aerin sadar jika permasalahannya
hanya dapat diselesaikan olehnya.
Namun ketukan di
pintu membuat kedua sahabat itu harus mengakhiri sesi berpelukan mereka. Yunji
mempersilahkan sang pengetuk untuk masuk.”
“Maaf Nona
Yunji, ada seorang pria yang mencari Aerin.”
“Siapa?”
“Katanya namanya
Jaehyun.”
“Dimana dia?”
“Ada di depan
toko Rin.”
“Yaudah, terima
kasih ya.”
Sosok itu
mengangguk lalu pergi meninggakan ruangan Yunji.
“Mau apa lagi
dia?”
Aerin
menggeleng. “Tidak tahu.”
Lalu ia memberikan
tote bagnya kepada Yunji.
“Aku titip ini
ya, nanti di hari wisuda aku akan mengambilnya.”
Yunji mengangguk
sembari mengambil aih tali tote bag itu.
“Terus kamu mau
kemana?”
Ia
mengenyampirkan tali tasnya ke pundak. “Pulang, mau memprsiapkan mental untuk
nanti malam.” Balasnya dengan sedikit gurauan.
“Jaehyun
gimana?”
“Tenang, aku
yang akan mengurusnya.” Ia bangkit lalu memeluk singkat Yunji.
“Hati-hati.”
Aerin
mengacungkan ibu jarinya sebelum menghilang di balik pintu yang tertutup.
Setelah keluar dari ruangan Yunji, Aerin
menyempatkan diri bertemu dengan mantan rekan kerjanya untuk berpamitan. Ia
juga memeluki satu per satu temannya itu sebelum kedua tungkainya melangkah
keluar dan bertemu dengan sosok Jaehyun yang berdiri memunggunginya.
Tidak berniat
untu memanggil, menyapa, atau yang lainnya, Aerin segera melanjutkan langkahnya
menuju halte yang tidak terlalu jauh dari tempatnya. Namun keberadaannya
disadari oleh Jaehyun yang langsung memutar tubuhnya.
“Aerin..”
Aerin
mengabaikannya. Ia tetap melanjutkan perjalanannya menuju halte di depan.
“Rin..”
Jaehyun
mengejarnya dan mencegat langkahnya. Mau tidak mau Aerin pun memutar tubuh
untuk berhadapan dengan laki-laki Jung itu.
“Apa?”
“Kita perlu
bicara.”
Aerin mendengus.
“Tidak ada yang
perlu dibicarakan. Jika itu tentang perjodohan kita, aku sudah mengatakannya
sejak awal kalau aku menolak. Aku tidak akan mau menikah dengan mu apa pun itu
alasannya.”
“Tapi Rin,
Kakek-”
“Aku enggak
peduli!” Potong Aerin cepat.
“Jika nanti
memang akhirnya aku menyetujui perjanjian gila antara Kakekmu dan Kakekku, kamu
harus tahu kalau aku terpaksa. Aku terpaksa menerimanya karena ada hal yang aku
jaga sampai akhirnya aku merelakan hidupku kembali hancur untuk kesekian
kalinya. Dan jika saat itu benar-benar ada, tolong berjanjilah untuk tidak
mencampuri hidupku apa pun statusmu nanti.” Ia menarik napas dan mengembuskan
berkala.
“Satu hal lagi, jika
kamu menganggap dengan menyetujui rencana ini adalah untuk menyelamatkan ku
atau kebahagiaanku seperti yang Jungkook katakan maka jawabannya adalah tidak.
Karena nyatanya persetujuanmu adalah awal kehancuran terbesarku. Ingat, jangan
melihat sesutu dari sisimu saja kamu juga harus melihat dari sisi orang lain.”
Setelah
mengatakannya Aerin benar-benar pergi. Ia meninggalkan Jaehyun yang terdiam
seribu bahasa. Laki-laki itu hanya mampu menatap kepergiannya tanpa mampu
mengejar karena nyatanya ia sudah kehilangan seluruh kata-katanya.
* *
* *
Makan malam
berjalan seperti biasanya. Di ujung duduk Kakeknya dengan sang Nenek yang
berada di sebelah kanan dan Ayahnya di sisi kiri. Sedangkan ia dan Jungkook
duduk bersebelahan di samping sang Ayah. Pembicaraan kecil yang terjadi pun
tidak jauh berbeda, hanya seputar bisnis keluarga mereka atau kemajuan yang dilakukan
Jungkook sebagai manajer baru di perusahaan. Memang terlihat tidak aneh, tetapi
tidak dengan Aerin.
Ucapan Kakeknya
pagi tadi masih terus terngiang yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Ia tidak yakin apakah Ayah atau Jungkook tahu apa yang akan Kakeknya katakan. Tapi
dilihat dari gelagat mereka, sepertinya tidak ada yang tahu tujuan Kakeknya dan
apa yang mau pria paruh baya itu bicarakan.
Dalam hati Aerin
hanya berharap jika ketakutannya tidak benar dan tidak akan terjadi.
“Lalu bagaimana
dengan skripsimu?”
Pertanyaan dari
Neneknya membuat Aerin berhenti memotong ayam di piringnya. Ia mengangkat
kepala dan mendapati kini seluruh mata tengah memperhatikannya.
“Masih menunggu
jadwal Nek.”
“Kenapa lama
sekali, Jungkook saja waktu itu cepat.”
Mendengar ucapan
Neneknya membuat Aerin tanpa sadar meremas kuat sendoknya. Lagi, untuk yang kesekian
kali ia kembali dibandingkan dengan saudara kembarnya sendiri. Kenapa Neneknya
tidak pernah bosan membuat luka di hatinya? Apa tidak capek terus membandingkan
setiap Cucunya?
Ia menunduk dan
memilih bungkam. Rasanya akan sama saja jika ia menjawab dan tidak, pasti pada
akhirnya selalu Jungkook yang akan dibanggakan tanpa mau melihat dari sisinya.
“Nek, aku dan
Aerin berbeda fakultas pasti penerapan sistemnya pun beda walaupun di kampus
yang sama.” Timpal Jungkook saat melihat kemarahan yang coba Aerin redam.
Bukan lagi
sebuah kesedihan atau kekecewaan, kini Aerin hanya akan menunjukkan kemarahan
dan ketidaksukaannya jika lagi-lagi selalu dianak tirikan. Berbeda dengan Aerin
sebelum pergi yang cenderung tertutup dan diselimuti kekecewaan.
“Tapi tetap
saja, seharusnya kamu mengikuti Kakakmu ini Aerin. Dia bisa lulus tepat waktu, cumlaude,
dan sekarang sudah bekerja. Andai waktu itu kamu tidak pergi, pasti kamu tidak
sedang menunggu seperti ini.”
Lagi, Aerin
tidak menjawabnya. Ia hanya menunduk karena tak ingin Nenek atau Kakeknya
melihat kemarahan di matanya. Karena rasa sabarnya sudah sampai batas maksimal.
Mendengar ucapan sang Nenek yang seperti tidak menyesali perbuatan mereka
sampai membuat Aerin pergi semakin membuat dirinya gila.
“Ibu sudah,
tidak perlu dibahas lagi. Hanya tinggal menunggu jadwal saja jadi tidak perlu
dipermasalahkan.” Kini giliran Minhyun yang memeberikan pembelaan.
Sayang, tidak
ada satu pun yang berhasil menggugah hati Aerin. Terlalu sering diabaikan
membuat ia seperti mati rasa. Tidak ada perasaan apa pun saat Ayahnya maupun
Jungkook membelanya. Atau mukinkah karena ia sudah terbiasa melewati semuanya
seorang diri karena itu pembelaan itu terasa hambar saja.
“Jangan bela
anakmu jika salah. Nanti dia tidak akan pernah tahu letak kesalahannya.”
Sungguh, setiap
kali Neneknya berucap Aerin sangat ingin menimpalinya seperti ucapan terakhir
Neneknya yang ingin ia timpali dengan satu kalimat saja, “Lebih baik kalian
berkaca dan merenung, mengapa aku bisa pergi.”. Tapi ia hanya mampu
mengubur keiinginannya itu karena enggan mencari masalah lain yang semakin
memperkeruh keadaan.
Setelahnya tidak
ada lagi yang mengeluarkan suara. Mereka kembali sibuk menghabiskan makan malam
yang dibuatkana oleh asisten rumah. Sampai ketika Kakeknya berdeham. Membuat
seluruh pasang mata kini menatap pria paruh baya itu.
“Aku ingin
menyampaikan sesuatu.” Pria itu membuka suaranya.
“Rencana
perjodohan Aerin dan Jaehyun akan tetap dilaksanakan. Aku telah menemui Hana
dan Namgil, mereka juga setuju. Dan kami sepakat tidak ada pertunangan tetapi satu
bulan setelah Aerin wisuda, kalian akan menikah.”
Seketika itu
juga Aerin merasa seperti dilempar dari atas jurang dan tubuhnya membentur batu
besar di sekitarnya. Jantungnya langsung bergemuruh hebat dengan kemarahan yang
sudah tidak bisa ditahannya. Seluruh kesabarannya sudah lenyap. Ia tidak lagi
peduli dengan statusnya kini.
“Tidak mau!”
“Kakek tidak
menerima pendapatmu. Ini adalah keputusan akhir.”
Aerin mendengus.
“Tapi ini hidupku. Tidak ada satu pun orang yang berhak mengaturnya selain
aku!” Ia berdiri dengan membanting sendok yang sedari tadi digenggamnya.
“Aerin!” Hardik
sang Nenek.
“Apa? Kenapa
aku? Kalian punya satu lagi Cucu perempuan, tapi kenapa aku? Selama ini apa aku
pernah membuat kesalahan sampai kalian menghukumku seperti ini? Apakah aku
sangat buruk sampai kalian memperlakukan aku dengan tidak adil seperti ini?
Jika aku buruk, bagaimana dengan Hyeji. Cucu kalian itu bahkan lebih buruk dari
aku. Jangan kira aku enggak tahu apa yang dia perbuat sampai membuat Kakek
dibawa ke rumah sakit. Tapi apa? Kalian mengabaikan masalah itu seakan tidak
ada kerugian yang ditimbulkan. Sedangkan aku, kerugian apa yang aku timbulkan
sampai kalian tega sekali melakukan ini pada ku? Ha??!”
“Aerin dimana
sopan santunmu??!”
Aerin tertawa
sinis mendengar bentakan sang Nenek. Sungguh lucu sekali Neneknya ini.
“Sudah mati.
Sopan santun itu sudah tidak ada sejak kalian semakin menggila dengan pemikiran
kalian itu!”
Ia menarik
napasnya.
“Apakah
keturunan perempuan sangatlah tidak berarti dimata kalian? Apa karena aku adalah
keterunan perempuan dari anak laki-laki kalian, makanya beban itu dilimpahkan
kepada ku? Pesetan dengan paham patriarki yang kalian anut! Aku muak! Jika
Nenek lupa, Nenek adalah seorang perempuan yang memiliki tiga anak perempuan.
Apakah Nenek memperlakukan anak perempuan Nenek seperti Nenek memperlakukana
aku?”
Tidak ada yang
menjawab.
“Tidak bukan?
Lalu kenapa aku? Aku yang selalu kalian diskriminasi. Aku yang selalu kalian
bandingkan dengan Jungkook. Aku yang selalu kalian abaikan. Aku.. aku yang
selama ini selalu dilupakan tapi kenapa sekarang kalian ingin mencampuri
kehidupanku? Apakah tidak cukup kalian melukaiku dengan pengabaian selama ini?
Apakah tidak cukup luka yang telah kalian torehkan? Apa masih kurang membuat
kenangan buruk untuk ku? Kalau masih silahkan, aku mengizinkan kalian untuk menghancurkan
aku lagi sampai aku mati. Aku tidak peduli!”
Mendorong
kursinya kasar, Aerin bergegas pergi meninggalkan ruangan itu. Namun di tengah
langkahnya suara sang Kakek berhasil membuat ia berhenti.
“Jika kamu tidak
mau, jangan salahkan Kakek jika usaha keluarga Ibumu akan hancur.”
Aerin memutar
tubuhnya. Rautnya berubah sangat dingin, sebuah ekspresi dari tingkat kemarahan
paling tinggi seseorang.
“Ayah!”
“Kakek!”
“Jangan pernah
sentuh mereka!” Ujar Aerin dengan gigi yang beradu karena menahan amarahnya
sendiri.
“Keputusan ada
di tanganmu, Aerin.”
“Aku sudah
memberikan izin kepada Kakek untuk semakin menghancurkan ku, maka silahakan
lakukan apa yang Kakek mau. Aku tidak peduli karena aku sudah menyerah dengan
hidup ini. Lakukan saja, tapi Kakek perlu ingat disetiap tindakan akan ada
konsekuensinya. Maka tunggu saja konsekuensi dari keputusan Kakek itu.”
T . B . C
- DF -
Comments
Post a Comment