How Hurt : Part 18

 


 



(DISCLAIMER: Penggunaan nama tokoh dalam cerita tidak ada hubungannya dengan sosok asli dalam kehidupan sebenarnya.)


.

.

.


 



Aerin hanya diam selama proses periasan. Diminta menutup mata, ia lakukan. Membuka sedikit bibitnya juga dilakukan. Menghadap kanan atau kira juga Aerin laukan tanpa ada satu kata penolakan. Boro-boro menolak, sepanjang pagi itu mulutnya berucap hanya sebatas, iya, tidak, hm, dan terima kasih.

 

“Sudah selesai Nona.”

 

Aerin mengangguk singkat. Hal aneh bagi sang perias yang sejak tadi tidak melihat ekspresi seorang pengantin. Wajahnya terlihat datar dengan aura dingin yang tidak dimengerti wanita itu.

 

“Nona diminta untuk menunggu di sini sampai panita penyelenggara datang.”

 

Lagi-lagi anggukan yang Aerin berikan.

 

Wanita itu menggaruk tengkuk belakangnya karena merasa tidak enak. Ia lalu buru-buru membersihkan dan merapihkan seluruh peralatannya.

 

“Kalau begitu saya permisi keluar.” Pamit wanita tersebut yang kembali mendapatkan anggukan kepala.

 

Setelah kepergian perias tadi, Aerin mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Membuka kunci layar, jemarinya secara otomatis memilih sebuah aplikasi untuk mengirimkan pesan. Tidak butuh waktu lama, pesan yang ditujukan untuk Aiden yang berisikan permintaan tolong itu akhirnya terkirim. Ia bernapas lega ketika pesan yang terkirm itu segera mendapatkan balasannya. Hanya sebuha kata tetapi berhasil mengangkat beban yang sejak tadi bersarang di pundaknya.

 

Bertepatan dengan itu, Jungkook masuk ke dalam. Aerin yang melihatnya buru-buru mengunci kembali layar ponselnya dan meletakan di atas meja.

 

“Ada apa?”

 

Jungkook mengambil posisi di belakang Aerin. Memandang sang adik kembar melalui kaca di hadapannya.

 

“Cantik..”

 

Pujian tersebut tidak berhasil meluluhkan kedinginan Aerin. Ia malah terlihat tidak suka dengan keberadaan Jungkook di sana.

 

“Mau apa kamu di sini?”

Jungook menghela. Ternyata kekecewaan Aerin tidak semudah itu ia sembuhkan.

 

“Aku hanya ingin melihat adikku yang sebentar lagi akan menjadi seorang istri. Aku harap setelah ini Jaehyun bisa memberikan kebahagiaan-”

 

Tsk!” Aerin melepaskan tangan Jungkook dari pundaknya.

 

“Kebahagiaanku enggak ada di tangan Jaehyun atau siapa pun. Jadi jangan pernah berpikir kalau dengan pernikahan ini aku akan bahagia karena bisa lepas dari rumah, karena itu sangat salah.”

 

Aerin berdiri dan menghadapkan tubuhnya kehadapan Jungkook.

 

“Kamu enggak tahu apa-apa soal hidupku jadi berhenti saja Kook. Karena nyatanya kamu enggak pernah mencoba untuk menempatkan dirimu,” Ia menunjuk dada Jungkook. “Di posisiku.” Kini telunjuknya menunjuk dirinya sendiri.

 

“Kamu, Ayah, dan bahkan sahabatmu itu hanya membayangkan dan menganggap kalau kalian sudah berpikir dari sisiku. Tapi sayangnya tidak.”

 

“Rin-”

 

Ssshhhhhh.” Ia mengibaskan tangannya.

 

“Iya, aku tahu kamu sudah berusaha menolak rencana ini tapi tidak bisa. Aku tidak kecewa, malah aku berterima kasih. Tapi yang membuat ku berbalik lagi darimu adalah kamu yang akhirnya secara enggak sadar telah setuju dengan menitipkan ku pada sahabatmu itu. Apa kamu pikir aku enggak tau, ha?”

 

Aerin memberikan jeda untuk menarik napasnya yang mulai sesak karena dipenuhi emosi yang belum tersalurkan.

 

“Aku kira kamu bisa ku andalkan, ternyata tetap saja. Setelah ini tolong berhenti saja supaya tidak ada lagi yang tersakiti di antara kita.”

 

Permintan Aerin berhasil membuat Jungkook menggeleng kasar. Ia tidak pernah membayangkan hal itu walaupun hubungannya dengan Aerin tak juga baik.

 

“Kenapa? Bukannya kamu sudah menitipkan ku pada Jaehyun, jadi kamu enggak perlu lagi berusaha-”

 

“Enggak Rin. Aku enggak mau. Sampai kapan pun kamu adalah saudaraku. Aku tahu sudah banyak rasa kecewa yang kutimbulkan, karena itu aku akan menebusnya.”

 

Jungkook menyekah air matanya.

 

“Aku enggak mau berbicara lagi. Aku akan keluar dulu.”

 

Tak ingin mendengar omongan Aerin lagi, Jungkook buru-buru pergi meninggakan ruangan Aerin.

 

 

*   *   *   *

 

 

Resepsi pernikahan antara Aerin dan Jaehyun telah usai. Banyak tamu yang sudah meninggalkan ballroom dengan doa dan harapan baik untuk kedua mempelai. Merasa tak ada lagi yang akan menyalami, Aerin dan Jaehyun akhirnya turun dari atas pelaminan untuk menghampiri keluarga mereka. Aerin berdiri kaku di samping Jaehyun. Tidak ada senyum kecil seperti saat ia berterima kasih pada para tamu.

 

“Jae..”

 

“Mah.”

 

Mereka saling berpelukan erat. Rasa iri tiba-tiba saja menggelayuti benak Aerin saat melihat kedekatan Jaehyun dengan wanita yang melahirkannya. Andai saja Ibunya masih hidup, ia pasti juga masih bisa merasakan ha yang sama seperti Jaehyun.

 

“Aerin..” Wanita itu memanggil dengan suara lembutnya.

 

“Boleh Mamah peluk?”

 

Aerin termenung, ia bingung. Merasa tidak yakin dengan apa yang akan dijawabnya. Masalahnya, ia masih sangat sungkan dengan keluarga Jaehyun. Dan mungkin saja perasaan sungkan itu akan tetap ada selamanya.

 

“Rin..”

 

Aerin tersadar dari lamunannya saat merasakan sentuhan halus di pundaknya. Matanya mengerjap cepat sebelum anggukan kecil ia berikan.

 

“Iya..”

 

Hana tersenyum lalu memeluk Aerin erat -sama eratnya dengan Jaehyun.

 

“Walaupun ini perjodohan, semoga kamu bisa menerimanya ya.”

 

Tidak ada balasan. Aerin memilih untuk tetap diam di dalam dekapan Hana.

 

Pelukan mereka terlepas tapi tidak dengan genggamannya. Hana meraih tangan Jaehyun dan menggenggamnya bersama dengan Aerin.

 

“Mamah akan mendoakan kebahagiaan kalian. Semoga pernikahan menjadi bisa menjadi awal baru untuk kehidupan kalian yang lebih baik lagi.”

 

“Iya Mah, terma kasih.” Balas Jaehyun, bersyukur atas doa baik dari orang tuanya.

 

Tapi berbeda dengan Aerin yang menolak harapan itu. Ia tidak yakin jika pernikahan ini akan memberikan kebahagiaan untuknya sekali pun nanti ia diperlakukan bak seorang ratu. Karena ia tahu kalau ini bukanlah bagian dari kebahagiaan yang ia cari. Perlakuan baik dan penerimaan bukan lagi keiinginannya. Semua itu sudah tidak berlaku lagi untuk Aerin.

 

Di saat yang bersamaan, keluarga Aerin datang menghampiri. Di sana ada Kakek, Nenek, Ayah, dan Jungkook. Sedangkan Paman, Bibi, dan para Sepupunya sudah lebih dulu pamit dan mungkin dengan rasa malu yang amat besar di hati Dongha, Youngmin, dan Hyeji. Tentu saja, saat mereka ingin kembali merendahkan Aerin, Aerin justru membalasnya jauh lebih memalukan lagi.

 

Ingat, Aerin yang sekarang bukanlah Aerin yang dulu. Ia sudah tidak takut lagi untuk menyampaikan isi di hatinya. Aerin sudah berubah menjadi sosok kuat yang mampu berdiri dengan kedua kakinya untuk melindungi diri dari ketidakadilan.

 

“Aerin..”

 

Jungkook memeluk Aerin erat. Kesedihannya sudah tidak bisa lagi ia tutupi. Bayangan jika Aerin akan semakin jauh setelah pernikahan ini terus menghantuinya. Menganggu hidupnya yang sudah diselimuti penyesalan.

 

“Maaf.. maaf..” Gumamnya di pundak Aerin. Jungkook tidak bisa menghentikan tangisnya yang sudah mendesak untuk keluar sejak pengucapan janji tadi.

 

“Tolong jangan pergi. Tolong jangan tinggalkan aku Rin. Tolong.. aku menyesal.”

 

Permohonan Jungkook tidak digubris. Sama seperti sebelumnya, Aerin memilih untuk diam karena ia tidak yakin dengan apa yang akan terjadi di masa depan selain rencana yang sudah ia buat.

 

Tidak mendapatkan respon apa pun, Jungkook perlahan melepaskan pelukannya. Ia menatap lekat manik Aerin yang menyiratkan kekecewaan dan rasa sakit. Jungkook tahu kalau dia juga menjadi salah satu alan kenapa mata yang cantik seperti milik Ibunya itu tidak pernah lagi memancarkan kebahagiaan seperti dulu. Dan Jungkook menyesalinya. Menyesali pengabaian yang telah ia lakukan tanpa sengaja.

 

“Rin..”

 

Tapi tetap, mulut kembarannya itu tidak terbuka.

 

Jungkook menghela lalu menjauhkan tubuhnya. Memberikan kesempatan kepada yang lain untuk berbicara dengan Aerin.

 

“Nak..”

 

Kini gantian Minhyun. Pria itu maju dan langsung memeluk Aerin. Menyalurkan kehangatan seorang Ayah yang sudah lama tidak ia berikan kepada putri satu-satunya. Mencoba menebus waktu yang hilang walau tampaknya tidak mungkin.

 

“Maafin Ayah. Ayah tahu kamu sangat marah, Ayah mohon maaf Rin. Ayah belum bisa menjadi Ayah yang baik, Ayah belum bisa membahagiakan kamu. Ayah gagal karena enggak bisa mmperjuangkan kamu. Maaf.. maaf..”

 

Minhyun berucap lirih. Selirih saat ia kehilangan sang istri untuk pertama kalinya. Minhyun tidak pernah menyangka jika rasa sakit karena ditinggalkan itu bisa kembali datang.

 

“Tolong jangan benci Ayah. Ayah janji, setelah ini Ayah akan berusaha untuk membahagiakan kamu walau kamu sudah menikah. Ayah janji akan menebus semua kesalahan Ayah selama ini.”

 

Aerin melepaskan diri dari rengkuhan Minhyun. Matanya mentap tepat pada iris hitam sang Ayah yang sudah berkaca-kaca.

 

“Aku enggak pernah marah dan enggak akan pernah bisa marah sama Ayah karena Ibu. Tapi Yah, aku kecewa. Kecewa kenapa Ayah tidak bisa membelaku sejak dulu. Kecewa karena Ayah masih belum bisa membelaku di hadapan Kakek.” Aerin memberikan jeda singkat dengan tarikan napas.

 

“Aku enggak menyesal terlahir sebagai anak Ayah. Aku sayang sama Ayah. Tapi..”

 

Minhyun semakin menggenggam erat tangan Aerin. Jantungnya kembali berpacu menanti kelanjutan ucapan Aerin. Rasa takut kembali hinggap dibenaknya. Tidak bisa, ia tidak bisa kehilangan Aerinn setelah banyaknya kesalahan yang telah ia perbuat. Ia tidak akan mau dipaksa untuk pergi saat putrinya ini masih harus berjuang untuk kebahagiaannya.

 

Tidak. Selamanya ia tidak mau.

 

“Aku mohon kepada Ayah untuk tolong dukung apa pun keputusanku nantinya. Jika Ayah enggak bisa membelaku di depan Kakek, setidaknya jangan berpihak dengan Kakek. Ayah cukup menjadi sosok netral di antara kami.”

 

Minhyun kembai memeluk Aerin erat untuk menutupi rasa sakit yang tengah ia rasakan.

 

“Iya Rin..”

 

Cukup lama Minhyun memeluk erat sang putri, tapi ia harus melepaskannya karena masih berdiri Ayah dan Ibunya di belakang. Ia bergeser ke samping, yang membuat Aerin kini berdiri di antara Jaehyun dan sang Ayah.

 

“Jaehyun, Aerin selamat. Semoga pernikahan kalian bahagia selalu.”

 

“Terima kasih Kek.” Balas Jaehyun ramah.

 

Kini pandangan sang Kakek berhenti pada Aerin yang terlihat tidak memiliki minat. Rautnya kembai dingin sama seperti saat dirias hingga proses pengucapan janji.

 

Tak ada yang berbicara selama beberapa menit yang ganjil. Kakek dan Cucu itu hanya diam saling menatap dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan. Membuat perhatian di dekat mereka langsung jatuh pada keduanya.

 

“Kakek mendoakan kebahagiaan untuk mu Aerin..” Ujar Gyusang setelah memperhatikan wajah Aerin lekat.

 

Sementara Aerin kembali tidak membuka suaranya. Ia membiarkan menit-menit awal berlalu tanpa ada niatan untuk membalas ucapan sang Kakek. Hingga pada akhirnya, ia memberanikan diri untuk lebih dekat dengan sang Kakek.

 

Aerin maju satu langkah sampai jaraknya dengan sang Kakek cukup dekat untuk membuat hanya Kakeknya saja yang akan mendengar ucapannya.

 

“Terima kasih.”

 

Kakeknya mengangguk dan tersenyum kecil yang hanya dilihat oleh Aerin. Namun senyum itu luntur ketika mendengar ucapan tajam dan menusuk Aerin.

 

“Pernikahan ini adalah balas budiku karena kehidupan yang Kakek berikan. Setelah ini Kakek tidak berhak atas hidupku lagi karena sepenuhnya berada di tanganku. Jika Kakek menganggap aku tidak tahu diri, maka aku bisa menganggap yang sama karena selama ini kalian sudahh merenggut kehidupanku dari diriku sendiri.”

 

Setelah kepergian seluruh anggota keluarga, Jaehyun memutuskan untuk mengaja Aerin ke kamar hotel yang telah dipesan. Selama menuju kamar yang pasti sudah mendapat dekorasi khusus pengantin, tidak ada yang membuka suaranya. Aerin yang sangat lelah baik fisik maupun mental, sedangkan Jaehyun yang masih memikirkan bagaimana berbicara dengan Aerin.

 

Hingga keduanya telah berdiri di depan kamar, masih belum ada yang membuka suara. Bahkan saat mereka telah berada di dalam dan melihat sendiri bagaimana kamar itu dihias dengan banyak kelopak mawar merah baik itu di lantai dan kasur, tetap tida ada yang membuka suara. Sampai akhirnya Jaehyun memberanikan diri untuk mengawali.

 

"Kamu atau aku yang mandi duluan?”

 

Aerin yang sedari tadi membelakangi Jaehyun akhirnya berputar dan menghadap Jaehyun yang berdiri sedikit kaku tidak jauh darinya.

 

“Duluan saja.”

 

Jaehyun mengangguk lalu bergegas menuju kamar mandi.

Aerin duduk di sofa setelah pintu kamar mandi tertutup. Tangannya mengambil ponsel yang ada di dalam tas kecil yang sedar tadi dibawanya. Ia kembali mengirikan pesan kepada Aiden sampai tidak sadar jika Jaehyun telah keluar dar kamar mandi dengan rambut basah.

 

“Rin..”

 

Aerin menoleh, lalu ia menyimpan kembali ponselnya.

 

“Kamu mau mandi?”

 

Ia menggeleng. “Ada yang harus kita bicarakan.” Tuturnya serius.

 

Jaehyun mengangguk lalu ikut duduk bersama Aerin.

 

“Apa yang mau kamu bicarakan?”

 

“Tentang pernikahan ini dan juga tentang kita.”

 

Aerin melihat jemarinya yang sudah tersemat cincin, lalu kembali berucap.

 

“Kau tahu betul kalau aku sangat menentang pernikahan ini, bahkan sampai detik ini. Aku enggak bisa menerima keputusan Kakek yang semaunya tanpa peduli pendapatku, sedikit pun. Dan kau, kau memperburuk dengan ikut menyetujui walaupun alasanmu adalah demi kebahagiaanu. Tapi perlu kau tahu kalu kebahagiaanku ada di tanganku dan hanya aku yang tahu. Kau dan Jungkook hanya menebak tanpa mau memposisikan diri di tempatku. Kalian hanya melihat jika aku sudah keluar dari rumah itu dalam tanggung jawab orang lain adalah kebahagiaanku. Tapi kalian sangat salah. Itu bukan kebahagiaanku, bukan pula keiinginanku."

 

Menarik napas panjang dan mengembusnya berkala, Aerin menyambung lagi ucapannya.

 

"Sebelumnya terima kasih karena telah memikirkan hidupku yang kacau ini. Tapi aku tetap enggak bisa melakukannya. Menjalankan pernikahan ini seperti orang lain sangat sulit sama seperti hidup dengan keluargaku. Aku enggak bisa memposisikan diriku sebagai seorang istri. Karena itu, aku minta untuk kita bersikap seperti ini saja. Kamu enggak perlu memperhatikanku begitu pun aku. Kita jalani hidup masing-masing tanpa saling mencampuri. Apa pun yang kau lakukan itu urusanmu, begitu pun aku. Dan untuk tempat tinggal, kita tetap tinggal bersama. Aku enggak mau orang lain kembali ikut campur karena ini. Cukup sampai pada pernikahan ini saja.”

 

“Rin, kenapa? Kenapa begini? Kalau kamu enggak suka dengan status istri, kita bisa mulai sebagai teman kan enggak perlu sampai kayak gini.”

 

Aerin menggeleng cepat.

 

“Enggak bisa, bahkan untuk menjadi teman sekali pun. Karena aku sudah terlalu kecewa dan sulit untuk menyembuhkannya.”

 

Jaehyun mengambil tangan Aerin dan menggenggamnya di atas pangkuan.

 

“Rin.. please.” Lirihnya.

 

Tapi Aerin tetap menolak. Ia tetap pada keputusannya.

 

“Kau itu baik tapi caramu salah. Dan caramu sendiri yang membuat keadaannya seperti ini. Ini adalah konsekuensi dari pilihanmu, karena enggak semua orang bisa memberikan maaf semudah itu dan berubah seperti sedia kala.”

 

Aerin melepakan tangannya. Lalu ia berdiri yang membuat Jaehyun semakin kalang kabut.

 

“Kamu mau kemana?”

 

“Kau tidur saja di sini, aku akan tidur di kamar lain.”

 

Jaehyun buru-buru berdiri dan menghalangi Aerin yang akan membuka pintu.

 

“Kalau kamu pergi karena enggak mau seranjang dengan ku, aku bisa tidur di sofa. Tapi kamu enggak perlu cari kamar lain.”

 

Aerin melepaskan cekalan di tangannya.

 

“Tidur di kamar yang sama itu untuk orang-orang yang memiliki hubugan baik, sedangkan kita?” Aerin menaikkan alisnya. Senyum miringnya ikut timbul seiring dengan kebisuan Jaehyun.

 

“Hubungan baik kita telah rusak sejak aku tahu tentang kebohonganmu.”

 

Tidak membiarkan waktunya terbuang, Aerin segera membuka pintu. Namun sebelum pintu ditutup, Aerin memutar tubuhnya.

 

“Saudaraku sudah memesankan kamar di lantai ini, jadi enggak usah terlalu memikirkannya.”




T . B . C



- DF -

Comments

Popular Posts