How Hurt : Part 19


 



(DISCLAIMER: Penggunaan nama tokoh dalam cerita tidak ada hubungannya dengan sosok asli dalam kehidupan sebenarnya.)


.

.

.


 



Aerin memasuki rumah yang akan menjadi tempat pulang baru. Memang tidak besar, tapi di rumah ini ia akan memiliki kebebasan yang  tidak pernah ia miliki sebelumnya. Ya.. itu adalah harapan Aerin saat Jungkook membukakan pintu rumah yang menjadi hadiah dari dirinya dan juga sang Ayah.

 

“Gimana?”

 

Thanks Kook..” Balas Jaehyun sembari menepuk pundak sahabatnya itu.

 

Jungkook mengangguk lalu matanya beralih pada Aerin yang baru kembali dari lantai dua.

 

“Rin..”

 

Not bad. Tapi kenapa cuma satu kamar yang fully furnished?”

 

“Sengaja, mungkin kamu mau mengubah kamar lain menjadi ruangan tertentu.”

 

Aerin mengangguk. Lalu ia kembali meninggalkan kedua laki-laki itu untuk melihat bagian belakang rumah.

 

“Jae..” Panggil Jungkook lirih. Entah kenapa tiba-tiba saja suasana hatinya berubah sedih.

 

“Aku titip Aerin.”

 

Jaehyun terdiam sebentar sebelum kepalanya mengangguk ragu. Kepingan kejadian malam sebelumnya kembali teringat. Bagaimana Aerin begitu keras dengan keputusannya.

 

“Akan aku usahakan, tapi..”

 

Jungkook mengernyit bingung.

 

“Aku tidak yakin kalau Aerin membutuhkanku.” Jaehyun bertutur sedih yang menimbulkan kegusaran dibenak Jungkook.

 

“Maksudnya?”

 

Tak ingin menutupi apa pun dari sang sahabat, Jaehyun akhirnya mengatakan apa saja yang Aerin dan dirinya bicarakan tanpa terkecuali. Jungkook tidak terkejut dengan apa yang Jaehyun katakan, karena ia yakin jika Aerin tidak akan berdiam dengan hidupnya -lagi.

 

Helaan napas berat terdengar beriringan dengan keduanya yang terduduk di sofa.

 

“Maaf sudah membawa mu terlibat jauh di dalam masalah keluargaku.” Sesal Jungkook.

 

“Jangan seperti itu, aku melakukannya dengan tulus karena perasaanku pada Aerin. Kau dan Ayah tidak perlu berpikiran seperti itu.” Jaehyun menjeda ucapannya.

 

“Aku mengatakan semua padamu karena tidak ingin menutupi apa pun. Tujuan kita sama, Kook. Kita ingin Aerin bahagia.”

 

Setelah itu tidak ada lagi yang membuka suara. Keduanya menutup mulut rapat-rapat dengan memandang lurus tanpa fokus. Hingga suara bell membuat mereka kembali tersadar dari lamunan. Keduanya berdiri, lalu Jungkook berniat untuk membukakan pintu tapi Aerin telah lebih dulu berlari mendului yang menimbulkan kebingungan.

 

“Aiden?” Kaget Jungkook begitu melihat sang sepupu. Tapi rasa terkejutnya terkalahkan oleh kebingungan ketika melihat dua orang pria masuk dengan membawa satu set kasur.

 

“Tolong masukkan ke dalam kamar yang berada di ujung Pak.” Ucap Aiden.

 

Kedua pria itu lalu menaiki tangga untuk meletakkan barang yang dibawanya.

 

“Rin.” Jaehyun memanggil lirih.

 

Aerin menoleh.

 

“Kamar yang di ujung akan menjadi kamarku. Kau bisa pakai kamar yang telah dipersiapkan Ayah dan Jungkook.”

 

“Aerin-”

 

Aerin mengangkat tangannya, menghentikan Jungkook yang akan berucap.

 

“Enggak usah ikut campur Kook. Aku sudah menuruti keiinginan kalian untuk menikah, itu menjadi limit terakhirku. Untuk selanjutnya, apa pun yang terjadi di dalam pernikahan ini aku tidak akan mendengarkan kalian lagi.” Ujarnya tegas.

 

“Jika kau ingin mengatakannya kepada Kakek, Nenek, atau seluruh keluarga, terserah. Aku tidak peduli! Karena aku menganggap pernikahan ini sebagai balas budiku kepada keluarga. Dan karena aku sudah menurutinya, jadi kalian sudah tidak punya hak apa-apa lagi atas hidupku.”

 

 

*   *   *   *

 

 

Tanpa terasa pagi datang begitu cepat. Aerin yang sudah memiliki rencana untuk hari itu segera bersiap untuk memulai harinya. Ia sudah berjanji jika hari itu adalah awal baru untuk hidupnya. Ia akan melupakan seluruh penderitannya dan mulai menatap hidupnya untuk menjadi sangat lebih baik lagi -seperti janjinya kepada sang Grandma di hari pemakamannya.

 

Tidak butuh waktu lama, Aerin sudah keluar dari kmar mandi denga setelan formal berwarna biru langit yang membalut tubuhnya begitu cantik. Ia melihat penampilannya di depan cermin rias sebelum menggunakan beberapa make up di wajah. Setelah selesai, ia bergegas mengambil tasnya lalu keluar dari kamar.

 

Sesampainya di lantai bawah, Aerin sudah melihat beberapa makanan di meja makan. Ia segera menduduki salah satu kursi dan mulai menyantap sarapannya. Tak lama, Jaehyun datang dengan pakaian santainya serta rambut yang sedikit basah.

 

Wah.. kamu menyiapkan semua ini?” Seru Jaehyun lalu ikut bergabung dengan Aerin di meja makan.

 

Aerin hanya melirk sekilas karena ia kembali fokus dengan sarapannya.

 

“Bukan, Bibi Kim yang menyiapkan semuanya.”

 

Aerin meminum air mineral di gelasnya. Setelah merasa cukup, ia kembali meletakkannya.

 

“Mulai hari ini Bibi dan Paman Kim yang akan membantu mengurus rumah. Jika kau keberatan, kau bisa melakukan pekerjaan rumah itu sendiri, tapi Bibi dan Paman Kim akan tetap membantuku.”

 

“Tapi kenapa?”

 

Gerakan tangan Aerin berhenti. Ia mengangkat kepalanya untuk menatap Jaehyun.

 

“Karena ini bukanlah prioritas hidupku, pernikahan ini tidak pernah ada di dalam wishlist-ku. Aku sudah bertekad untuk hanya melakukan apa yang mau dan aku rencanakan.” Aerin berucap final.

 

Di lain sisi, Jaehyun tengah bergulat hebat dengan rasa sakitnya. Ia tahu konsekuensi dari perasaannya terhadap Aerin yang sudah mati rasa, tapi ia tidak menyangka jika rasanya akan sangat sakit.

 

“Aku sudah selesai. Aku akan pergi sekarang.”

 

Aerin beranjak dari kursinya. Ia mengambil tasnya di kursi samping dan melangkah pergi. Tapi baru beberapa langkah, ia berhenti dan berbalik ketika Jaehyun memanggilnya.

 

“Kamu mau kemana? Biar aku antar.”

 

“Aku pergi kerja. Dan tidak perlu mengantar, aku sudah memesan taksi.”

 

Aerin memutar tubuhnya lagi dan hendak melanjutkan langkahnya. Tapi urung dilakukannya.

 

“Maaf jika ini menyakitimu. Tapi tolong jangan pernah berharap padaku dan juga pada pernikahan ini. Karena hanya akan membuatmu semakin terluka.”

 

Setelah mengatakan itu, Aerin benar-benar pergi meninggalkan Jaehyun sendiri.

 

“Aku kira hari ini kita bisa menikmatai hari pernikahan kita, tapi ternyata tidak ya.." Lirih Jaehyun yang telah sadar jika keputusannya untuk cuti selama beberapa hari hanya menghasilkan kesendirian saja.

 

 

*   *   *   *

 

 

Aerin bersama Aiden tengah menunggu hasil presentasi yang baru beberapa menit lalu selesai. Mereka tengah menunggu dengan harap-harap cemas pada keputusan akhir atas usulan kerjasama yang mereka ajukan. Aerin begitu berharap akan berita baik, tetapi ia juga sadar kalau galeri Kakeknya masih terbilang baru untuk ikut serta dalam dunia kerjasama seperti itu.

 

“Tenang..” Ujar Aiden sembari menggenggam erat tangan Aerin yang bergetar di pangkuannya.

 

“Aku takut gagal.”

 

Aiden tersenyum hangat.

 

“Kalau gagal kita cari lagi. Kita lewati ini sama-sama.”

 

Aerin menggangguk walau jantungnya tetap bergemuruh.

 

Tidak lama, seorang perwakilan mempersilahkan keduanya untuk kembali masuk ke dalam ruang rapat. Aerin dan Aiden kembali menempati kursi yang sebelumnya mereka duduki dengan perasaan harap-harap cemas.

 

“Sebelumnya terima kasih untuk kehadirannya. Saya selaku manajer pemasaran ingin menyampaikan keputusan atas pengajuan kerjasama yang galeri anda ajukan.”

 

Aerin semakin meremat kedua tangannya. Jantungnya kina berdetak cepat seiring dengan pergerakan wanita di depannya membuka map yang ia yakini berisi keputusan akhir direktur.

 

“Berdasarkan presentasi yang telah dilakukan serta pertimbangan direktur, kami memutuskan untuk…”

 

Tidak.. Aerin semakin sesak menunggu wanita itu. Tubuhnya juga sudah keringat dingin karena ketakutannya yang semakin memenuhi relung hati.

 

“Kami belum bisa menyetujui kerjasama tersebut.”

 

Rasanya seperti nyawa Aerin ditarik keluar dari tubuhnya. Ia tidak menyangka jika rasanya akan sesakit ini. Padahal ia sudah mengatakan kepada dirinya sendiri kalau memang sulit untuk bekerja sama dengan perusahaan itu. Tapi memang ekspektasi dan harapannya yang tinggi membuat Aerin terus saja berharap ada keajaiban.

 

“Terima kasih atas kesempatannya. Kalau begitu kami permisi.”

 

Aiden menjabat tangan wanita itu lalu menyenggol Aerin yang masih larut dalam rasa kecewanya.

 

“I-Iya, terima kasih untuk kesempatan ini. Saya sangat teranjung dengan kesempatan yang telah perusahaan berikan.”

 

“Terima kasih kembali. Semoga dimasa yang akan datang kita dapat bekerja sama.” Balas wanita itu sembari menjabat tangan Aerin.

 

Aerin mengangguk lalu pergi meninggalkan ruangan tersebut setelah berpamitan singkat. Ia masih diselimuti rasa terkejut sampai tidak sadar jika mereka telah sampai di depan lift dan Aiden telah berhenti berjalan, sampai kepalanya menabrak punggung Sepupunya it.

 

Aw.” Rintihnya seraya mengusap dahinya.

 

“Makanya kalau jalan diperhatikan, jangan bengong gitu.” Omel Aiden.

 

Aerin tak sempat membalas karena pintu lift yang telah lebih dulu terbuka. Aiden buru-buru masuk lalu diikuti Aerin yang masih mengusap dahinya. Selama benda baja itu bergerak turun, tidak ada yang membuka suara. Aiden yang tahu betul kalau Aerin sangat kecewa tidak ingin mengusik saudaranya, walaupun ia sendiri juga kecewa. Tapi Aiden tahu betul kekecewaannya tidak sebesar Aerin.

 

“Sudah tidak usah dipikirkan seperti itu.” Ujar Aiden ketika keduanya telah berada di luar bangunan perusahaan.

 

Aerin menghela.

 

“Maunya seperti itu, tapi ternyata susah. Aku sudah begitu berharap walau tau kemungkinannya kecil.”

 

Aiden merengkuh pundak Aerin dan memberikan pelukan ringan untuk menguatkan Aerin.

 

“Kamu tidak sendiri Ana. Aku dan kamu akan tetap berusaha bersama-sama. Lagi pula ini baru satu perusahaan dari beberapa perusahaan dan firma yang kita ajukan kerjasama. Masih ada kemungkinan di tempat lain bukan? Jadi jangan putas asa seperti ini.”

 

Aerin menganggauk lesu. Ia membenarkan ucapan Aiden walau hatinya masihh belum bisa menerima kegagalan pertamanya ini.

 

“Ya sudah kalau begitu kita makan siang dulu, karena nanti kita perlu datang ke sebuah firma arsitek yang tertarik dengan proposal yang kita ajukan.”

 

Aerin kembali mengangguk. Tapi kemudian kepalanya menoleh dan dahinya mengerut bingung.

 

“Tadi kamu bilang apa?”

 

Aiden ikut menunjukkan raut bingung seperti Aerin.

 

“Makan siang.”

 

“Bukan, bukan yang itu.” Ia menggeleng cepat. “Setalah makan siang, tadi kamu bilang apa?”

 

Aiden semakin terlihat bingung. Ah.. lebihh tepatnya sengaja terlihat bingung karena ia ingin megusili Aerin.

 

“Yang mana?”

 

Aerin mendecak sebal. Kesal dengan Aiden yang sok lupa padahal aktingnya tidak meyakinkan.

 

“Ayolah…”

 

Aiden tertawa saat melihat wajah kesal dan merah Aerin. Sangat lucu seperti anak kecil yang merajuk karena lolipopnya jatuh.

 

The Big Build, kita akan ke sana sesuai balasan e-mail mereka.”

 

“Benarkah?”

 

Aerin membulatkan matanya tidak percaya.

 

Hm.. e-mail-nya baru saja kuterima tadi saat kamu presentasi.”

 

“Kenapa tidak bilang?” Sungut Aerin karena merasa dibohongi oleh Aiden, walau dimana letak pembohongannya saja ia tidak tahu.

 

“Ya, sengaja saja.”

 

Aerin melotot mendengar jawaban kelewat santai itu. Ia akan memukul kepala laki-laki yang lebih muda tapi lebih tinggi darinya itu, tapi Aiden telah meninggalkannya.

 

“YA AIDENN!!”

 

“Ayo aku lapar…”

 

 

*   *   *   *

 

 

Untuk yang kedua kalinya Aerin merasakan debaran hebat beserta rasa dingin yang menyerang tubuhnya. Napasnya ikut memendek seiiring dengan waktu yang terus bergerak. Walaupun bukan dia yang melakukan presentasi, tetapi rasa takut itu tetap sama. Sama-sama menyiksa sampai membuat tulangnya lemas.

 

“Sejujurnya, saya sangat menyukai galeri kalian. Tidak hanya dari bahan baku yang berkualitas, tetapi galeri kalian memiliki nilai seni yang menjadi ciri khas. Saya sangat senang jika kita bisa bekerjasama.” Jeda pria yang menjabata sebagai pimpinan perusahaan.

 

“Tapi untuk kerjasama ini, saya membutuhkan pendapat dari jajaran lain. Jadi mungkin kita akan melakukan diskusi internal sebentar untuk membuat keputusan.”

 

Aiden mengangguk paham.

 

“Kalau begitu kami akan menunggu di luar. Semoga keputusan yang didapat nanti adalah sebuah kabar baik.”

 

Aerin membungkuk kecil sebelum mengikuti langkah Aiden meninggalkan ruangan. Keduanya berjalan beriringan menuju sofa yang berada tidak jauh dari ruang rapat.

 

Tanpa babibu, Aerin langsung bersandar dengan menghela berat.

 

“Aiden..”

 

“Kenapa hm?”

 

Aerin mendongak dengan mata sendu.

 

“Takut.”

 

Aiden tersenyum hangat. Lalu tangannya mengambil tangan Aerin untuk ia genggam.

 

“Tenang.. kita berdoa yang terbaik. Kalau memang gagal, kita akan tetap berusaha bersama-sama sampai cita-cita kita tercapai.”

 

Aerin menganggukkan kepalanya lemah. Kemudian kepalanya disandarkan pada pundak Aiden. Setelah itu, tidak ada lagi yang membuaka suara. Aerin memilih untuk memejamkan mata sedangkan Aiden berusaha memberikan perhatian kecil untuk menghilangkan kegusaran dalam hati Aerin.

 

Jika ada yang melihat pasti beranggapan kalau mereka adalah sepasang kekasih. Dilihat dari bagaimana Aiden menjaga Aerin dan mengusap kepala Aerin penuh kasih sayang. Siapa yang tidak akan mengira seperti itu. Mereka terlalu dekat dan terlalu menunjukkan kasih satu sama lain.

 

Tapi bagi keduanya itu tidak masalah. Setiap orang punya hak untuk berpendapat, tetapi untuk kebenaran biarkan hanya mereka yang tahu.

 

Kenyamanan yang dirasakan keduanya terusik saat seorang wanita yang menjabat sebagai sekertaris perusahaan datang dan meminta mereka untuk kembali masuk. Aerin dan Aiden bergegas berdiri dan mengekori wanita itu di belakang.

 

Mereka kembali duduk di tempat semula. Menunggu dengan tenang walau sebenarnya jantung mereka sudah berdetak sangat cepat. Baik Aerin dan Aiden sama-sama berharap jika kali ini akan menjadi akhir dari pencarian keduanya.

 

“Kami sudah memiliki keputusan terkait pengajuan kerjasama dari galeri kalian.”

 

Hening sebentar yang membuat jantung keduanya kian berdetak kencang.

 

“Seperti yang sudah saya katakan kalau saya sangat tertarik dengan kerjasama ini. Dan ternyata…”

 

Setiap kali jeda singkat, setiap kali itu juga Aerin meremat tangannya di bawah meja. Kegugupannya semakin menggila. Hal itu tak luput dari perhatian Aiden yang duduk di sebelahnya. Ia lantas meraih tangan mungil Aerin dan menggenggamnya sembari memberikan usapan pelan di bagian punggung dengan ibu jarinya.

 

“Ketertarikan itu tidak hanya datang dari saya, rekan-rekan yang lain juga mengatakan hal yang sama.”

 

Aerin dan Aiden tidak bisa menyembunyikan senyum mereka mendengar penuturan tersebut. Sedikit ketakutan mereka menghilang seketika.

 

“Dan karena respon yang baik tersebut, kami berencana untuk menerima tawaran dari galeri kalian. Saya yakin kerjasama ini akan memiliki prospek yang bagus untuk ke depannya.”




T . B . C



- DF -

Comments

Popular Posts