How Hurt : Part 23


 



(DISCLAIMER: Penggunaan nama tokoh dalam cerita tidak ada hubungannya dengan sosok asli dalam kehidupan sebenarnya.)


.

.

.


 



Sama seperti pagi sebelumnya, Aerin bangun dan akan segera mandi dan bersiap untuk bekerja. Tidak ada hari tanpa pekerjaan yang harus ia selesaikan. Apa lagi galeri keluarganya yang tengah berkembang dengan kerjasama yang baru saja berjalan. Aerin lelah tetapi sangat bersyukur dengan pencapaian barunya itu.


Tidak bohong jika pada awalnya Aerin begitu rendah diri dengan keiinginannya. Pasalnya ia seorang lulusan psikologi dengan ketertarikan besar pada dunia bisnis. Tetapi tidak pernah memiliki kesempatan untuk mempelajar bidang yang disukainya itu.

 

Tidak hanya mengurs galeri, Aern juga masih mempunyai tanggung jawab di klinik dosennya. Begitu banyak hal yang harus dikerjakan, pasti ada hari dimana rasa lelah tidak terelakkan. Tapi Aerin selalu mencoba menepisnya karena keiinginan terbesarnya yaitu untuk lepas dari bayang-bayang keluarga yang selma ini membesarkannya.

 

Bukan karena Aerin bagaikan kcang lupa pada kulitnya. Tetapi Aerin merasa sudah cukup toleransi yang ia berikan untuk keluarga Ayahnya. Telah banya hal yang ia korbankan tetapi hingga saat itu masih saja ia direpotkan dengan hal-ha yang tidak seharusnya dibebankan kepadanya.

 

Apakah serendah itu keturunan perempuan dipikiran mereka sampai untuk merealisasikan keiinginannya saja susahnya bukan main?

 

Setelah mematut diri di depan cermin, Aerin mengambil tas dan beberapa dokumen lalu pergi meninggalkan kamarnya. Ia menuruni tangga sembari tangannya sibuk mengotak-atik benda pipih yang sangat pintar itu. Aerin bahkan tidak sadar jika Jaehyun telah berada di depan pintu utama dengan melakukan hal yang sama dengannya. Hingga keaanya terbentur punggung kerasmilik Jaehyun, barulah ia sadar dengan posisinya saat ini termaksud keberadaan Jaehyun.

 

“Oh maaf Jae, aku enggak sengaja.”

 

Jaehyun yang segera berbalik saat tubuhnya ditabrak menggelengkan kepalanya.

 

“Enggak apa-apa Rin. Aku juga enggak liat.”

 

Aerin mengangguk, lalu ia berjongkok untuk emngambil heels-nya yang berada di rak bagian bawah.

 

“Ka-Kamu mau berangkat?”

 

Aerin mengangkat pandangannya sejenak dan mengangguk.

 

“Mau ku antar?”

 

“Eh enggak usah Jae, aku pakai taksi online aja.”

 

“Enggak apa-apa, aku anter aja ya..”

 

Karena tidak ingin berdebat terlalu lama, akhirnya Aerin setuju dan segera mengikuti Jaehyun menuju mobil laki-laki itu.

 

Selama perjalanan menuju klinik, Aerin dan Jaehyun hanya terlibat pembicaraan singkat karena Aerin yang begitu fokus dengan pekerjaan sementara Jaehyun yang merasa tidak enak jika harus mengganggunya. Tapi atensi Aerin sempat teralihkan oleh chat yang baru saja Jaehyun terima. Masalahnya bukan hanya satu, tetapi beberapa chat yang langsung membombardir ruang obrolan laki-laki di sampingnya.

 

Aerin tidak mau ambil pusing. Mungkin saja itu hanya client atau teman Jaehyun. Tapi pemikiran itu berubah kala ponsel itu bergetar karena sebuah panggilan masuk yang datang dari seorang perempuan berdasarkan foto yang muncul di layar. Ditambah sikap aneh Jaehyun yang langsung mematikan teleponnya begitu saja.

 

“Kenapa enggak diangkat? Siapa tau penting.”

 

Em.. itu enggak penting kok RIn. Paling juga soal kerjaan.”

 

Alis Aerin bertaut. Ia tidak bodoh dengan perubahan yang terjadi pada Jaehyun saat menjawab pertanyaannya.

 

“Karena pekerjaan jadi harusnya penting kan?” Pancing Aerin.

 

“I-Itu nanti biar aku yang telepon balik.”

 

Aerin mengangguk lalu kembali fokus dengan pekerjaannya. Ia merasa aneh dan janggal, tapi tidak ingin memancing lebih jauh. Biarkan saja waktu yang akan menjawab keanehan itu.

 

 

*   *   *   *

 

 

Aerin menyelesaikan pekerjaan di klinik lebih cepat. Bukan berarti ia bisa berleha-leha setelahnya, karena masih ada urusan galeri yang harus diselesaikan. Biasanya Aerin akan menumpang di ruangan Yunji. Tapi untuk hari itu, ia dan Yunji memutuskan untuk pergi makan siang di luar. Sudah lama mereka tidak pergi berdua untuk makan bersama. Maklum, Aerin lebih sering makan di kantor Yunji karena mengurs galeri.

 

 

Untuk: Yunji

Aku udah di taksi online

 

 

Pesannya terkirm dan tak berapa lama pesan balasan diterima Aerin.

 

 

Dari: Yunji

Aku udah sampe, nanti aku pesenin duluan ya supaya bisa langsung makan

 

 

Untuk: Yunji

Makasih Jiii..

 

 

Jarak dari klinik dan pusat perbelanjaan yang dituju sebenarnya tidak terlalu jauh. Tapi karena hari sudah siang dan waktu makan siang, membuat jalan utama ikut ramai oleh kendaraan dan lalu lalang ornag-orang. Aerin memprhatikan sekelilingnya dari balik jendela. Ia bisa melihat raut lelah dari pejalan kaki tetapi tawa masih bisa mereka tunjukan.

 

Benar setiap orang pasti punya masalah sendiri yang tidak akan pernah diketahui orang lain. Mereka pandai untuk menyembunyikannya dan menunjukkan bahwa mereka baik-baik saja. Sama seperti Aerin sendiri. Belum selesai permasalahan dengan keluarganya, lalu urusan pekerjaan yang baru untuknya, kini ditambah dengan over thinking kejadian pagi tadi. Memang pada dasarnya dunia yang sudah tua, karena itu sulit sekali menemukan ketenangan di dalamnya.

 

Aerin larut dalam lamunan hingga roda empat yang ia tumpangi berhenti di lobby dan suara sang supir terdengar memanggilnya. Ia mengerjap cepat lalu memberikan beberapa lembar uang sebagai ongkos kepada sang supir. Tidak lupa tanda terima kasih yang akan selalu Aerin berikan walau tidak besar. Prinsipnya adalah lebih baik sedikit dari pada tidak sema sekali. Toh berbagi tidak akan membuatnya kesusahan.

 

Melihat jam yang mengikat pergelangannya, Aerin merutuk sebal karena ternyata ia hampir menghabiskan satu jam waktunya hanya untuk perjalanan. Ia yakin Yunji akan mengomel karena ia datang terlalu lama.

 

“Yunji!” Serunya dengan deru napas cepat.

 

Decakkan sebal terdengar dari sahabatnya. “Lama banget sih. Untung makananannya belum dingin.”

 

Sorry Ji, tadi macet banget.” Sambil menark kursi di depan sang sahabat.

 

“Yaudah ayo makan, udah laper banget nih.”

 

Tanpa memberikan balasan, Aerin ikut menyantap makanan yang sudah tersaji di meja. Cacing diperutnya juga sudah berteriak meminta jatah seja tadi. Apa lagi makanan kesukaannya tersaji dengan begitu menarik, membuat seleranya semakin meningkat.

 

“Gimana di klinik?” Tanya Yunji setelah lama mereka hanya diam menikmati makanan di meja.

 

“Baik, cuma lagi ribet aja di galeri. Harus ngehubungin Aiden terus supaya enggak lupa sama stok bahan baku.”

 

Yunji mengangguk singkat.

 

“Terus kalau dengan Jaehyun?”

 

Em.. gimana ya bilangnya..” Aerin mengetukkan sumpitnya ke dalam mangkuk nasi dengan pelan.

 

“Jangan ada rahasia rahasia ya Rin..” Peringat Yunji masih sambil menyuapkan lauk ke dalam mulut.

 

Aerin menggeleng. “Enggak ada rahasia, cuma bingung aja.”

 

“Intinya, aku sama Jaehyun baik dan seharusnya semakin membaik. Emang belum ada perasaan khusus yang aku rasain tapi aku udah mulai bisa nerima keberadaan dia. Dan rasanya nyaman.”

 

“Aku seneng dengernya, setidaknya satu beban udah hilang.”

 

Aerin mengangguk menyetujui.

 

Lalu keduanya kembali tidak bersuara. Ternyata makanan enak tidak bisa dikhianati walau dengan sahabat, ditambah dalam kondisi perut yang lapar. Mereka lebih memilih menyuapi makanan ke dalam mulut dibandingkan menggunaan mulutnya untuk mengobrol.

 

“Kenyangnya..” Yunji berseru senang sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba membuncit.

 

“Oh iya, abis ini mau langsung ke kantor atau mau pergi ke tempat lain dulu?”

 

Aerin meletakkan gelas kosong yang baru saja isinya ia habiskan.

 

“Langsung aja deh, tapi keliling sebentar buat nurunin makanan.”

 

Ok, ayo..”

 

Setelah membayar makanan yang telah habis keduanya santap, Aerin dan Yunji pergi dari restoran tersebut tanpa arah yang pasti. Mereka hanya berjalan berkeliling sambil berbagi cerita. Tidak ada niatan untuk memasuki salah satu toko di sana. Mereka benar-benar hanya berjalan di luar toko, sesekali memperhatikan barang yang dipajang di toko tersebut, lalu kembai merajut langkah pergi.

 

Namun di tengah langkah tanpa arah itu, Yunji tiba-tiba saja menghentikan pergerakan Aerin dengan menggenggam lengannya. Hal itu membuat Aerin melihat Yunji dengan dahi mengerut.

 

“Kenapa?”

 

“Rin, coba lihat itu.” Ia menunjuk ke arah sebuah toko yang tidak lain adalah butik.

 

“Itu Jaehyun kan?”

 

Mendengar nama Jaehyun, Aerin buru-buru menoleh. Matanya memicing ke arah dimana jari Yunji mengarah. Dari pakaian, potongan rambut, seta postur tubuh, Aerin yakin jika laki-laki yang baru saja keluar dari butik tersebut dengan seorang perempuan yang menggandeng lengannya adalah Jaehyun.

 

Jika itu Jaehyun, sedang apa dia di sini?

 

Lalu siapa perempuan di sampingnya?

 

“Ayo ikutin.” Usul Yunji yang diangguki oleh Aerin.

 

“Tunggu sebentar..”

 

“Apa lag-” Yunji berhenti saat melihat Aerin mengeluarkan ponsel mahalnya lalu mengarahkan kameranya pada Jaehyun dan juga sang perempuan.

 

“Ayo Ji..” Ajaknya setelah selesai mengambil beberapa gambar.

 

Aerin dan Yunji segera bergerak karena mereka mulai tertinggal jauh. Mereka berlari kecil dan berhenti saat jarak yang tercipta tidak lagi sejauh sebelumnya tetapi tidak dekat yang membuat keberadaan mereka diketahui. Tidak ada yang membuka suara selama misi mengikuti Jaehyun dan perempuan itu. Mereka fokus mengamati kedua insan itu yang jika dilihat keduanya bagaikan sepasang kekasih.

 

“Mereka masuk ke restoran Rin, gimana nih?” Tanya Yunji saat keduanya bersembunyi di baik dinding restoran yang dimasuki Jaehyun.

 

Aerin diam. Ia tampak berpikir sejenak tapi menjentik saat melihat sekelompok laki-laki muda yang juga akan masuk ke dalam. Dengan langkah lebar, ia menghampiri mereka.

 

“Permisi..”

 

“Iya?” Balas salah satu dari mereka dengan bingung.

 

“Boleh minta tolong..”

 

Keempat laki-laki itu saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk walau terlihat bingung dan sedikit ragu.

 

“Kalian mau ke dalam kan?” Tanya Aerin dengan menunjuk restoran tadi.

 

“Iya..”

 

Ok, em boleh tolong fotoin orang yang ada di meja itu.” Jari Aerin mengarah pada salah satu meja di dalam yang ditempati Jaehyun dan perempuan itu.

 

“Tapi jangan sampai mereka tahu.” Sambungnya cepat.

 

Keempat laki-laki kembali bertukar pandang. Wajah mereka semain terlihat ragu dan tatapan curiga terpancar dari salah satu mereka.

 

“Tenang saya tidak berniat jahat, saya hanya ingin memastikan jika itu suami saya atau bukan.”

 

Aerin lantas mengambil ponselnya lalu menunjukkan foto pernikahan yang sengaja ia simpan untuk berjaga-jaga.

 

“Ini, dia suami saya. Sekarang kalian percaya?”

 

Mereka memperhatikan foto itu dan beberapa kali beralih mengamati wajah Aerin.

 

“Iya kami percaya..” Ujar salah seorang lalu menyerahkan kembai ponsel Aerin.

 

Ok, kita akan bantu.”

 

Aerin tersenyum.

 

“Terima kasih. Saya akan tunggu di sana.” Tunjuknya pada tempat dimana Yunji berdiri.

 

 

*   *   *   *

 

 

Aerin terkejut kala membuka pintu sosok Jaehyun telah berdiri di depannya. Ia sampai mengusap dadanya karena kerja jantung yang berubah cepat.

 

“Ada apa?” Tanyanya sedikit kesal.

 

Jaehyun tertawa kecil karena ternyata niat baiknya malah membuat kejutan tersendiri untuk aerin.

 

“Aku mau ngajak kamu nonton.”

 

“Aku males keluar Jae..” Tolaknya.

 

“Siapa yang bilang nonton di luar, aku mau ngajak nonton di rumah kok.”

 

Bingung membuat dahi Aerin mengerut. Lalu kepalanya menoleh.

 

“Enggak percaya?”

 

Aerin hanya mengendikkan bahunya dan kembali merajut langkah menuju dapur.

 

“Tsk.. kalau gitu ikut aku.”

 

Tanpa menunggu balasan, Jaehyun langsung menarik tangan Aerin menuju ruang tengah.

 

"Jaehyun aku haus..” Rengek Aerin sambil berusaha melepaskan tangannya.

 

“Ihh ikut dulu.”

 

Karena tidak ingin ada pertikaian, akhirnya Aerin mengalah. Walau dalam hati ia mengomeli Jaehyun karena membuat ia harus menahan rasa hausnya.

 

Namun rasa kesalnya berubah menjadi keterkejutan saat kedua maniknya melihat kondisi ruang tengah yang berubah. Sejenak ia tatap Jaehyun yang tengah memamerkan senyum kebanggaannya sebelum melangkah ke tengah ruangan.

 

“Ini kamu yang buat?”

 

“Tentu saja.” Jawabnya dengan bangga.

 

“Kamu suka?”

 

Tanpa menunggu waktu lama, Aerin mengangguk dengan cepat.

 

“Suka. Suka benget Jae..”

 

Mendengarnya, Jaehyun merasa senang dan puas karena usaha mengubah ruang tengahnya ternyata berhasil.

 

Tidak main-main, Jaehyun sampai membeli beberapa bantal kecil dengan sarung yang lembut dan halus, lalu karpet bulu yang tebal dan empuk, tenda kecil yang diletakkan di pojok dekat sofa dan berhiaskan lampu kecil berwarna-warni, meja kecil yang kini sudah diisi dengan makan ringan, kulkas kecil yang diisi dengan minuman kaleng dan susu, serta sebuah layar putih dan proyektor yang telah terhubung dengan laptop milik Jaehyun dan speaker kecil yang ia beli bersama dengan barang-barang lainnya. Tidak ketinggalan dengan sofa rumahnya yang telah berubah menjadi tepat tidur dengan dua selimut di atasnya.

 

Terlihat nyaman untuk kegiatan menonton yang Jaehyun katakan.

 

“Jadi gimana? Kamu mau nonton atau enggak?”

 

Aerin yang tengah melihat bagian dalam tenda, lantas berbalik.

 

“Aku mau!”

 

 

*   *   *   *

 

 

Aerin pulang dengan memegangi perut bagian bawahnya. Saat akan membuka pintu, Aerin dikejutkan dengan sentuhan lembut di pundak. Ia menoleh dan mendapati Jaehyun yang terlihat khawatir.

 

“RIn, kamu baik-baik saja?”

 

Tidak menjawab, Aerin langsung masuk ke kamarnya dan meninggalkan Jaehyun dengan kebingungan dan perasaan khawatir yang semakin menjadi setelah melihat wajah pucat Aerin.

 

“Aerin.” Panggil Jaehyun dari luar, tapi tidak ada sahutan.

 

Jaehyun tidak berhenti, ia tetap mengetuk pintu kamar dan memanggil nama Aerin. Namun masih belum terdengar sahutan dari dalam. Hal itu membuat Jaehyun panik. Ia semakin mengeraskan ketukan dan panggilannya sammpai-sampai Bibi Kim datang.

 

“Tuan ada apa?”

 

“Ini Bi, Aerin baru pulang tapi mukanya pucat. Terus ini dia belum keluar kamar lagi.”

 

Bibi Kim tersenyum kecil.

 

“Tuan, tamu bulanan Non Aerin baru aja datang. Tadi pagi Non bilang ke saya supaya dibelikan makanan manis dan juga pembalut. Mungkin itu yang buat Non keliatan pucat.”

 

 

 

“Sejak itu, Jaehyun enggak pernah absen buat bikinin susu coklat hangat, beliin kue dan makanan manis lainnya termaksud susu kotak rasa stroberi.”

 

Yunji tampak menganggukkan kepalanya.

 

Kini mereka telah kembali ke kantor Yunji setelah mendapatkan apa yang Aerin mau. Saat sampai, Yunji langsung menodong Aerin dengan pertanyaan mengenai hubungannya dengan Jaehyun. Ia bingung kenapa bisa Jaehyun bersama dengan seorang perempuan dan terlihat mesra sedangkan menurut cerita Aerin, selama ini hubungan keduanya sudah membaik. Bahhkan jauh lebih baik setelah keduanya memutuskan untuk memperbaiki hubungan mereka dari awal

 

“Tapi Ji, selama sebulan ini aku ngerasa aneh sama sikap Jaehyun. Dia jadi lebih sering pegang ponselnya walaupun perhatiannya masih sama. Terus pagi tadi aku juga sempet liat banyak chat masuk dari satu pengirim dan enggak lama telepon dari orang yang sama. Tapi Jaehyun langsung buru-buru tolak.”

 

Mendengarnya membuat Yunji tidak bisa untuk tidak berpikiran buruk. Dari apa yang mereka lihat dan cerita Aerin, sepertinya ada yang tidak beres.

 

“Sekarang kamu gimana?”

 

“Aku? Maksud kamu?”

 

Yunji menghela. Ia berpindahh duduk ke sebelah sang sahabat.

 

“Perasaanmu Rin, sekarang gimana?”

 

Gantiian, Aerin yang kini menghelakan napas beratnya.

 

“Entahlah Ji.”

 

Ia menyandarkan tubuhnya dengn tarikan napas panjang.

 

“Jujur aku enggak sedih atau sakit hati. Karena udah terlalu banyak ngerasain dari kecil. Tapi untuk kecewa, aku enggak munafik kalau perasaan itu ada. Karena ternyata dia enggak jauh beda sama keluargaku, sama -sama cuma bisa menorehkan luka.”




T . B . C



- DF -

 

Comments

Popular Posts