How Hurt : Part 27
(DISCLAIMER: Penggunaan nama tokoh dalam cerita tidak ada hubungannya dengan sosok asli dalam kehidupan sebenarnya.)
.
.
.
Aerin dan Aiden
tidak berhenti menatap layar laptop yang ada di atas meja. Sudah sejak pagi
tadi keduanya setia duduk di atas karpet bulu itu, hingga langit menjingga pun
mereka masih berada di sana dengan jari yang tidak berhenti menari di atas
papan keyboard.
Mengenai Aerin,
sejak hari dimana ia mengungkapkan semua kebenaran rumah tangganya, ia sudah
memutuskan untuk meninggalkan rumah pemberian Ayahnya. Dengan dibantu Aiden dan
juga orang-orang suruhan Yunji, Aerin membawa seluruh barangnya tepat di hadapan
semua orang yang hadir di hari itu. Tidak peduli lagi dengan bujuk rayu yang
diutarakan kepadanya.
Ia sudah terlalu
muak untuk bertahan di sana. Terlalu sakit untuk tetap berada di atap yang sama
dengan Jaehyun. Dan terlalu kecewa dengan apa yang telah menimpa dirinya.
Jika ditanya
apakah ia menyesali apa yang terjadi, maka jawabannya adalah YA. Aerin sangat
menyesal dengan semua kesakitan yang menimpa hidupnya. Tapi ia sadar,
dibandingkan terus larut dalam penyesalan bukankah lebih baik jika ia bangkit
untuk hidup yang lebih baik lagi. Selain itu juga dengan kejadian ini dia jadi
bisa melepaskan sedikit demi sedikit ikatan yang menyakitkan antara dirinya
dengan keluarganya.
“Den,
bagaimana?”
“Masih belum ada
kabar.”
Aerin menghela.
Sudah hampir satu hari ini dia dan Aiden berusaha menghubungi para investor,
tapi tetap saja belum menerima kejelasan dari investor yang rencananya akan
berinvestasi di galerinya. Ia tidak tahu kenapa para investor itu tiba-tiba
saja menunda rencana investasi mereka. Agak janggal, dan Aerin menyadari itu.
“Sudah kamu
istirahat dulu, soal investor biar aku yang mengurus.”
Aerin menggeleng
-tidak setuju dengan ide Aiden.
“Ana dengar.”
Aiden memutar tubuhnya menghadap Aerin. “Besok adalah sidang perdana mu setelah
mediasi yang gagal. Jadi fokuslah ke sana, permasalahan investor bukanlah
masalah penting. Galeri masih beroperasi dengan atau tanpa investor.”
“Tapi kita jadi
tidak bisa mengembangkan galeri.”
Aiden
mengangguk. Lalu mengambil tangan Aerin yang ada di atas meja.
“Kamu benar,
tapi persidangan mu jauh lebih penting Ana. Jika sekarang kita gagal untuk
mengembangkan galeri, kita masih ada waktu untuk mencari investor lain. Tapi
kalau persidangan, tidak bisa Ana.”
Aerin mengalah.
Ia akhirnya menuruti ucapan Aiden. Ia menutup laptopnya dan mengenyampingkan
lebih dulu permasalahan investor yang menurutnya aneh. Sekarang ia harus fokus
pada masalah pribadinya. Bagaimana membuat ia memenangkan sidang dengan cepat,
jika bisa cukup satu kali sidang.
“Besok aku akan menemanimu,
tenang ya..” Ujar Aiden dengan mengusap pundak tegang Aerin.
* *
* *
Keesokan
harinya, Aerin dan Aiden mendatangi pengadilan ditemani seorang pengacara.
Mereka datang dengan keyakinan untuk bisa memenangkan persidangan. Bukti yang
dimiliki pun sudah sangat cukup untuk menggugat pernikahan Aerin.
“Saya akan
berusaha semaksimal mungkin untuk hari ini.”
Aerin mengangguk
kecil.
“Saya
menyerahkan semuanya kepada anda Pak.”
Sang pengacara
masuk ke dalam ruang sidang, sementara Aerin dan Aiden harus berhenti di depan
itu karena sebuah panggilan.
“Bisa kita
bicara sebentar?”
“Enggak ada yang
perlu dibicarain lagi, gunain kesempatan itu saat sidang nanti.”
Aerin hendak
berbalik pergi tetapi lengannya di pegang.
“Jangan sentuh
Ana!”
Aiden melepaskan
dengan paksa lengan Aerin. Ia juga menyembunyikan Aerin di baik punggungnya.
“Kau sudah tidak
berhak atas saudaraku Jung Jaehyun!”
“Tapi Aerin
masih istriku!”
Jawaban Jaehyun
membuat tawa Aiden pecah. Tapi tawa itu tidak bertahan lama karena langsung
berganti dengan tatapan tajam dengan rahang yang mengeras.
“Hakmu atas
Aerin telah hilang semenjak kau memutuskan untuk bermain di belakang saudara
ku. Dan hari ini akan kupastikan kalau hak itu akan dihapuskan secara hukum.”
Tanpa menunggu
lebih lama, Aiden berbaik dengan membawa Aerin ikut bersamanya. Keduanya
memasuki ruang sidang dengan meninggalkan Jaehyun sendiri. Aerin duduk di
samping sang pengacara sedangkan Aiden menempati jajaran kursi tamu yang paling
depan.
Tidak lama,
Jaehyun masuk dengan didampingi seorang pengacara. Disusul Jungkook dan sang
Ayah yang datang mewakili sang Kakek yang tidak dapat hadir karena kondisi
kesehatan. Jaehyun duduk di sisi ruangan yang berlawanan dengan Aerin,
sementara Ayahnya dan Jungkook duduk bergabung dengan Aiden.
“Aiden..”
Ia mengangguk
kecil. Hal itu membuat Jungkook hanya mampu menghela. Sudah semakin jelas jika
Aiden semakin tidak menyukainya. Dan Jungkook sadar jika semua itu juga karena
kesalahannya.
Sidang pun
dimulai. Hakim membacakan perkara dan hasil mediasi yang tidak menemukan
kesepakatan antara kedua pihak. Yang pertama mendapatkan kesempatan adalah
pihak Aerin. Sang pengacara menyampaikan tuntutannya sekaligus keinginan Aerin.
Kemudian hakim memberikan kesempatan pihak tergugat untuk menyampaikan
pembelaannya. Dalam kesempatan tersebut pengacara yang mewakili Jaehyun
menyatakan keberatan atas permintaan Aerin untuk membatalkan pernikahan mereka,
alasannya karena client-nya mencintai
Aerin dan pernikahan mereka juga baru seumur jagung masih ada kesempatan untuk
diperbaiki.
Aerin dibuat
geram mendengar penjelasan pihak Jaehyun. Tapi sebisa mungkin ia tidak
menunjukkan kekesalannya di hadapan umum. Ia tidak ingin membuat persidangan
ini berlarut karena suatu emosi.
“Maaf yang mulia,
client saya keberatan dengan
pembelaan tergugat.”
Hakim pun
memberikan izin kepada pengacara Aerin untuk memberikan bantahannya.
“Pengacara
tergugat tadi mengatakan jika pernikahan client
saya ini masih dapat diselamatkan karena adanya rasa cinta. Tapi yang
mulai, sudah kita ketahui sejak awal bahwa Nona Aerin tidak pernah menyetujui
pernikahan ini. Beliau dipaksa dengan mengancam keluarganya, selain itu juga
tergugat juga melakukan kesalahan yang mencoreng janji suci pernikahan. Apakah
masih dapat dikatakan cinta jika kondisinya seperti ini?” Pengacara Aerin
menatap Jaehyun dan juga pengacaranya seakan meminta jawaban.
“Saya dan client saya pikir, tidak. Jika seperti
yang pengacara tergugat katakan, maka seharusnya tidak perlu terjadi
perselingkuhan dalam rumah tangga mereka.”
“Dari pihak
tergugat, apakah ada yang ingin disampaikan?”
Jaehyun dan
pengacaranya berdiskusi singkat sebelum sang pengacara kembali berdiri
menghadap hakim.
“Kami masih
tetap dengan keinginan kami untuk mempertahankan pernikahan ini.”
Jawaban itu
membuat Aerin mendengus sinis. Disaat sudah terpojok seperti ini, Jaehyun masih
saja bersikeras dengan keinginannya tanpa memperdulikan ia sebagai korban dari
keegoisan semua orang.
“Baik, setelah
ini kami akan mendengarkan penjelasan saksi yang dihadirkan pihak penggugat.
Kepada saksi, dipersilahkan untuk memasuki ruang sidang.”
Mendengar kata
saksi membuat seluruh mata terkecuali kubu Aerin membulat. Mereka serempak
menolehkan kepala ke pintu masuk, menanti siapa saksi yang dimaksud hakim.
Ketika pintu ruangan dibuka dan seorang wanita berjalan masuk, keterkejutan
mereka semakin bertambah begitu tahu siapa sosok wanita itu.
“Saudari Lia
silahkan menduduki kursi yang telah disediakan.”
Meninggalkan
Aiden sendiri, Aerin bergegas menuju salah satu kafe yang tidak jauh dari
apartemennya. Walaupun ada kekhawatiran karena permasalahan yang ia dan Aiden
hadapi belum menemukan titik terang, tetapi ada hal penting lainnya yang
menuntut perhatian Aerin. Dan masalah itu harus secepatnya ia selesaikan agar
ia bisa fokus dengan hal lainnya.
Pintu kaca itu didorong sampai menimbulkan suara
lonceng yang tergantung di sisi atas. Memasuki bangunan bernuansa vintage itu,
mata Aerin langsung bergerak menyusuri seisi ruangan. Hingga berhenti pada
salah satu meja yang telah dihuni oleh seseorang yang mengajaknya bertemu.
Dengan heels yang melindungi kakinya, Aerin membawa
langkah kakinya menuju meja tersebut. Ia berhenti dan berdiri tepat di hadapan
sosok tersebut. Kedatangannya langsung menarik perhatian sosok wanita yang
sejak tadi sibuk mengaduk minumannya tanpa ada niat untuk menikmati cairan
coklat itu.
“Oh, silahkan.”
Aerin mengangguk kecil lalu menarik kursi kosong dan
duduk di sana. Ia meletakkan tasnya pada kursi di sebelahnya sebelum
memposisikan tubuhnya untuk duduk tegak menatap lawan bicaranya.
“Ada apa?”
“Kamu enggak mau pesen minum dulu?”
Aerin menggeleng. “Langsung aja, apa yang ingin kamu
katakan.”
Terlihat tarikan napas panjang setelah hening di detik
yang ganjil. Sang lawan bicaranya perlahan mengangkat kepalanya sampai
pandangan mereka bertemu dan saling mengunci.
“Aku ingin minta maaf.” Ujarnya dengan sendu dan
tatapan penuh penyesalan.
Sementara Aerin masih tetap diam. Dia membiarkan sosok
di hadapannya ini untuk mengatakan semua yang ingin diucapkan tanpa dirinya
harus menginterupsi.
“Aku menyesal dengan yang telah terjadi. Aku enggak
tau kalau keinginan ini bisa menghancurkan banyak orang, terutama kamu dan juga
Ayah ku. Kalau sejak awal aku tahu mengenai kamu dan Jaheyun, mungkin aku akan
pikir seribu kali untuk mendekati Jaehyun lagi. Maaf Aerin.. Maaf untuk
kelancangan ku.”
Aerin masih bergeming. Hal itu membuat Lia -ya, sosok
yang kini duduk di depan Aerin dengan penuh penyesalan adalah mantan kekasih
Jaehyun yang kembali hadir di kehidupan laki-laki itu- semakin dilanda gusar.
Rasa takut kian memenuhi relung hatinya. Pikiran negatif tidak bisa dihindarkan
saat melihat bagaimana raut datar Jeon Aerin.
Hingga vokal Aerin terucap, Lia masih setia meremat
tangannya di bawah meja.
“Apa Jaehyun pernah mengatakan sesuatu tentang
kehidupannya setelah kamu pergi?”
Lia menggeleng pelan.
“Jaehyun juga enggak cerita soal pernikahannya?”
“I-Iya..”
Lia mencoba untuk memberanikan diri tetapi suaranya malah
bergetar.
“Ok, aku ngerti.” Aerin mengangguk-anggukan kepalanya.
“Kamu salah dan Jaehyun pun salah. Kamu ninggalin
Jaehyun dan tiba-tiba balik buat memperbaiki semuanya. Jaehyun juga enggak
bilang apa-apa ke kamu. Jadi pada intinya kalian berdua salah.”
Ada hening yang menyiksa Lia. Membuat ia ingin
secepatnya mengakhiri pertemuan mereka. Sayangnya masih ada yang ingin ia
sampaikan kepada Aerin yang menjadi tujuannya meminta bertemu, yang membuat Lia
harus bertahan dengan rasa sesak dan tidak nyaman yang memenuhi hatinya.
“Aerin, sebenarnya ada yang ingin aku katakan lagi.”
Aerin mengerutkan keningnya.
Sementara Lia, ia masih berusaha menenangkan debaran
jantungnya yang kembali menggila. Ia tidak menyangka ternyata sulit sekali
menyampaikan apa yang telah ia pikirkan sejak beberapa hari lalu di hadapan
Aerin.
“Aku..” Kembali menarik napas panjangnya dan
diembuskan cepat. “Aku akan kembali ke Paris.”
Mendengarnya Aerin bergeming.
“Aku akan pergi dan aku berharap yang terbaik untuk
pernikahan kalian.” Terangnya dengan suara yang nyaris menghilang.
“Terima kasih.” Aerin membuka suara setelah lama
membuat dirinya mengunci mulut rapat-rapat. Membiarkan hening yang mencekik
mengambil alih keadaan.
“Tapi aku ingin meminta satu permintaan, anggap saja
cara untuk kamu mendapatkan maaf dari ku.”
Aerin mengubah posisi duduknya. Kini ia bersandar
dengan tangan yang dilipat di depan dada.
“Datang ke persidangan dan jadilah saksi ku.”
Lia terkejut mendengarnya. Matanya membulat sempurna
seakan bola matanya yang ingin melompat keluar.
“Ka-Kamu…” Ia tercekat.
“Permintaan maaf kalian akan aku pertimbangkan, tetapi
pembatalan pernikahan ku akan tetap berlangsung apa pun yang terjadi.”
“Ta-Tapi…”
Alis Aerin naik ke atas, sabar menunggu Lia yang
terlihat kehilangan kata-kata.
“Aku akan pergi dan berhenti berhubungan dengan
Jaehyun, tapi kenapa kamu masih ingin melanjutkan persidangan ini?” Tanyanya
setelah menarik napas sangat dalam hanya untuk mengurangi sesak yang tidak bisa
dihilangkan.
Tawa sinis Aerin pecah. Walau bukan lelucon, tapi
terdengar seperti sebuah komedi di telinganya. Apakah semudah itu mengembalikan
sebuah kepercayaan yang telah rusak? Bahkan ia harus meemupuk rasa percaya itu
walau susah, tetapi apa yang ia dapat setelah ia berani memberikan kepercayaan
itu walau tidak sepenuhnya?
Tidak ada hal baik yang didapatkan selain sebuah
pengkhianatan di atas paksaan dan ancaman.
“Apakah menurutmu pernikahan ini masih bisa
dilanjutkan setelah kamu mengetahui kebenarannya?”
Pertanyaan Aerin membungkam Lia. Membuat Lia semakin
memucat di kursinya sedangkan Aerin melebarkan senyum mengejeknya.
“Kamu sendiri tidak bisa menjawabnya. Jadi enggak usah
ngatur apa yang aku putusin, cukup jadi saksi dan katakan apa yang sebenarnya
terjadi maka tugasmu selesai!”
Merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Aerin
lantas mengambil tasnya dan berdiri.
“Aku rasa pertemuan kita cukup sampai di sini aja.
Jangan lupa untuk datang sebagai saksi jika kamu masih punya hati dan malu.
Ingat Ayah mu!”
Aerin pun langsung pergi dari sana. Meninggalkan Lia
yang kesadarannya masih belum kembali karena begitu terkejut dengan semua yang
ia dengar.
Ia salah. Lia merasa kalah telak dengan seorang Aerin.
Ia tidak menyangka jika wanita yang terlihat lemah lembut itu ternyata jauh
lebih kuat dari apa yang ia pikirkan. Bahkan dari pembicaraannya siang itu, Lia
menyadari jika ada kemarahan besar yang masih tersimpan di dalam diri Aerin dan
entah kapan kemarahan itu meledak.
T . B . C
- DF -
Comments
Post a Comment