BACK TO YOU CHAPTER 3
.
.
Kanaya mendapatkan satu hari
istirahat setelah melalui tes profesinya, dan waktu istirahat itu ia gunakan
untuk bersantai di kamar. Sejak pagi hingga matahari terbenam, Kanaya sama
sekali tidak memunculkan batang hidungnya di bagian rumah lain. Bahkan untuk
makan dia meminta tolong kepada asisten di rumah untuk mengnatarkan ke
kamarnya. Namun ketika makan malam, Mahatma meminta Kanaya untuk makan bersama
karena ada yang akan dirinya bicarakan.
“Gimana ujian kemarin?”
“Lancar pi..”
“Bagus itu.”
Lalu mereka kembali menikmati
makanan yang ada di atas meja dengan celotehan Sharga–si anak bungsu. Kanaya
tidak mau ambil pusing dengan kecerewetan adiknya. Dia lebih memilih untuk
sesegera mungkin menghabiskan makanannya agar bisa kembali ke kamar.
“Nay, Sabtu besok keluarganya
Narenda mau dateng. Kamu enggak ada acara kan?”
Mendengar ucapan Adista membuat
Kanaya mengernyit. Selera makannya jadi ikut menghilang karena mendengar nama
laki-laki itu.
“Mau ngapain?”
“Mau bicarain soal rencana
perjodohan kalian. Kita mau nentuin tanggal tunangan-”
Belum tuntas Adista dengan
kalimatnya, Kanaya telah lebih dulu berdiri sembari meletakkan sendok dan garpu
dengan keras ke atas piring hingga menimbulkan suara nyaring yang membuat
Adista berhenti berbicara.
“Kapan aku bilang setuju mi?”
“Loh bukannya waktu itu kamu
ketemu sama Narenda? Narenda bilang dia setuju dengan rencana ini.”
“Dia setuju dan aku enggak. Aku
kan udah bilang kalau sampai kapan pun aku enggak akan pernah setuju. Kenapa
mami tetep keukeuh?”
“Enggak gitu, mami kira kamu udah
setuju.”
“Emang mami pernah nanya aku
lagi? Mami sama papi enggak ada tuh yang nanya aku.”
“Yaudah kak, terima aja. Mami
sama papi juga enggak mungkin pilih
orang yang jahat buat lo.”
Mendengar kalimat Shagra membuat
Kanaya semakin dirundung amarah. Dia menatap tajam adiknaya yang masih
menikmati makanannya tanpa menyadari kemarahan yang ia tunjukkan.
“Enteng banget ucapan lo!”
Mendengar suara sinis itu, Sharga
langsung menatap sang kakak. Dia terkejut bukan main ketika untuk pertama kali
melihat wajah memerah Kanaya dengan tatapan penuh kemarahan yang ditunjukkan
kepadanya. Sampai membuat dirinya kesulitan untuk membuka suara.
“Emang kenapa lo enggak mau
dijodohin Nay?”
“Gua punya alesan sendiri kak,
dan kalian gak perlu tau.”
“Apa alesan kamu, kasih tau
papi.”
“Terus apa alasan papi sama mami
maksa buat jodohin aku? Aku masih muda untuk hal-hal kayak gini.”
Mahatma menghela dan menatap anak
gadisnya dengan tatapan yang tiba-tiba berubah sendu.
“Papi cuma ingin ada yang
ngejagain kamu. Papi enggak mau kejadian yang dulu terulang lagi.” Terang
Mahatma yang membuat Kanaya tidak bisa untuk tidak tergelak sinis.
“Aku punya dua saudara laki-laki
masih kurang pih?”
“Tapi kita juga punya kepentingan
sendiri Nay.”
“Dan emang menurut lo kak si
Narenda Narenda itu enggak punya kepentingan sendiri. Dia juga makhluk sosial
kali, jadi apa poinnya sekarang?”
Seketika hening kembali menyapa.
Pertanyaan Kanaya begitu sulit untuk diberikan jawabannya. Mereka lupa dengan
karakter Kanaya yang tidak pernah ingin dipaksa. Namun lagi-lagi rasa takut Mahatma
dan Adista yang membuat mereka begitu bersikeras untuk tetap melakukan
perjodohan ini.
“Naya, selama ini mami sama papi
enggak pernah minta apa-apa kan ke Nay. Kalau sekarang mami minta Nay untuk
nerima perjodohan ini, mau ya sayang. Anggap ini permintaan pertama dan
terakhir mami.”
Adista mencoba kembali membujuk
Kanaya. Dia sampai berdiri untuk mendekat kepada sang anak.
“Mami tau masih banyak hal yang
mau Nay lakuin, tapi mami sama papi enggak bisa terus ngedampingin Nay untuk
itu. Makanya mami sama papi ngejodohin Nay supaya ada yang bisa selalu jaga dan dampingin kamu.”
Imbuh Adista tanpa melepaskan genggamannya. Tatapannya ikut menyendu berasama
rapalan doa agar Kanaya mau sedikit saja meluluhkan hatinya.
Namun harapannya pupus ketika
Kanaya malah melepaskan genggaman tangan mereka. Ia menatap satu per satu
keluarganya secara bergantian dengan sorot terluka yang untuk pertama kali
dirinya tunjukan. Sebenarnya dia tidak ingin mengatakan apa yang selama ini
dirinya sembunyikan, tetapi jika kedua orang tuanya memaksa maka tidak ada pilihan
lain selain mengatakannya.
“Maaf mi, aku tetep enggak bisa.
Mungkin sampai kapan pun aku juga enggak akan pernah menikah.”
“Maksud kamu apa Naya? Kenapa
kamu enggak mau menikah?”
“Tanya sama diri papi sendiri apa
jawabannya. Karena papi adalah alasan aku enggak percaya dengan komitmen.”
Jawab Kanaya lantang.
Tanpa menunggu lagi, Kanaya langsung melesat pergi dengan meninggalkan beribu tanya dibenak keluarganya. Namun bagi Mahatma, ada peraaaan takut yang ikut mencuat bersamaan dengan debar jantung yang berubah cepat.
T . B . C
- DF -
Comments
Post a Comment