BACK TO YOU CHAPTER 4
.
.
Kanaya Arsyakayla Akhza, anak tengah yang kehidupannya dipenuhi dengan senyum dan tawa. Dia tidak pernah menangis selain karena kejailan Kaivan sang anak sulung. Bahkan ketika Sharga lahir ketakutan jika Kanaya akan merasa iri kepada sang adik ternyata tidak pernah terjadi. Anak itu malah begitu antusias untuk ikut mengurus adik laki-lakinya.
Namun kebahagian hidupnya harus
hancur saat malam ia terbangun dan mendengar bagaimana Adista menangis dan
Mahatma yang terus mengucapkan maaf. Kanaya kecil tidak mengerti kenapa maminya
menangis sampai ketika ia beranjak remaja dan menemukam buku hariannya, barulah
ia mengerti arti tangis dan maaf malam itu.
Dari buku hariannya, Kanaya
sadar jika malam itu adalah malam yang menyakitkan untuk Adista. Malam dimana
ia mengetahui pengkhianatan yang dilakukan Mahatma. Sebuah alasan bodoh yang
membuat malam petaka itu datang untuk keluarganya.
“Aku minta maaf, aku bodoh
karena ngerasa perhatian mu berkurang sejak Sharga lahir.”
Itu yang dikatakan Mahatma
sambil bersimpuh dan menangis di hadapan Adista. Ketika pagi, Kanaya menyadari
perubahan sikap mami dan papinya. Perasaan takut pun mulai ia rasakan tapi
berangsur menghilang karena mungkin saat itu dirinya masih terlalu kecil untuk
mengerti.
Ketika ia kembali menemukan
potongan ingatan masa lalunya, Kanaya benar-benar merasa dirinya dihempaskan ke
jurang terdalam. Dia merasa hampa dengan semua ketakutan yang semakin lama
semakin menguasai diri. Sampai dimana ia menyerah karena sudah tidak sanggup
melihat kedua orang tuanya.
Sore itu Kanaya pergi. Dia
tidak pulang ke rumah dan malah menuju danau di dekat tempat lesnya. Dia tau di
sekitar danau itu ada rumah pohon yang bisa ia gunakan untuk bersembunyi.
Karena itu, akhirnya ia bersembunyi di sana seorang diri.
“Kanaya..”
Mendengar namanya, Kanaya
mengintip dari atas. Dia melihat seorang anak laki-laki yang berlari ke rumah
pohonnya dan berhenti tepat di bawah.
“Nay, kamu di atas kan?”
Teriaknya lagi tapi tidak kunjung direspon oleh Kanaya.
“Aku enggak akan bilang
siapa-siapa Nay, tapi izinin aku ke atas ya.”
Akhirnya Kanaya mengizinkan anak
laki-laki yang merupakan tetangganya itu untuk naik ke atas.
“Kamu kenapa di sini? Orang
tua kamu nyariin tau, mereka sampe nanya ke aku karena tau kita sering main.”
Kanaya lagi-lagi hanya diam.
Dia hanya menatap kosong hamparan rumput dari jendela.
“Nay, kalau kamu ada masalah
cerita ke aku jangan dipendem gini.”
Mendengar itu, tiba-tiba saja
air mata yang selama ini ditahan jatuh begitu saja membasahi pipinya. Kanaya
menangis dan terisak bersama langit malam yang menemaninya.
“Ion, papi Ion..”
Orion langsung menarik tubuh
bergetar itu untuk ia peluk. Sejujurnya dia tidak tahu apa memeluk Kanaya itu
tindakan yang tepat, tapi setiap bunda sedih pasti ayahnya akan datang dan
memeluknya. Jadi Orion pikir memeluk Kanaya bisa membuat kesedihan temannya itu
berkurang.
“Nangis aja Nay, aku enggak akan
ejek kamu.” Ucap Orion sambil mengusap punggung Kanaya.
Orion membiarkan Kanaya untuk
terus menangis. Dia tidak mengajaknya berbicara. Dia hanya ingin Kanaya merasa
puas karena telah mengeluarkan seluruh perasaannya. Ketika perlahan tangis itu
mereda dan Kanaya sendiri yang melerai pelukan kedunya, Orion masih tetap diam
saja. Dia tidak ingin memaksa Kanaya untuk berbicara apa pun sampai Kanaya
terlihat lebih tenang.
“Udah tenang belum?”
Hanya anggukan kepala yang
Kanaya berikan sebagai jawaban.
“Kalau aku boleh tau, kenapa
kamu di sini Nay? Kenapa enggak langsung pulang ke rumah?”
Kanaya tetap diam tetapi
kepalanya bergerak ke kanan dan kiri.
“Kamu mau cerita sesuatu ke
aku?” Tawar Orion.
“Emangnya kamu mau dengerin?”
“Iya aku dengerin kok walaupun
mungkin aku enggak akan bisa ngebantu kamu.”
Mendengar keyakinan dari suara
Orion, membuat kepala yang tentunduk itu mulai terangkat dan menoleh kepadanya.
“Aku enggak tau harua cerita
darimana Ion.”
“Terserah kamu Nay, aku enggak
nuntut kamu untuk cerita semuanya. Aku pikir dengan kamu ceritain bisa ngurangin
kesedihan kamu.”
Sejenak Kanaya coba untuk
mempertimbangkan dan memikirkan apa yang perlu ia ceritakan. Dimulai darimana
ceritanya agar setidaknya Orion mengerti secara garis besar penyebab dirinya
pergi dari rumah.
“Ion..”
Orion berdeham.
“Dulu waktu aku masih kecil
aku pernah liat mami nangis. Nangianya sambil papi minta maaf. Awalnya aku
enggak ngerti, tapi sekarang aku paham sama yang terjadi malam itu.”
“Emangnya apa yang terjadi
Nay?”
Kanaya kembali menunduk saat
sesak itu kembali menyerang dadanya. Air mata ikut kembali jatuh tetapi tidak
sampai membuatnya terisak.
“Tapi kamu janji jangan cerita
ke siapa pun.”
“Iya aku janji.” Jawab Orion
sembari menautkan kelingkingnya dengan Kanaya.
Menarik napas panjang, Kanaya
kembali menatap Orion yang masih sabar menunggu dan menemaninya. Dia bukan
ingin mengumbar masalah keluarganya. Ia hanya tidak mampu menyimpan
ketakutannya seorang diri. Setidaknya jika hal buruk terjadi, Orion bisa menjadi
sandarannya.
“Papi selingkuh Ion.”
Orion terdiam. Dia memang
tidak terlalu mengerti apa itu selingkuh. Namun ia sedikit tahu jika selingkuh
adalah perbuatan yang tidak baik. Orion tanpa mengatakan apa-apa kembali
memeluk Kanaya lebih erat dari sebelumnya. Hal itu membuat Kanaya kembali tersedu.
Orion 💫
Kenapa di luar
Pesan masuk dari Orion membuat Kanaya melihat ponselnya lalu
mengangkat pandangannya ke depan.
Orion 💫
Kenapa di luar
Lagi mumet
Ada apa cil?
Gua ribut sama mami
papi
Ha? Kenapa?
Soal perjodohan itu,
mereka masih keukeuh
Terus si sharga masih
suka asal jeplak aja
Terus sekarang gimana?
Ya gua tolak
Lo tau sendirikan sejak
kejadian malam itu gua enggak percara sama pernikahan
Kalau mami sama papi
yang nikah karena cinta aja bisa ada pengkhianatan apa kabar gua yang dijodohin
Kenal aja baru kemarin
Tapi kan beda orang beda cerita Nay
Ya tapi enggak ada yang
menjamin Ion
Kalau ternyata sama aja
kan gua yang rugi parah
Gua yang menderita cuma
demi menuhin kemauan mereka
Oke, udah jangan cemberut gitu
Weekend lo libur enggak?
Libur, kenapa?
Kita jalan-jalan biar mood lo bagus lagi
Bener ya?
Iya, yaudah sana tidur
Oke, lo juga tidur
Night Ion
T . B . C
- DF -
Comments
Post a Comment