BACK TO YOU CHAPTER 5
.
.
Hari itu benar-benar digunakan
Kanaya untuk menghibur dirinya. Mengembalikan dirinya ke dalam settingan senang
ternyata cukup menyita waktu. Beruntung Orion memiliki kesabaran ekstra untuk
mengembalikan senyum cantik ke wajah Kanaya.
“Gimana sekarang?”
Kanaya menoleh dengan senyum yang
telah kembali sempurna.
“Seneng banget, serius. Thanks
to you Ion. Kalau bukan karena lo mungkin gua masih terlihat menyedihkan di
kamar.”
Orion terkekeh sambil mengacak
puncak kepala Kanaya dengan gemas.
“Of course Nay, gua emang
selalu punya ide untuk hal kayak gini.” Ungkap Orion dengan penuh rasa banga.
Hal itu langsung membuat Kanaya
menukikkan alis dengan dahi mengerut.
“Pede banget lo.”
“Jelaslah, Orion emang harus
percaya diri.” Balasnya tak mau kalah. Ia bahkan sampai menaik turunkan alisnya
yang membuat pukulan didaratkan ke lengannya oleh Kanaya.
Keduanya kembali menikmati snack
sore yang telah dipersiapkan oleh Orion. Rasanya memakan kue manis di saat
langit menjingga itu adalah hal yang tepat untuk dilakukan bersamaan. Bagi
Kanaya yang sejujurnya tidak terlalu tertarik dengan senja, menikmati senja
sambil memakan kue manis tidaklah buruk. Mungkin ia akan kembali melakukannya
jika dirinya memang benar-benar rindu dengan si jingga di langit.
“Btw, lo pergi hari ini
udah pamitkan soalnya tadi lo enggak izinin gua buat masuk?”
Kepala Kanaya mengangguk dengan
samar.
“Serius nih, nanti gua yang
diomelin sama orang tua lo.”
Desakan Orion membuat Kanaya
menghela pelan.
“Sebenernya gua enggak pamit.
Tapi yaudah biarin aja, toh tujuan gua pergi juga demi menjaga mental yang
tidak stabil ini.”
“Gila lo, nanti kalau lo dikira
ilang lagi kayak dulu gimana.”
“Kan nanti kita pulang Ion,
enggak usah berlebihan gitulah.” Jawab Kanaya dengan santai.
Orion yang mendengar itu hanya
bisa menghela napasnya. Sulit, sungguh sulit untuk membuat Kanaya mengerti.
Entah sudah keberapa kalinya Kanaya mengabaikan keluarganya sendiri hanya untuk
menjernihkan pikirannya. Namun gadis itu tidak pernah kapok untuk pergi tanpa
pamit, padahal sudah sering sekali Adista maupun Mahatma mengomelinya.
“Lo bener-bener ya Nay.” Gerutu
Orion yang lebih memilih merebahkan badannya di atas hamparan rerumputan.
Hening yang akhirnya menyelimuti
keduanya. Mereka sama-sama larut memandangi jingga di langit tanpa ingin
mengucapkan sepatah kata pun. Cantiknya warna jingga itu membuat mereka berdua
begitu menikmatinya dalam diam. Perlahan kejinggaan itu mulai memudar dan
berganti gelap, tapi Kanaya dan Orion masih tetap bertahan di tempatnya.
“Ion..” Panggil Kanaya yang ikut
membaringkan dirinya di samping Orion.
“Jangan nungguin gua.”
Sontak Orion memiringkan
kepalanya. Ia tidak mengerti dengan apa maksud ucapan Kanaya.
“Gua tau perasaan lo Ion. Tapi
gua enggak mau lo nunggu gua. Gua takut akhirnya cuma ngecewain lo lebih dalam
lagi.”
“Lo tau Nay?’ Tanya Orion yang
masih tidak bisa mempercayai perkataan Kanaya.
“Iya.” Kepalanya mengangguk
samar. “Siapa yang enggak sadar kalau lo dengan suka hati ngelakuin apa pun
demi buat gua senyum. Gua sadar itu Ion, tapi gua enggak bisa. Lo tau sendiri
gua enggak sehat. Otak gua sakit dan untuk nyembuhinnya tuh susah.”
Terlihat tarikan napas panjang
sebelum Kanaya mengembuskannya berkala.
“Gua sayang sama lo, tapi rasa
tidak percaya gua jauh lebih besar. Jadi dari pada lo buang waktu buat gua,
mending lo ilangin rasa itu. Gua enggak mau lo terus terluka karena kondisi
mental gua.”
Mendengar suara Kanaya yang putus
asa, membuat Orion secara cepat merubah posisinya. Ia kembali duduk dan memutar
tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Kanaya.
“Nay, lo enggak usah mikirin soal
perasaan gua karena ini jadi tanggung jawab gua. Tapi lo juga enggak bisa
nyuruh gua untuk berhenti sayang sama lo, karena itu enggak mungkin.”
“Tapi Ion, lo cuma akan terluka
kalau terus nyimpen perasaan buat gua dan gua enggak amu itu terjadi.”
“Nay, enggak ada yang salah sama
perasaan gua. Mau gimana pun ini udah jadi konsekuensi yang harus gua tanggung.
Tapi yang perlu lo tau, mau sekeras apa pun lo nyuruh gua buat ilangin rasa ini
gua enggak akan pernah bisa ngelakuin itu. Gua udah terlanjur sayang sama lo
dan gua juga yakin kalau kita jodoh, mau sekuat apa pun lo nolak kita akan bisa
bersama.”
Orion menjeda ucapannya untuk
menarik napas dan menatap kedua manik Kanaya dengan dalam.
“Gua enggak akan maksa lo untuk
bales perasaan ini. Gua cuma minta ke lo untuk kembali ke Nay yang dulu. Nay
yang selalu ceria dan dipenuhi dengan tingkah konyol, enggak kayak sekarang
ini. Lo lebih mirip mayat hidup dibanding calon dokter yang mau disumpah
profesi.”
“Gua tau kok kalau sulit buat lo
bisa percaya sama laki-laki, tapi Nay enggak semua kisah akan berakhir sama
seperti kehidupan orang tua lo. Lo cuma cukup yakin dan berserah ke Tuhan. Dan
ketika memang waktu itu tiba, jangan pernah nolak Nay karena hanya bikin lo
sakit doang.”
Kanaya hanya bisa mengangguk
dengan mulut yang terkatup. Dia tidak bisa mengatakan apa pun lagi setelah
melihat bagimana onyx Orion menatapnya. Tatapan penuh kekaguman dan
kasih sayang yang selalu ia sadari, tetapi tidak pernah berhasil memubuatnya
berani melawan ketakutan itu.
“Tapi kalau emang lo enggak kuat,
lo boleh mundur Ion. Tapi please jangan ngejauhin gua gimana pun kita ke
depannya. Gua enggak sanggup kalau lo pergi ninggalin gua.”
Orion tersenyum sambil mengangkat
tangannya ke udara.
“Gua enggak akan ninggalin bocil
kayak lo, yang ada lo nyasar dan ketemu orang jahat.” Ledeknya sambil mengusak
rambut Kanaya.
“Janji?”
Decakkan gemas kembali terlontar
dari mulut Orion.
“Harus banget pinky promise
nih?”
Kanaya tidak menjawab. Dia hanya
menggerakkan kelingkingnya sambil menunggu Orion untuk ikut menautkan jari
mereka bersama.
“Ayo janji..”
“Iya iya, gua janji.”
T . B . C
- DF -
Comments
Post a Comment