BACK TO YOU CHAPTER 6

 




.


.


.



Malamnya Kanaya pulang dengan suasana hati yang kembali baik. Dia bahkan sempat bergulat ringan dengan Orion di depan rumah laki-laki itu sebelum kembali ke rumahnya yang bersebelahan dengan rumah sang sahabat. Sayang, di balik euforia itu, Kanaya tidak sadar jika dirinya baru saja membuat kekacauan. Semua itu baru disadarinya ketika ia sudah masuk ke dalam rumah dan melihat wajah kecewa Mahatma.

 

“Kamu dari mana Nay?”

 

Dengan dahi yang mengeriting, kedua bilah bibir Kanaya berucap. “Pergi sama Orion.”

 

Jawaban Kanaya menimbulkan helaan napas panjang dari Mahatma. Hal itu membuat Kanaya semakin bingung. Apakah ada yang salah?

 

“Nay, kamu lupa kalau hari ini Narenda sama keluarganya mau dateng?” Pertanyaan Kaivan langsung membawa kembali ingatan Kanaya pada saat makan malam tempo hari.

 

“Oh, soal itu. Aku lupa.”

 

“Kamu lupa beneran atau pura-pura lupa?” Tanya Adista yang telah berdiri sambil memangkas jarak antara dirinya dan Kanaya.

 

“Beneran lupa mi. Lagian mereka bukan tamu aku. Aku enggak kenal sama mereka. Jadi mau ada aku atau enggak ada sekali pun enggak jadi masalah.”

 

“Naya, mereka dateng buat ketemu kamu.”

 

“Buat apa mi? Aku udah bilang kalau aku enggak mau dijodohin, tapi kenapa kalian maksa terus sih?” Kesal Kanaya dengan suara yang sedikit meninggi.

 

“Papi sama mami ngelakuin ini juga demi kebaikan kamu.”

 

“Kebaikan apa pi? Apa yang papi sebut kebaikan itu dengan menghancurkan semua rencana aku? Apa dengan itu aku bisa bahagia pi?”

 

Kanaya sudah kehabisan kesabarannya. Kenapa sekarang ia yang dipojokan dan disalahkan. Sejak awal dirinya sudah bersikeras menolak rencana konyol itu, tapi Mahatma dan Adista tetap memaksa. Bahkan mengambil keputusan tanpa persetujuannya.

 

“Kak Nay jangan teriak-teriak.”

 

“Diem lo!” Sungut Kanaya.

 

Entah kenapa setiap kali mendengar suara Sharga rasanya Kanaya tidak bisa mengontrol emosinya.

 

“Nay, kamu jangan marah ke Sharga. Dia cuma ngingetin doang.”

 

Kakak juga diem. Jangan nambah berisik kuping aku.”

 

“Naya kamu kenapa jadi kayak gini. Kaivan sama Sharga cuma ngingetin aja.” Tegur Adista saat Kanaya tetap saja mengutamakan emosinya dibandingkan mendengarkan mereka.

 

Ok, sekarang mau kamu apa Kanaya?” Tanya Mahatma yang sudah ikut berdiri.

 

“Mau aku masih sama, aku enggak mau nikah jadi batalin rencana papi.”

 

“Kenapa kamu enggak mau nikah? Kamu mau hidup sama siapa nantinya Nay?”

 

Kanaya terkekeh.

 

“Mami beneran mau tau alasan yang sebenernya? Emang yang kemarin masih belum jelas?”

 

Pertanyaan Kanaya langsung membuat Mahatma dan Adista teringat kembali ucapan sang anak malam itu. Entah mengapa ada rasa gusar yang kembali hadir padahal sempat terlupakan.

 

“Naya, jadi kamu tau soal itu?” Tanya Adista ragu-ragu.

 

Dengan anggukan yakin dan wajah yang tersenyum, Kanaya mengiyakan

 

“Bahkan aku lihat gimana papi nangis sambil minta maaf ke mami. Aku nulis semuanya dibuku harian yang aku temuin waktu aku hilang. Oh sebenernya sore itu aku enggak hilang, aku emang yang mau pergi. Jujur hari itu aku udah enggak kuat untuk liat mami sama papi.”

 

“Naya..”

 

Mahatma mencoba untuk mendekatinya, tetapi Kanaya lebih dulu membawa langkahnya mundur.

 

“Kenapa pi? Kenapa papi tega sama mami? Papi enggak mikir kalau aku bisa aja kena karmanya? Papi tau enggak, papi adalah alasan utama aku enggak mau nikah.”

 

Mahatma seperti mendapatkan tamparan yang tak nyata. Rasa sakitnya tidak menyerang tubuh kokohnya, tetapi begitu menyiksa relung hatinya. Ia merasa gagal dan kecewa secara bersamaan. Jangan lupakan perasaan malu yang lambat laun mulai mengisi hatinya.

 

“Maaf Nay, papi khilaf.” Sesalnya.

 

Air mata tidak dapat lagi dibendung ketika memori masa lalu itu kembali memenuhi pikirannya. Ia merasa bodoh dan gagal menjadi seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Walaupun rumah tangganya dapat diselamatkan, tetapi kesalahannya adalah cacat yang tidak bisa diperbaiki.

 

Kanaya sendiri tidak menggubris Mahatma. Dia merasa sesal itu hanya sia-sia. Mahatma sudah lebih dulu memilih jalan untuk menghancurkan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang-orang yang mencintainya.

 

“Dan lo Sharga.” Kanaya berbalik menatap sang adik yang masih tidak mengerti dengan yang tengah terjadi.

 

“Selama ini gua berusaha mati-matian untuk enggak nyalahin lo. Tapi belakangan ini lo selalu ikut campur masalah gua. Gua benci Ga, gua benci lo sok tau padahal lo enggak tau apa-apa.”

 

“Kak..”

 

“Asal lo tau, papi selingkuh. Dan alasan papi selingkuh karena mami lebih perhatian ke lo yang baru lahir. Gua tau lo enggak bisa disalahin di sini, tapi yang bikin gua benci lo itu karena lo selalu ngomong tanpa mikirin perasaan gua.”

 

Sharga benar-benar terkejut mendengarnya. Dia tidak pernah menyangka akan mendengar hal ini di dalam keluarganya. Dalam rasa terkejut yang tidak terkendali, Sharga berusaha membuka vokalnya tetapi tidak ada yang dapat ia katakan dengan jelas.

 

Kak.. i-itu, gua…”

 

Kenapa? Kagetkan lo? Makanya jangan banyak omong kalau lo enggak tau apa-apa! Cukup tutup mulut lo untuk urusan yang enggak ada sangkut pautnya sama diri lo sendiri.” Makinya dengan kemarahan yang begitu terlihat jelas.

 

“Dan kamu kak..”

 

Kanaya melirik Kaivan yang berada di sebelah Sharga. Kakaknya itu sedang dalam kondisi yang tidak jauh berbeda dengan Sharga. Dia juga masih terkejut dan tak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya.

 

Kamu juga enggak tau apa-apa, jadi stop ikut campur permasalahan hidup aku cuma karena kamu itu kakak aku! Kamu sama aja kayak Sharga, banyak omong.”

 

Kanaya benar-benar lelah, tapi tak menampik jika ada sedikit kelegaan yang berhasil dirinya rasakan.

 

“Sekarang kalian udah tau kan..” Kanaya menarik napasnya. Dia butuh untuk mempertahankan tenaganya yang sudah tidak seberapa itu demi mengakhiri pembicaraan malam itu.

 

“Setelah ini jangan ada yang ikut campur tentang hidup aku. Anggap ini sebagai kompensasi papi karena udah ngancurin khayalan manis anak papi sendiri. Dan setelah ini juga, aku mau pergi dari rumah ini.”

 

Adista dan Mahatma terkejut mendengar penuturan Kanaya. Tubuh mereka sampai bergerak maju tanpa disadari.

 

“Kamu mau kemana Nay? Kamu enggak usah pergi, kita bisa bicarain ini. Kalau soal perjodohan itu mami akan batalin tapi kamu jangan pergi.” Mohon Adista sambil menggenggam tangan Kanaya.

 

“Maaf mi, apa pun itu aku akan tetep pergi. Jujur aku udah cukup bertahan di rumah ini. Aku udah enggak tahan mi, karena setiap liat keluarga aku sendiri yang aku rasain cuma perasaan kecewa. Jadi tolong biarin aku menyembuhkan mental aku yang rusak ini. Mami pasti paham kan.”

 

Setelah mengatakan itu, Kanaya segera berlalu pergi. Dia melangkah menuju kamarnya dengan meninggalkan rasa terkejut dan kesedihan yang membelenggu keluarganya. Mengabaikan bagaimana Mahatma digelung sesal yang begitu besar, Adista dengan perasaan gagal, serta Kaivan dan Sharga yang masih terkejut dengan kenyataan pahit yang baru saja dilemparkan kepada mereka.

 

Sedangkan Kanaya sendiri, hatinya sudah mati sejak beberapa tahun lalu. Karena itu tidak ada yang dapat dirinya rasakan lagi ketika mengatakan apa yang telah dirinya ketahui. Jika boleh jujur, Kanaya tidak ingin memberitahu masalah ini dengan cara kampungan seperti itu. Namun keadaan yang memaksanya untuk berkata jujur diwaktu tersebut, walau harus membuat luka baru bagi Kaivan dan juga Sharga.


 

T . B . C



Hallooo, gak kerasa udah menuju ending nih

Gimana sejauh ini? Semoga enggak mengecewakan yaa

Aku udah gak tau mau ngomong apa lagi, semoga disisa 1 part terakhir ini BTY gak ngebosenin dan bikin kalian males bacanya. Semoga BTY bisa memenuhi ekspektasi kalian sampai di akhir nanti.

Oke deh, segitu aja.

Aku pamit yaa, sampai ketemu di part terakhir

Babay


- DF -

Comments

Popular Posts