BACK TO YOU CHAPTER 7 (END)




.


.


.



            Orion menunggu pintu di depannya terbuka setelah berhasil masuk ke bangunan apartemen dimana Kanaya tinggal. Dari dirinya menekan bel, tidak lama setelahnya pintu hitam itu dibuka oleh seorang gadis yang ia kenal bernama Bia.

 

“Oh Orion, masuk dulu. Naya-nya lagi di kamar mandi.”

 

Ok, thanks Bi.”

 

Bia mengangguk lalu berjalan masuk disusul Orion di belakang.

 

“Kalau mau minum, itu di atas meja. Itu Kanaya yang nyiapin. Gua ke kamar dulu ya..”

 

Kepalanya mengangguk dengan tungkai kaki yang bergerak menuju ruang tv. “Ok.”

 

Bia lalu kembali ke kamarnya setelah mengambil segelas jus dan sebotol air mineral dingin. Dia sedang ada keperluan sehingga tidak bisa menemani Orion menunggu Kanaya. Beruntungnya Kanaya langsung muncul tidak lama setelah pintu kamar Bia tertutup.

 

Sorry, gua tadi cuci muka dulu.”

 

“Santai aja. Oh iya, ini titipan lo.” Ucapnya sambil menyerahkan bungkusan putih kepada Kanaya.

 

“Wih, makasih Ion.”  Balasnya dengan senyum manis tercetak dibibirnya.

 

“Bia, ada martabak.”

 

“Iya, nanti gua ambil.” Suara Bia terdengar dari dalam kamar.

 

“Oh sama ini.” Orion kembali menyerahkan sesuatu. Namun kali ini bukan bungkusan putih tetapi sebuah paper bag.

 

“Dari bunda, dia nitip ini buat lo.”

 

Dengan antusias Kanaya mengambil paper bag tersebut dan membukanya.

 

“Wah, bunda tau aja kalau gua lagi mau makan cumi pedes. Bilangin makasih ya Ion sama bunda. Gila seneng banget gua..”

 

Orion hanya mengangguk. Lalu ia ikut memakan martabak yang dibawanya ketika Kanaya menyajikan makanan itu di atas meja.

 

“Gimana lo sekarang?”

 

“Jauh lebih baik..” Jawabnya dengan mulut yang masih dipenuhi martabak.

 

“Lo enggak mau pulang, nengok rumah lo gitu?”

 

Tanpa menunggu banyak waktu, kepala Kanaya dengan cepat bergerak ke akan dan kiri.

 

“Enggak, ketemu mami di rs udah cukup kok. Gua enggak mau kehilangan tenaga hanya untuk bertahan di rumah itu. Rasanya udah cukup gua bertahan selama ini di sana. Sekarang gua mau fokus mengembalikan mental dan menata hati.”

 

Orion menganggukkan kepalanya. Kemudian keduanya sama-sama kembali diam. Mereka kembali fokus menikmati jajanan malam itu dan membiarkan denting jarum jam menjadi peneman keduanya.

 

“Ion..” Panggil Kanaya tiba-tiba.

 

“Hm..”

 

“Lo masih suka gua?”

 

Dahi Orion mengerut dan wajahnya dipenuhi kebingungan.

 

“Maksud gua, lo masih nyimpen rasa itu atau enggak?”

 

“Oh..” Seru Orion dengan nada.

 

“Masih Nay, dan gua enggak akan semudah itu berhenti. Ayah juga setuju kok kalau gua mau nunggu lo. Ayah sama bunda enggak mempermasalahkan apa pun selama gua bertanggung jawab sama pilihan itu dan gua bahagia. Kenapa lo nanya gitu?”

 

Kanaya menggeleng.

 

“Gua cuma enggak mau lo nunggu gua yang gak jelas ini.”

 

“Bukan enggak jelas, lo cuma belum ada di waktu dan bertemu orang yang tepat aja. Kalau emang jodoh, gua yakin siap enggak siap diri lo, kita akan barengan. Udah enggak usah mikirin gua, gua tau kok apa yang lagi gua lakuin ini dan gua bertanggung jawab penuh sama pilihan ini.”

 

Kanaya diam hanya untuk menenangkan perasaannya yang terasa berbeda. Apa lagi saat sepintas melirik Orion yang tengah bersandar dengan santai.

 

Enggak, sembuh dulu please., batin Kanaya mencoba memperingati.

 

“Tapi jangan dipaksa Ion, kalau udah capek enggak apa-apa.”

 

“Iya Nay, udah deh enggak usah bahas perasaan gua. Oh iya, gua mau nanya dong.” Ujar Orion yang berusaha untuk mengganti topik pembicaraan.

 

“Apa?”

 

“Gua cuma penasaran aja, kenapa Bia tiba-tiba nawarin lo buat tinggal bareng dia? Soalnya kan lo pergi juga mendadak banget, kok bisa dia tau dan langsung nawarin udah gitu emang ada kamar kosong lagi.” Tanya Orion dengan heran. Pasalnya kebingungan ini telah ia rasakan sejak pertama kali mengantar Kanaya ke apartemen Bia, tapi baru bisa ditanyakan beberapa bulan setelahnya.

 

“Karena Bia tau permasalahn gua, dan waktu dia mutusin buat tinggal sendiri gua udah bilang kalau gua mau bareng sama dia pas selesai koas. Awalnya karena emang jarak apartemen sama rumah sakit yang deket, tapi kalau sekarang ya lo tau karena apa kan.”

 

“Lagi pula we’re on the same boat, jadi gak sulit untuk saling mengerti.” Imbuh Kanaya sambil mengambil potongan martabak dan menyuapnya ke dalam mulut.

 

Keadaan kembali hening saat Kanaya sibuk menikmati martabaknya dan Orion yang hanya mengamati sahabatnya itu. Bukan hal baru bagi Orion melihat Kanaya seperti ini, karena jika boleh berbangga diri Orion adalah satu-satunya orang yang bisa melihat Kanaya saat menjadi dirinya sendiri. Mungkin saat ini Bia juga sudah melihat Kanaya seperti ini, tapi Orion adalah orang pertama yang bisa menikmati wajah Kanaya dengan pipi gembul karena makanan di dalam mulutnya, tangan yang memegang makanan itu seakan dirinya tidak ingin berbagi, serta mata yang berbinar karena puas dengan apa yang lidahnya rasakan.

 

Tanpa sadar senyum semakin terukir lebar dari kedua sudut bibir Orion.

 

“Nay..”

 

“Hmm…”

 

“Lo boleh marah, tapi jangan lama-lama ya. Biar gimana pun mereka keluarga lo.”

 

Kanaya berhenti mengunyah. Dia diam untuk beberapa saat sebelum mulutnya kembali bergerak dan makanan itu tertelan.

 

“Iya Ion, gua ngerti. Tenang aja, kalau gua udah sembuh gua bakal pulang.”

 

Orion tersenyum dan mengangguk. Lalu dengan gerakan cepat mengusap puncak kepala Kanaya.

 

That’s my Kanaya.” Ujarnya dengan menatap manik Kanaya yang dihadiahi senyuman manis dari sahabatnya itu.



E . N . D



- DF -

Comments

Popular Posts