Checklist to Your Heart: 101 Tries (Dhava & Asya)



Starring:

Madhava Abhipraya & Dhiajeng Kasyaia
 

.

.

.


Dhiajeng Kasyaia adalah anak bungsu yang lahir dan besar bersama kedua orang tua dan kayak laki-lakinya. Asya, adalah nama yang kerap orang terdekatnya sebut saat memanggilnya. Singkat saja, Asya kini sudah menginjak usia 25 tahun dan sedang fokus mengembangkan butiknya yang baru berusia 2 tahun. Kesehariannya, sudah pasti berputar pada butik dan rumah. Namun semua itu tidak menjadi masalah karena terkadang dia akan menghabiskan akhir pekannya bersama teman-teman atau keluarganya, baik itu pergi makan siang atau ke café untuk menikmati segelas kopi dan sepiring cake.

 

 

Namun berbeda dengan akhir pekannya kali ini, sang mami tiba-tiba saja membangunkan dan meminta Asya untuk menemani wanita cantik itu bertemu dengan teman lamanya. Asya yang memang tidak mempunyai rencana lain selain beristirahat akhirnya mengiyakan ajakan tersebut. Maka disanalah ia kini, sebuah resto keluarga yang cukup mewah. Duduk di samping sang mami yang tengah mengobrol dengan temannya sambil menikmati segelas jus yang tadi ia pesan.

 

 

“Mah..” Suara berat yang baru saja ia dengar membuat Asya mengangkat kepalanya yang sejak tadi sedikit menunduk menghadap layer tabletnya.

 

 

“Oh kamu udah sampe, sini duduk Dhav.”

 

 

Asya masih mengamati sosok tersebut sampai mereka telah duduk berhadapan.

 

 

“Kamu inget gak Sya, ini Dhava anaknya Tante Risa? Dulu kalian sering banget main bareng kalau mami sama Tante Risa ketemuan.”

 

 

Pertanyaan dari sang mami membuat Asya diam sambil mencoba untuk mengingat kejadian masa kecilnya. Jujur saja, rasanya agak sulit karena Asya bukan orang yang mudah mengingat hal yang sudah lama lewat. Lebih mudahnya, sebut saja Asya adalah sosok pelupa. Tidak terlalu buruk, tapi cukup membuat dia malas ketika harus dipaksa mengingat kejadian yang sudah lewat.

 

 

Hi..” Bariton berat itu menyadarkan Asya dari keterdiamannya.

 

 

“Dhava..” Sambungnya lagi sambil mengulurkan tangan ke hadapan Asya.

 

 

“Oh.. sorry. Gua Asya.” Balas Asya dengan menjabat tangan besar di depannya.

 

 

“Maaf ya Dhav, Asya pasti lupa. Dia emang gitu, sama barang yang baru dia taro beberapa menit lalu aja bisa lupa. Apalagi sama kamu yang udah lama gak ketemu.” Seru maminya yang membuat Asya melirik jengkel.

 

 

“Mi..” Bisik Asya yang membuat maminya tertawa kecil.

 

 

“Duh.. kenapa jadi canggung gini. Padahal dulu kalian kayak perangko tau, nempel mulu. Kemana-mana gandengan, sampe udah mau pulang Asya malah nangis karena nggak mau pisah terus kamunya meluk Asya sampe berhenti nangis. Kenapa sekarang malah kayak orang gak kenal gini sih.” Risa menambahi, membuat Asya dan Dhava bertukar pandang sebentar sebelum kembali membuang pandangan karena canggung itu semakin menguasai diri.

 

 

Melihat tingkah Asya dan Dhava, baik Nana dan Risa sama-sama tersenyum lalu tertawa kecil. Ya, kedua wanita itu tampak senang melihat kecanggungan yang terjadi antara anak-anak mereka. Terutama Risa, dia cukup puas melihat sang anak berhasil tersipu setelah waktu berat yang dirinya lalui.

 

 

Pertemuan singkat antara Asya dan Dhava itu tidak hanya menjadi pertemuan terakhir. Karena nyatanya pertemuan singkat itu berhasil membawa mereka pada pertemuan lainnya yang membuat mereka semakin dekat. Dimulai dari pertemuan-pertemuan akibat kedua ibu mereka, sampai pertemuan yang mereka ranacng sendiri.

 

 

 

“Pagi tante.” Sapa Dhava saat pintu terbuka dan Nana berdiri di baliknya.

 

 

“Dhava, kamu udah sampe. Loh, rame banget. Ayo masuk, masuk.”

 

 

“Makasih tan.”

 

 

Mereka akhirnya masuk, sedangkan Nana pergi menuju dapur. Tak lama, dia kembali bersama asisten rumah tangga yang membantunya membawa minuman dan hidangan ringan.

 

 

“Oh iya tan, kenalin ini Ivan dan Nendra. Mereka temen aku, kebetulan semalem mereka di rumah jadi pagi ini sekalian pulang mereka mau nganterin.”

 

 

“Salam kenal tante..”

 

 

Nana menyalami keduanya. Lalu ia mempersilahkan mereka untuk mencicipi hidangan yang telah ditata di atas meja.

 

 

“Kalian pagi banget datengnya, bukannya flight-nya jam 12 nanti. Itu si Asya aja masih tidur.”

 

 

“Sengaja itu tan, si Dhava emang mau buru-buru ketemu anak tante. Katanya kangen.” Jawab Ivan yang dihadiahi pukulan oleh Dhava.

 

 

Melihat itu, Nana hanya tertawa. Entah benar atau tidak, dia tidak mempermasalahkan alasan anak sahabatnya itu dating sepagi ini ke rumahnya.

 

 

“Yaudah kalau gitu kamu bangunin aja di kamarnya.”

 

 

“Tante ngasih izin si duda ini ke kamar Asya?” Celetukan Ivan kembali dihadiahi pukulan di pahanya.

 

 

“Diem lo!” Peringat Dhava yang hanya direspon tawa sambil menahan sakit oleh Ivan.

 

 

“Udah udah. Sana Dhav kalau mau bangunin anaknya. Masih inget kamarnya dimana kan?”

 

 

Dhava mengangguk. “Masih tan. Pintunya yang ada garis biru di samping kamar Bang Dirga kan?”

 

 

Nana mengangguk. Lalu dia mempersilahkan Dhava untuk pergi ke kamar anaknya. Mungkin terdengar kurang bijak karena membiarkan laki-laki dewasa mendatangi anak perempuan di kamarnya. Namun jika boleh jujur, entah mengapa Nana sudah begitu percaya pada Dhava sekali pun gelar duda yang sudah tersemat pada namanya.

 

 

Dhava membuka pintu yang dimaksud dengan perlahan. Dia tidak ingin membangunkan sang pemilik kamar karena pergerakannya yang begitu kasar. Dia ingin membangunkan Asya secara perlahan agar perempuan itu tidak terkejut atas keberadaannya.

 

 

Langkah pelan dan hati-hati membawa Dhava menuju sisi ranjang dimana tubuh Asya menghadap. Bokongnya mendarat di sisi kosong, masih dengan perlahan. Dalam diamnya ia memperhatikan wajah terlelap Asya dengan tenang. Wajah perempuan itu terlihat begitu nyaman dalam lelapnya. Bahkan Ketika Dhava mengangkat tangan untuk menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajahnya, Asya sama sekali tidak terusik. Dia tetap terjaga dalam mimpinya.

 

 

Sampai deheman dari depan pintu membuat Dhava menarik tangannya dengan cepat. Ia langsung menoleh dan menemukan Ivan tengah berdiri di ambang pintu dengan ponsel yang tengah mengarah kepadanya.

 

 

“Ngapain lo?” Bisik Dhava yang hanya dibalas gerakan kepala oleh Ivan.

 

 

Dhava yang melihat gerakan itu langsung buru-buru menoleh kembali pada Asya yang tengah menggeliat di sana.

 

 

“Sya..”

 

 

Asya masih menggeliat. Saat matanya terbuka, dia mengernyit lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Dhava sendiri tetap diam sambil menunggu Asya benar-benar tersadar.

 

 

“Dhav? Lo ngapain?”

 

 

“Jemput lo tuh..” Suara Ivan membuat Asya yang masih setengah sadar langsung mengernyit sambil menoleh ke arah sumber suara. Dia perhatikan sosok Ivan yang masih setia mengarahkan ponselnya kepadanya, selama beberapa saat sebelum Asyaa buru-buru menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

 

 

“Sumpah, ini masih pagi. Kenapa pada di sini?” Semburnya setelah seluruh ingatannya kembali.

 

 

Alarm gua aja belum bunyi.” Tambahnya lagi masih di balik selimut.

 

 

“Tau noh si Dhava, dia mau jemput lo pagi-pagi.”

 

 

Dhava hanya bisa menghela lalu mengisyaratkan Ivan untuk pergi dari sana. Ivan yang merasa sudah puas akhirnya pergi meninggalkan kamar Asya.

 

 

“Sorry Sya, si Ivan emang kampret.”

 

 

Asya bergumam tidak jelas sebagai jawabannya.

 

 

“Terus kenapa sepagi ini ada di sini? Bukannya kemarin bilangnya jam 9?”

 

 

“Sengaja, mau minta lo temenin sarapan.”

 

 

“Gua intermittent kalau lo lupa.”

 

 

“Iya gua inget. Makanya gua cuma mau minta lo temenin doang.”

 

 

Dari balik selimut itu Asya menghela. Lalu kain tebal itu perlahan bergerak turun hingga menampilkan setengah dari mukanya.

 

 

“Yaudah gue siap-siap dulu.” Jawab Asya yang diangguki Dhava sebelum akhirnya ia pergi dari sana. Namun sebelum kakinya melangkah pergi, tangannya kembali terangkat ke atas kepala Asya untuk mengacak puncak kepalanya.

 

 

Asya menggunakan waktunya di kamar mandi dengan cukup baik. Dia tidak terburu-buru maupun cepat seperti dikejar setan. Semua itu karena Dhava yang membangunkannya 1 jam lebih cepat dari alarm yang telah diatur. Alhasil dia bisa melakukan rangkaian kegiatannya dengan utuh tanpa harus ada yang terlewat.

 

 

“Kamu udah selesai?” Tanya Nana saat melihat Asya turun.

 

 

“Iya mi.”

 

 

“Yaudah sana temuin Dhava, dia nungguin di depan.”

 

 

Asya mengangguk lalu membawa langkahnya menuju ruang keluarga.

 

 

“Akhirnya yang ditunggu datang juga.” Sambut Ivan yang tengah memegang piring kecil berisi pudding.

 

 

Asya tidak menggubrisnya. Dia langsung beralih pada sofa kosong untuk diduduki.

 

 

“Mau berangkat jam berapa?”

 

 

Dhava melihat jam yang mengikat di tangan kirinya.

 

 

“Sekarang aja. Biar gak buru-buru, kan mau makan dulu.”

 

 

Asya mengangguk. Ia kembali meninggalkan ruang keluarga untuk menemui sang mami. Tak lama dia kembali bersama dengan wanita itu.

 

 

“Hait-hati ya. Dhava, tante titip Asya ya.”

 

 

“Iya tante.”

 

 

“Tenang tan, Dhava bisa dipercaya kok walaupun pernah gagal.” Ivan kembali menyeletuk yang membuat dia hampir mendapatkan hadiah kepalan tangan di atas kepalanya. Beruntung dia menyadari lebih dulu gerakan tangan Dhava jadi kakinya bergerak menjauh lebih cepat.

 

 

“Kalau gitu kita pamit tan.”

 

 

Nana mengangguk. Namun saat Dhava akan berbalik, Nana menahan tangannya.

 

 

“Tante dan mamah mu percaya sama kamu. Jadi jangan ngelakuin sesuatu yang ngancurin kepercayaan kita ya.”

 

 

Dhava mengangguk dengan anggukan pasti. Kemudian ia beralih membantu Asya dengan barangnya.

 

 

“Mi, aku pergi dulu ya.”

 

 

Nana menangguk lalu memeluk dan memberikan kecupan singkat di dahi anaknya.

 

 

“Hati-hati ya, inget jangan jauh-jauh dari Dhava. Kalau mau pergi sendiri bilang sama Dhava.”

 

 

“Iya mi..”

 

 

Asya masuk ke bagian belakang bersama dengan Dhava, setelah ia selesai menyimpan barang bawaan Asya di bagasi. Sedangkan Ivan, ia duduk di samping Nendra yang akan menjadi juru kemudi di pagi hari itu.

 

 

Mengenai kedua teman Dhava ini, Asya sudah mengenal mereka. Ia juga sudah beberapa kali bertemu dengan keduanya baik itu saat di kantor Dhava, di rumah keluarga pria itu atau saat mereka pergi di akhir pekan. Jadi keberadaan keduanya tidak membuat Asya canggung karena interaksi yang sudah pernah terjadi sebelumnya.

 

 

“Sya, gua mau nanya.”

 

 

“Apa?”

 

 

“Lo kok mau nemenin si Dhava ini? Padahal kalau gak salah, lo lagi ngejar target buat ikut acara fashion?”

 

 

Sambil merapikan isi tasnya, Asya menjawab tanpa berpikir panjang.

 

 

“Gua lagi suntuk dan butuh penyegaran. Terus diajakin dan dibayarin, ya gas aja. Untung banget mami setuju.”

 

 

“Bener, gue suka nih gaya lo. Emang kalau rezeki gak boleh ditolak.”

 

 

Asya mengangguk membenarkan ucapan Ivan. Walaupun pria itu sedikit rusuh, tetapi kehadirannya sama sekali tidak mengusik Asya. Malah kadang kehadiran Ivan bisa membantu mencairkan suasana, dan itu sangat menolong Asya.

 

 

Selama perjalanan yang cukup lancar, Asya memutuskan untuk mengoperasikan tabletnya demi mencicil pekerjaannya sendiri. Sementara ketiga pria lainnya sibuk dengan pembicaraan mereka terkait kantor dan juga olahraga. Hingga akhirnya Nendra membawa mobilnya menepi di bagian drop off bandara.

 

 

“Kalian turun duluan aja, gua mau markir di depan.”

 

 

Asya menyampirkan tali tasnya ke pundak sambil membuka pintu. Dhava ikut turun dari mobil sahabatnya dari sisi yang berlawanan, begitu pun dengan Ivan yang ikut turun. Dhava segera menuju bagasi untuk menurunkan barang bawaannya dan Asya dengan bantuan Ivan. Sementara Asya mengambil troli dan Nendra pergi menuju area parkir.

 

 

“Lo pada check-in dulu aja, biar gue yang nunggu Nendra di sini.” Ujar Ivan.

 

 

Dhava dan Asya pun mengikuti ucapan Ivan. Mereka berdua masuk terlebih dulu untuk menyelesaikan urusan keduanya.

 

 

“Selamat pagi, boleh minta paspor dan booking ticket-nya.”

 

 

Dhava dan Asya memberikan semua itu kepada petugas.

 

 

“Apa sudah memesan tiket pulang?”

 

 

“Belum, karena ada urusan yang kondisional jadi tiket pulangnya dipesen belakangan.”

 

 

Pegawai itu mengangguk sambil menginput data dan memprosesnya. Setelah itu dia meminta Dhava untuk mengangkat bagasi mereka satu per satu, dan setelahnya sang petugas baru menyerahkan tiket keduanya.

 

 

“Selamat sampai tujuan.”

 

 

Dhava dan Asya mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Lalu mereka segera menghampiri Ivan dan Nendra yang telah menunggu di sisi kanan.

 

 

“Udah?” Tanya Nendra.

 

 

“Iya.”

 

 

“Yaudah makan yuk, biar nanti gak buru-buru buat boarding-nya.”

 

 

Keempatnya lalu bergegas menuju resto Jepang yang ada di area bandara. Berhubung Asya tidak akan makan hingga jam makan siang, alhasil Asya yang mencari tempat duduk sementara ketiganya mengantri untuk memesan.

 

 

Dhava meletakkan nampan berisi pesanan makannya dan segelas ocha dingin untuk Asya.

 

 

Thanks.”

 

 

Selama ketiga pria itu makan, Asya kembali larut pada tablet dan pekerjaannya. Walaupun ia suntuk, tapi setidaknya dia harus mencicil demi event yang akan dirinya hadiri. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya sebelum batas maksimal yang telah dia dan timnya tetapkan.

 

 

Asya melirik ke arah Dhava yang masih sibuk menyantap ramennya sambil mengobrol dengan sahabatnya. Ia juga melihat gelas minum Dhava yang sudah tandas. Berhubung miliknya juga sudah berkurang tiga perempatnya alhasil tanpa aba-aba Asya berdiri dan membawa kedua gelas itu menuju tempat dimana disediakan ocha untuk isi ulang.

 

 

“Nih..”

 

 

“Makasih Sya..”

 

 

Asya mengangguk lalu kembali duduk di kursi.

 

 

Tak lama, makanan mereka telah habis dan mereka memutuskan untuk segera menuju imigrasi agar bisa masuk ruang tunggu.

 

 

Thanks bro, gua pergi dulu.”

 

 

“Makasih yaa..”

 

 

“Kalau gitu kita balik ya. Hati-hati Dhav, lo bawa anak gadis orang.” Nendra memperingati, semenara Dhava hanya mengangguk.

 

 

Lalu Asya dan Dhava segera masuk untuk melalui tahapan pemeriksaan sebelum benar-benar bisa menunggu di ruang tunggu. Saat mereka keluar dari ruang imigrasi, Asya sempat membantu seorang wanita asing yang tampak kesulitan dengan tas serta kain yang ia bawa.

 

 

Thank you.” Ucap wanita itu.

 

 

Anytime.

 

 

"Hey, weren’t you guys at that Japanese spot earlier?” Tanya wanita itu sambil mengambil tasnya dari tangan Asya.

 

 

Yeah, we were.” Walau ragu Asya tetap menjawabnya

 

 

Oh right, you’re the one who grabbed him a drink. You two look great together.

 

 

Mendengar itu, Asya hanya tersenyum canggung. Namun tanpa dirinya sadari, Dhava yang berada di belakangnya menampilkan senyum kecil tapi disadari oleh wanita itu.

 

 

Taking a little getaway together?

 

 

Ye-ah..

 

 

Ok! Nice, safe travels! Hope you both have an awesome time.

 

 

Wanita itu lalu pergi meninggalkan Asya yang masih menunjukkan senyum canggungnya dan Dhava yang semakin menunjukkan senyumnya.

 

 

Couple, huh?”  Goda Dhava yang berbuah pukulan di otot lengannya.

 

 

“Kalau ketemu stranger ikutin aja alurnya, gak usah jadi orang jujur.” Jawab Asya lalu melangkah cepat meninggalkan Dhava yang malah terkikik melihat reaksinya.

 

 

Dhava yang cukup tertinggal di belakang akhirnya berlari kecil untuk menyamai langkah Asya. Saat sudah sejajar, tanpa bisa dicegah tangannya langsung melingkar dengan kokoh di pinggang wanita itu. Hal itu membuat Asya terkejut yang menyebabkan matanya melotot.

 

 

“Ngapain sih?” Tanya Asya sambil berusaha melepaskan tangan Dhava dari pinggangnya

 

 

“Katanya kalau sama stranger ikutin alurnya aja. Di sini semua stranger jadi gue ikutin alur yang tadi aja.” Jawab Dhava tanpa beban.

 

 

Asya yang sudah berusaha melepaskan dirinya, akhirnya menyerah karena kekuatan Dhava tak sebanding dengannya. Alhasil mereka berjalan beriringan sambil Dhava yang terus merangkul pinggangnya dengan posesif.

 

 

Perjalanan mereka tidak menghabiskan waktu yang begitu lama, tapi karena Asya bangun tidak mengikuti alarm yang telah ia pasang alhasil dia terlelap selama pesawat terbang di udara. Bahkan Dhava harus membangunkan Asya ketika seluruh penumpang sudah mengantri untuk meninggalkan pesawat.

 

 

“Kita check-in dulu baru cari makan siang ya.”  Ujar Dhava yang berada di sampingnya.

 

 

Asya hanya mengangguk dengan kepala yang bersandar pada kursi taksi. Dia masih merasa lelah walaupun sudah terlelap selama perjalanan udara yang dilaluinya. Bahkan ia masih menguap saat turun dari taksi.

 

 

“Kamar kita sampingan. Ini kartu akses kamar lo, ini gue.”

 

 

Lagi, kepalanya hanya mengangguk tapi tangannya bergerak mengambil kartu akses yang diberikan Dhava.

 

 

“Sejam lagi kita keluar buat makan siang. Lo juga harus makan karena udah jamnya.”

 

 

Setelahnya mereka berpisah karena Asya masuk ke dalam kamarnya begitu pun dengan Dhava. Selama waktu yang disebutkan tadi, keduanya gunakan untuk merilekskan tubuh masing-masing setelah perjalanan yang dilalui. Asya tentunya masih berusaha untuk menghilangkan kantuknya dengan mencuci muka dan membuat kopi menggunakan mesin kopi yang telah disediakan.

 

 

Setelah meminum setengah gelas dari kopi tanpa gula dan susu itu, Asya memutuskan untuk mencuci muka agar segar benar-benar ia rasakan. Ia juga menggunakan make up tipis untuk menutupi kantuk yang masih tersisa.

 

 

Tanpa terasa, bell kamarnya berbunyi dan Asya yakin jika itu adalah Dhava. Maka dengan gerakan tercepatnya, ia segera mengambil tas serta memasukkan pewarna bibir yang tadi ia pakai ke dalam tas. Lalu segera membuka pintu kamarnya.

 

 

“Udah siap?”

 

 

“Udah, yuk gue udah laper.”

 

 

Dhava mengangguk dan mempersilahkan Asya untuk jalan di depannya.

 

 

Siang itu, mereka akan mencari tempat makan yang menjadi favourite warga lokal di sana. Mereka juga memutuskan untuk menggunakan transportasi umum karena keduanya menyukai hal itu. Hingga pilihan mereka jatuh pada sebuah kedai lokal dimana seorang wanita tua yang menjadi penjualnya. Menu yang disajikan pun sangat khas dengan daging sapi yang menjadi andalannya.

 

 

Asya dan Dhava memesan hidangan yang menjadi rekomendasi pemilik kedai. Selain karena Asya yang sudah lapar, dia adalah penggemar berat si daging merah itu. Sedangkan Dhava, dia hanya mengikuti pesanan Asya karena dia tidak memiliki ide apa pun.

 

 

“Gue mau ke mini market sebelah dulu ya..”

 

 

“Mau ditemenin?” Tawar Dhava.

 

 

Kepala Asya menggeleng, “Enggak usah, lo cari tempat aja.”

 

Dhava pun mengangguk. Sejenak matanya mengekori kepergian Asya sebelum kembali pada wanita pemilik kedai yang tengah mendata pesanan mereka.

 

 

Are you two newlyweds?

 

 

A-Ah, yes, āyí.”

 

 

I thought so, you two look adorable. Are you here for your honeymoon?

 

 

Dhava mengangguk kecil. Dia mulai mengikuti arah pembicaraan wanita itu tanpa berniat mengoreksinya. Seperti yang Asya bilang, ketika bertemu stranger cukup ikuti saja alurnya tidak perlu mengatakan yang sebenarnya.

 

 

Your wife is beautiful. I'm sure your children will be beautiful too.

 

 

But I want a handsome one, āyí.

 

 

If you want a son, then you need to try harder. You should eat more meat if you want to have a boy.

 

 

Oh, really, āyí?

 

 

Wanita itu mengangguk singkat.

 

 

So, I’ll add more meat for you. I hope your wish comes true soon. But don’t be sad if you end up with a beautiful girl like your wife. After all, God always knows what’s best for you both.

 

 

No need āyí.

 

 

Wanita itu menggerakan tangannya sebagai isyarat bahwa tawarannya tidak boleh ditolak. Dhava pun akhirnya menerima dan mengucapkan terima kasih kepada wanita itu.

 

 

Enjoy your vacation!

 

 

Xièxiè āyí.” Balas Dhava sambil membawa nampan berisi pesanan mereka.

 

 

 

Dia berjalan menuju meja kosong yang berada di luar kedai. Dia meletakkan nampannya di atas meja, lalu menempati kursi yang berada di sisi luar dan membiarkan kursi yang menempel pada dinding untuk Asya. Selang beberapa menit, Asya akhirnya kembali dengan sekotak susu almond yang sudah menjadi kesukaannya.

 

 

“Waahh.. keliatannya enak.”

 

 

“Cepet makan, lo kan belum buka puasa.”

 

 

Asya langsung bergegas menempati kursi yang tersisa dan mulai menyantap makanan pertamanya di hari itu. Tak lama setelah itu, wanita pemilik kedai datang dengan membawakan tambahan daging yang tadi dia katakan. Asya tentu saja bingung, tapi dia tetap menerimanya.

 

 

Xièxiè āyí.” Ucap Asya.

 

 

Namun balasan wanita itu membuat Asya tercekat dan hampir saja menyemburkan air yang baru saja mengalir ke kerongkongannya.

 

 

Wishing you a little one soon!

 

 

Wanita itu langsung meninggalkan keduanya tanpa melihat bagaimana wajah Asya yang terkejut karena ucapannya. Sementara Dhava berusaha mati-matian menahan tawanya.

 

 

“Kalian ngomong apa pas gue ke pergi tadi?”

 

 

Dhava menggeleng tapi senyum puas terukir di wajahnya, membuat Asya menatapnya penuh curiga.

 

 

“Dhav!” Suaranya terdengar memperingati, tapi Dhava tetap mengabaikannya dan malah menyuruh Asya untuk kembali melanjutkan makannya.

 

 

Karena merasa percuma, Asya pun lanjut memakan makanannya walau pandangan penuh curiga masih ia pasang.

 

 

Setelah selesai, keduanya memutuskan untuk kembali ke hotel. Mereka akan beristirahat sejenak sebelum kembali pergi di sore hari untuk melihat pertunjukan cahaya dan beberapa pameran yang sedang diadakan di kota.

 

 

Saat mereka akan meninggalkan kedai, Dhava dengan cepat meraih tangan Asya untuk digenggam. Lagi, Asya terkejut. Dia akan menarik tangannya tapi Dhava malah semakin mengeratkan genggaman itu.

 

 

“Dhav, ngapain sih?” Tanya Asya tapi hanya diberikan jawaban kedikan bahu.

 

 

“Sebelum balik, kita beli popcorn buat ngemil ya. Terus gue juga numpang di kamar lo aja, biar nggak bolak-balik.”

 

 

Asya hanya mengangguk, karena waktu istirahat mereka juga tidak terlalu lama jadi tidak ada salahnya jika Dhava beristirahat di kamarnya. Paling mereka hanya berbaring, Asya di kasur dan Dhava akan ia suruh berbaring di sofa.

 

 

“Bentar, gue mau ke resepsionis dulu, mau minta es batu.”

 

 

Dhava melepaskan tangan yang sudah sejak tadi ia genggam itu. Dia menunggu Asya di dekat lift, dan ketika Asya datang dia langsung menekan tombol yang ada di dekatnya. Mereka berdiri berdampingan dan Dhava akan mempersilahkan Asya untuk jalan mendahuluinya.

 

 

“Gue mau pipis dulu.”

 

 

Asya langsung menutup pintu kamar mandi setelah masuk dan mempersilahkan Dhava untuk beristirahat di kamarnya. Tidak lama ia keluar setelah mencuci tangannya. Asya pun menghampiri Dhava untuk meminta popcorn yang sedang dimakan itu.

 

 

“Lo minta batu es buat apa?”

 

 

“Buat minum susunya, ini nggak dingin.” Jawab Asya sambil menempatkan diri di samping Dhava.

 

 

Mereka duduk berdampingan dengan sebungkus popcorn dan tayangan tv yang cukup untuk memberikan hiburan kepada keduanya. Asya larut pada layar datar di depannya, tapi tidak dengan Dhava. Sejak Asya ikut bergabung dengannya, matanya tidak pernah lepas dari paras Asya. Walaupun hanya sisi samping, tapi Dhava tidak bisa mengalihkan atensinya. Wajah Asya begitu candu hingga rasanya sulit sekali untuk tidak menatapnya.

 

 

“Sya..”

 

 

Asya menoleh. Namun pergerakan Dhava yang cepat membuat Asya seketika seperti kehilangan kemampuan berpikir apa lagi ketika bibirnya bertemu dengan milik Dhava. Dia hanya terdiam kaku dan mata tak berkedip.

 

 

Sementara Dhava, yang secara sadar mempertemukan bibir mereka, memejamkan matanya. Tidak ada pergerakan, hanya saling menempel tapi tetap membuat Dhava berdebar dan tentu saja menikmati waktu yang terasa bergerak lumayan melambat. Namun ia mengutuk siapa pun yang baru saja memencat bell dan membuat kepala Asya bergerak mundur hingga bibir mereka tidak lagi menempel.

 

 

“Tolong bukain pintunya.”

 

 

Asya berlari menuju kamar mandi dan menguncinya. Sementara Dhava, walaupun sedikit kesal tapi bibirnya malah membentuk lengkungan. Dia bahkan membuka pintu dengan senyum itu walau rasa kesal kepada pelaku penekan bell masih dirasakan.

 

 

Thank you.” Ucapnya sambil menutup kembali pintu kamar setelah mengambil bucket berisi es yang tadi diminta Asya.

 

 

“Sya, ini esnya udah dateng.”

 

 

“I-Iya, tolong taro di lemari es aja.” Balas Asya. Terdengar gemetar tetapi membuat senyum Dhava terbentuk lebar.

 

 

“Lama banget Sya?”

 

 

Dhava sudah kembali menempati sofa di kamar itu. Dia juga sudah kembali bersantai tapi senyumnya masih setia membingkai bibirnya.

 

 

“Sya..” Panggil Dhava untuk kesekian kali karena tidak mendapatkan jawaban dari pemilik nama.

 

 

“Asya..”

 

 

“Bentar Dhav!”

 

 

Dhava tertawa kecil mendengar bagaimana paniknya suara Asya. Sebenarnya saat Asya berlari tadi, ia melihat bagaimana wajah Asya bersemu merah. Melihatnya membuat Dhava merasa puas. Setidaknya rasa yakin  –akan perasaan yang lebih dari pada teman masa kecil tidak hanya ia yang merasakan– semakin bertambah.

 

 

“Syaa..”

 

 

Tidak ada balasan sampai membuat Dhava bangkit untuk mendekati kamar mandi.

 

 

“Sya!”

 

 

“Dhav, gue mau keluar tapi lo gak boleh ketawa.”

 

 

Dhava bingung tapi tetap diiyakan.

 

 

“Kenapa?” Tanya Dhava khawatir saat pintu terbuka dan Asya mengintip dari baliknya.

 

 

“Dhav, muka gue merah.” Jawaban Asya membuat Dhava hampir terbahak andai saja dia tidak ingat janjinya tadi.

 

 

“Mana? Enggak ah, biasa aja.”

 

 

Asya mengernyit tidak suka. “Apanya yang biasa aja, orang beneran merah.” Sungutnya tidak suka.

 

 

“Kenapa bisa merah?”

 

 

Karena kesal, Asya keluar dari balik pintu dengan kaki yang menghentak. Dia melewati Dhava sambil sedikit mendorong tubuh jangkung itu. Di belakang, Dhava mengikuti Asya masih dengan tawa yang berusaha dibendung.

 

 

“Kenapa lo nyium gue?”

 

 

Dhava agak tersentak mendengar pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bilah bibir Asya. Ia pikir Asya tidak akan seberani dan se-to the point itu apalagi setelah melihat reaksinya tadi.

 

 

Dhava mengambil tangan Asya untuk menuntunnya kembali ke sofa. Mereka kembali duduk seperti sebelumnya, tapi kali ini saling berhadapan.

 

 

Sorry, kalau misalnya tindakan gue buat lo gak nyaman atau gak suka. Tapi Sya, gue sengaja dan gue jujur soal itu.”

 

 

“Kenapa?”

 

 

“Karena gue mau mastiin sesuatu.”

 

 

“Maksudnya?”

 

 

Dhava terlihat menarik napas, lalu tatapannya berubah serius.

 

 

“Lo tau kan kalau gua pernah gagal karena mantan istri gue selingkuh. Sejak saat itu gue jadi trust issue, tapi pas kita ketemu dan jadi deket lagi entah kenapa gue ngerasain sesuatu yang gue pikir sulit buat dirasain lagi.” Ia menjeda untuk meneliti reaksi Asya dari wajahnya.

 

 

“Gue mau mastiin kalau gue beneran ngrasain itu atau cuma euforia sesaat.”

 

 

“Terus jawabannya apa?”

 

 

“Bukan euforia Sya. Jantung gue beneran deg-degan banget. Bahkan dari hal-hal kecil yang lo lakuin, jantung gue juga bereaksi sama.”

 

 

“Ini lo beneran ngerasa kayak gitu? Bukan karena kebetulan ada gue jadi kekosongan lo keisi, maksudnya kayak pelampiasan gitu?”

 

 

Dhava menggeleng. Tanpa aba-aba dia mengambil tangan Asya untuk diletakkan di dada kirinya.

 

 

“Lo ngerasa kan Sya gimana kencengnya?”

 

 

Asya diam sambil merasakan debaran hebat itu. Jujur saja debaran sekencang itu baru pertama kali Asya rasakan. Bahkan dirinya sendiri tidak pernah mengalami yang sekencang itu.

 

 

“Dhav..”

 

 

Asya menarik tangannya sambil mengangkat kepala. Kedua mata mereka saling bertemu dan terkunci. Mereka mencoba masuk dan mengerti arti tatapan yang kini sedang tertuju kepada mereka.

 

 

“Boleh nggak gue ngetes juga?”

 

 

Dhava masih mencoba mengerti tapi Asya telah lebih dulu memangkas jarak mereka dan kembali mempertemukan bibir keduanya. Tidak berbeda dengan sebelumnya, mereka hanya saling menempel tanpa ada yang bergerak. Sampai Asya sendiri yang membuat jarak dan kepalanya langsung bersandar di pundak Dhava.

 

 

“Dhav, gue degdegan juga. Gimana nih??” Adu Asya yang membuat Dhava tersentak selama beberapa detik yang ganjil sebelum akhirnya bibirnya membentuk lengkungan sempurna.

 

 

“Gi-Gimana Sya???”

 

 

Asya mengangkat kepalanya, dan saat melihat itu Dhava menemukan seberapa merah wajah wanita itu. Tatapannya terlihat bingung. Sesuatu yang tidak pernah Dhava lihat dari sosok Asya.

 

 

“Dhav, gue takut. Jantung gue debarannya gak kalah kenceng kayak lo.”

 

 

“Sya, lo tau kan kenapa jantung lo kayak gitu?”

 

 

Asya hanya mengangguk lemah.

 

 

“Tapi gue takut Dhav. Gue takut ini euforia sesaat doang.”

 

 

Jawaban Asya tidak melunturkan senyum yang sudah menghiasi wajah Dhava. Malahan senyum itu semakin terlihat angkuh menghiasi wajah kokohnya.

 

 

“Pelan-pelan aja Sya. Kita coba untuk mulai dari 0, gak usah buru-buru yaa.”

 

 

Lagi-lagi Asya hanya mengangguk lemah. Hal itu malah membuat Asya terlihat seperti anak kecil yang kehilangan induk, dan membuatnya terlihat semakin lucu dimata Dhava.

 

 

Dhava yang larut dengan wajah Asya bergerak membingkainya dengan kedua tangan. Lalu perlahan kembali mendekatkan wajahnya hingga jarak mereka beneran mengikis dan bibir mereka kembali bertemu. Pelan dan perlahan tapi kali ini dengan sebuah gerakan. Tidak menuntut tapi cukup membuat Asya terkejut hingga tanpa sadar tangannya mencengkram pundak bidangnya.

 

 

Lama Dhava membiarkan ritme itu terjadi, sampai tiba-tiba saja dia sedikit mengangkat Asya ke atas pangkuannya. Tangan yang semula memegangi wajah beralih menekan tengkuk serta memegangi pinggang agar wanita itu tidak terjatuh. Ia juga semakin memperdalam ciumannya yang membuat Asya semakin kencang saja mencengkram pundaknya. Tidak sakit, tetapi mampu membuat keinginan untuk memperdalam ciuman mereka semakin besar.

 

 

Dhava berhenti saat pundaknya dipukul oleh Asya. Ia tahu jika wanita yang tanpa sadar telah mengalungkan tangan di lehernya itu telah kehabisan napas. Karena itu dia memutuskan berhenti sebelum Asya benar-benar kehabisan napas. Dia melihat wajah Asya yang masih memerah, atau mungkin semakin memerah. Dhava suka itu, dan mungkin akan menjadi candu baginya untuk melihat wajah memerah Asya.

 

 

Ciuman mereka memang berakhir. Namun tidak dengan kisah keduanya. Bibir yang tidak lagi bertaut itu menjadi penanda awal dari hubungan mereka yang lebih dekat dan lebih serius di masa depan. Tidak ada yang mudah, tapi tidak juga bisa ditolak bagaimana keduanya saling terikat satu dengan yang lain.

 

 

Mungkin Dhava memang gagal menjaga rumah tangganya, tetapi dia akan berusaha menjadi lebih baik lagi agar tidak ada pengulangan dari kisah sedih dan menyakitkan itu. Begitu pun dengan Asya, semua yang tengah ia lalui adalah hal baru baginya. Sebuah hubungan serius antara seorang pria dan wanita, yang baru pertama kali terjadi dalam hidupnya. Semua perlakuan manis dan romantis yang baru pertama kali dirinya rasakan.

 

 

Jika boleh jujur, hubungan yang tengah terjalin ini tidak pernah ada dalam rencana Asya. Sejak awal dia hanya berniat membantu mami dan sahabatnya untuk menghibur Dhava secara diam-diam. Namun Tuhan punya rencana lain. Melalui permintaan sang mami untuk menemani Dhava, Tuhan malah membuat Dhava sembuh serta menghadirkan sosok sempurna seperti Dhava di hidupnya.



E . N . D



Happy Anniversary GIGSENT!!!!

Selamat bertambah usia, dan selamat sudah bertahan sejauh ini.

Tetep jadi tempat untuk kita semua seneng-seneng dan semoga kalian yang masih mampir, masih tetep bisa menikmati dan bermain di sini.

Hari ini untuk memeriahkan bertambahnya usia blog kita tercintah, aku akan menyiapkan kado untuk kalian semua. Semoga suka yaaa...

See youu semuaaaa :)



- DF -

Comments

Popular Posts