Checklist to Your Heart: 101 Tries (Dhava & Asya)
.
.
.
Dhiajeng Kasyaia adalah anak
bungsu yang lahir dan besar bersama kedua orang tua dan kayak laki-lakinya.
Asya, adalah nama yang kerap orang terdekatnya sebut saat memanggilnya. Singkat
saja, Asya kini sudah menginjak usia 25 tahun dan sedang fokus mengembangkan
butiknya yang baru berusia 2 tahun. Kesehariannya, sudah pasti berputar pada
butik dan rumah. Namun semua itu tidak menjadi masalah karena terkadang dia
akan menghabiskan akhir pekannya bersama teman-teman atau keluarganya, baik itu
pergi makan siang atau ke café untuk menikmati segelas kopi dan sepiring cake.
Namun berbeda dengan akhir
pekannya kali ini, sang mami tiba-tiba saja membangunkan dan meminta Asya untuk
menemani wanita cantik itu bertemu dengan teman lamanya. Asya yang memang tidak
mempunyai rencana lain selain beristirahat akhirnya mengiyakan ajakan tersebut.
Maka disanalah ia kini, sebuah resto keluarga yang cukup mewah. Duduk di
samping sang mami yang tengah mengobrol dengan temannya sambil menikmati
segelas jus yang tadi ia pesan.
“Mah..” Suara berat yang baru
saja ia dengar membuat Asya mengangkat kepalanya yang sejak tadi sedikit
menunduk menghadap layer tabletnya.
“Oh kamu udah sampe, sini duduk
Dhav.”
Asya masih mengamati sosok
tersebut sampai mereka telah duduk berhadapan.
“Kamu inget gak Sya, ini Dhava
anaknya Tante Risa? Dulu kalian sering banget main bareng kalau mami sama Tante
Risa ketemuan.”
Pertanyaan dari sang mami membuat
Asya diam sambil mencoba untuk mengingat kejadian masa kecilnya. Jujur saja,
rasanya agak sulit karena Asya bukan orang yang mudah mengingat hal yang sudah
lama lewat. Lebih mudahnya, sebut saja Asya adalah sosok pelupa. Tidak terlalu
buruk, tapi cukup membuat dia malas ketika harus dipaksa mengingat kejadian
yang sudah lewat.
“Hi..” Bariton berat itu menyadarkan Asya dari keterdiamannya.
“Dhava..” Sambungnya lagi sambil
mengulurkan tangan ke hadapan Asya.
“Oh.. sorry. Gua Asya.” Balas
Asya dengan menjabat tangan besar di depannya.
“Maaf ya Dhav, Asya pasti lupa.
Dia emang gitu, sama barang yang baru dia taro beberapa menit lalu aja bisa
lupa. Apalagi sama kamu yang udah lama gak ketemu.” Seru maminya yang membuat
Asya melirik jengkel.
“Mi..” Bisik Asya yang membuat
maminya tertawa kecil.
“Duh.. kenapa jadi canggung gini.
Padahal dulu kalian kayak perangko tau, nempel mulu. Kemana-mana gandengan,
sampe udah mau pulang Asya malah nangis karena nggak mau pisah terus kamunya
meluk Asya sampe berhenti nangis. Kenapa sekarang malah kayak orang gak kenal
gini sih.” Risa menambahi, membuat Asya dan Dhava bertukar pandang sebentar
sebelum kembali membuang pandangan karena canggung itu semakin menguasai diri.
Melihat tingkah Asya dan Dhava,
baik Nana dan Risa sama-sama tersenyum lalu tertawa kecil. Ya, kedua wanita itu
tampak senang melihat kecanggungan yang terjadi antara anak-anak mereka.
Terutama Risa, dia cukup puas melihat sang anak berhasil tersipu setelah waktu
berat yang dirinya lalui.
Pertemuan singkat antara Asya dan
Dhava itu tidak hanya menjadi pertemuan terakhir. Karena nyatanya pertemuan
singkat itu berhasil membawa mereka pada pertemuan lainnya yang membuat mereka
semakin dekat. Dimulai dari pertemuan-pertemuan akibat kedua ibu mereka, sampai
pertemuan yang mereka ranacng sendiri.
“Pagi tante.” Sapa Dhava saat
pintu terbuka dan Nana berdiri di baliknya.
“Dhava, kamu udah sampe. Loh,
rame banget. Ayo masuk, masuk.”
“Makasih tan.”
Mereka akhirnya masuk, sedangkan
Nana pergi menuju dapur. Tak lama, dia kembali bersama asisten rumah tangga
yang membantunya membawa minuman dan hidangan ringan.
“Oh iya tan, kenalin ini Ivan dan
Nendra. Mereka temen aku, kebetulan semalem mereka di rumah jadi pagi ini
sekalian pulang mereka mau nganterin.”
“Salam kenal tante..”
Nana menyalami keduanya. Lalu ia
mempersilahkan mereka untuk mencicipi hidangan yang telah ditata di atas meja.
“Kalian pagi banget datengnya,
bukannya flight-nya jam 12 nanti. Itu
si Asya aja masih tidur.”
“Sengaja itu tan, si Dhava emang
mau buru-buru ketemu anak tante. Katanya kangen.” Jawab Ivan yang dihadiahi
pukulan oleh Dhava.
Melihat itu, Nana hanya tertawa.
Entah benar atau tidak, dia tidak mempermasalahkan alasan anak sahabatnya itu
dating sepagi ini ke rumahnya.
“Yaudah kalau gitu kamu bangunin
aja di kamarnya.”
“Tante ngasih izin si duda ini ke
kamar Asya?” Celetukan Ivan kembali dihadiahi pukulan di pahanya.
“Diem lo!” Peringat Dhava yang
hanya direspon tawa sambil menahan sakit oleh Ivan.
“Udah udah. Sana Dhav kalau mau
bangunin anaknya. Masih inget kamarnya dimana kan?”
Dhava mengangguk. “Masih tan.
Pintunya yang ada garis biru di samping kamar Bang Dirga kan?”
Nana mengangguk. Lalu dia
mempersilahkan Dhava untuk pergi ke kamar anaknya. Mungkin terdengar kurang
bijak karena membiarkan laki-laki dewasa mendatangi anak perempuan di kamarnya.
Namun jika boleh jujur, entah mengapa Nana sudah begitu percaya pada Dhava
sekali pun gelar duda yang sudah tersemat pada namanya.
Dhava membuka pintu yang dimaksud
dengan perlahan. Dia tidak ingin membangunkan sang pemilik kamar karena
pergerakannya yang begitu kasar. Dia ingin membangunkan Asya secara perlahan
agar perempuan itu tidak terkejut atas keberadaannya.
Langkah pelan dan hati-hati
membawa Dhava menuju sisi ranjang dimana tubuh Asya menghadap. Bokongnya
mendarat di sisi kosong, masih dengan perlahan. Dalam diamnya ia memperhatikan
wajah terlelap Asya dengan tenang. Wajah perempuan itu terlihat begitu nyaman
dalam lelapnya. Bahkan Ketika Dhava mengangkat tangan untuk menyingkirkan
helaian rambut yang menutupi wajahnya, Asya sama sekali tidak terusik. Dia
tetap terjaga dalam mimpinya.
Sampai deheman dari depan pintu
membuat Dhava menarik tangannya dengan cepat. Ia langsung menoleh dan menemukan
Ivan tengah berdiri di ambang pintu dengan ponsel yang tengah mengarah
kepadanya.
“Ngapain lo?” Bisik Dhava yang
hanya dibalas gerakan kepala oleh Ivan.
Dhava yang melihat gerakan itu
langsung buru-buru menoleh kembali pada Asya yang tengah menggeliat di sana.
“Sya..”
Asya masih menggeliat. Saat
matanya terbuka, dia mengernyit lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh
ruangan. Dhava sendiri tetap diam sambil menunggu Asya benar-benar tersadar.
“Dhav? Lo ngapain?”
“Jemput lo tuh..” Suara Ivan
membuat Asya yang masih setengah sadar langsung mengernyit sambil menoleh ke
arah sumber suara. Dia perhatikan sosok Ivan yang masih setia mengarahkan
ponselnya kepadanya, selama beberapa saat sebelum Asyaa buru-buru menutupi seluruh
tubuhnya dengan selimut.
“Sumpah, ini masih pagi. Kenapa
pada di sini?” Semburnya setelah seluruh ingatannya kembali.
“Alarm gua aja belum bunyi.” Tambahnya lagi masih di balik selimut.
“Tau noh si Dhava, dia mau jemput
lo pagi-pagi.”
Dhava hanya bisa menghela lalu
mengisyaratkan Ivan untuk pergi dari sana. Ivan yang merasa sudah puas akhirnya
pergi meninggalkan kamar Asya.
“Sorry Sya, si Ivan emang
kampret.”
Asya bergumam tidak jelas sebagai
jawabannya.
“Terus kenapa sepagi ini ada di
sini? Bukannya kemarin bilangnya jam 9?”
“Sengaja, mau minta lo temenin
sarapan.”
“Gua intermittent kalau lo lupa.”
“Iya gua inget. Makanya gua cuma
mau minta lo temenin doang.”
Dari balik selimut itu Asya
menghela. Lalu kain tebal itu perlahan bergerak turun hingga menampilkan
setengah dari mukanya.
“Yaudah gue siap-siap dulu.”
Jawab Asya yang diangguki Dhava sebelum akhirnya ia pergi dari sana. Namun
sebelum kakinya melangkah pergi, tangannya kembali terangkat ke atas kepala
Asya untuk mengacak puncak kepalanya.
Asya menggunakan waktunya di
kamar mandi dengan cukup baik. Dia tidak terburu-buru maupun cepat seperti
dikejar setan. Semua itu karena Dhava yang membangunkannya 1 jam lebih cepat
dari alarm yang telah diatur. Alhasil
dia bisa melakukan rangkaian kegiatannya dengan utuh tanpa harus ada yang
terlewat.
“Kamu udah selesai?” Tanya Nana
saat melihat Asya turun.
“Iya mi.”
“Yaudah sana temuin Dhava, dia
nungguin di depan.”
Asya mengangguk lalu membawa
langkahnya menuju ruang keluarga.
“Akhirnya yang ditunggu datang
juga.” Sambut Ivan yang tengah memegang piring kecil berisi pudding.
Asya tidak menggubrisnya. Dia
langsung beralih pada sofa kosong untuk diduduki.
“Mau berangkat jam berapa?”
Dhava melihat jam yang mengikat
di tangan kirinya.
“Sekarang aja. Biar gak
buru-buru, kan mau makan dulu.”
Asya mengangguk. Ia kembali meninggalkan
ruang keluarga untuk menemui sang mami. Tak lama dia kembali bersama dengan
wanita itu.
“Hait-hati ya. Dhava, tante titip
Asya ya.”
“Iya tante.”
“Tenang tan, Dhava bisa dipercaya
kok walaupun pernah gagal.” Ivan kembali menyeletuk yang membuat dia hampir
mendapatkan hadiah kepalan tangan di atas kepalanya. Beruntung dia menyadari
lebih dulu gerakan tangan Dhava jadi kakinya bergerak menjauh lebih cepat.
“Kalau gitu kita pamit tan.”
Nana mengangguk. Namun saat Dhava
akan berbalik, Nana menahan tangannya.
“Tante dan mamah mu percaya sama
kamu. Jadi jangan ngelakuin sesuatu yang ngancurin kepercayaan kita ya.”
Dhava mengangguk dengan anggukan
pasti. Kemudian ia beralih membantu Asya dengan barangnya.
“Mi, aku pergi dulu ya.”
Nana menangguk lalu memeluk dan
memberikan kecupan singkat di dahi anaknya.
“Hati-hati ya, inget jangan
jauh-jauh dari Dhava. Kalau mau pergi sendiri bilang sama Dhava.”
“Iya mi..”
Asya masuk ke bagian belakang
bersama dengan Dhava, setelah ia selesai menyimpan barang bawaan Asya di
bagasi. Sedangkan Ivan, ia duduk di samping Nendra yang akan menjadi juru
kemudi di pagi hari itu.
Mengenai kedua teman Dhava ini,
Asya sudah mengenal mereka. Ia juga sudah beberapa kali bertemu dengan keduanya
baik itu saat di kantor Dhava, di rumah keluarga pria itu atau saat mereka
pergi di akhir pekan. Jadi keberadaan keduanya tidak membuat Asya canggung
karena interaksi yang sudah pernah terjadi sebelumnya.
“Sya, gua mau nanya.”
“Apa?”
“Lo kok mau nemenin si Dhava ini?
Padahal kalau gak salah, lo lagi ngejar target buat ikut acara fashion?”
Sambil merapikan isi tasnya, Asya
menjawab tanpa berpikir panjang.
“Gua lagi suntuk dan butuh
penyegaran. Terus diajakin dan dibayarin, ya gas aja. Untung banget mami
setuju.”
“Bener, gue suka nih gaya lo.
Emang kalau rezeki gak boleh ditolak.”
Asya mengangguk membenarkan
ucapan Ivan. Walaupun pria itu sedikit rusuh, tetapi kehadirannya sama sekali
tidak mengusik Asya. Malah kadang kehadiran Ivan bisa membantu mencairkan
suasana, dan itu sangat menolong Asya.
Selama perjalanan yang cukup
lancar, Asya memutuskan untuk mengoperasikan tabletnya demi mencicil
pekerjaannya sendiri. Sementara ketiga pria lainnya sibuk dengan pembicaraan
mereka terkait kantor dan juga olahraga. Hingga akhirnya Nendra membawa
mobilnya menepi di bagian drop off
bandara.
“Kalian turun duluan aja, gua mau
markir di depan.”
Asya menyampirkan tali tasnya ke
pundak sambil membuka pintu. Dhava ikut turun dari mobil sahabatnya dari sisi
yang berlawanan, begitu pun dengan Ivan yang ikut turun. Dhava segera menuju
bagasi untuk menurunkan barang bawaannya dan Asya dengan bantuan Ivan.
Sementara Asya mengambil troli dan Nendra pergi menuju area parkir.
“Lo pada check-in dulu aja, biar
gue yang nunggu Nendra di sini.” Ujar Ivan.
Dhava dan Asya pun mengikuti
ucapan Ivan. Mereka berdua masuk terlebih dulu untuk menyelesaikan urusan
keduanya.
“Selamat pagi, boleh minta paspor
dan booking ticket-nya.”
Dhava dan Asya memberikan semua
itu kepada petugas.
“Apa sudah memesan tiket pulang?”
“Belum, karena ada urusan yang
kondisional jadi tiket pulangnya dipesen belakangan.”
Pegawai itu mengangguk sambil
menginput data dan memprosesnya. Setelah itu dia meminta Dhava untuk mengangkat
bagasi mereka satu per satu, dan setelahnya sang petugas baru menyerahkan tiket
keduanya.
“Selamat sampai tujuan.”
Dhava dan Asya mengangguk sambil
mengucapkan terima kasih. Lalu mereka segera menghampiri Ivan dan Nendra yang
telah menunggu di sisi kanan.
“Udah?” Tanya Nendra.
“Iya.”
“Yaudah makan yuk, biar nanti gak
buru-buru buat boarding-nya.”
Keempatnya lalu bergegas menuju
resto Jepang yang ada di area bandara. Berhubung Asya tidak akan makan hingga
jam makan siang, alhasil Asya yang mencari tempat duduk sementara ketiganya
mengantri untuk memesan.
Dhava meletakkan nampan berisi
pesanan makannya dan segelas ocha dingin untuk Asya.
“Thanks.”
Selama ketiga pria itu makan,
Asya kembali larut pada tablet dan pekerjaannya. Walaupun ia suntuk, tapi
setidaknya dia harus mencicil demi event
yang akan dirinya hadiri. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya sebelum batas
maksimal yang telah dia dan timnya tetapkan.
Asya melirik ke arah Dhava yang
masih sibuk menyantap ramennya sambil mengobrol dengan sahabatnya. Ia juga
melihat gelas minum Dhava yang sudah tandas. Berhubung miliknya juga sudah
berkurang tiga perempatnya alhasil tanpa aba-aba Asya berdiri dan membawa kedua
gelas itu menuju tempat dimana disediakan ocha untuk isi ulang.
“Nih..”
“Makasih Sya..”
Asya mengangguk lalu kembali
duduk di kursi.
Tak lama, makanan mereka telah
habis dan mereka memutuskan untuk segera menuju imigrasi agar bisa masuk ruang
tunggu.
“Thanks bro, gua pergi dulu.”
“Makasih yaa..”
“Kalau gitu kita balik ya.
Hati-hati Dhav, lo bawa anak gadis orang.” Nendra memperingati, semenara Dhava
hanya mengangguk.
Lalu Asya dan Dhava segera masuk
untuk melalui tahapan pemeriksaan sebelum benar-benar bisa menunggu di ruang
tunggu. Saat mereka keluar dari ruang imigrasi, Asya sempat membantu seorang
wanita asing yang tampak kesulitan dengan tas serta kain yang ia bawa.
“Thank you.” Ucap wanita itu.
“Anytime.”
"Hey, weren’t you guys at that Japanese spot earlier?” Tanya wanita
itu sambil mengambil tasnya dari tangan Asya.
“Yeah, we were.” Walau ragu Asya tetap menjawabnya
“Oh right, you’re the one who grabbed him a drink. You two look great
together.”
Mendengar itu, Asya hanya
tersenyum canggung. Namun tanpa dirinya sadari, Dhava yang berada di
belakangnya menampilkan senyum kecil tapi disadari oleh wanita itu.
“Taking a little getaway together?”
“Ye-ah..”
“Ok! Nice, safe travels! Hope you both have an awesome time.”
Wanita itu lalu pergi
meninggalkan Asya yang masih menunjukkan senyum canggungnya dan Dhava yang
semakin menunjukkan senyumnya.
“Couple, huh?” Goda Dhava
yang berbuah pukulan di otot lengannya.
“Kalau ketemu stranger ikutin aja alurnya, gak usah
jadi orang jujur.” Jawab Asya lalu melangkah cepat meninggalkan Dhava yang
malah terkikik melihat reaksinya.
Dhava yang cukup tertinggal di
belakang akhirnya berlari kecil untuk menyamai langkah Asya. Saat sudah
sejajar, tanpa bisa dicegah tangannya langsung melingkar dengan kokoh di
pinggang wanita itu. Hal itu membuat Asya terkejut yang menyebabkan matanya
melotot.
“Ngapain sih?” Tanya Asya sambil
berusaha melepaskan tangan Dhava dari pinggangnya
“Katanya kalau sama stranger ikutin alurnya aja. Di sini
semua stranger jadi gue ikutin alur
yang tadi aja.” Jawab Dhava tanpa beban.
Asya yang sudah berusaha
melepaskan dirinya, akhirnya menyerah karena kekuatan Dhava tak sebanding
dengannya. Alhasil mereka berjalan beriringan sambil Dhava yang terus merangkul
pinggangnya dengan posesif.
Perjalanan mereka tidak
menghabiskan waktu yang begitu lama, tapi karena Asya bangun tidak mengikuti alarm yang telah ia pasang alhasil dia
terlelap selama pesawat terbang di udara. Bahkan Dhava harus membangunkan Asya
ketika seluruh penumpang sudah mengantri untuk meninggalkan pesawat.
“Kita check-in dulu baru cari
makan siang ya.” Ujar Dhava yang berada
di sampingnya.
Asya hanya mengangguk dengan
kepala yang bersandar pada kursi taksi. Dia masih merasa lelah walaupun sudah
terlelap selama perjalanan udara yang dilaluinya. Bahkan ia masih menguap saat
turun dari taksi.
“Kamar kita sampingan. Ini kartu
akses kamar lo, ini gue.”
Lagi, kepalanya hanya mengangguk
tapi tangannya bergerak mengambil kartu akses yang diberikan Dhava.
“Sejam lagi kita keluar buat
makan siang. Lo juga harus makan karena udah jamnya.”
Setelahnya mereka berpisah karena
Asya masuk ke dalam kamarnya begitu pun dengan Dhava. Selama waktu yang
disebutkan tadi, keduanya gunakan untuk merilekskan tubuh masing-masing setelah
perjalanan yang dilalui. Asya tentunya masih berusaha untuk menghilangkan
kantuknya dengan mencuci muka dan membuat kopi menggunakan mesin kopi yang
telah disediakan.
Setelah meminum setengah gelas
dari kopi tanpa gula dan susu itu, Asya memutuskan untuk mencuci muka agar
segar benar-benar ia rasakan. Ia juga menggunakan make up tipis untuk menutupi kantuk yang masih tersisa.
Tanpa terasa, bell kamarnya berbunyi dan Asya yakin
jika itu adalah Dhava. Maka dengan gerakan tercepatnya, ia segera mengambil tas
serta memasukkan pewarna bibir yang tadi ia pakai ke dalam tas. Lalu segera
membuka pintu kamarnya.
“Udah siap?”
“Udah, yuk gue udah laper.”
Dhava mengangguk dan
mempersilahkan Asya untuk jalan di depannya.
Siang itu, mereka akan mencari
tempat makan yang menjadi favourite
warga lokal di sana. Mereka juga memutuskan untuk menggunakan transportasi umum
karena keduanya menyukai hal itu. Hingga pilihan mereka jatuh pada sebuah kedai
lokal dimana seorang wanita tua yang menjadi penjualnya. Menu yang disajikan
pun sangat khas dengan daging sapi yang menjadi andalannya.
Asya dan Dhava memesan hidangan
yang menjadi rekomendasi pemilik kedai. Selain karena Asya yang sudah lapar,
dia adalah penggemar berat si daging merah itu. Sedangkan Dhava, dia hanya
mengikuti pesanan Asya karena dia tidak memiliki ide apa pun.
“Gue mau ke mini market sebelah
dulu ya..”
“Mau ditemenin?” Tawar Dhava.
Kepala Asya menggeleng, “Enggak
usah, lo cari tempat aja.”
Dhava pun mengangguk. Sejenak
matanya mengekori kepergian Asya sebelum kembali pada wanita pemilik kedai yang
tengah mendata pesanan mereka.
“Are you two newlyweds?”
“A-Ah, yes, āyí.”
“I thought so, you two look adorable. Are you here for your honeymoon?”
Dhava mengangguk kecil. Dia mulai
mengikuti arah pembicaraan wanita itu tanpa berniat mengoreksinya. Seperti yang
Asya bilang, ketika bertemu stranger
cukup ikuti saja alurnya tidak perlu mengatakan yang sebenarnya.
“Your wife is beautiful. I'm sure your children will be beautiful too.”
“But I want a handsome one, āyí.”
“If you want a son, then you need to try harder. You should eat more
meat if you want to have a boy.”
“Oh, really, āyí?”
Wanita itu mengangguk singkat.
“So, I’ll add more meat for you. I hope your wish comes true soon. But
don’t be sad if you end up with a beautiful girl like your wife. After all, God
always knows what’s best for you both.”
“No need āyí.”
Wanita itu menggerakan tangannya
sebagai isyarat bahwa tawarannya tidak boleh ditolak. Dhava pun akhirnya
menerima dan mengucapkan terima kasih kepada wanita itu.
“Enjoy your vacation!”
“Xièxiè āyí.” Balas Dhava sambil membawa nampan berisi pesanan mereka.
Dia berjalan menuju meja kosong
yang berada di luar kedai. Dia meletakkan nampannya di atas meja, lalu
menempati kursi yang berada di sisi luar dan membiarkan kursi yang menempel
pada dinding untuk Asya. Selang beberapa menit, Asya akhirnya kembali dengan
sekotak susu almond yang sudah menjadi kesukaannya.
“Waahh.. keliatannya enak.”
“Cepet makan, lo kan belum buka
puasa.”
Asya langsung bergegas menempati
kursi yang tersisa dan mulai menyantap makanan pertamanya di hari itu. Tak lama
setelah itu, wanita pemilik kedai datang dengan membawakan tambahan daging yang
tadi dia katakan. Asya tentu saja bingung, tapi dia tetap menerimanya.
“Xièxiè āyí.” Ucap Asya.
Namun balasan wanita itu membuat
Asya tercekat dan hampir saja menyemburkan air yang baru saja mengalir ke
kerongkongannya.
“Wishing you a little one soon!”
Wanita itu langsung meninggalkan
keduanya tanpa melihat bagaimana wajah Asya yang terkejut karena ucapannya.
Sementara Dhava berusaha mati-matian menahan tawanya.
“Kalian ngomong apa pas gue ke
pergi tadi?”
Dhava menggeleng tapi senyum puas
terukir di wajahnya, membuat Asya menatapnya penuh curiga.
“Dhav!” Suaranya terdengar
memperingati, tapi Dhava tetap mengabaikannya dan malah menyuruh Asya untuk
kembali melanjutkan makannya.
Karena merasa percuma, Asya pun
lanjut memakan makanannya walau pandangan penuh curiga masih ia pasang.
Setelah selesai, keduanya
memutuskan untuk kembali ke hotel. Mereka akan beristirahat sejenak sebelum
kembali pergi di sore hari untuk melihat pertunjukan cahaya dan beberapa
pameran yang sedang diadakan di kota.
Saat mereka akan meninggalkan
kedai, Dhava dengan cepat meraih tangan Asya untuk digenggam. Lagi, Asya
terkejut. Dia akan menarik tangannya tapi Dhava malah semakin mengeratkan
genggaman itu.
“Dhav, ngapain sih?” Tanya Asya
tapi hanya diberikan jawaban kedikan bahu.
“Sebelum balik, kita beli popcorn buat ngemil ya. Terus gue juga
numpang di kamar lo aja, biar nggak bolak-balik.”
Asya hanya mengangguk, karena
waktu istirahat mereka juga tidak terlalu lama jadi tidak ada salahnya jika
Dhava beristirahat di kamarnya. Paling mereka hanya berbaring, Asya di kasur
dan Dhava akan ia suruh berbaring di sofa.
“Bentar, gue mau ke resepsionis
dulu, mau minta es batu.”
Dhava melepaskan tangan yang
sudah sejak tadi ia genggam itu. Dia menunggu Asya di dekat lift, dan ketika Asya datang dia
langsung menekan tombol yang ada di dekatnya. Mereka berdiri berdampingan dan
Dhava akan mempersilahkan Asya untuk jalan mendahuluinya.
“Gue mau pipis dulu.”
Asya langsung menutup pintu kamar
mandi setelah masuk dan mempersilahkan Dhava untuk beristirahat di kamarnya. Tidak
lama ia keluar setelah mencuci tangannya. Asya pun menghampiri Dhava untuk
meminta popcorn yang sedang dimakan
itu.
“Lo minta batu es buat apa?”
“Buat minum susunya, ini nggak
dingin.” Jawab Asya sambil menempatkan diri di samping Dhava.
Mereka duduk berdampingan dengan
sebungkus popcorn dan tayangan tv
yang cukup untuk memberikan hiburan kepada keduanya. Asya larut pada layar
datar di depannya, tapi tidak dengan Dhava. Sejak Asya ikut bergabung
dengannya, matanya tidak pernah lepas dari paras Asya. Walaupun hanya sisi
samping, tapi Dhava tidak bisa mengalihkan atensinya. Wajah Asya begitu candu
hingga rasanya sulit sekali untuk tidak menatapnya.
“Sya..”
Asya menoleh. Namun pergerakan
Dhava yang cepat membuat Asya seketika seperti kehilangan kemampuan berpikir
apa lagi ketika bibirnya bertemu dengan milik Dhava. Dia hanya terdiam kaku dan
mata tak berkedip.
Sementara Dhava, yang secara
sadar mempertemukan bibir mereka, memejamkan matanya. Tidak ada pergerakan,
hanya saling menempel tapi tetap membuat Dhava berdebar dan tentu saja
menikmati waktu yang terasa bergerak lumayan melambat. Namun ia mengutuk siapa
pun yang baru saja memencat bell dan
membuat kepala Asya bergerak mundur hingga bibir mereka tidak lagi menempel.
“Tolong bukain pintunya.”
Asya berlari menuju kamar mandi
dan menguncinya. Sementara Dhava, walaupun sedikit kesal tapi bibirnya malah
membentuk lengkungan. Dia bahkan membuka pintu dengan senyum itu walau rasa
kesal kepada pelaku penekan bell
masih dirasakan.
“Thank you.” Ucapnya sambil menutup kembali pintu kamar setelah
mengambil bucket berisi es yang tadi
diminta Asya.
“Sya, ini esnya udah dateng.”
“I-Iya, tolong taro di lemari es
aja.” Balas Asya. Terdengar gemetar tetapi membuat senyum Dhava terbentuk
lebar.
“Lama banget Sya?”
Dhava sudah kembali menempati
sofa di kamar itu. Dia juga sudah kembali bersantai tapi senyumnya masih setia
membingkai bibirnya.
“Sya..” Panggil Dhava untuk
kesekian kali karena tidak mendapatkan jawaban dari pemilik nama.
“Asya..”
“Bentar Dhav!”
Dhava tertawa kecil mendengar
bagaimana paniknya suara Asya. Sebenarnya saat Asya berlari tadi, ia melihat
bagaimana wajah Asya bersemu merah. Melihatnya membuat Dhava merasa puas.
Setidaknya rasa yakin –akan perasaan
yang lebih dari pada teman masa kecil tidak hanya ia yang merasakan– semakin
bertambah.
“Syaa..”
Tidak ada balasan sampai membuat
Dhava bangkit untuk mendekati kamar mandi.
“Sya!”
“Dhav, gue mau keluar tapi lo gak
boleh ketawa.”
Dhava bingung tapi tetap
diiyakan.
“Kenapa?” Tanya Dhava khawatir
saat pintu terbuka dan Asya mengintip dari baliknya.
“Dhav, muka gue merah.” Jawaban
Asya membuat Dhava hampir terbahak andai saja dia tidak ingat janjinya tadi.
“Mana? Enggak ah, biasa aja.”
Asya mengernyit tidak suka.
“Apanya yang biasa aja, orang beneran merah.” Sungutnya tidak suka.
“Kenapa bisa merah?”
Karena kesal, Asya keluar dari
balik pintu dengan kaki yang menghentak. Dia melewati Dhava sambil sedikit
mendorong tubuh jangkung itu. Di belakang, Dhava mengikuti Asya masih dengan
tawa yang berusaha dibendung.
“Kenapa lo nyium gue?”
Dhava agak tersentak mendengar
pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bilah bibir Asya. Ia pikir Asya tidak
akan seberani dan se-to the point itu
apalagi setelah melihat reaksinya tadi.
Dhava mengambil tangan Asya untuk
menuntunnya kembali ke sofa. Mereka kembali duduk seperti sebelumnya, tapi kali
ini saling berhadapan.
“Sorry, kalau misalnya tindakan gue buat lo gak nyaman atau gak
suka. Tapi Sya, gue sengaja dan gue jujur soal itu.”
“Kenapa?”
“Karena gue mau mastiin sesuatu.”
“Maksudnya?”
Dhava terlihat menarik napas,
lalu tatapannya berubah serius.
“Lo tau kan kalau gua pernah
gagal karena mantan istri gue selingkuh. Sejak saat itu gue jadi trust issue, tapi pas kita ketemu dan
jadi deket lagi entah kenapa gue ngerasain sesuatu yang gue pikir sulit buat
dirasain lagi.” Ia menjeda untuk meneliti reaksi Asya dari wajahnya.
“Gue mau mastiin kalau gue
beneran ngrasain itu atau cuma euforia
sesaat.”
“Terus jawabannya apa?”
“Bukan euforia Sya. Jantung gue beneran deg-degan banget. Bahkan dari
hal-hal kecil yang lo lakuin, jantung gue juga bereaksi sama.”
“Ini lo beneran ngerasa kayak
gitu? Bukan karena kebetulan ada gue jadi kekosongan lo keisi, maksudnya kayak
pelampiasan gitu?”
Dhava menggeleng. Tanpa aba-aba
dia mengambil tangan Asya untuk diletakkan di dada kirinya.
“Lo ngerasa kan Sya gimana
kencengnya?”
Asya diam sambil merasakan
debaran hebat itu. Jujur saja debaran sekencang itu baru pertama kali Asya
rasakan. Bahkan dirinya sendiri tidak pernah mengalami yang sekencang itu.
“Dhav..”
Asya menarik tangannya sambil
mengangkat kepala. Kedua mata mereka saling bertemu dan terkunci. Mereka
mencoba masuk dan mengerti arti tatapan yang kini sedang tertuju kepada mereka.
“Boleh nggak gue ngetes juga?”
Dhava masih mencoba mengerti tapi
Asya telah lebih dulu memangkas jarak mereka dan kembali mempertemukan bibir
keduanya. Tidak berbeda dengan sebelumnya, mereka hanya saling menempel tanpa
ada yang bergerak. Sampai Asya sendiri yang membuat jarak dan kepalanya
langsung bersandar di pundak Dhava.
“Dhav, gue degdegan juga. Gimana
nih??” Adu Asya yang membuat Dhava tersentak selama beberapa detik yang ganjil
sebelum akhirnya bibirnya membentuk lengkungan sempurna.
“Gi-Gimana Sya???”
Asya mengangkat kepalanya, dan
saat melihat itu Dhava menemukan seberapa merah wajah wanita itu. Tatapannya
terlihat bingung. Sesuatu yang tidak pernah Dhava lihat dari sosok Asya.
“Dhav, gue takut. Jantung gue
debarannya gak kalah kenceng kayak lo.”
“Sya, lo tau kan kenapa jantung
lo kayak gitu?”
Asya hanya mengangguk lemah.
“Tapi gue takut Dhav. Gue takut
ini euforia sesaat doang.”
Jawaban Asya tidak melunturkan
senyum yang sudah menghiasi wajah Dhava. Malahan senyum itu semakin terlihat
angkuh menghiasi wajah kokohnya.
“Pelan-pelan aja Sya. Kita coba
untuk mulai dari 0, gak usah buru-buru yaa.”
Lagi-lagi Asya hanya mengangguk
lemah. Hal itu malah membuat Asya terlihat seperti anak kecil yang kehilangan
induk, dan membuatnya terlihat semakin lucu dimata Dhava.
Dhava yang larut dengan wajah
Asya bergerak membingkainya dengan kedua tangan. Lalu perlahan kembali
mendekatkan wajahnya hingga jarak mereka beneran mengikis dan bibir mereka
kembali bertemu. Pelan dan perlahan tapi kali ini dengan sebuah gerakan. Tidak
menuntut tapi cukup membuat Asya terkejut hingga tanpa sadar tangannya
mencengkram pundak bidangnya.
Lama Dhava membiarkan ritme itu
terjadi, sampai tiba-tiba saja dia sedikit mengangkat Asya ke atas pangkuannya.
Tangan yang semula memegangi wajah beralih menekan tengkuk serta memegangi
pinggang agar wanita itu tidak terjatuh. Ia juga semakin memperdalam ciumannya
yang membuat Asya semakin kencang saja mencengkram pundaknya. Tidak sakit,
tetapi mampu membuat keinginan untuk memperdalam ciuman mereka semakin besar.
Dhava berhenti saat pundaknya
dipukul oleh Asya. Ia tahu jika wanita yang tanpa sadar telah mengalungkan
tangan di lehernya itu telah kehabisan napas. Karena itu dia memutuskan
berhenti sebelum Asya benar-benar kehabisan napas. Dia melihat wajah Asya yang
masih memerah, atau mungkin semakin memerah. Dhava suka itu, dan mungkin akan
menjadi candu baginya untuk melihat wajah memerah Asya.
Ciuman mereka memang berakhir.
Namun tidak dengan kisah keduanya. Bibir yang tidak lagi bertaut itu menjadi
penanda awal dari hubungan mereka yang lebih dekat dan lebih serius di masa
depan. Tidak ada yang mudah, tapi tidak juga bisa ditolak bagaimana keduanya
saling terikat satu dengan yang lain.
Mungkin Dhava memang gagal
menjaga rumah tangganya, tetapi dia akan berusaha menjadi lebih baik lagi agar
tidak ada pengulangan dari kisah sedih dan menyakitkan itu. Begitu pun dengan
Asya, semua yang tengah ia lalui adalah hal baru baginya. Sebuah hubungan
serius antara seorang pria dan wanita, yang baru pertama kali terjadi dalam
hidupnya. Semua perlakuan manis dan romantis yang baru pertama kali dirinya
rasakan.
Jika boleh jujur, hubungan yang
tengah terjalin ini tidak pernah ada dalam rencana Asya. Sejak awal dia hanya
berniat membantu mami dan sahabatnya untuk menghibur Dhava secara diam-diam.
Namun Tuhan punya rencana lain. Melalui permintaan sang mami untuk menemani
Dhava, Tuhan malah membuat Dhava sembuh serta menghadirkan sosok sempurna
seperti Dhava di hidupnya.
E . N . D
Happy Anniversary GIGSENT!!!!
Selamat bertambah usia, dan selamat sudah bertahan sejauh ini.
Tetep jadi tempat untuk kita semua seneng-seneng dan semoga kalian yang masih mampir, masih tetep bisa menikmati dan bermain di sini.
Hari ini untuk memeriahkan bertambahnya usia blog kita tercintah, aku akan menyiapkan kado untuk kalian semua. Semoga suka yaaa...
See youu semuaaaa :)
- DF -
Comments
Post a Comment