Checklist to Your Heart: 101 Tries (Dhava & Asya - Extra Part)



Starring:

Madhava Abhipraya & Dhiajeng Kasyaia

 

.

.

.


Setelah pulang dari acara makan siang bersama Risa dan Dhava, Asya seperti baru saja mendapatkan mandat besar dan sulit dari Nana. Bagaimana tidak, saat perjalanan pulang, Nana tiba-tiba saja kembali membuka topik mengenai Dhava yang merupakan teman masa kecilnya. Jujur saja, Asya lupa. Namun sebuah foto yang kini ada digenggamannya berhasil sedikit menghadirkan ingatan akan kejadian masa lalu itu.

 

 

“Mami minta tolong sama kamu ya Sya, tolong bantu Tante Risa.”

 

 

“Kenapa aku? Aku bukan siapa-siapa kali mi, harusnya dia ketemu sama tenaga profesional kayak psikolog atau dokter.”

 

 

Nana terlihat menghela napasnya.

 

 

“Udah Sya. Tapi emang gak terlalu berefek. Karena itu, Tante Risa minta tolong sama kamu, gak aneh-aneh kok, cuma tolong bantu temenin Dhava sampe dia berhasil balik percaya diri lagi.” Ada jeda singkat yang ganjil di telinga Asya.

 

 

“Perselingkuhan mantan istrinya Dhava cukup buat dia terpukul sampe ngerasa gak layak. Udah banyak yang Tante Risa dan keluarganya bahkan dibantu sama temen-temennya Dhava lakuin, tapi dia tetep ngerasa rendah diri dan nyalahin dirinya sendiri. Mami ngeliat sih tadi gimana Dhava menganggap dirinya gak worth it.”

 

 

“Mami ngeliat dari mana?” Tanya Asya sangsi.

 

 

“Matanya. Sorotnya tadi lemah banget dan keliatan gak percaya diri, kayak bukan Dhava yang dulu pernah Mami kenal.”

 

 

Semua penjelasan dan bujuk rayu Nana akhirnya berhasil membuat Asya mengiyakan permintaan tersebut. Permintaan yang aneh dan terasa canggung itu akhirnya membawa Asya untuk menyambangi kediaman Dhava di siang hari itu. Bukan karena inisiatifnya, tetapi karena Nana yang memintanya untuk mengantarkan makanan yang sudah wanita itu buat. Padahal rencananya, siang itu Asya ingin mengistirahatkan tubuhnya di atas kasur. Sayang, gagal karena Nana terus saja mengoceh dan mengganggunya.

 

 

“Ini, kamu cobain. Tante baru aja bikin puding.”

 

 

Asya mengangguk masih dengan senyumnya. Dia mengambil piring berisi puding itu dan mulai mencicipi hidangan manis tersebut.

 

 

“Gimana?”

 

 

“Enak Tan, pudingnya lembut banget.” Jawab Asya dengan kepala yang bergerak naik turun.

 

 

Risa tersenyum lebar mendengar jawaban Asya.

 

 

“Kamu masih sama kayak dulu ya Sya. Dulu waktu kamu kecil pas makan puding Tante juga bilangnya kayak gitu, ternyata nggak berubah ya..”

 

 

Mendengar penuturan Risa, Asya hanya bisa tertawa canggung karena ia tidak ingat memori itu.

 

 

“Hai Sya..”

 

 

Asya mengangkat kepalanya begitu mendengar beriton berat menyebut namanya.

 

 

“Hai..”

 

 

“Sini Dhav, gabung.”

 

 

Dhava ikut duduk di samping Risa tepat berhadapan dengan Asya.

 

 

“Asya nganterin masakannya Tante Nana, tuh mamah taro di meja. Itu makan kesukaan kamu.”

 

 

Dhava mengangguk, tetapi dia lebih memilih untuk tetap di sana sambil mengambil potongan lain dari puding yang Risa buat. Walaupun cenderung pasif, tetapi Dhava sama sekali tidak berniat meninggalkan percakapan yang sedang terjadi.

 

 

Di tengah perbincangan hangat dan santai itu, seorang wanita yang merupakan asisten rumah tangga di sana datang dan berbisik kepada Risa. Hal itu berhasil membuat Asya sedikit merasa penasaran, apa lagi melihat perubahan raut wajah Risa yang terlihat tak biasa.

 

 

Karena jiwa penasaran yang begitu tinggi, Asya memutuskan izin ke kamar mandi tetapi dia tidak benar-benar pergi. Langkahnya malah berbelok mengikuti Risa yang tengah berjalan ke arah depan. Sebisa mungkin dia menjaga jarak di antara mereka. Hingga Risa menghilang di balik pintu utama, Asya memutuskan untuk berdiri di balik pintu sambil mengintip kecil dari celah jendela di sebelahnya.

 

 

Dari posisinya bersembunyi, Asya dapat melihat ada seorang wanita muda yang ia perkirakan seusia dengannya berdiri dan akan mendekati Risa. Namun kepala wanita itu malah menggeleng dan membuat wanita muda tadi tidak jadi melangkah maju.

 

 

Beruntung rumah itu tidak memiliki halaman depan yang begitu luas, sehingga dari tempatnya bersembunyi, Asya masih bisa mendengar apa yang mereka bicarakan walau sedikit samar.

 

 

“Mah..” Dia menyalami Risa.

 

 

Risa mengangguk pelan.

 

 

“Mah, Enzi mau minta maaf. Maaf untuk semua kesalahan Enzi. Maaf karena Enzi mengkhianati semua orang terutama Mamah dan Dhava. Maaf karena Enzi ternyata masih belum bisa jadi menantu yang baik buat Mamah dan istri yang baik buat Dhava.”

 

 

Kembali, kepala Risa mengangguk pelan. Belum ada sepatah kata yang terucap dari bilah bibir Risa, walaupun sebenarnya ada banyak kalimat yang sudah berada di ujung tenggorokannya.

 

 

“Mah, apa Dhava ada? Boleh Enzi ketemu sama Dhava?”

 

 

Risa tidak langsung menjawab permintaan wanita yang merupakan mantan menantunya itu. Dia telaah dulu wajah Enzi selama beberapa saat. Setelahnya, bilah bibirnya terbuka dan suaranya mengalun lembut tetapi terdengar begitu tegas. Kalimat yang terucap langsung membuat Enzi terlihat begitu kecewa.

 

 

“Enggak usah ya Zi. Kamu nggak usah ketemu Dhava lagi.” Risa menarik napasnya. Ada rasa enggan yang memenuhi relung dadanya, tetapi otaknya terus memaksa kalimat yang bercokol di dalam pikirannya tersampaikan langsung kepada Enzi.

 

 

“Biarin Dhava sembuh ya.. Tante yakin, Dhava pasti udah maafin kamu. Tapi Tante minta tolong sama kamu untuk jangan ketemu atau menghubungi Dhava lagi. Kamu lanjutin hidup yang udah kamu pilih, biar Tante yang akan menemani Dhava untuk menjalani hidupnya. Udah cukup Dhava berantakan karena kejadian waktu itu. Jadi sebagai Ibunya Dhava, Tante mohon banget sama kamu untuk nggak usah berhubungan lagi dengan Dhava. Anggap aja sebagai bentuk rasa bersalah kamu sama Dhava.”

 

 

Asya yang masih berada di balik pintu seketika terkejut mendengar bagaimana suara Risa mengalun ke dalam telinganya. Suaranya terdengar dingin dan menusuk, berbeda sekali dengan saat dirinya berbicara dengan Asya. Apa lagi kalimat terakhir yang semakin menambah perih dadanya. Memang semua itu diucapkan bukan kepadanya, tetapi Asya bisa membayangkan bagaimana sakitnya Enzi ketika mendengar hal itu.

 

 

Namun Asya juga tidak bisa menyalahkan Risa, karena yang Risa lakukan termasuk hal yang wajar. Setelah pengkhianatan yang dilakukan Enzi, tidak mungkin Risa akan diam saja. Walaupun Dhava adalah anak laki-laki, tetapi dia tetap anaknya. Anak yang ia kandung, ia lahirkan, dan ia besarkan dengan penuh kasih sayang. Pasti ada rasa tidak rela ketika anaknya disakiti orang lain padahal sudah ia jaga dengan baik.

 

 

Karena tidak mau dicurigai oleh siapa pun, Asya buru-buru kembali ke ruang keluarga. Ia rasa sudah cukup menguping pembicaraan kedua orang tersebut. Ini bukan ranahnya untuk masuk lebih dalam urusan mereka. Setidaknya dari apa yang ia dengar, sedikit memberikan gambaran lain mengapa ia diminta untuk membantu Dhava. Walaupun masih belum bisa meyakinkan dirinya akan kemampuan dan kapasitasnya, tetapi setidaknya sebuah keinginan berhasil tumbuh walaupun masih terbilang kecil.

 

 

Usaha Asya untuk membantu Risa ternyata membuat ia dan Dhava kembali merajut hubungan yang lebih dekat. Beberapa kali Asya pergi menemani Dhava bahkan saat menghadiri reuni kampusnya. Bukan tanpa alasan, Asya melakukan itu sebagai bentuk dukungannya kepada Dhava sekaligus usahanya untuk membantu Dhava seperti yang diminta oleh Nana.

 

 

Tidak berhenti sampai di situ, Dhava kerap datang ke butiknya sekedar untuk mengantarkan makan siang dan makan bersama. Selain itu, Dhava juga suka mengajak Asya berolahraga bersama. Sebuah kegiatan yang jarang sekali Asya lakukan, tapi semenjak dekat dengan Dhava jadi rajin dirinya lakukan. Sebuah perubahan baik, yang bahkan membuat Nana takjub. Seorang Dhava bisa membuat Asya bangun pagi di akhir pekan dan pergi berolahraga.

 

 

Jika dilihat-lihat, sebenarnya usaha Asya ini tidak hanya mengembalikan Dhava kepada dirinya yang dulu. Namun ternyata juga berhasil menghilangkan kebiasaan buruk Asya, seperti jarang olahraga, makan makanan sembarangan, tidur tidak teratur, dan masih banyak lagi hal buruk yang berubah. Seperti vice versa.

 

 

Asya mematut dirinya di cermin. Setelah menyelesaikan make-up di wajah, dia harus memastikan penampilannya secara keseluruhan. Walau dia hanya berpakaian biasa saja, tetapi Asya tidak ingin terlihat berantakan.

 

 

Sambil memandang cermin, Asya terus mengingat apa saja yang telah ia lakukan dalam upayanya “membantu” Dhava. Dimulai dari ia yang jadi sering berkunjung ke rumah Dhava dan bertemu di sana, lalu ia juga mulai mendengarkan curahan hati Dhava, menemani Dhava ketika dia meminta walaupun saat itu ia juga memiliki urusan lain, tetapi Asya menunda urusannya hanya agar bisa menemani Dhava. Bahkan hingga intensitas bertukar kabar dan pesan mereka semakin meningkat. Semua hal itu Asya lakukan untuk membantu Dhava, pada awalnya.

 

 

Karena sekarang ini, semua ia lakukan tanpa ada pemikiran apakah dia akan berhasil atau tidak. Semenjak dua bulan terakhir, semua pemikiran itu hilang bersamaan dengan kedekatan mereka yang semakin dekat. Asya tidak memungkiri jika semakin sering mereka bertemu dan berbicara, semakin fleksibel dan hangat juga hubungan keduanya. Bahkan Asya kini tidak malu jika tiba-tiba saja sesutau yang konyol terjadi di hadapan Dhava, contohnya ketika dia lapar dan perutnya berbunyi. Dulu dia akan merasa malu dan berpura-pura jika itu bukan suara perutnya, tapi sekarang dia akan tersenyum sambil meminta Dhava untuk membeli makanan.

 

 

“Mi..”

 

 

Asya turun bersama koper yang sudah ia persiapkan kemarin malam. Lalu ia ikut bergabung dengan yang lain yang tentunya telah menunggunya atas perintah Nana.

 

 

“Akhirnya yang ditunggu datang juga.” Sambut Ivan yang tengah memegang piring kecil berisi pudding.

 

 

Asya tidak menggubrisnya. Dia langsung beralih pada sofa kosong untuk diduduki.

 

 

“Mau berangkat jam berapa?”

 

 

Dhava melihat jam yang mengikat di tangan kirinya.

 

 

“Sekarang aja. Biar gak buru-buru, kan mau makan dulu.”

 

 

Asya mengangguk. Ia kembali meninggalkan ruang keluarga untuk menemui sang mami. Tak lama dia kembali bersama dengan wanita itu.

 

 

“Hait-hati ya. Dhava, Tante titip Asya ya.”

 

 

“Iya Tante.”

 

 

“Tenang Tan, Dhava bisa dipercaya kok walaupun pernah gagal.”

 

 

Celetukan Ivan hampir membuat Asya menjatuhkan sepatu yang baru saja ia ambil. Namun ia berusaha untuk biasa saja dengan segera memakai sepatunya. Setelah itu, dia langsung berpamitan kepada Nana dan mengikuti Dhava beserta kedua temannya menuju mobil yang terparkir di depan rumah.

 

 

Selama perjalanan menuju bandara, Asya lebih banyak menyimak pembicaraan antara Dhava dengan dua temannya walau sesekali ia juga ikut menimpali. Seperti yang sudah diketahui bahwa ia bangun lebih awal dari waktunya, sehingga tenaga yang ia miliki masih belum terisi sepenuhnya. Ditambah malam sebelumnya, ia mengalami sulit tidur karena terlalu bersemangat menunggu keberangkatannya pagi ini.

 

 

“Lo kok mau nemenin si Dhava ini? Padahal kalau gak salah lo lagi ngejar target buat ikut acara fashion?”

 

 

Asya sedikit mengangkat kepalanya tetapi tangannya tetap sibuk merapikan isi tas. Selama beberapa detik ia terdiam sebelum akhirnya bilah bibirnya berucap.

 

 

“Gue lagi suntuk dan butuh penyegaran. Terus diajakin dan dibayarin, ya gas aja. Untung banget Mami setuju.” Jawabnya. Tidak bohong, tetapi jika boleh jujur ada hal lain yang mendasari Asya menerima ajakan tersebut.

 

 

Hal itu tidak lain dan tidak bukan adalah Dhava sendiri. Ya, pria itu yang membuat Asya tanpa pikir panjang menerima tawarannya. Padahal ia tidak yakin apakah Nana akan memberikan izin. Namun saat Dhava menanyakan perihal kesediaan Asya untuk menemani, tanpa pikir panjang ia menyetujuinya.

 

Entah setan apa yang merasuki Asya sampai mudah sekali menerima semua ajakan Dhava. Namun yang sudah pasti dan sudah jelas ia ketahui adalah, nyaman yang selalu dirasakan saat bersama Dhava. Nyaman yang mungkin saja secara perlahan mulai berubah menjadi rasa lain yang tanpa Asya sadari hadir di hatinya.

 

 

“Selamat sampai tujuan.”

 

 

“Makasih..”

 

 

Asya mengambil paspor mereka dari petugas. Namun saat ia akan pergi, petugas itu mengucapkan sebuah kalimat yang membuat Asya seperti merasa tersetrum hingga ia sempat termenung beberapa saat.

 

 

“Maaf kak, kalian mirip ya. Semoga jodoh sampai akhir ya kak.”

 

 

Asya tersenyum kikuk sebelum mengucapkan terima kasih dan segera mengekori Dhava. Selama kakinya melangkah dia tidak bisa melupakan bagaimana kalimat itu terlontar dari petugas yang mengurus tiket penerbangan mereka. Begitu pun dengan mimik wajah petugas itu yang menurut Asya terlihat tidak dibuat-buat. Apa benar mereka terlihat serasi sampai orang lain mengira mereka adalah pasangan?

 

 

Membayangkannya saja membuat debaran anomali tiba-tiba muncul di dadanya, dan membuat Asya tidak sadar jika kakinya telah melangkah memasuki area resto.

 

 

Asya yang menjalani intermittent fasting, hanya bisa menikmati ocha yang dipesan oleh Dhava. Ia tidak masalah karena sudah biasa. Karena itu, dia memutuskan untuk sedikit mengerjakan pekerjaannya sambil menunggu Dhava dan kedua temannya selesai makan.

 

 

Di tengah pekerjaannya, Asya masih berusaha aware dengan lingkungannya. Seperti dia yang mengambilkan tisu saat Dhava membutuhkan. Dia juga yang mengelap ponsel pria itu saat tidak sengaja terkena cipratan kuah ramen. Bahkan saat akan makan, Asya yang menggulung lengan baju Dhava agar tidak terkena kuah. Dia juga yang merapikan mangkuk dan alat makan Dhava setelah selesai. Semua itu ia lakukan tanpa direncanakan. Mengalir saja seperti sudah insting untuk melakukan itu.

 

 

Asya tidak tahu dan tidak ingin mencari tahu mengapa dia mau melakukan semua itu. Bahkan setelah ia menyadari jika Dhava telah berhasil bangkit dari keterpurukannya, Asya tidak ingin berhenti. Ada rasa tidak rela jika kedekatan mereka harus berakhir karena keinginan Risa dan Nana sudah terwujud.

 

 

“Kalau ngantuk, tidur aja. Nanti gue bangunin.”

 

 

Asya mengangguk karena dia benar-benar merasa mengantuk. Ingat bukan insiden dia yang sulit tidur dan harus bangun lebih dulu dari alarm yang telah dipasang. Karena itu, ketika baru saja bokongnya mendarat di kursi pesawat -bahkan pesawatnya belum lepas landas- ia sudah sangat ingin sekali memejamkan matanya. Begitu mendengar penuturan Dhava, tanpa bisa dicegah matanya pun mulai terpejam dan membiarkan penerbangan itu ia lalui dalam keadaan tertidur.

 

 

Namun sebelum dia benar-benar terlelap, samar-samar ia mendengar sebuah bisikan yang membuat jantungnya kembali berdetak cepat tetapi otaknya telah lebih dulu memerintahkan untuk terlelap hingga tidak ada lagi kesempatan untuk memastikan kebenaran bisikan itu. Walaupun begitu tanpa Asya sadari, bibirnya masih sempat menggumamkan jawaban yang sangat pelan sampai tidak disadari sosok yang telah berbisik kepadanya dan tidak akan diingat oleh Asya sendiri.

 

 

I love you too.”

 

 

Asya masih dibelenggu kantuk hingga membuat dia langsung merebahkan diri di atas kasur saat masuk ke dalam kamar. Padahal dia hanya memiliki waktu singkat sebelum pergi makan siang. Namun nyawa yang masih setengah itu memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya selama beberapa menit sambil menunggu nyawanya utuh.

 

 

Matanya terpejam, tapi pikirannya tidak. Dalam diamnya, entah mengapa Asya masih memikirkan waktu yang telah ia lalui bersama Dhava. Hingga kepergiannya untuk menemani Dhava, tiba-tiba saja memenuhi otaknya.

 

 

“Ini gue salah gak sih?” Gerutunya.

 

 

Asya merubah posisi tidurnya menjadi telentang. Matanya menatap langit-langit kamar yang berwarna putih dengan lampu berwarna jingga yang ada di dekat dinding.

 

 

“Kok gue denger dia ngomong I love you?? Ini gua yang ngigo karena efek ngantuk apa emang beneran?”

 

 

Masih dalam kebingungan yang ia pikir tidak mendasar, tapi malah memenuhi isi pikirannya. Asya tanpa sadar menghela. Tiba-tiba saja rasa takut mulai menjalari perasaannya. Entah kenapa ia berpikir jika apa yang tengah ia jalani ini tidak seharusnya terjadi. Bukankah di awal dia hanya berniat membantu, walau dia sudah melupakan niat itu. Namun kenapa sekarang ada rasa lain yang membuatnya menjadi takut akan hubungan mereka.

 

 

“Kenapa sih lo Sya? Lo tau kalau dia lagi down, ya kali mikirin rasa yang buat dia kayak gitu. Bodoh banget!” Gerutunya sambil memukul kepala. Tidak keras tapi cukup terasa.

 

 

Saat pikirannya yang begitu kacau, Asya akhirnya memutuskan untuk segera bersiap. Dia perlu menjernihkan pikirannya itu. Mungkin dengan berjalan keluar, semua kesadarannya akan kembali dan dia jadi bisa berpikir dengan baik.

 

 

“Tenang Sya, lo gak bodoh kok! Lo cuma lagi ngantuk dan butuh penyegaran.”

 

 

Maka setelah memberikan afeksi tersebut, Asya langsung menyiapkan dirinya untuk pergi makan siang. Dia mencuci muka dan memakai make up tipis untuk menutupi kantuknya. Memasukkan barang-barang yang dibutuhkan ke dalam tas, sebelum meninggalkan hotel bersama Dhava.

 

 

Good afternoon, āyí. We’d like to order.

 

 

Sure, here’s the menu.”

 

 

Asya melihat kertas menu yang diberikan wanita pemilik kedai. Tempat yang mereka datangi bukanlah sebuah restoran besar, sehingga Asya dan Dhava langsung memesan makanan di kasir dengan menu yang tidak banyak.

 

 

Got any recommendations, āyí?”

 

 

Wanita itu lalu menunjuk sebuah gambar mie dengan kuah bening yang dilengkapi dengan potongan daging dan telur setengah matang serta dihasi potongan daun bawang dan ketumbar.

 

 

This one’s our best-seller.

 

 

Asya memperhatikan gambar menu tersebut lalu dia setuju untuk memesannya. Wanita itu lantas mencatat pesanan mereka. Dhava lalu mengulurkan tangannya lebih cepat ke arah wanita pemilik kedai guna mencegah Asya yang akan membayar makanan mereka.

 

 

“Gue aja.” Bisik Dhava dan Asya hanya bisa mengangguk.

 

 

Melihat Dhava yang kini berdiri di depan mesin kasir, entah kenapa membuat jantung Asya bergemuruh. Tidak terlalu kencang, tapi bukan gemuruh biasa. Apa lagi setelah mendengar suarat berat dan embusan napas yang mengenai telinganya saat ia berbicara tadi, sontak membuat tubuhnya malah meremang.

 

 

Merasa tidak nyaman dengan perubahan dalam dirinya, Asya pun izin pergi ke mini market lebih dulu. Dia harus menetralkan seluruh kerja tubuhnya sebelum menghabiskan waktu lebih lama bersama Dhava. Kebetulan juga memang ada yang ingin dicarinya, walau awalnya ia ingin mencari hal tersebut setelah makan siang. Namun apa daya, tubuhnya bereaksi aneh membuat Asya harus segera memisahkan diri sebelum Dhava melihat keanehan pada dirinya.

 

 

Sungguh, ada yang tidak beres dengan Asya. Bagaimana bisa tubuhnya bereaksi berlebihan pada hal biasa seperti itu. Dhava hanya membayar makanan mereka, kenapa juga jantungnya malah berpacu sedemikian cepatnya. Ini bukanlah Asya. Tidak biasanya seorang Asya mudah “baper” hanya karena hal sepele. Biasanya dia malah cenderung merasa aneh ketika dihadapkan pada hal romantis. Lagi pula yang Dhava lakukan bukanlah hal romantis. Itu bare minimum, karena kepergian dia sudah dijanjikan akan ditanggung oleh Dhava.

 

 

Apa benar sudah ada perasaan lain yang tumbuh untuk sosok Dhava? Perasaan yang tidak pernah Asya rasakan sebelumnya.

 

 

“Beli susu?” Tanya Dhava saat melihat kedatangan Asya.

 

 

“Ini mandatory.” Jawabnya.

 

 

“Waahh.. keliatannya enak.” Sambung Asya saat melihat makanan yang sudah tersaji di meja mereka.

 

 

“Cepet makan, lo kan belum buka puasa.”

 

 

Asya mengangguk dan segera menyantap makanannya. Namun kedatangan wanita pemilik kedai dengan semangkuk daging membuat dahi Asya mengerut, tapi dia tetap berterima kasih. Baru saja jantungnya mereda dari degup kencang, balasan dari wanita itu malah berhasil memicu kembali debaran anomali tersebut.

 

 

Wishing you a little one soon!

 

 

Asya paham dengan ucapan wanita itu. Yang membuat ia tidak mengerti adalah, kenapa wanita tersebut malah berkata demikian.

 

 

“Kalian ngomong apa pas gue ke pergi tadi?” Tanyanya penuh selidik.

 

 

Dhava menggeleng tapi senyum puas terukir di wajahnya, membuat Asya menatapnya penuh curiga.

 

 

“Dhav!” Suaranya terdengar memperingati, tapi Dhava tetap mengabaikannya dan malah menyuruh Asya untuk kembali melanjutkan makannya.

 

 

Asya menjadi tidak tenang tetapi dia kembali fokus pada makanannya. Tentunya dengan jantung yang masih berdetak cepat. Untung saja jalanan cukup ramai sehingga suara debarannya dapat tersamarkan.

 

 

Sayang semuanya tidak berakhir di kedai lokal itu. Degup jantung yang menurut Asya tidak normal itu kembali berlanjut selama perjalanan kembali ke hotel. Hal tersebut terjadi karena Dhava yang tiba-tiba saja menggenggam tangannya dan tidak mau dilepaskan. Perlakuan dari Dhava membuat Asya menjadi gelisah, sangat gelisah.

 

 

Asya tidak paham kenapa tubuhnya bereaksi di luar kendali. Asya juga tidak mau memikirkan penyebabnya karena ia begitu sibuk mengontrol diri dan berdoa agar Dhava tidak mendengar debaran jantungnya yang kencang. Hingga mereka sampai di hotel, Asya baru bisa membebaskan tangannya dari genggaman tangan besar Dhava karena wanita itu ingin menemui resepsionis.

 

 

Saat ia berhasil membuka pintu kamar, Asya segera memasuki kamar mandi untuk menyelesaikan urusannya. Ia sudah berusaha menahan gejolak ingin buang air kecil sejak selesai makan siang dan akhirnya ia bisa menuntaskan hasratnya tersebut. Selain itu, ada hal lain yang membuat Asya ingin sekali bersembunyi di sana yang tak lain adalah reaksi tubuhnya yang tidak wajar.

 

 

Dia masih merasakan debaran kencang bahkan setelah tangannya terbebas dari genggaman Dhava. Bahkan setelahnya, setiap melihat pergerakan Dhava yang wajar, jantungnya masih tetap bergemuruh.

 

 

Ia menarik napas sambil mematut pantulan dirinya di cermin. Matanya memindai bagaimana kondisi wajahnya. Apakah memerah, atau biasa saja. Dia juga memastikan jika sudah tidak ada lagi gemuruh kencang pada jantungnya. Sebisa mungkin ia menormalkan seluruh fungsi organ dalam tubuhnya sebelum kembali bertemu dengan pelaku yang membuat kerja tubuhnya berantakan.

 

 

“Lo minta batu es buat apa?”

 

 

“Buat minum susunya, ini nggak dingin.” Jawab Asya sambil menempatkan diri di samping Dhava.

 

 

Asya berusaha sebisa mungkin untuk tidak canggung atau kaku karena tidak mau merusak suasana yang ada. Maka, demi menghindari keanehan lain pada tubuhnya, Asya memutuskan fokus menonton televisi sambil menikmati sebungkus popcorn yang Dhava beli. Asya pun larut pada variety show yang tengah ditayangkan, sampai ialupa jika ada Dhava di sebelahnya.

 

 

Dhava yang saat ini tidak bisa memutus pandangannya dari wajah Asya akhirnya menyerukan namanya, lagi-lagi dengan suara berat dan pelan. Mendengar itu, Asya menoleh. Namun belum sempat otaknya bekerja, sesuatu yang lembut dan hangat menyentuh permukaan bibirnya. Membuat dia membatu tanpa tahu harus melakukan apa.

 

 

Dalam keterkejutannya, Asya dapat merasakan bagaimana secara perlahan detakan jantungnya mulai cepat. Napas yang tidak sadar ia tahan selama beberapa saat. Serta mata yang tidak mengedip. Semua fungsi tubuhnya seakan berubah aneh, tapi Asya tidak begitu menggubrisnya. Barulah saat bell kamarnya berbunyi, seluruh indera pada tubuhnya kembali berfungsi. Tanpa pikir panjang, dia berlari kembali ke kamar mandi. Menguncinya sebelum mendudukan diri di atas toilet.

 

 

Tangannya ia tempelkan pada dada kiri dimana jantungnya tengah berpacu cepat, bak sedang berlari maraton. Kemudian kulitnya terasa panas, seperti terjemur di bawah sinar matahari saat tengah hari. Belum lagi napasnya yang sedikit memburu. Asya benar-benar terbelenggu pada perasaan dan reaksi aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

 

 

“Sya, ini esnya udah dateng.”

 

 

“I-Iya, tolong taro di lemari es aja.” Balas Asya. Ia tengah berusaha untuk menetralkan semuanya, tapi suara Dhava yang terdengar menembus dinginnya tembok kamar mandi malah membuat jantungnya semakin berpacu kencang.

 

 

Sulit, Asya menyadarinya. Keberadaan Dhava di sekitarnya tidak akan pernah bisa membuat ia kembali ke kondisi sedia kala. Jantung, napas, bahkan motorik tubuhnya akan bekerja tidak normal.

 

 

“Lama banget Sya?”

 

 

Lagi-lagi suara Dhava terdengar, tapi Asya masih tetap memejamkan matanya sambil mencoba mengatur napas.

 

 

“Asya..”

 

 

“Bentar Dhav!”

 

 

Tanpa sadar ia menjawab dengan berteriak. Mungkin efek dari kesal karena suara yang ai dengar selalu menggagalkan usahanya untuk menenangkan diri.

 

 

“Syaa..”

 

 

Asya tetap diam. Ia sedang berusaha mengumpulkan ketenangan untuk melindungi dirinya dari pengaruh suara dan segala hal yang melekat pada sosok Madhava.

 

 

“Sya!”

 

 

Suara Dhava kembali memanggil namanya. Ia tahu, jika dirinya tetap di dalam maka pria itu akan tetap memanggilnya. Lalu jika ia tetap mengunci dirinya di dalam dan Dhava di luar, fungsi tubuhnya tetap tidak akan kembali normal karena pelakunya masih ada di sekitarnya. Maka dengan kesadaran penuh, dia berdiri dari toilet dan merajut langkahnya mendekati pintu.

 

 

“Dhav, gua mau keluar tapi lo gak boleh ketawa.”

 

 

Asya membuka kunci kemudian pintu kamar mandi. Pelan, dia mulai keluar dari sana. Tidak sepenuhnya keluar, karena hanya kepalanya saja yang menyembul dari balik pintu.

 

 

“Kenapa?” Tanya Dhava khawati.

 

 

“Dhav, muka gue merah.”

 

 

“Mana? Enggak ah, biasa aja.”

 

 

Asya kesal karena suara Dhava yang seperti tengah mengejeknya. “Apanya yang biasa aja, orang beneran merah.” Sungutnya tidak suka.

 

 

“Kenapa bisa merah?”

 

 

Kekesalannya membuncah, membuat Asya keluar dari balik pintu dengan kaki yang menghentak. Dia melewati Dhava sambil sedikit mendorong tubuh jangkung itu.

 

 

“Kenapa lo nyium gue?” Tanya Asya tanpa basa-basi. Walau dalam hatinya Asya bersumpah serapah karena merasa terlalu terus terang.

 

 

Sorry, kalau misalnya tindakan gue buat lo gak nyaman atau gak suka. Tapi Sya, gue sengaja dan gue jujur soal itu.” Ujar Dhava masih dengan menggenggam tangan Asya.

 

 

“Kenapa?”

 

 

“Karena gue mau mastiin sesuatu.”

 

 

“Maksudnya?”

 

 

Dhava terlihat menarik napas, lalu tatapannya berubah serius.

 

 

“Lo tau kan kalau gua pernah gagal karena mantan istri gue selingkuh. Sejak saat itu gue jadi trust issue, tapi pas kita ketemu dan jadi deket lagi entah kenapa gue ngerasain sesuatu yang gue pikir sulit buat dirasain lagi.” Ada jeda yang Dhava berikan, hal itu membuat Asya menatapnya semakin dalam.

 

 

“Gue mau mastiin kalau gue beneran ngrasain itu atau cuma euforia sesaat.”

 

 

“Terus jawabannya apa?”

 

 

“Bukan euforia Sya. Jantung gue beneran deg-degan banget. Bahkan dari hal-hal kecil yang lo lakuin, jantung gue juga bereaksi sama.”

 

 

“Ini lo beneran ngerasa kayak gitu? Bukan karena kebetulan ada gue jadi kekosongan lo keisi, maksudnya kayak pelampiasan gitu?” Tanya Asya memastikan. Pasalnya sudah banyak kisah percintaan yang ia dengar dari sahabatnya dan ia baca dari novel kalau seorang pria akan menjadikan sosok baru sebagai pelampiasan jika sosok baru itu muncul di saat pria itu masih belum usai dengan masa lalunya.

 

 

Sambil berpikir, Asya melihat tangannya yang dibawa oleh Dhava untuk menempel di dada kirinya. Saat tangan dinginnya mendarat pada dada bidang itu, Asya bisa merasakan bagaimana jantung Dhava berdetak.

 

 

“Lo ngerasa kan Sya gimana kencengnya?”

 

 

Asya diam sambil merasakan debaran hebat itu. Jujur saja debaran sekencang itu baru pertama kali Asya rasakan. Bahkan debaran yang sejak tadi ia rasakan tidak sekencang dan sehebat itu.

 

 

“Dhav..” Lidahnya mengelu.

 

 

Asya menarik tangannya dan sambil mengangkat kepalanya. Saat itulah matanya bertemu dengan tatapan teduh dan dalam dari Dhava. Tatapan yang langsung menguncinya, hingga membuat Asya ingin menyelami tatapan itu untuk mengerti artinya.

 

 

“Boleh nggak gue ngetes juga?”

 

 

Dan untuk kesekian kalinya, bibirnya kembali berucap tanpa ada kompromi dengan otaknya. Hal yang untuk kesekian kali ia rutuki tetapi tidak juga disesali. Karena nyatanya ada hal lain yang mendesak Asya untuk mengatakan itu.

 

 

Perasaannya.

 

 

Ya, hatinya tengah memaksa Asya untuk mencari jawaban dari semua perasaan aneh yang baru belakangan ini ia rasakan. Sebuah rasa yang membuatnya tidak nyaman tapi secara bersamaan merasa nyaman juga. Rasa yang unik karena terkadang bisa membuat dirinya tersenyum sepanjang hari, tetapi berubah kelabu saat kepalanya dipenuhi prasangka.

 

 

Belum mendapatkan jawaban apa pun dari Dhava, Asya lebih dulu mempertemukan kembali bibirnya dengan bibir tebal Dhava. Ia memejam untuk semakin mendalami rasa yang tengah memenuhi relung hatinya. Memahami isi pikirannya saat jantung dan napasnya mulai bekerja berlebihan. Hingga ia merasa sudah tidak sanggup, ia menjauhkan kepalanya dan dijatuhkan ke pundak Dhava.

 

 

Napasnya ia tarik dalam-dalam dan bersamaan embusan panasnya, suara lemah itu mengalun dari antara bilah bibir Asya. “Dhav, gue degdegan juga. Gimana nih??” Adu Asya.

 

 

Suaranya lirih karena kini pikirannya begitu kacau. Semua hal tengah berkecamuk di dalam otak yang hanya seukuran kepalan tangannya.

 

 

“Gi-Gimana Sya???”

 

 

Asya mengangkat kepalanya dan matanya kembali bertemu dengan manik hitam milik Dhava.

 

 

“Dhav, gue takut. Jantung gue debarannya gak kalah kenceng kayak lo.”

 

 

“Sya, lo tau kan kenapa jantung lo kayak gitu?” Tanya Dhava. Asya dapat melihat raut terkejut Dhava mulai berganti dengan senyum kecil. Namun hal itu tidak serta merta membuat Asya dan pikirannya yang berkecamuk itu menjadi tenang. Malah perasaan takut itu semakin bercokol di hatinya.

 

 

“Tapi gue takut Dhav. Gue takut ini euforia sesaat doang.” Jawabnya lemah.

 

 

“Pelan-pelan aja Sya. Kita coba untuk mulai dari 0, gak usah buru-buru yaa.” Ujar Dhava menenangkan.

 

 

Asya mengangguk lemah. Ia masih begitu kalut dengan apa yang baru saja terjadi. Bahkan dia tidak menyadari jika Dhava sudah kembali memangkas jarak wajah mereka. Ia baru sadar saat bibirnya kembali merasakan lembut dan hangat bibir Dhava yang diikuti dengan gerakan lembut yang membuat tangannya secara tidak sadar mencengkram pundak pria di depannya.

 

 

Asya yang masih mencerna semuanya semakin terkejut tatkala tubuhnya diangkat dengan mudahnya ke atas pangkuan Dhava. Kemudian dia merasa ciuman itu semakin dalam saat Dhava mulai menekan tengkuknya dan tubuhnya yang semakin menempel karena lingkaran tangan Dhava di pinggangnya.

 

 

Asya merasakan pasokan udara di paru-parunya mulai menipis. Ia mulai kewalahan menyeimbangi ciuman Dhava. Saat merasa sudah tidak mampu lagi, Asya menggunakan sisa tenaganya untuk meminta Dhava berhenti. Dia memukul pundak kokoh itu hingga ciuman mereka terlepas.

 

 

Saat pagutan terlepas, Asya secara rakus memburu udara di sekitarnya. Ini pengalam pertamanya dan langsung dihadapkan pada cumbuan panas dan dalam yang langsung menghabiskan pasokan udara dan nyaris mengoyak paru-parunya jika saja Dhava masih keukeuh mencumbu bibirnya. Untung saja Dhava mengerti dan mau mengurai cumbuannya.

 

 

Masih dalam upaya mengisi paru-parunya, ia merasakan sentuhan di kepala yang bergerak menuju pipi. Hal itu membuat Asya yang sedikit menunduk mau tidak mau mengangkat kepalanya untuk kembali melihat wajah Dhava yang tengah memasang senyum manis dengan tatapan yang hangat.

 

 

“Makasih..” Bisiknya. Lalu sebuah kecupan ringan dan panjang ia terima di keningnya.

 

 

Asya menikmati itu. Menikmati perasaan aneh dan semua euforia yang tengah ia rasakan. Menikmati setiap sentuhan ringan yang ia terima. Menerima keberadaan Dhava dan kedekatan mereka. Serta menerima apa yang baru saja terjadi di antara mereka.

 

 

Sebuah hal yang tidak pernah ia pikirkan akan terjadi antara dirinya dan Dhava. Tidak pernah membayangkan dan mengharapkan. Karena sejak awal ia hanya fokus pada keinginan membantu. Walau perlahan keinginan itu ia lupakan, dan semua yang dirinya lakukan mengalir apa adanya.

 

 

Asya kembali melingkarkan tangannya pada leher Dhava. Namun kali ini ia memeluknya. Kepalanya ia letakkan dengan nyaman di perpotongan leher pria itu. Menghidu aroma parfum yang begitu membekas di memorinya dan mungkin akan menjadi salah satu wangi yang ia sukai. Merasakan bagaimana perlahan debaran anomali yang sejak tadi ia rasakan berganti dengan rasa hangat yang mengalir keseluruh tubuhnya.

 

 

Dhiajeng Kasyaia, wanita yang semasa hidupnya belum pernah mengenal cinta. Namun Tuhan malah mempertemukan dia dengan sosok Madhava Abhipraya yang merupakan teman kecilnya tetapi terlupakan. Madhava hadir di hidupnya dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Kegagalan yang ia alami membuat ia selalu menyalahkan dirinya. Ia selalu merasa gagal, dan kurang. Hal itulah yang mendasari Asya menyetujui permintaan Ibu mereka.

 

 

Semua berawal dari rasa empati yang ia miliki, sampai tanpa dirinya sadari perasaan itu telah berubah dan tidak pernah ia bayangkan akan ia rasakan. Perasaan yang penuh akan kedewasaan. Perasaan asing tetapi candu untuk Asya rasakan. Perasaan yang telah berhasil membuat hidupnya berubah.

 

 

Asya berharap perubahan yang terjadi akan membawanya pada satu titik dimana ia hanya akan merasakan kebahagian. Kehidupannya akan ditemani dengan senyum yang mengukir manis di bibirnya. Walau ia tahu jika dalam hidup tidak hanya ada yang baik, tetapi semoga hal tidak baik yang terjadi masih bisa ia lalui dengan senyum serta sosok Madhava di sampingnya.

 

 

Sebuah harapan yang tidak muluk tapi tidak mudah juga karena perlu usaha untuk mewujudkannya.

 

 

E . N . D



- DF -

Comments

Popular Posts