Checklist to Your Heart: 101 Tries (Rain & Rein)



Starring:

Narain Bagaskara & Arunika Rein

 

.

.

.


               Arunika Rein, atau yang akrab dipanggil Rein adalah perempuan muda yang saat ini baru saja mendapatkan pekerjaan baru di sebuah perusahaan keluarga. Perusahaan yang cukup besar walau tidak masuk ke dalam kategori top tier. Walaupun begitu Rein tetap merasa beruntung dan berterima kasih kepada Ibu Riska, mantan atasannya yang telah memberikan rekomendasi.

 

 

“Selamat pagi Pak Rain.”

 

 

Pria itu mengangguk, “Pagi.”

 

 

Rein mengikuti pria itu masuk ke dalam ruangannya. Dia langsung memposisikan diri di samping meja sambil menunggu pria bernama Rain.

 

 

“Perkenalkan Pak, saya Rein. Saya yang diminta menggantikan Mas Dhiko untuk menjadi sekretaris Bapak.”

 

 

Rain yang baru saja duduk lalu menatap kearahnya.

 

 

“Rein? R – E atau R – A?”

 

 

“E, Pak.”

 

 

“Nama kita terdengar mirip, hanya berbeda 1 huruf saja.”

 

 

Rein tidak tahu harus berkata apa, dia hanya bisa tersenyum dengan canggung.

 

 

“Kamu dulu asisten mama saya kan?”

 

 

“Benar Pak, saya asisten pribadi Ibu Riska yang direkomendasikan untuk menggantikan Mas Dhiko yang kini menjadi asisten pribadi Pak Ronny.”

 

 

Rain mengangguk sambil bergumam. “Iya, papah masih butuh sekretarisnya walaupun udah pensiun.”

 

 

“Kalau gitu, ada agenda apa untuk hari ini.”

 

 

Rein buru-buru meletakkan sebuah berkas ke atas meja.

 

 

“Siang ini Bapak ada pertemuan dengan dewan direksi, pertemuannya sekaligus dengan makan siang Pak. Selain itu tidak ada jadwal lagi. Untuk yang saya berikan, itu laporan mingguan yang Bapak minta.”

 

 

Rain kembali menganggukan kepala. Dia membuka dan membaca sekilas laporan tersebut.

 

 

"Nanti akan saya baca. Untuk pertemuan makan siang nanti, kamu ikut.”

 

 

Rein agak terkejut karena memang undangan yang diterimanya hanya diperuntukan untuk bosnya saja. Tidak ada keterangan plus satu pada isinya.

 

 

“Maaf Pak, tapi undangan tersebut hanya untuk Bapak.”

 

 

Rain kembali mengangkat kepalanya untuk menatap Rein.

 

 

“Tidak apa, ikut dengan saya. Mereka juga perlu mengenal kamu sebagai sekretaris saya.”

 

 

Jawaban Rain seperti kalimat mutlak yang tidak bisa dibantah. Karena itu, Rein hanya bisa mengangguk sebelum pamit kembali ke mejanya yang berada di depan ruangan.

 

 

Hubungan antara Rein dan atasannya terbilang baik. Rein bekerja dengan baik, membantu Rain dalam setiap pekerjaannya, menyiapkan beberapa kebutuhan esensial atasannya itu seperti kopi dan makan siang, walau semua itu ia lakukan atas bantuan office boy kantor. Menyiapkan berkas yang diperlukan oleh Rain, merapikan mejanya ketika bosnya itu tengah berada di luar, hingga membantu komunikasi antara Rain dengan karyawan lainnya.

 

 

Semua Rein lakukan dengan serius bahkan tak jarang dia mendengar pujian dari karyawan lainnya tentang kinerjanya itu. Namun dari semua orang yang memandang kagum kinerjanya, tidak ada yang menyadari seberapa keteterannya Rein saat menghadapi Rain yang tengah dalam keadaan kurang baik. Walaupun Rain adalah sosok bos yang dingin dan berwibawa, tetapi laki-laki itu juga akan mengalami mood swing yang membuat Rein sebagai sekretaris lelah.

 

 

Seperti mood swing yang dialami kebanyakan orang, Rain akan menjadi sensitif dan cenderung diam jika keadaan hatinya tidak baik-baik saja. Saat itulah kesabaran Rein akan diuji. Selain kesabaran, kekuatan kakinya pun juga mengalami hal yang sama. Karena saat Rain tengah diam, maka Rein akan menunggu sambil berdiri di samping mejanya dengan sabar. Dia tidak boleh meninggalkan ruangan itu sampai seluruh informasi di hari tersebut tersampaikan dan ditindaklanjuti oleh Rain.

 

 

“Kamu gak capek berdiri terus?” Tanya Rain dengan tetap fokus pada lembar disposisi serta undangan yang ia terima.

 

 

“Ah, tidak Pak. Saya baik-baik saja.”

 

 

Rain melepaskan pandangan dari kerjaan yang tengah ia kerjakan.

 

 

“Duduk aja, saya tau kaki kamu pegel.” Ucapnya sambil menunjuk kursi yang ada di depan mejanya.

 

 

“Gak usah malu, kayak sama siapa aja. Kamu udah hampir 3 tahun ini nemenin saya, jadi saya hafal gerak gerik kamu.” Tambah Rain lagi yang membuat Rein tersenyum kikuk dan akhirnya mendaratkan bokongnya di atas kursi.

 

 

Tidak ada suara lagi yang terlontar, hanya ada suara deru angin serta benturan pulpen ke atas meja. Rain fokus dengan pekerjaan sementara Rein setia menunggu hingga seluruh disposisi selesai.

 

 

“Rein, boleh saya minta pendapat kamu?”

 

 

“Boleh Pak, soal apa Pak?”

 

 

Terdengar napas yang terhela dari Rain. Dia yang semula fokus dengan pekerjaannya perlahan meninggalkan tumpukan kertas itu untuk melihat ke arah Rein yang tengah menunggu.

 

 

“Soal pasangan.”

 

 

“Maksudnya bagaimana Pak?”

 

 

Untuk kedua kalinya, helaan berat lolos dari bilah bibir Rain. Hal itu tidak luput dari perhatian Rein. Hal baru yang baru ia ketahui. Pasalnya selama dia bekerja, baru kali ini dia melihat Rain sefrustasi seperti saat itu. Sampai menimbulkan kantung mata yang samar di bawah matanya.

 

 

“Mamah saya mau kenalin saya sama anak temennya.” Ada jeda singkat yang lagi-lagi diisi oleh napas berat yang terembus.

 

 

“Saya tau ini bukan cuma pertemuan biasa. Ini rencana mamah saya supaya saya bisa cepet nikah.”

 

 

Ada hening yang ganjil di antara mereka. Rein masih bingung harus merespon seperti apa, sekaligus terkejut mendengar penuturan tersebut. Sedangkan Rain, di masih diselimuti gundah dan risau yang menyiksa.

 

 

“Ma-Maaf Pak, jika boleh tahu apa yang membuat Bapak seperti tidak suka dengan rencana Ibu Riska?”

 

 

Rain terlihat menerawang jauh ke depan. Seakan memikirkan jawaban atas pertanyaan itu, padahal ia sudah memilikinya. Hanya saja Rain masih tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya.

 

 

“Saya nggak suka dipaksa.”

 

 

“Lalu?”

 

 

Lagi-lagi, helaan napas menjadi cara jitu Rain untuk mengikis sedikit demi sedikit rasa gundah di dada.

 

 

“Saya punya orang yang saya inginkan.”

 

 

Jawaban Rain membuat Rein sedikit terkejut. Dia tidak menyangka mendengar pengakuan itu langsung dari sang bos. Tanpa ragu, tanpa sensor. Terucap dengan lantang di depan wajahnya.

 

 

“Kenapa Bapak nggak coba bilang ke Bu Riska kalau Bapak sudah memiliki hubungan dengan orang lain?”

 

 

“Masalahnya bukan itu Rein. Bukan saya nggak mau jujur ke mamah, tapi saya nggak tau perempuan itu bersedia atau nggak.”

 

 

“Pak, maksudnya bagaimana ya? Kok saya jadi bingung.” Tanya Rein jujur. Karena nyatanya, dia memang semakin tidak mengerti masalah yang Rain hadapi. Jika masalahnya adalah Rain yang tidak suka dikenalkan dengan perempuan lain, dia bisa menolak saja toh dia juga sudah memiliki pasangan.

 

 

Lalu apa yang harus dipusingkan?

 

 

“Singkatnya gini Rein, saya gak mau dijodohin karena saya udah suka sama orang lain. Tapi saya gak tau orang itu suka balik sama saya atau nggak.”

 

 

Rein seketika bergumam ‘Oh,’ pertanda baru mengerti.

 

 

“Kalau gitu, kenapa nggak Bapak tanya langsung sama orangnya. Dari pada bapak galau sendiri kayak gini.” Usul Rein yang tanpa disadari membuat sosok di depannya langsung menegak.

 

 

“Begitu ya menurut kamu?”

 

 

Rein mengangguk. Seketika ada rasa puas yang menyeruak dalam hatinya karena merasa ia telah kembali berhasil membantu Rain. Namun sebuah kalimat yang mengalun ke dalam telinganya membuat perasaan itu seketika menghilang dan berganti dengan rasa terkejut.

 

 

“Kalau gitu kamu mau nggak saya kenalin ke mamah sebagai perempuan yang saya suka?”

 

 

Rein melotot dengan jantung yang seketika berpacu cepat. Dia menatap lawan bicaranya itu horor. Namun Rain yang ditatap malah memasang senyum yang tidak pernah ia tunjukan kepada siapa pun. Senyum tulus dengan air wajah yang serius.

 

 

“Rein?” Tangannya bergerak di depan wajah Rein.

 

 

“Kamu gapapa?”

 

 

Rein mengerjap cepat. Lalu buru-buru membenarkan posisi duduknya.

 

 

“Ma-Maaf Pak.”

 

 

Kini giliran Rain yang membenarkan posisi duduknya. Dia kembali memposisikan tubuhnya menjadi tegak serta merapatkan kursinya ke meja.

 

 

“Pertanyaan saya belum kamu jawab.”

 

 

“Pe-Pertanya-an?” Ulang Rein memastikan.

 

 

Rain mengangguk singkat. “Iya, kamu bersedia gak ketemu mamah saya?”

 

 

Rein mengernyit sambil berusaha menetralkan degup jantungnya.

 

 

“Ke-Kenapa saya pak?”

 

 

Untuk kedua kalinya, Rein melihat senyum tulus Rain yang terbentuk semakin lebar.

 

 

“Karena perempuan yang saya suka itu kamu, Rein.”

 

 

Pengakuan Rain berhasil membuat Rein mengalami yang namanya insomnia. Suatu keadaan yang tidak pernah Rein alami, tetapi untuk pertama kalinya terjadi dan itu karena bosnya sendiri. Tidak pernah terbayangkan jika ia akan terus terbayang kejadian hari itu. Setiap aktivitas yang dirinya lakukan pasti akan ada sekelebat ingatan dimana dengan santai dan serius Rain mengucapkan kalimat mengejutkan itu.

 

 

Rein menghela, entah sudah yang keberapa kali. Dirinya lelah tetapi otaknya tak kunjung bisa beristirahat. Terlalu penuh dan memusingkan sampai membuat tidur saja tidak bisa. Entah sudah berapa kali dia merubah posisi tidurnya, tapi kantuk tak kunjung datang. Lelah, ia sangat lelah. Rein butuh istirahat.

 

 

Saat hendak kembali mencoba untuk tidur, suara notifikasi ponselnya malah membuat mata yang sudah ia paksa untuk terpejam kembali terbuka. Dengan malas, ia mengambil benda pipih itu dari atas nakas. Sebuah nama yang merupakan penyebab dari keadaannya saat ini yang muncul pada layar datar tersebut.

 

 

Sontak, Rein kembali menegakkan tubuhnya. Dia juga langsung menyandarkan punggung pada kepala kasur, sambil menimbang apakah ia harus membaca pesan itu atau tidak. Namun tanpa disengaja, jemarinya malah menggeser notifikasi tersebut hingga pesan tersebut terbuka dan tentunya terbaca.

 

 

“Rein bodoh!” Umpatnya sambil memukul pelan kepalanya sendiri.

 

 

Karena sudah terlanjur, tidak mungkin dia mengabaikan pesan tersebut walau sebenarnya bisa saja. Hanya, Rein pikir akan tidak sopan jika membiarkan pesan tersebut terbaca tanpa balasan. Apalagi posisinya yang merupakan sekretaris Rain, bukankah akan berisiko terhadap pekerjaannya nanti.

 

 

 

Pak Narain

 

Kamu udah tidur?

Belum pak

Ada yang bisa saya bantu pak?

Maaf ya kalau saya malah mengganggu waktu istirahat kamu

Enggak apa-apa pak, saya juga belum tidur

Ada apa pak?

Saya ingin minta maaf soal perkataan saya

Tapi jika boleh jujur, yang saya katakan bukan sekedar bualan

Saya serius dengan ucapan saya

Bukan karena tuntutan orang tua, tapi semuanya murni atas kemauan saya sendiri

Saya ingin serius sama kamu. Jika boleh jujur, saya mulai tertarik dengan kamu beberapa bulan setelah kita bekerja bersama

Awalnya saya hanya menyukai bagaimana ketanggapan kamu terhadap pekerjaan, termasuk permintaan saya. Tapi lama-lama saya merasa nyaman sama semuanya

Saya tau, yang kamu lakuin itu murni karena pekerjaan. Tapi saya juga gak bisa menolak perasaan ini

Sekali lagi Rein, saya gak maksa kamu untuk membalas perasaan saya. Tapi saya masih menunggu jawaban kamu atas perasaan saya ini

Seperti permintaan kamu tadi, saya akan memberikan kamu waktu. Kamu bisa pakai waktu sebanyak yang kamu mau, karena saya akan menunggunya

Jangan balas pesen saya ini, biarin saya yang jadi orang terakhir

Cepet istirahat karena besok kamu masih harus pergi ke kantor

Selamat malam Arunika Rein

 

 

 

Lagi, Rein menghelakan napas. Namun helaannya lebih berat dan lebih panjang. Dia menatap layar datar yang masih menampilkan pesan panjang dari Rain. Dia hanya melihat tanpa berniat membalas seperti permintaan laki-laki itu. Bukan karena menuruti, tetapi karena ia kembali dilanda kebingungan hebat. Ia gundah dengan apa yang baru saja disampaikan Rain.

 

 

Tak pernah terbayangkan jika bosnya akan menaruh perasaan kepadanya. Entah kebaikan atau keburukan yang telah Rein lakukan di masa lampau sampai keadaan seperti ini yang harus dia hadapi. Ia tidak siap dan tidak tahu kapan akan siap. Semuanya terlalu cepat untuk Rein. Hidupnya yang biasa saja, tiba-tiba harus mengalami guncangan karena seorang Narain Bagaskara.

 

 

Untuk kesekian kalinya, dia berusaha terlelap. Matanya dipejamkan dengan erat sambil merapalkan doa agar sesegera mungkin hanyut dalam kantuk. Namun semakin kuat matanya dipejamkan, semakin kuat juga bayangan sosok Rain bermain di dalam pikirannya. Sungguh, ia lelah. Fisiknya lelah, pikirannya juga lelah, dan kini jantungnya malah berpacu hebat yang semakin membuat raga itu letih.

 

 

Sungguh, efek Narain Bagaskara tidak bisa dipandang sebelah mata. Tidak hanya perawakan fisik laki-laki itu saja yang membuat banyak kaum hawa –termasuk dirinya– seperti melebur dalam pesonanya, tetapi pengakuan laki-laki itu ternyata malah lebih memabukkan lagi untuknya. Seorang Arunika Rein yang merupakan sosok biasa saja, kini harus dihadapkan dengan sebuah pernyataan cinta –ah ralat, pernyataan keseriusan yang seperti serangan fajar untuknya. Tidak ada angin maupun hujan, Rein mendapat pengakuan cinta dari Rain.

 

 

Ingin abai, tapi otaknya tidak mengizinkan. Ingin memikirkan, tapi tubuh dan pikirannya begitu lelah. Lalu apa lagi yang harus Rein lakukan. Dia benar-benar gundah di saat langit malam sudah sangat hitam. Tidak ada suara lain selain suara serangga malam serta denting jam yang terpasang di dinding kamar kosnya. Namun ternyata suara itu yang lambat laun mengantarkan Rein untuk berlabuh dalam alam mimpi. Setidaknya selama beberapa jam yang lebih sedikit dari biasanya, Rein dapat beristirahat tanpa harus pusing memikirkan nasibnya dan juga pengakuan keseriusan Rain.

 

 

Rein begitu terkejut sampai tidak sadar jika sosok Rain telah berada di depan mejanya. Ia masih setia menatap layar ponselnya dengan pandangan gamang. Ada yang aneh tapi dia tidak yakin dengan pemikirannya. Sampai bariton berat Rain menyadarkannya serta membuat semua prasangkanya seakan dibenarkan.

 

 

“Maaf.” Ucap Rain pelan.

 

 

Ia mengernyit dan tetap menutup mulutnya rapat-rapat.

 

 

“Mamah gak sengaja denger pembicaraan kita waktu itu, jadi mau gak mau aku jujur sama mamah. Maaf udah buat kamu gak nyaman Rein.”

 

 

Rein mengerti dan paham. Lantas dia mengembuskan napasnya yang sempat tertahan.

 

 

“Gak apa-apa, saya paham pak. Cuma saya kaget aja sama pesan Bu Riska.”

 

 

“Emang mamah bilang apa?”

 

 

Rein tidak menjawabnya, dia malah menyodorkan ponselnya kepada Rain yang kemudian diterima oleh laki-laki itu.

 

 

Rain membaca pesan singkat itu, dan setelahnya kepalanya diangkat untuk melihat kepada Rein.

 

 

“Kalau kamu keberatan, gak usah dateng aja. Nanti biar saya yang bilang ke mamah.”

 

 

Rein menggeleng cepat. Matanya yang semula menatap kepada ponsel miliknya kini berangsur terangkat dan bertemu dengan manik gelap Rain.

 

 

“Saya gak keberatan Pak, cuma-”

 

 

“Cuma?”

 

 

Hm.. saya…” Rein terlihat gusar, sementara Rain sabar menunggu.

 

 

“Takut.” Cicit Rein.

 

 

Mendengar itu, dahi Rain mengerut. Matanya pun ikut memicing sambil meniliti raut wajah Rein yang masih sedikit menunduk

 

 

“Kamu takut kenapa?”

 

 

Pertanyaan Rain membuat Rein menelan salivanya susah payah. Rasanya ada yang mengganjal di tenggorokannya, sampai membuat ia sulit untuk melafalkan jawaban.

 

 

“Rein..”

 

 

“Pak, saya pikir kita baru mengenal dan kita masih butuh waktu untuk itu.”

 

 

“Hanya itu?” Tanya Rain lagi, karena dari kegamangan suara dan rautnya yang gundah, ia yakin jika ada hal lain yang mengusik Rein. Tidak hanya mengenai waktu seperti yang diucapkannya barusan.

 

 

Mendengar pertanyaan itu, Rein sempat diam sambil menatap dengan lekat manik hitam laki-laki yang jauh lebih tinggi dari dirinya itu. Dia menyelami sedalam apa tatapan tajam itu menatapnya. Dalam diamnya, dia berusaha mencari keyakinan akan dirinya sendiri. Mencoba memahami nilai yang ia miliki.

 

 

“Hei..”

 

 

Usapan lembut di pundaknya membawa Rein kembali pada dunia nyata. Ia lantas mengerjap, lalu kembali memfokuskan diri pada Rain.

 

 

“Kamu harus inget, kalau gak ada yang boleh kamu tutup-tutupi. Kita juga udah janji, selama waktu mengenal ini semua yang masing-masing dari kita pikirin dan rasain harus disampaikan. Jadi sekarang kamu jujur, apa yang kamu pikirin lagi?”

 

 

Rein terlihat menarik napasnya lalu diembuskan berkala.

 

 

“Saya takut kalau Bu Riska menganggap hubungan kita nggak setara Pak. Bagaimana pun saya cuma mantan asisten Bu Riska yang sekarang jadi sekre Bapak.” Akunya jujur.

 

 

Mendengar penuturan Rein dengan kepala tertunduk itu, membuat senyum kecil terbit menghiasi wajah kokoh Rain. Maka dengan sebuah gerakan cepat, ia mengambil salah satu tangan Rein untuk digenggam sekaligus agar perempuan itu kembali mengangkat kepalanya.

 

 

“Mamah seneng pas dia denger omongan kita. Jadi buang jauh-jauh pemikiran jelek kamu itu.” Rain menjeda ucapannya untuk merekam setiap inchi wajah Rein.

 

 

“Kamu emang kerja di perusahaan keluarga saya, tapi itu gak masalah. Orang tua saya bukan orang tua kolot, yang menilai semua dari tingkat ekonomi. Lagi pula keluarga saya bukan keluarga konglomerat atau sejak dulu sudah kaya raya. Mamah dan papah nikah dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan, dan saya lahir saat papah masih merintis usahanya. Jadi jangan merasa rendah Rein. Kamu punya nilai tersendiri yang membuat kamu pantas.”

 

 

Rein sedikit bisa bernapas lega setelah penjelasan singkat Rain. Namun gundah itu tetap ada dalam benaknya. Memikirkan undangan yang ia terima, membuat kepalanya masih tetap penuh. Kalimat penenang Rain tak mempan untuk itu.

 

 

Apakah ia harus datang atau tidak?

 

 

Pertanyaan itu terus berputar di otaknya. Ia ragu karena undangan yang ia terima adalah makan malam bersama dengan keluarga Rain. Ia masih merasa sedikit kecil, ingat sedikit. Tapi di bagian sisi hatinya yang lain, Rein merasa dia perlu datang. Selain karena untuk menghargai Riska yang telah mengundangnya, ia juga ingin menunjukan bahwa dirinya pantas.

 

 

Setidaknya ia perlu mencoba. Karena tanpa mencoba dia tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi. Tanpa mencoba tidak akan pernah menjadi pengalaman hidup. Tanpa mencoba mungkin hanya akan meninggalkan kalimat ‘seandainya’ dalam hidup.

 

 

“Udah ah, kamu bisa lanjut mikirnya nanti pas di kosan. Sekarang ayo pulang, saya tau kamu pasti capek karena nemenin saya cek venue.”

 

 

Ucapan Rain mengembalikan Rein dari lamunan pendeknya. Dia menatap laki-laki di depannya lantas mengangguk kecil. Kemudian tangannya mengambil tas serta ponsel yang telah ia siapkan, dan berjalan mengikuti Rain dari belakang.

 

 

Ini adalah keinginannya. Rein masih ingin menyembunyikan status hubungan mereka. Dia tidak mau ada kabar tidak mengenakan tentang mereka. Karena itu, sebisa mungkin dirinya dan Rain bersikap layaknya atasan dan sekretaris. Walaupun mereka akan pulang bersama, tetapi mereka akan menjadi orang terakhir yang meninggalkan ruangan untuk meminimalisasi orang lain melihat mereka.

 

 

Rain setuju. Karena baginya, kenyamanan Rein adalah yang utama. Lagi pula, dia juga bukan tipe yang suka mengumbar urusan pribadi. Jadi permintaan Rein diterimanya dengan mudah. Yang penting baginya adalah, perasaannya terbalas dan ia bisa mengklaim Rein sebagai gadisnya.

 

 

Setelah perdebatan yang cukup panjang dan melelahkan. Pada akhirnya Rein memutuskan untuk menerima undangan Riska. Dia meyakini dirinya jika malam ini hanyalah makan malam biasa saja. Tidak perlu takut. Tidak perlu gusar. Rein pasti mampu melewati malam ini. Dia hanya perlu bersikap sopan dan mengikuti rangkaian kegiatan dengan benar. Tidak perlu terlalu gugup karena katanya Rain akan selalu ada di sampingnya.

 

 

Tapi, tidak bisa! Rein tetap gugup. Bahkan debaran jantungnya semakin menggila tatkala mobil yang dikendarai oleh kekasihnya sudah mulai berbelok memasuki pekarangan rumah. Rein tahu rumah ini karena sebelumnya dia kerap bertandang ke rumah itu, tetapi sebagai asisten bukan kekasih anak mantan aatasannya.

 

 

“Gimana? Udah siap?” Tanya Rain saat dia sudah memarkirkan mobilnya.

 

 

Rein menoleh dan melihat Rain yang tengah menunggunya. Dia sadar, pasti kegugupannya terlihat jelas oleh Rain karenanya kekasihnya itu mencoba memastikan keadaannya. Ditambah dengan tangan Rain yang mengusap punggung tangannya, seakan memberikan keyakinan jika semua akan baik-baik saja. Begitu pun dengan tatapan teduh yang tersorot dari manik hitamnya. Semua itu berhasil mengikis sedikit demi sedikit kegugupan yang bercokol di dadanya.

 

 

“Tenang, saya nggak akan biarin kamu sendiri.” Ucap Rain final sebelum mereka keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah.

 

 

“Oma, Om Rain udah dateng.” Teriak seorang anak laki-laki kecil yang kebetulan lewat.

 

 

Suara nyaringnya menggema ke seluruh ruangan hingga membuat orang-orang yang berada di seisi rumah berhambur mendekat. Mereka berdiri di hadapan kedua pasangan yang kini berdiri berdampingan dengan tangan bertaut. Rain menjadi orang pertama yang melepaskan genggamannya saat dengan tiba-tiba anak laki-laki itu berlari ke arahnya dan memeluknya. Sementara Rein, dia masih berdiri kaku dengan senyum canggung di samping Rain.

 

 

“Tante cantik ini siapa Om?”

 

 

Rain mengangkat kepalanya mengikuti arah pandang keponakannya.

 

 

“Namanya Tante Rein, pacar Om.”

 

 

“Pacar?” Ulangnya dengan suara bingung. Lalu dia melepaskan diri dari Rain dan kembali berlari ke arah Ibunya.

 

 

“Mamah, pacar itu apa?” Tanyanya lugu.

 

 

Lantas gelak tawa tercipta setelah mendengar celotehan anak laki-laki berusia 3 tahun itu. Namun hal tersebut tidak mengurangi rasa gugup di benak Rein. Di balik tawa kecilnya, jantungnya masih berdetak cepat. Debarannya semakin menggila saat sosok oma yang dipanggil anak laki-laki itu berjalan mendekat ke arahnya.

 

 

“Rein..”

 

 

Selama detik awal, Rein terpaku sebelum kembali tersadar dan buru-buru menyalami wanita itu.

 

 

“Bu Riska..”

 

 

Riska menggeleng, masih dengan membawa tangan Rein dalam genggamannya.

 

 

“Panggil Tante aja, saya bukan atasan kamu lagi Rein.”

 

 

“I-Iya, maaf Tan..”

 

 

Riska menggeleng samar.

 

 

“Ayo masuk, kenalan sama keluarga yang lain.” Riska merangkul pundak Rein dan membawanya berjalan lebih dulu.

 

 

Rein mau tidak mau mengikuti walau dia sempat menoleh ke arah Rain meminta pertolongan tapi hanya direspon dengan gerakan kepala mengizinkan.

 

 

“Hallo Tante, nama ku Atlas. Aku anaknya Mamah Rhea dan Papah Arka.” Suara cempreng itu kembali mengalun saat Rein dan Riska baru saja bergabung dengan anggota keluarga yang lain.

 

 

“Hallo Atlas. Nama Tante, Rein. Salam kenal ya..”

 

 

“Wah.. kok nama Tante sama kayak nama Om? Kalian kembar ya makanya namanya sama?” Celoteh Atlas lagi yang membuat seisi ruang keluarga itu tertawa. Lalu seorang perempuan membawa Atlas mendekat kepadanya.

 

 

“Saya Rhea, kakaknya Rain. Ini suami saya, Arka.” Ujar perempuan itu kemudian.

 

 

Rein mengangguk. Lalu menyalami keduanya bergantian.

 

 

Suasana di ruang keluarga semakin mencair tatkala Atlas terus berceloteh tanpa henti. Canggung yang sejak awal Rein rasakan berangsur menghilang saat merasakan penerimaan dari keluarga Rain. Ditambah laki-laki itu yang menepati janjinya untuk terus berada di dekat Rein, membuat ia semakin merasa tenang.

 

 

“Jadi, gimana Rain di kantor?” Pertanyaan itu dilontarkan Ronny setelah mereka selesai menyantap makan malam.

 

 

Rein menoleh sesaat kepada sang kekasih sebelum kembali menatap pria setengah baya di seberangnya.

 

 

“Pak Rain-”

 

 

“Pak?”

 

 

Rein kikuk saat Ronny mengulangi ucapannya. Dia merasa seperti melakukan kesalahan, padahal ini hanya mengenai cara panggil saja. Namun memang ia mengakui jika dia dan Rain aneh. Karena hampir 2 bulan menjalin hubungan sepasang kekasih, Rein masih memanggil sang kekasih dengan sebutan Pak sementara Rain sama sekali tidak menolaknya.

 

 

“Pah!” Seru Riska. “Jangan gitu, kamu bikin Rein gugup tau gak.”

 

 

Ronny tertawa kecil, lalu kembali berucap. “Maaf, saya nggak maksud apa-apa. Cuma geregetan aja sama kalian berdua. Kalian kaku banget, mirip kanebo kering.”

 

 

Tawa renyah muncul setelah Ronny berucap. Di luar dugaan sekali sosok Ronny dimata Rein. Ia pikir ayah kekasihnya ini tipe orang yang kaku dan sedikit bicara, mirip seperti Rain. Tapi ternyata Ronny lebih banyak bicara dibandingkan tebakannya.

 

 

“Ah i-iya Om.”

 

 

Rein menarik napasnya dan kembali berusaha untuk tenang.

 

 

“Kalau soal di kantor, Rain itu bos yang nggak usil. Rain bisa memimpin perusahaan dengan baik, dan memperlakukan kami sebagai karyawan juga baik. Walaupun susah banget senyum, tapi nggak sampai bikin kami-kami ini terintimidasi walaupun kadang tetep ada rasa sungkannya.”

 

 

“Kalau Rain sebagai pacar gimana?”

 

 

Rein tidak langsung menjawab. Dia terkejut, tentu saja. Dia berharap apa yang dirinya dengar itu salah. Namun melihat raut penuh antisipasi dari Ronny dan Riska, ditambah Rain yang ternyata ikut menunggu jawabannya membuat Rein kembali sadar jika yang dirinya dengar tidaklah salah.

 

 

Mmm..” Gumam Rein sambil memainkan jemarinya.

 

 

“Menurut saya, Rain sosok yang pengertian.” Rein menjeda. Ada berbagai macam kata yang ingin disampaikan. Namun sebisa mungkin dia berusaha mengatur kalimat yang akan keluar dari mulutnya.

 

 

“Jika boleh saya jujur, Rain itu pacar pertama saya. Karena itu, jika ditanya bagaimana Rain, saya cuma bisa bilang selain pengetian dia juga baik. Dia mau memahami saya yang sulit untuk beradaptasi dengan status baru ini. Rain mau mengerti kalau saya pun juga kaku dalam hubungan ini, jadi kita sama-sama belajar untuk lebih baik lagi. Dia juga banyak membantu saya, baik itu dalam pekerjaan maupun dalam hubungan ini. Jadi bagi saya, Rain berhasil membuat gambaran sempurna seorang pacar di pikiran saya.”

 

 

Rein tidak pernah merasakan rasa lega yang sebesar ini. Setelah mobil Rain yang akan mengantarnya pulang bergerak meninggalkan area rumahnya, Rein baru bisa menarik napas sedalam yang ia mau dan mengembuskannya dalam hembusan panjang. Rain lega, bukan karena dia merasa tidak nyaman tetapi karena penerimaan keluarga Rain yang malah membuat hatinya penuh. Penuh rasa tidak percaya, dan senang.

 

 

“Jadi gimana? Masih overthinking-kah?”

 

 

Rein tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala.

 

 

“Enggak kok.”

 

 

“Makanya jangan suka berpikiran buruk dulu, karena belum tentu pikiran kamu itu bener.”

 

 

Rein hanya bisa mengangguk membenarkan sambil kembali menatap jalan.

 

 

“Rein-”

 

 

“Mas-”

 

 

Dua-duanya kembali diam saat mereka memanggil bersamaan. Namun untuk Rain, ada hal yang menggelitik telinganya. Panggilan yang baru saja didengar begitu asing di telinga tapi menghadirkan rasa hangat di dada.

 

 

“Tadi kamu manggil apa?”

 

 

Ehm.. ma-s?”

 

 

Rain tersenyum di balik kemudinya, tidak terlalu ketara.

 

 

“Iya dek, kenapa?”

 

 

Rein merengut tidak suka. Dia merasa aneh dan geli di saat bersamaan.

 

 

“Jangan manggil gitu. Aneh tau.”

 

 

Rain tertawa. “Kan kamu manggil aku Mas, jadi aku panggil kamu adek dong.”

 

 

Ihh gak gitu,” Tolak Rein tegas. “Aku manggil kamu Mas karena kamu lebih tua dan juga sebagai pacar. Bener kata papah kamu, aneh aja kalau aku masih manggil kamu pake ‘pak’.”

 

 

“Tapi kamu cukup manggil aku nama aja, gak usah ikut-ikutan jadi adek gitu. Kayak orang-orang aneh yang suka nge-dm perempuan di instagram aja.” Sambungnya cepat.

 

 

Rain tertawa kecil dengan kepala yang menggeleng.

 

 

“Ada-ada aja..”

 

 

“Iya bener, geli tau dipanggil adek. Otak aku gak nerima itu, karena yang ke rekam cuma orang-orang aneh yang suka nge-dm.”

 

 

Ada hening yang nyaman setelahnya. Baik Rein dan Rain sama-sama menikmati momen yang mereka lalui. Tidak ada yang berniat untuk menyudahi keheningan di dalam mobil sampai lampu lalu lintas berubah merah dan membuat mereka harus berhenti.

 

 

Kondisi tersebut dimanfaatkan Rain untuk mengambil tangan Rein dari pangkuannya dan dibawa untuk ia genggam.

 

 

“Rein, jangan pernah paksa diri kamu kalau kamu belum siap. Aku mau kita berubah pelan-pelan dan tanpa paksaan. Kalau omongan papah dan mamah soal hubungan kita ada yang bikin kamu gak nyaman, gak usah diturutin. Lakuin pas kamu udah siap, contohnya sama panggilan kamu ke aku.”

 

 

Kini giliran Rein yang meletakkan tangan yang masih bebas di atas genggaman tangan Rain. Lalu sambil menggeleng bibirnya berucap.

 

 

“Enggak kok, aku nggak terpaksa. Soalnya udah dari lama aku mikirinnya, cuma belum ketemu waktu yang pas. Dan sekarang waktunya tepat, jadi kenapa enggak.”

 

 

Rain tersenyum. Tak lama lampu lalu lintas kembali berubah dan dia kembali fokus pada kemudinya. Beruntungnya Rain membawa mobil matic sehingga lebih mudah baginya untuk menyetir sambil menggenggam tangan kecil Rein.

 

 

“Mas, kamu sadar sesuatu gak?”

 

 

Rain melirik sekilas dengan dahi mengerut.

 

 

“Apa?”

 

 

“Kita udah gak pake saya-kamu lagi loh.”

 

 

Selama beberapa detik kerut di dahi Rain semakin terbentuk jelas, karena dia tengah mengingat pembicaraan yang baru saja terlewat. Begitu ingatannya kembali, matanya malah membola dan mulutnya sedikit terbuka membentuk huruf ‘O’.

 

 

“Aku nggak sadar.”

 

 

Kini giliran Rein yang menyunggingkan senyumnya.

 

 

“Tuh denger, kamu baru aja manggil diri kamu pake ‘aku’.” Tukas Rein. “Lucu tau, gini terus ya Mas..” Lanjutnya penuh harap.

 

 

Suara mendayu Rein membuat Rain seketika mengangguk cepat. Itu adalah kelemahannya. Rein dengan suara yang lembut dan mengalun pelan ke dalam telinganya adalah sesuatu yang tidak bisa ia tolak. Maka secara otomatis tubuhnya akan menyetujui apa pun yang terucap dari bibir Rein.

 

 

“Aku udah nyaman jadi kamu nggak usah mikirin aku segitunya lagi, Mas. Aku udah bisa nerima hubungan yang baru ini, dan aku udah siap untuk ngejalanin hubungan ini sama kamu kayak pasangan pada umumnya. Jadi jangan sungkan lagi ya Mas.” Tutur Rein yang berhasil membuat Rain menoleh singkat.

 

 

Tentu Rain terkejut. Namun rasa itu memudar bersamaan dengan timbulnya senyum lebar yang menghiasi wajahnya. Senyum termanis yang pernah Rein lihat. Senyum yang menunjukkan rasa gembira yang tengah memenuhi relung dada Rain. Senyum yang menunjukkan bahwa kesabarannya telah berbuah baik.

 

 

Tidak munafik jika selama 2 bulan merajut kasih, ada banyak hal yang coba Rain tahan. Salah satunya adalah panggilan yang ditujukan kepadanya. Jujur saja, dia merasa panggilan Rein kepadanya seperti menciptakan batasan dalam hubungan mereka. Namun Rain berusaha mengerti. Dia tahu Rein baru pertama kali menjalin hubungan dengan lawan jenis, terlebih yang menjadi kekasihnya adalah bosnya sendiri. Pastilah ada banyak hal yang harus disesuaikan dari dalam dirinya. Karena itu, Rain berusaha menerima semuanya sambil menunggu kesiapan itu.

 

 

Dan buah kesabarannya akhirnya sampai di akhir. Rein sudah bisa menerima hubungan mereka. Rein akhirnya bisa memandang dirinya sebagai seorang kekasih yang seutuhnya. Rein tidak lagi merasa rendah diri hanya karena dia seorang anak pemilik perusahaan sementara Rein hanya sekretarisnya. Rein juga tidak lagi berpikiran buruk tentang keluarganya.

 

 

Mungkin hubungan mereka akan tetap menjadi rahasia. Karena bagaimanapun dia tetap ingin melindungi Rein dari rumor jahat saat di kantor. Namun hal itu tidak akan lagi membatasi Rain untuk memperlakukan Rein seperti seorang kekasih yang seutuhnya. Sudah lama ia menunggunya. Sudah banyak hal yang hanya ia jadikan wishlist. Kini, akhirnya semua itu dapat diwujudkan.

 

 

Terima kasih Arunika Rein, untuk penerimaannya. Sungguh Rain sangat senang akan penerimaan tersebut. Terima kasih untuk usaha menyesuaikan diri yang sudah dilakukan. Karena usaha Rein akhirnya membawa kebahagiaan untuk Rain. Kebahagiaan tidak terkira yang membuat senyum terus terukir manis di wajahnya. Senyum yang sulit sekali muncul, kini dengan sukarela terbentuk di bibirnya. Senyum yang membuat Rein ikut tersenyum sambil meletakkan kepalanya di pundak Rain.

  

 

E . N . D



- DF -

Comments

Popular Posts