Checklist to Your Heart: 101 Tries (Rain & Rein - Ekstra Part)
Starring:
.
.
.
Narain
Bagaskara akhirnya secara resmi menggantikan posisi sang ayah untuk memimpin
perusahaan keluarga mereka. Setelah hampir 2 tahun belakangan dia mempelajari
proses kerjanya, Rain pun memutuskan untuk menduduki posisi tertinggi
perusahaan. Setelah proses yang panjang dan waktu yang tidak bisa dibilang
singkat, Rain memberanikan diri untuk mengemban tanggung jawab tersebut.
“Selamat
pagi Pak Rain.”
“Pagi.” Jawabnya, masih dengan
kaki yang bergerak menuju ke ruangannya. Ruangan yang dulu diisi oleh Ronny,
kini menjadi ruangannya.
“Perkenalkan Pak, saya Rein.
Saya yang diminta menggantikan Mas Dhiko untuk menjadi sekretaris Bapak.”
“Rein? R – E atau R – A?”
Tanyanya begitu mengetahui nama perempuan itu.
“E, Pak.”
Rain menganggukan kepalanya. Rasanya
lucu ketika mengetahui jika ada orang yang namanya mirip dengannya, hanya
berbeda 1 huruf saja dan sosok itu perempuan pula.
“Nama kita terdengar mirip,
hanya berbeda 1 huruf saja.” Gumamnya. “Kamu dulu asisten mama saya kan?”
Sambung Rain cepat.
“Benar Pak, saya asisten pribadi
Ibu Riska yang direkomendasikan untuk menggantikan Mas Dhiko yang kini menjadi
asisten pribadi Pak Ronny.”
Rain membuka berkas yang baru
saja diletakkan sekretarisnya sambil mendengar arahannya. Dia membaca dengan
seksama isinya.
"Nanti akan saya baca.”
Ujarnya mengacu pada laporan mingguan yang dirinya minta. Lantas dia kembali
fokus pada dokumen lainnya.
“Oh iya, untuk pertemuan makan
siang nanti, saya mau kamu ikut.” Tukasnya. Entah apa yang Rain pikirkan, yang
jelas kalimat itu terlontar begitu saja. Dia hanya ingin sekretarisnya
menemaninya, padahal ia tahu jika acara itu ditujukan untuk dirinya.
Perintahnya berhasil membuat
Rein terkejut, semua itu begitu terlihat di wajahnya. Rein seperti buku yang
terbuka, semua ekspresinya dapat terbaca jelas hanya dengan melihatnya saja.
“Maaf Pak, tapi undangan
tersebut hanya untuk Bapak.”
Rain mengangkat kepalanya.
“Tidak apa, ikut dengan saya.
Mereka juga perlu mengenal kamu sebagai sekretaris saya.” Jawab Rain, entah
berlandaskan apa. Yang jelas dia merasa perlu menjalin kedekatan dengan Rein.
Keinginan Rain ternyata berbuah
manis. Hubungannya dengan Rein terjalin baik. Bahkan dia juga sadar jika banyak
karyawan yang lain mengandalkan Rein jika ingin berkomunikasi dengan dirinya.
Semua itu bisa terjadi karena pendekatan yang dirinya lakukan hingga membuat
canggung dan segan itu mencair dengan sendirinya.
Selain itu, Rain merasa jika
Rein sangat kompeten dalam pekerjaannya. Ia bisa menilai demikian bukan karena
kedekatan mereka, tapi ia benar-benar menilai secara objektif. Mulai dari
mengurus jadwal, mengatur seluruh kegiatan dan berkas, hingga menyiapkan segala
kebutuhannya selama di kantor.
Ia sangat takjub dengan setiap
detail pekerjaan yang diselesaikan Rein. Bahkan yang membuatnya begitu terpukau
adalah bagaimana Rein menghadapi dirinya yang sedang tidak baik-baik saja.
Tidak semua orang bisa tahan dengan Rain ketika sedang dalam fase tidak jelas,
bahkan orang tuanya sekali pun. Namun Rein mampu, bahkan sekretarisnya itu juga
bisa membantu mengurangi kegundangan di dalam hati dan kekusutan di dalam
pikirannya.
Hingga tanpa Rain sadari, rasa
kagum yang ia miliki malah membuat Rain memberikan perlakuan berbeda. Seperti,
mengantarkan Rein pulang, tidak setiap waktu tetapi cukup sering. Kemudian
membeli sarapan untuk sekretarisnya itu, walau dalihnya adalah dia sekalian
membeli untuk dirinya sendiri. Puncak dari semua perlakuan spesialnya itu
adalah saat Rain secara tidak langsung menunjukkan kepemilikannya atas Rein
ketika mereka sedang bertemu klien. Hal itu terjadi, saat Rain menyadari
tatapan berbeda dari kliennya kepada Rein. Melihat itu membuat hatinya tidak
rela.
Semua itu adalah baru sebagian
kecil dari hal-hal yang Rain lakukan untuk Rein. Karena ada banyak sekali yang
ia lakukan, contoh lainnya adalah dia yang membantu membawa tas Rein ketika
mereka sedang di luar, padahal sekretarisnya itu mengatakan dia bisa membawanya
sendiri. Lalu mereka yang berbagi payung bersama, hingga Rain harus merangkul
pundak Rein agar terhindar dari air yang jatuh. Dan masih banyak lagi, sampai
rasanya terlalu banyak hingga sulit untuk dituliskan satu per satu.
Namun semua memori itu seakan
mengabur bersama pertanyaan Riska yang mendominasi pikirannya. Pertanyaan yang
bagi Rain konyol, tapi begitu menyita waktu dan menguras tenaganya. Pertanyaan
yang seharusnya tidak disampaikan kepada siapa pun orang di muka bumi ini.
“Menurut kamu, apa yang harus
saya lakukan? Saya tidak suka dipaksa.” Tanyanya pada Rein.
Ya, saat ini, di tengah
pekerjaannya, Rain menyampaikan keluh kesah dan juga masalah yang membuatnya
pusing. Sejujurnya, itu bukanlah masalah yang besar tapi menjadi rumit karena
pikirannya sendiri.
“Bapak bisa bilang langsung ke
Bu Riska, kalau Bapak keberatan.”
Ia menghela sambil menyandarkan
tubuhnya.
“Enggak akan semudah itu kalau
saya gak bawa gandengan.”
“Kalau gitu, Bapak bawa dong.
Enggak mungkin nggak ada yang mau digandeng sama Pak Rain.”
Rain menarik kecil sudut
bibirnya.
“Enggak ada, tapi saya punya
orang yang saya suka dan saya inginkan.”
Walau terlihat bingung, Rein
tetap menatapnya dengan kepala yang digerakkan naik turun.
“Kenapa nggak dikenalin aja
Pak?”
“Karena saya nggak tau,
perempuan itu bersedia atau nggak.”
“Kalau gitu, kenapa nggak Bapak
tanya langsung sama orangnya. Dari pada bapak galau sendiri kayak gini.”
Jawaban Rein membuat ia langsung menegakkan tubuhnya. Lalu dia menatap
sekretarisnya itu dalam.
“Begitu ya menurut kamu?”
Rein mengangguk dengan tersenyum
puas.
“Kalau gitu kamu mau nggak saya
kenalin ke mamah sebagai perempuan yang saya suka?”
Ucapannya membuat Rein melotot.
Pandangannya seketika hilang fokus dan tubuhnya terlihat diam kaku. Rain
melihat perubahan drastis pada diri Rein, tetapi hal itu malah membuat
senyumnya terbit. Di matanya, saat ini Rein terlihat lucu.
“Rein?” Tangannya bergerak di
depan wajah Rein.
“Kamu gapapa?”
Rein mengerjap cepat. Lalu
buru-buru membenarkan posisi duduknya.
“Ma-Maaf Pak.”
“Pertanyaan saya belum kamu
jawab.” Ucapnya setelah membenarkan posisi duduknya. Kali ini ia memposisikan
diri sedikit lebih serius.
“Pe-Pertanya-an?” Ulang Rein
memastikan.
Rain mengangguk singkat. “Iya,
kamu bersedia gak ketemu mamah saya?”
Rein mengernyit sambil berusaha
menetralkan degup jantungnya.
“Ke-Kenapa saya pak?”
“Karena perempuan yang saya suka
itu kamu, Rein.” Jawabnya dengan santai tapi serius.
“Sebelumnya saya minta maaf
karena pernah mencuri dengar saat kamu menelpon temanmu. Tapi saya mau kamu
jujur juga di depan saya, kalau kamu juga ngerasa ada yang aneh di antara kita.
Karena saya juga ngerasa kayak gitu Rein. Saya ngerasa nyaman tapi terkadang
jantung saya suka berdetak nggak normal, sama seperti yang kamu bilang ke
temanmu.” Ia memberikan sedikit jeda untuk menarik napas dan menenangkan
jantungnya yang berdebar hebat. Ini memang bukan yang pertama, tapi entah
kenapa terasa lebih menggila dibanding momen pengakuan cinta yang pernah ia
lalui.
“Saya nggak akan memaksa dan
saya akan memberikan kamu waktu. Pakai waktu kamu sepuas yang kamu mau, karena
saya akan menunggunya.” Terang Rain masih dengan senyum tulus yang menghiasi
wajahnya.
Rain tidak ingin memaksa atau
memburu-buru Rein. Dia ingin sekretarisnya itu memikirkan jawabannya tanpa ada
tekanan apa pun. Dia ingin mendengar jawaban saat Rein sudah bisa menerima
pengakuannya. Apa pun jawabannya, Rain akan menerimanya. Walaupun dia sangat
berharap jika perasaannya tidak hanya dirinya saja yang rasakan. Apa yang ia
dengar saat itu benar adanya.
Maka Rain membiarkan waktu
berlalu seperti biasa. Tidak ada pembicaraan yang menjurus kepada pengakuannya
setelah pesan panjang yang ia kirimkan malam itu. Ia benar memberikan Rein
waktu. Walau dalam hati ia begitu menanti jawaban, tetapi sebisa mungkin dia
bersabar menunggu. Walaupun begitu Rain tetaplah Rain. Dia tetap memberikan
perlakuan khusus kepada sekretarisnya. Tidak mencolok, tetapi selalu berhasil
menghadirkan semburat merah di pipinya.
Seperti halnya malam setelah
pertemuan dengan klien, Rain mengantarnya pulang lalu saat akan keluar ia
mengambil buket dari kursi belakang dan memberikannya kepada Rein. Dia tidak
mengatakan apa pun, hanya memberikan dan berkata semoga Rein suka. Tentu hal
itu kembali menciptakan semburat merah pada pipi Rein yang membuat Rain puas.
Tidak hanya itu, beberapa kali Rain mengajak Rein untuk makan siang di luar.
Tidak disampaikan alasannya, tapi akhirnya ajakan itu diterima setelah sedikit
perdebatan kecil yang panjang.
Semua yang ia lakukan lambat
laun menjadi sebuah kebiasaan yang tidak lagi ditanyakan Rein perihal
alasannya. Rein akhirnya terbiasa menerima semua perlakuan manis Rain tanpa
bertanya alasan, sedangkan Rain menikmati perannya sebagai “provider” untuk Rein. Sampai akhirnya,
ia mendengar jawaban yang sudah sejak lama ia ingin denger.
“Walaupun kita pacaran, boleh
nggak saya minta sesuatu?” Tanya Rein setelah ia jujur atas perasaannya.
“Apa?” Tanya Rain masih dengan
menggenggam tangan Rein. Sesekali ibu jarinya bergeerak memberika usapan lembut
di punggung tangannya.
“Saya mau hubungin kita nggak
diumbar, karena saya nggak mau suasananya berubah dan timbul masalah lainnya.
Bagaimana pak?”
Rain mengangguk.
“Enggak masalah, saya setuju.
Supaya nggak ada masalah baru disaat kita baru mulai menjalin hubungan ini.”
Ucapnya menyetujui.
Namun, sayangnya rencana mereka
tidak berjalan seperti keinginan keduanya. Baru 2 bulan mereka menyandang
status sebagai sepasang kekasih, tanpa direncanakan hubungan mereka terendus
oleh Riska. Tentu saja Rein terkejut dan Rain merasa bersalah.
Bagaimana tidak, setelah dia
tidak lagi menjadi asisten wanita itu, mereka tidak lagi saling berhubungan.
Hanya di awal saja saat Riska menanyakan bagaimana tempat barunya. Namun
setelah itu, tidak ada lagi. Sampai akhirnya, dia kembali menerima pesan
singkat dengan ajakan makan malam sekaligus pengakuan jika ia mengetahui
hubungan Rain dan Rein.
Jujur, Rein terkejut
sampai-sampai membuat Rain begitu khawatir. Rein yang selalu fokus, tiba-tiba
saja selama satu hari penuh malah kehilangan kemampuannya itu. Belum lagi
beberapa kesalahan kecil yang mau tidak mau harus dirinya tegur. Walapun tidak
fatal, tetapi terlihat begitu mengganggu.
Setelah memastikan jika karyawan
lain di lantainya sudah pergi, Rain memutuskan untuk menghampiri Rein di
mejanya. Dia berdiri di depan meja kekasihnya itu sambil mengamati Rein yang
masih hanyut dalam pikirannya.
“Maaf.” Ucap Rain pelan.
Ada tarikan napas panjang
sebelum bilah bibirnya kembali terbuka.
“Mamah gak sengaja denger
pembicaraan kita waktu itu, jadi mau gak mau aku jujur sama mamah. Maaf udah
buat kamu gak nyaman Rein.”
“Gak apa-apa, saya paham pak.
Cuma saya kaget aja sama pesan Bu Riska.” Jawab Rein yang berhasil
menghilangkan sedikit rasa sesal di hatinya. Ingat hanya sedikit, karena sesal
itu masih begitu mendominasi hatinya.
“Emang mamah bilang apa?”
Tanyanya penasaran.
Rein tidak menjawabnya, dia
malah menyodorkan ponselnya kepada Rain yang kemudian ia ambil dan baca
pesannya.
“Kalau kamu keberatan, gak usah
dateng aja. Nanti biar saya yang bilang ke mamah.” Ucapnya setelah membaca isi
pesan yang dikirimkan Riska kepada Rein.
Rein menggeleng cepat. Matanya
yang semula menatap kepada ponsel miliknya kini berangsur terangkat dan bertemu
dengan manik gelap Rain.
“Saya gak keberatan Pak, cuma-”
“Cuma?” Ulang Rain saat melihat
keraguan dari wajah Rein.
“Hm.. saya…”
“Takut.” Cicit Rein.
Mendengar itu, dahi Rain
mengerut. Matanya pun ikut memicing sambil meniliti raut wajah Rein yang masih
sedikit menunduk
“Kamu takut kenapa?” Tanya Rain
tapi tak langsung dijawab. Hingga harus membuat Rain kembali memanggilnya.
“Pak, saya pikir kita baru
mengenal dan kita masih butuh waktu untuk itu.”
“Hanya itu?” Tanya Rain lagi,
karena dari kegamangan suara dan rautnya yang gundah, ia yakin jika ada hal
lain yang mengusik Rein. Tidak hanya mengenai waktu seperti yang diucapkannya
barusan.
“Hei..” Panggil Rain karena
lagi-lagi ia melihat Rein yang larut dalam pikirannya.
“Kamu harus inget, kalau gak ada
yang boleh kamu tutup-tutupi. Kita juga udah janji, selama waktu mengenal ini
semua yang masing-masing dari kita pikirin dan rasain harus disampaikan. Jadi
sekarang kamu jujur, apa yang kamu pikirin lagi?”
Rein terlihat menarik napasnya
lalu diembuskan berkala.
“Saya takut kalau Bu Riska
menganggap hubungan kita nggak setara Pak. Bagaimana pun saya cuma mantan
asisten Bu Riska yang sekarang jadi sekre Bapak.” Akunya jujur.
Mendengar penuturan Rein dengan
kepala tertunduk itu, membuat senyum kecil terbit menghiasi wajah kokoh Rain.
Bingung yang sejak tadi ia rasakan pun berangus hilang terganti dengan
kelegaan. Maka dengan sebuah gerakan cepat, ia mengambil salah satu tangan Rein
untuk digenggam sekaligus agar perempuan itu kembali mengangkat kepalanya.
“Mamah seneng pas dia denger
omongan kita. Jadi buang jauh-jauh pemikiran jelek kamu itu.” Rain menjeda
ucapannya. Dia mengamati setiap ekspresi yang kini muncul di wajah Rein, dan
merekamnya dalam otak.
“Kamu emang kerja di perusahaan
keluarga saya, tapi itu gak masalah. Orang tua saya bukan orang tua kolot, yang
menilai semua dari tingkat ekonomi. Lagi pula keluarga saya bukan keluarga
konglomerat atau sejak dulu sudah kaya raya. Mamah dan papah nikah dengan
kondisi ekonomi yang pas-pasan, dan saya lahir saat papah masih merintis
usahanya. Jadi jangan merasa rendah Rein. Kamu punya nilai tersendiri yang
membuat kamu pantas.” Ucap Rain panjang.
Tangan yang sedari tadi
menggenggam tangan Rein, masih menggenggamnya erat sambil memberikan usapan
lembut di sana. Dia berharap usahanya untuk menenangkan sang kekasih bisa
berhasil. Setidaknya resah dan gundah itu sedikit terkikis dan tidak lagi
menyita seluruh isi pikiran Rein.
“Udah ah, kamu bisa lanjut
mikirnya nanti pas di kosan. Sekarang ayo pulang, saya tau kamu pasti capek
karena nemenin saya cek venue.” Ucap
Rain dengan mengusap puncak kepala Rein sebelum melepaskan segala kontak fisik
untuk segera melangkahkan kakinya pergi.
Walaupun sudah tidak ada orang
di lantainya, bukan berarti tidak ada kemungkinan jika tidak ada yang akan
memergoki mereka. Karena itu, Rain memutuskan untuk segera meninggalkan kantor
guna mengantar Rein pulang. Ia masih bisa menggenggam tangan mungil itu saat
keduanya sudah berada di dalam mobilnya dan hanya ada mereka saja di sana.
Rain tidak tahu dan tidak
menyangka jika menjalin hubungan dengan Rein akan membuat dia tidak berhenti
tersenyum. Segala tingkah laku gadisnya itu seperti hiburan untuk dirinya.
Bukan bermaksud menyamakan Rein dengan badut, tetapi memang gadis itu selalu
terlihat lucu di matanya. Bahkan saat ia hanya tengah makan saja, bisa membuat
bibirnya membentuk lengkung tipis.
Bukankah sangat membahayakan
jika di dunia ini tersenyum adalah tindak pidana kejahatan. Rain bisa-bisa
menghuni ruang berjeruji besi itu cukup lama.
“Gimana? Udah siap?” Tanya Rain.
Dia baru saja memarkirkan
mobilnya dan langsung menatap Rein yang duduk di sebelah. Dari posisi yang
cukup dekat ini, Rain bisa melihat kegugupan di wajah sang kekasih. Tangannya
saling bertaut, dan wajahnya sedikit memucat. Polesan make-up tipis benar-benar
tidak membantu untuk menutupi warna kulitnya yang pucat.
Rain menunggu sambil terus
memperhatikan Rein yang tengah bergelut dengan rasa gugupnya. Dia menunggu
dengan sabar. Tidak ingin memaksa gadisnya untuk lebih cepat, karena ia tahu
jika mengendalikan rasa gugup itu sangatlah sulit. Lagi pula acara yang diadakan
pun hanya acara makan malam biasa. Jadi tidak perlu buru-buru.
“Udah jangan liatin terus, nanti
saya makin gugup.” Tukas Rein yang membuat tawa kecilnya pecah.
Sebelum mereka keluar dari
mobil, sekali lagi Rain berusaha meyakinkan kekasihnya itu jika semua akan
baik-baik saja. Semua ketakutan yang tengah dirasakan hanya overthinking-nya saja. Semua itu tidak
nyata.
“Tenang, saya nggak akan biarin
kamu sendiri.”
Rain menggandeng tangan Rein dan
mereka berjalan berdampingan memasuki rumah dimana ia tumbuh besar. Kaki mereka
melangkah santai, menapaki setiap keramik yang terpasang. Sampai suara nyaring
seorang anak laki-laki membuat langkah mereka terhenti.
“Oma, Om Rain udah dateng.”
Suara itu berhasil menghadirkan
banyak pasang mata di hadapan mereka. Melihat keluarganya, membuat tangan yang
ada digenggamannya terasa bergetar. Rain melirik ke arah Rein yang masih
berdiri di sampingnya. Terlihat kaku dengan tangan yang bergetar sambil meremas
tangannya.
Rain harus melepaskan
genggamannya tatkala tubuh kecil pemilik suara nyaring itu menabrakan tubuh ke
kakinya. Ia memeluk kaki Rain yang mau tak mau membuatnya harus berjongkok
untuk menyamakan tinggi mereka.
“Om Rain!” Serunya dalam pelukan
Rain.
“Hallo jagoan.”
Anak itu melepaskan pelukannya
sambil mengangkat kepala guna memandang Rein yang masih setia dengan posisi
tubuhnya.
“Tante cantik ini siapa Om?”
Rain mengangkat kepalanya
mengikuti arah pandang keponakannya.
“Namanya Tante Rein, pacar Om.”
“Pacar?” Ulangnya dengan suara
bingung. Lalu dia melepaskan diri dari Rain dan kembali berlari ke arah Ibunya.
“Mamah, pacar itu apa?” Tanyanya
lugu.
Lantas gelak tawa tercipta
setelah mendengar celotehan anak laki-laki berusia 3 tahun itu. Rain ikut
tertawa tetapi saat dia melirik ke arah sang kekasih, ternyata celotehan itu
tidak mampu mengurangi gugup yang dirasakannya.
“Rein..”
Rain diam. Dia mengamati apa
yang akan terjadi antara sang kekasih dan mamahnya.
“Bu Riska..”
Riska menggeleng, masih dengan
membawa tangan Rein dalam genggamannya.
“Panggil Tante aja, saya bukan
atasan kamu lagi Rein.”
“I-Iya, maaf Tan..”
Riska menggeleng samar.
“Ayo masuk, kenalan sama
keluarga yang lain.” Riska merangkul pundak Rein dan membawanya berjalan lebih
dulu.
Kepergian kedua wanita itu
semakin membuat senyum Rain terbentuk sempurna. Ada lega dan senang yang
mengisi relung dadanya. Apalagi penerimaan yang ia lihat dari keluarganya
terhadap sang kekasih. Sungguh, rasanya Rain ingin memeluk Rein saat itu juga.
Namun ia berusaha untuk menahannya karena tidak mau membuat Rein kembali gugup.
“Wah.. kok nama Tante sama kayak
nama Om? Kalian kembar ya makanya namanya sama?”
Suara nyaring itu kembali
menghadirkan gelak tawa. Rain pun ikut tertawa mendengarnya, bahkan sang
kekasih yang sejak tadi hanya mampu tersenyum pada akhirnya bisa ikut mencair.
Dari wajahnya, Rain dapat melihat jika kegugupan yang merajai sudah mulai
sirna. Rein terlihat lebih santai dan warna kulit wajahnya sudah kembali
normal, tidak lagi pucat seperti tadi.
Acara makan malam keluarga itu
berjalan sangat baik. Tidak ada hal buruk –seperti yang ditakutkan Rein– yang
terjadi. Semua pembicaraan yang terjadi di malam itu, sangat santai dan apa
adanya. Walau sesekali terselip pembahasan seputar pekerjaan, tetapi tidak ada
satu pun yang membahas topik sensitif yang dapat menyinggung Rein. Perlakuan
yang diberikan kepada Rein pun sangatlah normal. Tidak merendahkan dan tidak
melebih-lebihkan. Dan memang seperti itulah keluarganya.
Mereka memang memiliki
perusahaan yang mempekerjakan banyak orang. Namun mereka tidak menganggap diri
mereka berada di atas orang-orang tersebut. Rain sangat bangga dengan hal itu.
Karena pandangan orang tuanya yang tidak memandang orang lain dengan sebelah
mata lah yang membuat hidupnya terasa semakin sempurna. Ia jadi bebas ingin
berteman dan menjalin hubungan dengan siapapun tanpa harus menciptakan rasa
sakit untuk orang tersebut.
“Jadi, gimana Rain di kantor?”
Masih dengan menggenggam tangan
Rein, Rain menoleh ke arah sang kekasih. Dari posisinya, ia bisa melihat
keterkejutan di wajah sang kekasih. Walaupun begitu, Rain tidak berniat untuk
ikut dalam pembicaraan itu. Dia memilih diam sambil mendengarkan jawaban Rein.
“Pak Rain-”
Mendengar panggilan yang dipakai
Rein membuat Rein sebisa mungkin untuk tidak menampilkan senyumnya. Ia tahu
sang kekasih pasti akan semakin tidak nyaman, apa lagi setelah Ronny mengulang
seakan memastikan jika yang dirinya dengan benar.
Benar saja, Rein terlihat
semakin kikuk ditambah tangannya yang terasa semakin dingin.
“Pah!” Seru Riska. “Jangan gitu,
kamu bikin Rein gugup tau gak.”
Ronny tertawa kecil, lalu
kembali berucap. “Maaf, saya nggak maksud apa-apa. Cuma geregetan aja sama
kalian berdua. Kalian kaku banget, mirip kanebo kering.”
Mendengar ledakan Ronny membuat
Rain tertawa kecil. Dia sebenarnya tahu jika sang ayah bukanlah sosok yang suka
menghakimi. Seserius apa pun Ronny, pasti tidak akan membuat orang lain sakit
hati dengan ucapannya walaupun rasa terintimidasi itu tetap ada. Karena itu,
Rain memutuskan untuk diam saja karena dia yakin Ronny tidak akan membuat Rein
merasa buruk.
“Ah i-iya Om.”
Rein menarik napasnya dan
kembali berusaha untuk tenang.
“Kalau soal di kantor, Rain itu
bos yang nggak usil. Rain bisa memimpin perusahaan dengan baik, dan
memperlakukan kami sebagai karyawan juga baik. Walaupun susah banget senyum,
tapi nggak sampai bikin kami-kami ini terintimidasi walaupun kadang tetep ada
rasa sungkannya.”
Rain masih setia mendengarkan
dengan tenang. Namun saat pertanyaan lain mengalun, entah kenapa jantungnya
malah berdebar sedikit cepat dan ada rasa lain yang menimbulkan ekspektasi atas
jawaban yang akan sang kekasih ungkapkan.
“Kalau Rain sebagai pacar
gimana?”
Mata mereka bertemu saat
pertanyaan santai tetapi penuh beban itu terlontar dari Ronny. Selama beberapa
detik, keduanya mengunci tatapan dan saling memandang lekat. Tidak lama, karena
Rein buru-buru memutus kontak mata mereka untuk kembali menatap Ronny.
“Menurut saya, Rain sosok yang
pengertian.” Rein menjeda. Jeda singkat tetapi terasa lama dan mendebarkan
untuk Rain.
“Jika boleh saya jujur, Rain itu
pacar pertama saya. Karena itu, jika ditanya bagaimana Rain, saya cuma bisa
bilang selain pengetian dia juga baik. Dia mau memahami saya yang sulit untuk
beradaptasi dengan status baru ini. Rain mau mengerti kalau saya pun juga kaku
dalam hubungan ini, jadi kita sama-sama belajar untuk lebih baik lagi. Dia juga
banyak membantu saya, baik itu dalam pekerjaan maupun dalam hubungan ini. Jadi
bagi saya, Rain berhasil membuat gambaran sempurna seorang pacar di pikiran
saya.”
Jawaban itu terdengar apa adanya
di telinga Rain. Ia merasa Rein tidak sedang memberikan gambaran palsu tentang
dirinya. Jadi Rain sedikit merasa seperti terbang ke langit ketujuh karena
pengakuan Rein seperti pujian hebat untuknya. Dia, yang selalu dianggap kaku
dan tidak bersahabat, berhasil menjadi sosok pacar pertama dan cukup sempurna
untuk Rein. Karena itu ada rasa bangga yang begitu mendominasi hatinya.
Rain tahu jika dirinya tidak
boleh terlalu merasakan perasaan seperti itu. Namun ia tidak munafik jika dia
senang mendapat predikat sebagai pacar pertama dan terbaik untuk Rein.
Pertemuan malam itu berlangsung
dengan hati yang ringan, untuk Rain. Dia merasa malam itu menjadi pembuka pintu
lain dalam hubungannya. Tentunya kearah yang lebih serius dan baik. Setelah
jawaban yang Rein berikan kepada Ronny, entah mengapa Rain merasa jika kedua
orang tuanya seakan telah memberikan lampu hijau kepadanya. Ini masih
perasaannya saja, karena melihat bagaimana Riska yang semakin menempel pada
Rein dan juga Ronny yang bahkan tidak bosan berbicara dengan sang kekasih. Rhea juga terlihat menerima Rein,
ditambah Atlas yang semakin menempel dan terus berceloteh kepada Rein. Sungguh,
Rain sangat senang.
Rasa senangnya ternyata membuat
lengkungan tipis di bibirnya tidak kunjung sirna. Bibirnya tetap bertahan
membentuk lengkungan tersebut. Namun lengkungan itu menghilang tatkal indera
pendengarannya mendengar sebuah panggilan asing tapi menggelitik perutnya. Dia
lantas menoleh cepat ke arah Rein selama beberapa detik sebelum kembali fokus
menatap jalan.
“Tadi kamu manggil apa?”
“Ehm.. ma-s?”
Rain kembali tersenyum dengan
jantung yang bertalu.
“Iya dek, kenapa?”
“Jangan manggil gitu. Aneh tau.”
Gerutu Rein tidak suka.
Rain tertawa. “Kan kamu manggil
aku Mas, jadi aku panggil kamu adek dong.”
“Ihh gak gitu,” Tolak Rein tegas. “Aku manggil kamu Mas karena kamu
lebih tua dan juga sebagai pacar. Bener kata papah kamu, aneh aja kalau aku
masih manggil kamu pake ‘pak’. Tapi kamu cukup manggil aku nama aja, gak usah
ikut-ikutan jadi adek gitu. Kayak orang-orang aneh yang suka nge-dm perempuan di instagram aja.” Ucap Rein tidak ingin dibantah.
Melihat wajah Rein yang seperti
ingin terlihat marah tetapi malah terlihat lucu dengan bibir yang maju serta
pipi yang menggembung, membuat Rain tertawa kecil dengan kepala yang
menggeleng. Tidak terpikir jika akan ada ekspresi menggemaskan seperti itu di
wajah sang kekasih. Pasalnya dia dan Rein sama-sama orang yang kaku dan jarang
menunjukkan perasaan secara terang-terangan, tapi Rein malah dengan biasanya
memperlihatkan wajah lucu tanpa memikirkan bagaimana hati dan jantungnya
setelah melihat itu.
“Ada-ada aja..”
“Iya bener, geli tau dipanggil
adek. Otak aku gak nerima itu, karena yang ke rekam cuma orang-orang aneh yang
suka nge-dm.”
Rain hanya menganggukan kepala
tanpa berniat menimpali. Dia cukup puas dengan ekspresi Rein, dan dia ingin
merekamnya lebih lama. Karena itu, dia membiarkan Rein yang menyuarakan
kekesalannya tanpa ingin mendebat.
Saat Rein berhenti, disaat
itulah Rai meraih tangannya untuk ia genggam. Dia menautkan jemari mereka
dengan erat. Mencoba mengalirkan rasa hangat melalui genggaman itu.
“Rein, jangan pernah paksa diri
kamu kalau kamu belum siap. Aku mau kita berubah pelan-pelan dan tanpa paksaan.
Kalau omongan papah dan mamah soal hubungan kita ada yang bikin kamu gak
nyaman, gak usah diturutin. Lakuin pas kamu udah siap, contohnya sama panggilan
kamu ke aku.”
“Enggak kok, aku nggak terpaksa.
Soalnya udah dari lama aku mikirinnya, cuma belum ketemu waktu yang pas. Dan
sekarang waktunya tepat, jadi kenapa enggak.”
Rain tersenyum. Tak lama lampu
lalu lintas kembali berubah dan dia kembali fokus pada kemudinya. Beruntungnya
Rain membawa mobil matic sehingga
lebih mudah baginya untuk menyetir sambil menggenggam tangan kecil Rein.
“Mas, kamu sadar sesuatu gak?”
Rain melirik sekilas dengan dahi
mengerut.
“Apa?”
“Kita udah gak pake saya-kamu
lagi loh.”
Selama beberapa detik kerut di
dahi Rain semakin terbentuk jelas, karena dia tengah mengingat pembicaraan yang
baru saja terlewat. Begitu ingatannya kembali, matanya malah membola dan
mulutnya sedikit terbuka membentuk huruf ‘O’.
“Aku nggak sadar.”
“Tuh denger, kamu baru aja
manggil diri kamu pake ‘aku’.” Tukas Rein. “Lucu tau, gini terus ya Mas..”
Lanjutnya penuh harap.
Suara mendayu Rein membuat Rain
seketika mengangguk cepat. Rain merasa lemah dengan suara tersebut ditambah
ekspresi memohon yang sang kekasih tunjukkan. Kenapa tidak ada yang pernah
memberitahu Rain, jika seorang bujuk rayu perempuan akan begitu mematikan untuk
laki-laki lemah hati sepertinya. Tidak habis pikir jika akhirnya Rain akan
dengan mudah mengiyakan permintaan orang lain hanya karena tutur kata dan
ekspresi wajahnya.
“Aku udah nyaman jadi kamu nggak
usah mikirin aku segitunya lagi, Mas. Aku udah bisa nerima hubungan yang baru
ini, dan aku udah siap untuk ngejalanin hubungan ini sama kamu kayak pasangan
pada umumnya. Jadi jangan sungkan lagi ya Mas.”
Rain menoleh. Tentu saja! Dia
tidak menyangka jika Rein mengetahui apa yang selama ini dirinya rahasiakan.
Ya, Rain merasa sungkan dalam
hubungan mereka. Bukan karena tidak suka, tetapi karena dia berusaha untuk
memberikan kenyamanan untuk sang kekasih. Seperti yang sudah diketahui, ini
adalah kali pertama Rein berpacaran. Karena itu Rain tidak ingin menciptakan
kesan buruk dalam hubungan mereka. Dari sanalah sungkan itu muncul di antara
keduanya.
Namun keterkejutannya berangsur
hilang saat melihat bagaimana Rein tersenyum dengan sorot mata tenang dan
yakin. Hal itu kembali membawa lengkungan di bibirnya. Kali ini lebih lebar
dengan mata yang ikut menyipit.
Rain senang, sangat sangat
senang. Senyum itu adalah buktinya. Karena selama merajut kasih, ada banyak hal
yang coba Rain tahan. Salah satunya adalah panggilan yang ditujukan kepadanya.
Jujur saja, dia merasa panggilan Rein kepadanya seperti menciptakan batasan
dalam hubungan mereka. Namun Rain berusaha mengerti.
Dia berusaha menunggu dengan
sabar. Karena dia tahu, kesabarannya akan sampai pada titik dimana ia akan
merasakan perasaan senang yang tiada tara. Dan sekarang adalah waktunya.
Setelah penantian yang cukup menguras perasaan, akhirnya Rain bisa
menghilangkan batasan yang tercipta di antara mereka.
Jika setelah ini ada yang
terpikir jika mereka akan mempublikasikan hubungan keduanya, sepertinya itu
salah. Karena nyatanya, mereka nyaman.
Nyaman dengan private relationship
mereka. Selain karena tidak ingin ada gosip, rasanya beban khususnya untuk Rein
tidak akan sebesar jika mereka mengumumkan status mereka.
Walaupun begitu, Rain tidak akan
lagi membatasi diri dalam memperlakukan Rein. Dia sudah berjanji pada dirinya,
jika suatu saat waktu ini tiba, maka Rain akan menunjukan seberapa besar
perasaannya untuk Rein. Tentunya dengan tetap mengutamakan asas rahasia. Dia
ingin mewujudkan semua keinginan keduanya yang selama ini selalu ia tahan
karena terus memikirkan kenyamanan Rein.
E . N . D
- DF -
Comments
Post a Comment