A Map That Leads To You - Part 1


Cast:

Seo Sorin (OC) - Choi Yeonjun (TXT)

Lee Juyeon (The Boyz) - Choi Soobin (TXT)

Lee Jeno (NCT Dream) - Park Wonbin (Riize)

Genre:

Romance - Friendship

Previous Part:

PART 0

 

Siapa sangka band yang awalnya hanya tampil di acara festival kampus, bisa masuk dapur rekaman dan memiliki album sendiri. Bahkan Yeonjun sebagai leader-nya pun masih tak menyangka dengan ketenaran yang bandnya miliki. Kini mereka bukan cuma tampil di acara antar kampus, mereka sudah bolak-balik tampil di acara dengan skala besar, bahkan beberapa kali tampil di acara televisi nasional.

 

Kesuksesan Espoir tidak hanya membuka kesempatan untuk tampil di acara-acara besar, tapi juga  memberi mereka uang, ketenaran, dan fans yang mencintai mereka. Namun tentu saja selalu ada harga yang harus dibayar dengan semua pencapaian itu, mereka jadi sulit memiliki privasi. Awalnya Yeonjun dan semua anggota  menikmati perhatian dari para fans dengan senang hati, tapi sekitar setahun yang lalu beberapa fans bersikap di luar batas.

 

Ada yang menerobos masuk apartemen Juyeon, mengikuti Soobin yang sedang berkencan dengan pacarnya, bahkan mengikuti Wonbin ke ruang ganti untuk mengambil celana dalamnya (untuk ini Wonbin masih sangat trauma). Belum lama ini mereka hampir mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang karena taksi yang dinaiki fans mengikuti mobil van mereka.

 

Ia berharap penampilan mereka di festival hari ini bisa berjalan lancar tanpa ada kejadian menjengkelkan. Kepalanya sudah cukup sakit karena hanya tidur dua jam semalam karena sibuk mengaransemen lagu baru mereka. Permintaannya tidak terlalu berlebihan kan?

 

“Tiga puluh menit lagi giliran kalian check sound ya.” Im Geum Hyung, manajer mereka masuk ke tenda ruang ganti dengan papan jalan di tangan.

 

Pria itu menginformasikan tiga judul lagu yang akan mereka bawakan hari ini dan tiga judul lain untuk hari kedua besok. Para member mengangguk, kemudian berdiskusi menentukan lagu pembuka untuk penampilan mereka hari ini.

 

“Oke, kalau gitu lagu pembuka hari ini ‘Sunshine’ ya.” Pria itu mencatat di kertas run down dalam dekapannya, kemudian berdeham lalu menatap ke arah Yeonjun.

 

Pria itu memasang tampang frustrasi. “Saat ini Rocketballz sedang check sound jadi kemungkinan kalian akan bertemu mereka saat menuju panggung.”

 

Yeonjun bersumpah bisa merasakan semua kegaduhan membernya langsung berhenti, kemudian serempak menatap ke arahnya. Perselisihannya dengan salah satu anggota Rocketballz memang bukan rahasia lagi. Tentu saja orang-orang belum lupa ketika ia menarik kerah pria itu dan menghajarnya dengan brutal.

 

Sejak kejadian itu hubungan mereka dengan Rocketballz menjadi dingin. Tidak bertegur sapa, saling mendengus ketika berhadapan, dan berusaha saling menghindar kalau memang memungkinkan.

 

“Yeonjun, kumohon kendalikan emosimu ya. Kalian cuma harus melintas di dekat mereka dan naik ke atas panggung dengan tenang.” Im Geum menekankan kata-katanya sambil memelas.

 

“Jangan buat keributan atau memprovokasi!”

 

“Aku tidak pernah mulai duluan,” Yeonjun menyahut sambil merengut yang mendapat decakan tidak terima dari manajernya.

 

“Pokoknya tidak boleh ada keributan! Mengerti?” Pria itu menudingkan jarinya, memberi peringatan sok galak dengan mata melotot. Lalu keluar dari ruang tunggu untuk menyerahkan list lagu mereka ke panitia.

 

Ia baru saja mau meminum air dari botolnya ketika seseorang memukul punggungnya. Ia berteriak kesal dan mendapati Lee Juyeon duduk di sebelahnya. “Kau yakin bisa menahan emosimu saat melihat wajah sengak Jang Wooyoung?”

“Entahlah. Selama dia tidak cari gara-gara duluan, aku bakal tenang.” Ia menenggak air mineralnya.

 

“Sudah tahu kalian bersitegang, kenapa Im Geum hyung menerima job manggung ini sih?” Soobin mengeluh, menatap Yeonjun dengan putus asa.

 

Sepertinya menyebut masalah di antara Yeonjun dan Wooyoung sebatas ketegangan itu kurang tepat. Mereka bakal ribut besar, saling menyerang, dan membuat kekacauan besar. Soobin ingat betul terakhir kali Yeonjun berkelahi dengan Wooyoung, bibir pria itu pecah, dahinya mesti dijahit, dan selama tiga hari pria itu tidak bisa tertawa karena perut dan bibirnya sakit.

 

“Ini acara musim panas terbesar mana mungkin Im Geum hyung menolak. Walaupun resikonya Yeonjun bikin ulah.” Soobin melirik Jeno yang menjawab dengan santai. Pria itu satu-satunya orang yang tidak terusik dengan kemungkinan masalah yang akan mereka hadapi.

 

Lee Jeno, si senyum mentari akan selalu tenang walaupun tenda mereka diserbu stalker gila. Ia hanya akan terusik ketika Aera-pacarnya-tidak membalas pesannya.

 

“Lagipula kalau Yeonjun hyung babak belur kita sudah bawa Hyoseop buat menggantikannya.” Wonbin menunjuk ke luar tenda. Hyoseop salah satu staff mereka yang bisa memainkan gitar, walau tidak sebagus permainan Yeonjun, pria itu kerap kali menjadi pengganti Yeonjun saat mereka latihan.

 

Dengan gaya tidak peduli, Wonbin menepuk pundak Yeonjun. “Kalau kau buat keributan, kami benar-benar akan menggantikanmu dengan Hyoseop.” Ia menyeringai puas begitu Yeonjun berteriak kesal. Tanpa merasa bersalah, ia melenggang keluar dan meninggalkan anggota lain mendengarkan ocehan Yeonjun.

 

“Wah, anak ini! Ia yang paling muda tapi kenapa kurang ajar sekali sih!”

 

“Harusnya dulu aku menatarnya dengan lebih keras. Apa menurutmu aku terlalu lembek padanya?”  

 

*****   

 

Untungnya hal yang ditakutkan semua orang itu tidak terjadi. Yeonjun terlihat tenang saat bertemu dengan Wooyoung di perjalanan menuju panggung. Walau semua member tetap merasakan ketegangan di antara dua orang itu, namun mereka bisa sampai di panggung tanpa ada keributan apapun. Bahkan mereka bisa melalui check sound dan latihan dengan tenang dan lancar.

 

Bagus, kan?  

 

Ya, tapi hanya untuk sementara waktu. Saat ini Yeonjun tidak yakin lagi begitu berhadapan dengan Jang Wooyoung.

 

Yeonjun mungkin mampu menahan keinginannya menonjok muka tengil Wooyoung saat mereka berhadapan saat menuju panggung tadi, tapi kini ia benar-benar sudah tidak bisa menahan emosi. Apalagi ketika pria itu menampakkan senyum mengejek dan menatapnya dengan menantang.

 

Ia merasakan sensasi dingin dan lengket di dadanya karena Wooyoung baru saja menumpahkan milkshake ke bajunya. Sungguh dewasa sekali ya?

 

“Oopss, sorry aku tidak sengaja!” katanya dengan nada pura-pura terkejut.

 

Padahal Yeonjun cuma mau pergi sebentar ke kamar kecil, mencari udara segar, dan hendak kembali ke tendanya, tapi malah harus berhadapan dengan pria brengsek ini. Berusaha mengingat nasihat Im Geum hyung sebelumnya, ia menekan keinginannya untuk menghajar Wooyoung.

 

Ia mengepalkan tangannya, berusaha mengabaikan pria di hadapannya.

 

Saat Yeonjun hendak melewati Wooyoung, pria itu justru menghalangi jalannya. Saat ia bergeser ke kiri, pria itu menghadangnya dan mengikutinya saat ia bergeser ke arah lainnya.

 

Cukup sudah. Kesabarannya sudah habis. Yeonjun mendecak dan menatap jengkel sosok Wooyoung yang memasang wajah tak bersalah.

“Bisa minggir? Aku mau lewat.”

“Ya ampun sekarang anak ini sombong sekali ya. Bahkan tidak menyapa seniornya.” Wooyoung maju selangkah, mendorong dada yeonjun dengan telunjuknya. Sebagai musuh lama, Wooyoung sudah paham bagaimana cara merobohkan kesabaran Yeonjun saat ini.

 

“Tidak semua orang yang lebih tua pantas diperlakukan dengan hormat.” Yeonjun mendengus, kali ini sudah benar-benar muak dengan provokasi yang Wooyoung lakukan.

“Apalagi orang tolol yang sengaja menumpahkan minumannya ke baju orang lain.”

 

Kini giliran Wooyoung yang naik pitam, pria itu langsung mencengkeram kerah Yeonjun. Menariknya dengan penuh amarah.

 

“Bajingan ini. Kau cuma pengecut yang sok pahlawan!”

Yeonjun tersenyum sinis. “Setidaknya aku bukan tukang bully yang suka menyakiti orang yang lebih lemah.”

 

Kemudian Wooyoung benar-benar gelap mata. Ia mendorong Yeonjun, hingga pria kurus itu terhempas. Yeonjun berusaha bangkit begitu tubuhnya mendarat keras di aspal, namun gerakannya kurang cepat. Wooyoung menarik kerahnya lalu melayangkan kepalan tinju ke wajahnya.

 

“Andai semua orang tahu perangai burukmu ini. Orang-orang bakal membencimu dan mengirimmu ke neraka!” Yeonjun menerjang Wooyoung hingga pria itu terjungkal menabrak tong sampah di belakangnya.

 

Mereka bergantian menyerang satu sama lain tanpa ampun hingga berguling di aspal. Tidak ada yang menghentikan mereka karena area tersebut jarang dilalui orang. Kawasan itu benar-benar sepi, berada di bagian paling belakang dan jauh dari panggung yang terletak di lapangan utama.

 

Hanya staff khusus, pengisi acara, atau orang tersesat saja yang melintas di kawasan tersebut.

 

“Ya Tuhan! Apa yang kalian lakukan?” Seseorang memekik kaget bercampur rasa takut melihat perkelahian tersebut.

****  

 

Sorin benar-benar lelah, sudah lebih dari dua puluh menit ia melintas di area yang sama. Seingatnya ia sudah mengambil rute yang benar, tapi bukannya kembali ke halaman utama tempat panggung karnaval berada, ia malah berada di kawasan yang lebih sepi.

 

Padahal ia cuma terpisah sebentar dari Dahee dan Sulbin yang sedang berkeliling mencari makanan. Kini ia harus terus berjalan supaya bisa kembali ke lapangan utama.

 

Saat itulah sayup-sayup terdengar kegaduhan, ada bunyi benda jatuh dan suara geraman manusia. Demi Tuhan, ia tidak bakal menemukan kejadian pembunuhan di hutan kota ini kan?

 

Rasa penasaran membawanya melangkah menghapiri asal suara mencurigakan itu. Ia terkesiap dan gelas minumannya tergelincir jatuh sehingga tumpah kemana-mana. 

 

“Ya Tuhan! Apa yang kalian lakukan?” pekiknya ngeri.

 

Ia mendapati dua orang pria sedang berkelahi, pria dengan tubuh lebih besar menindih tubuh pria kurus lalu memukul wajahnya dengan penuh amarah. Kemudian pria di bawahnya tidak mau kalah, ia berguling hingga posisi mereka berdua terbalik. Pria yang lebih kurus kini balik menghajar pria yang tadi menghajarnya.

 

“Hentikan! Ya ampun aku memang tidak boleh ikut campur, tapi kalian bisa membunuh satu sama lain kalau tidak berhenti!”

 

Kedua orang tersebut berhenti lalu serempak menatap Soorin. Pria yang kurus mulai menurunkan kepalan tangannya, namun pria yang lebih besar justru menggunakan kesempatan itu untuk menggulingkannya dan kembali menindih si pria kurus.

 

“Lihat? Kau memang lemah Choi Yeonjun!”

 

Bukannya berhenti, perkelahian itu makin parah. Mau tidak mau Sorin harus meminta pertolongan dari orang lain.

 

Sebelum beranjak pergi, ia menatap genangan smoothiesnya yang sudah berantakan. Oke, ia tidak akan tersesat lagi. Ia kemudian berlari ke arah bus-bus yang terparkir rapi di kejauhan. Semakin dekat ke tempat tersebut, ia melihat ada beberapa orang sibuk bolak-balik mengangkat peralatan untuk panggung.

 

“Permisi,” katanya dengan napas memburu.

 

“Tolong, tolong aku. Ada…”

 

Seseorang menatapnya ngeri, menunggu kelanjutan ucapannya dengan tidak sabar. Sorin menunduk, mengatur napasnya. Ia tidak pernah berlari sekencang itu sebelumnya.

 

“Ada apa ya nona?”

 

Ia menarik napas, kemudian menghembuskannya dengan panjang. Tangannya menjulur, menunjuk ke area di belakangnya, tempat dua orang tadi sedang bertengkar.

 

“Ada dua yang sedang berkelahi di dekat toilet sana!”

“Siapa?”

“Aku tidak tahu mereka siapa.”

 

Kemudian pria itu dan beberapa orang lainnya tampak tidak begitu peduli. Ya ampun, masalah manusia modern saat ini adalah kurangnya empati. Jadi mereka tidak mau menolong kalau tidak mengenal siapa yang sedang dalam masalah, ya?

 

Seorang pria dengan rambut sebahu menatap Sorin dengan penasaran. Sebuah headphone bergantung di lehernya.

 

“Kalian harus melerai dua orang itu! Mereka sudah mau saling membunuh! Aku cuma khawatir pria kerempeng itu bakal mati!”

 

“Aku tidak tahu mereka siapa, yang jelas pria yang kurus pakai kaos putih tanpa lengan. Kalian harus segera ke sana!” katanya lagi setelah pria gondrong tadi menarik temannya.

 

Pria itu menghampirinya, kelihatan gusar. “Kau bilang pria yang kurus pakai kaos tanpa lengan?”

 

Sorin mengangguk, mulai tidak sabaran karena pria itu hanya balik menatap temannya yang lebih tinggi dengan tubuh berisi. “Apa itu Yeonjun hyung?”

 

“Entahlah, tapi kurasa kita harus memastikan.” Pria yang lebih jangkung kini menatap Sorin, kemudian tersenyum ramah hingga matanya melengkung seperti bulan sabit.

 

“Bisa tolong antar kami ke sana?”

 

*****  

 

Kedua orang itu masih berkelahi. Kini sudah dalam posisi berdiri, saling menarik kerah baju satu sama lain. Kemudian yang kurus mendorong tubuh pria di depannya, hingga pria itu kembali jatuh.

 

“Astaga. Yeonjun hyung!” Sorin mendengar kedua pria di belakangnya langsung berlari, memisahkan dua orang yang hendak kembali menyerang.

 

“Sialan! Lepaskan aku!” kata pria yang lebih besar dan kelihatan lebih bengis.

 

Untungnya pria itu sudah ditahan oleh pria bermata bulan sabit, sementara pria dengan headphone memeluk pria kurus yang kelihatan tidak mau mengalah. Keduanya sama-sama masih berusaha melepaskan diri dan belum ingin menyudahi perkelahian yang entah apa alasannya.

 

“Bukan aku yang mulai duluan! Bajingan itu sengaja menumpahkan minumannya ke bajuku!”

Mau tak mau Sorin melayangkan pandangan ke noda di bagian depan baju si pria kurus. Ya, bajunya dipenuhi noda cokelat yang hampir memenuhi seluruh bagian depan kaosnya.

“Aku sudah bilang tidak sengaja! Dasar pecundang!” sahut pria yang satunya dengan mengejek.

 

“Hentikan semua ini!”

“Choi Yeonjun! Aku kan sudah bilang untuk menjaga emosimu!”

 

Sorin menoleh ke belakangnya menemukan beberapa orang yang menghambur datang dengan penuh amarah. Mereka terlihat seperti orang tua bagi masing-masing pria muda yang baru saja berkelahi. Sorin mengamati kejadian tersebut dengan penuh minat. Kapan lagi bisa menyaksikan perkelahian seperti itu secara langsung?

 

Namun sepertinya semesta tidak mengizinkannya. Ponselnya berdering, ia melihat nama Dahee terpampang di layar ponselnya.

 

“Aku sepertinya tersesat.” Ia menjawab Dahee yang setengah berteriak di ujung panggilan. Setengah memerhatikan ocehan panjang temannya, ia mengamati pria kurus yang sedang diomeli pria yang lebih tua.

 

Pria kurus itu terlihat kesal namun tidak membantah ucapan orang di hadapannya. Pria itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Saat itulah pandangan mereka bertemu. Ia bisa melihat tampang pria kurus itu.

 

Matanya sipit, ujung bibirnya penuh darah, dan pipinya memar. Pria itu menatapnya dengan mata memicing-entah karena penglihatannya kurang baik atau memang sengaja mengintimidasinya. Sorin hendak membalas tatapan sinisnya, namun Dahee mulai tidak sabaran karena ia hanya menggumam sebagai balasan ocehan panjangnya.

 

“Iya, aku akan cari tenda kuning yang kau maksud. Nanti kita ketemu di sana. Oke, kututup ya.”

 

Untuk terakhir kalinya, Sorin melirik ke arah pria kurus yang kini sudah kembali menatap pria yang masih mengomel di hadapannya. Pria itu kelihatan menyedihkan dengan wajah babak belur dan keadaan sampah yang berserakan di sekitarnya.

 

Sebenarnya apa sih alasannya berkelahi sampai seperti itu? Sorin memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh. Ia berbalik dan mulai berjalan mencari tenda yang dimaksud temannya. 

 

 

****

 

Setelah perkelahian itu, Yeonjun digantikan Hyoseop untuk tampil di acara festival musim panas itu selama dua hari berturut-turut. Jelas saja ketidakhadirannya itu membuat banyak orang penasaran. Terlebih kabar tentang perkelahiannya dengan Wooyoung samar-samar tersebar dari mulut ke mulut. Entah siapa yang memulai, namun mereka cukup beruntung karena tidak ada yang benar-benar bisa membuktikan kebenaran berita itu.

 

Kecuali gadis kuncir kuda yang muncul dan menghilang tiba-tiba itu.

 

Yeonjun merasa agak berterima kasih karena gadis itu muncul di saat tenaganya mulai habis, kalau tidak mungkin Wooyoung akan menghajarnya tanpa ampun. Tadinya setelah Geum Hyung selesai dengan ceramahnya, ia akan mengucapkan terima kasih pada gadis itu, namun sosok itu sudah pergi.

 

Sudah lebih dari dua minggu kejadian itu berlalu, luka dan lebamnya sudah sembuh. Namun manajernya masih belum bisa melupakan kejadian itu. Geum Hyung terus memperingatinya yang berujung omelan panjang mengenai pengendalian emosinya yang buruk dan ia harus segera mengatasinya. Yeonjun tidak mengelak kali ini, ia menyadari perbuatannya memang gegabah walaupun ia berhak membela diri karena si brengsek Wooyoung itu yang memulai perkelahian.

 

Namun Yeonjun akhirnya menyadari sebagai leader Espoir, ia tidak boleh egois. Ia pun menenangkan Geum hyung dan berjanji akan bertindak lebih bijak ke depannya. Ia mungkin harus mulai pergi ke kuil dan bertapa bersama para biksu dan ibunya.

 

Atau ia perlu minum alkohol sepuasnya dulu sebelum pergi ke kuil. Ia menenggak whiskeynya, sambil mengamati keramaian di sekitarnya. Musik yang disetel dengan volume super kencang, orang-orang berdansa di berbagai tempat, ada kerumunan yang sibuk bergosip dan tertawa riang, ada beberapa pasang kekasih yang sibuk bermesraan, dan ada yang sibuk minum sambil mendesah napas panjang.

 

Kelompok terakhir itulah dirinya.

 

Saat ia berpikir ia butuh banyak alkohol, bukan berarti ia mesti berada di kelab malam yang ramai seperti ini. Ia mengalihkan pandangan ketika musik tiba-tiba mati dan digantikan dengan suara orang terkesiap yang kemudian diikuti suara siulan.

 

Yeonjun memutar mata dengan sinis begitu melihat sosok Jeno datang dengan sebuah kue yang dihiasi lilin berjalan ke tengah area lantai dansa. Jeno berhenti tepat di hadapan Aera-pacarnya yang hari ini berulang tahun- yang tersenyum malu tapi tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.

 

Kemudian seisi ruangan menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Hong Aera.

 

Ya, selamat ulang tahun untuk Aera berkatnya Yeonjun bisa minum alkohol gratis dengan nyaman.

 

Ia meratapi kesendiriannya, namun segera tersadar. Bukan salah siapapun kalau Yeonjun duduk sendirian seperti orang menyedihkan. Dirinya sendiri yang menolak ajakan Juyeon untuk bergabung dengannya yang sedang asyik bercengkerama dengan para gadis pemujanya.

 

Ia juga berusaha menjauh dari sepasang kekasih Wonbin dan Chaewon yang kelihatannya sedang perang dingin. Pasangan itu mengabaikan satu sama lain, sibuk dengan ponsel masing-masing. Yeonjun melarikan pandangannya ke arah Soobin yang sedang mabuk kepayang dengan pacarnya yang seorang model, Han Yena. Pasangan jangkung itu sedang berdansa kecil sambil cekikikan tak jauh dari tempat duduknya.

 

Senangnya punya pasangan.

 

Yeonjun mendesah sambil merenungi nasibnya. Duduk sendirian sambil menyesap alkohol dengan teman-teman yang sibuk dengan pacar masing-masing, kecuali Lee Juyeon. Pria itu sibuk meladeni teman-teman Aera yang sedang menggodanya. Yah, Juyeon selalu suka dipuja banyak perempuan.

 

Menyadari dirinya mulai bosan, Yeonjun memutuskan untuk beranjak dari tempatnya. Ia pergi ke kamar kecil untuk rehat sejenak dari segala hingar bingar di lantai dansa.

 

Suasana tenang menyambutnya begitu Yeonjun sampai di dalam kamar mandi. Ia menatap pantulan wajah lelahnya di cermin. Rambutnya sudah agak berantakan dan matanya mulai merah. Ia membuka keran, membiarkan aliran air mengenai telapak tangannya kemudian membasuh wajahnya dengan rasa lega.

 

Ia membasahi wajahnya beberapa kali, sengaja membiarkan sensasi dingin membangunkan kesadarannya yang mulai tumpul.

 

Yeonjun menghela napas dengan panjang, merasa lebih siap untuk kembali ke mejanya. Namun ia nyaris terpeleset karena terkejut saat pintu terbanting terbuka. Seorang gadis menerobos masuk sambil menjerit kegirangan.

 

“Yeonjun oppa! Aku benar-benar tidak percaya bisa bertemu denganmu di sini!”

 

Seorang gadis dengan gaun ketat warna biru menatapnya dengan mata penuh binar kebahagiaan dan antusias. Sementar Yeonjun langsung merasa ngeri.

 

“Maaf nona, ini kamar mandi pria.” Ia berusaha tenang dan menguasai dirinya.

 

Ia melangkah menghampiri gadis itu, mencengkeram lengannya dan menyeretnya keluar dari kamar mandi. Ia merasa beruntung gadis itu tidak masuk saat keadaannya belum pakai celana, seperti yang pernah Wonbin alami.

 

“Kau tidak boleh mengikutiku seperti ini,” katanya sambil menyeret gadis itu.

 

Gadis itu berusaha untuk membebaskan cengkeramannya, namun Yeonjun dengan segenap kekuatan yang tersisa sudah bertekad akan menyerahkan gadis itu ke petugas keamanan.

 

“Aku sekarang percaya kalau oppa benar-benar tidak punya pacar. Dari tadi kulihat oppa duduk sendirian,” kata gadis itu dengan girang, walau tangannya berusaha membebaskan diri.

 

Yeonjun tak menghiraukan gadis itu, matanya sibuk mencari petugas keamanan klub yang biasanya berada di sudut-sudut ruangan.

 

“Apa itu artinya kau masih belum bisa melupakan mantan pacarmu?” Yeonjun melirik sekilas ke arah gadis di sebelahnya.

 

Ini bukan kali pertama seseorang menanyakan hal serupa. Seorang Choi Yeonjun masih menyimpan luka hati dan perasaan untuk seorang gadis yang membuatnya terinspirasi menulis lagu-lagu Espoir.

 

Apakah itu benar? Tidak juga. Tapi apakah itu sepenuhnya dugaan yang keliru? Yeonjun tidak bisa bilang begitu.

 

“Permisi, ada yang bisa kami bantu?”

 

Seorang pria bertubuh tinggi tegak dengan seragam hitam menghampirinya. Ia mengangguk lantas menjelaskan apa yang dilakukan gadis itu.

 

“Oppa, tidak bisa melakukan ini padaku! Yang kulakukan hanya memastikanmu tetap aman berada di tempat ini!” Gadis itu mengelak ketika dua orang petugas kemanan lainnya mengamankan dirinya.

“Aku harus melakukan ini. Kau sudah menerobos masuk ke dalam kamar mandi dan mengganggu privasiku. Aku berterima kasih karena kau mendukungku, tapi bukan begini caranya.”

 

Salah seorang petugas berdeham. “Kami akan mengurus nona ini. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, Tuan.”

“Aku cuma penasaran dengan kegiatanmu dan aku kasihan karena melihatmu kesepian. Makanya aku terus mengikutimu,” kata gadis itu defensif ketika tiga orang petugas membawanya keluar.

 

“Walaupun kau menghentikan aku, akan tetap ada orang lain yang mengikutimu. Kami semua peduli padamu!”

 

Yeonjun hanya mendesah panjang saat mengamati sosok itu benar-benar menghilang. Sudah aman, kan?

 

Ia memutar tubuhnya, hendak kembali ke tempat duduknya yang nyaman. Karena terlalu bersemangat, ia tak sengaja bertubrukan dengan seseorang di belakangnya.

 

Barang-barang milik orang di depannya berserakan, membuat gadis di depannya langsung membungkuk memunguti barang-barangnya sambil menggerutu.

“Maaf, aku kurang berhati-hati,” kata Yeonjun sambil menyerahkan bedak dan lipstick milik gadis tersebut.

 

“Tidak masalah. Aku juga buru-buru kok.” Gadis itu bangkit setelah memastikan tas selempangnya diseleting dengan benar.

 

Gadis itu melewatkan satu barangnya yang tergeletak di lantai. Sebuah gantungan kunci beserta kuncinya. Kunci apartemen, mungkin? Yeonjun meraih benda itu dan mengerinyit begitu menyadari bentuk gantungan kuncinya.

 

 

Ia melirik gadis berjaket kulit hitam yang dipadu celana jins di depannya. Gadis itu sedang menerima telepon dan berbicara agak keras. “Iya, sebentar lagi aku keluar. Oke.”

 

Setelah menutup teleponnya, gadis itu kembali menghadapnya. Kemudian sebuah ingatan kabur menghampiri Yeonjun. Samar-samar ia bisa mengenali wajah gadis di hadapannya.

 

Ya ampun. Ia adalah gadis yang sama dengan yang waktu itu menemukannya saat berkelahi dengan Wooyoung di festival musik. Yeonjun menggelengkan kepalanya, berusaha untuk menguasai kesadarannya. Ia yakin dirinya masih cukup sadar untuk mengenali gadis itu.

 

Ia mencengkeram gantungan kunci dalam genggamannya. Gantungan kunci itu berbentuk kotak dengan tulisan ‘Espoir’ dengan gambar semua personil bandnya.

 

“Sepertinya kau melupakan sesuatu,” kata Yeonjun sambil memamerkan gantungan kunci itu pada gadis di depannya.

Gadis itu mendesah lega. “Ya ampun, terima kasih. Aku tidak bisa masuk ke kamar tanpa ini.” Ia berusaha meraih gantungan itu dari Yeonjun. Namun dengan cepat Yeonjun mengangkat gantungan itu tinggi-tinggi.

 

“Yang benar saja,” kata gadis itu kesal.

Gadis itu menatapnya dengan jengkel. Bagus. Kini mereka saling bertatapan. Yeonjun menunggu gadis itu berhenti pura-pura tidak mengenalinya.

 

Ia sudah bertemu dengan banyak stalker, namun baru kali ini ada yang pura-pura tidak mengenalinya namun selalu muncul di tempatnya berada.

 

 

“Walaupun kau menghentikan aku, akan tetap ada orang lain yang mengikutimu. Kami semua peduli padamu!”

 

Yeonjun kemudian mengingat ucapan stalker-nya yang baru saja ia tangkap beberapa menit lalu. Sekarang ia harus bertemu dengan satu lagi. Ya ampun, menjadi terkenal memang melelahkan.

 

“Memangnya kau tidak lelah ya?”

“Ya, aku lelah sekali. Makanya berikan kunci itu sekarang.” Gadis itu menatapnya tanpa rasa canggung atau takut.

 

Ia baru lihat tipe stalker yang bisa terlihat setenang ini walaupun berada sedekat ini dengannya. Gadis itu melangkah maju hingga mereka nyaris berhimpitan. Ia mengulurkan tangannya untuk merebut gantungan kunci dalam genggaman Yeonjun.

 

“Berikan kunci ini atau aku akan teriak dan membiarkan semua orang berpikir kau sudah melecehkanku,” ancam gadis itu tanpa gentar.

 

Cengkeraman gadis itu semakin kencang, begitu pula dengan tatapan matanya yang sama sekali tidak goyah.

 

“Aku serius. Kalau kau tidak segera melepaskan kunci ini, aku akan berteriak. TOLO-“

 

“Baiklah. Ini kuncimu.” Yeonjun meraih tangan gadis itu dan meletakkan gantungan kunci itu di atas telapak tangannya.

 

“Aku akan membiarkanmu kali ini. Tapi kalau aku bertemu denganmu lagi, aku yang akan berteriak dan memastikan petugas keamanan akan membawamu pergi.” 

 

 

TBC

 

Happy Tuesday semua!!! Terima kasih yang udah baca. Nanti kita ketemu lagi di part 2 yaa^_^

 Btw, ini visual buat tokoh Seo Sorin yaa gess. 


Ini dia visual Seo Sorin nama aslinya Roh Yoon Seo. 

Nah, buat karakter Hong Aera (pacarnya Jeno) aku ngebayangin Giselle, jadi permisi pinjem visualnya yaa Giselle.

Itu aja yang mau aku tulis buat hari ini. See You (muachhh, tebar flying kiss)

 

 

Best regards,

 

GSB

Comments

Popular Posts