The Scoundrel, Heartbreaker Part 6




Side story :



Previous story :

Teaser  I  Part 1  I  Part 2  I  Part 3  I  Part 4  I  Part 5


*  *  *  *






Mark kembali merapihkan rambutnya dan kemudian memastikan dirinya dalam keadaan yang sempurna. Setelah yakin, barulah ia meninggalkan kamarnya menuju ruang tengah di lantai satu. Saat berjalan menuju ruang tersebut, matanya langsung menemukan sosok Jiyeong yang tengah memainkan ponselnya. Pria itu sejenak diam memerhatikan gadis yang tengah duduk membelakanginya.



Cantik., pikirnya saat melihat tunangannya itu. Walau ia tidak melihat bagaimana tampak gadis itu secara keseluruhan, tapi pakaian yang dipakainya, maksudnya longsleeve putih dengan celana hitam, sangat cocok untuk tubuh yang terbilang cukup tinggi itu.



Mark mencoba untuk membuang pikiran akan penampilan Jiyeong hari itu. Ia mencoba untuk mengembalikan akal sehatnya agar kembali seperti sedia kala.



Ia menarik napasnya dalam dan kemudian menghembuskannya perlahan. Ia mengulanginya beberapa kali sebelum akhirnya menghampiri Jiyeong.



“Apakah keberanian mu sudah bertambah sampai-sampai kau datang menemuiku?” Tanya Mark saat ia ikut mendudukkan tubuhnya di samping Jiyeong.



Jiyeong lantas memalingkan wajahnya dari  ponsel kesayangannya saat pria itu datang dan mengatakan sesuatu yang terdengar seperti sebuah ejekan untuknya.



“Apa maksud mu?”



Mark memasang seringainya. Pertanyaan gadis itu seperti memberikan dirinya kesempatan untuk melakukan sesuatu yang kemarin sempat tertunda karena gadis itu.



“Maksud ku...” Ia mulai mendekatkan wajahnya dengan wajah Jiyeong. Hal itu lantas membuat Jiyeong refleks bergerak mundur.



“Kau ingat apa yang kemarin kau katakan? Aku boleh melakukan apa pun pada mu. Jadi...” Ia semakin mendekat. Tangannya yang bebas langsung menahan pergerakan Jiyeong dengan meraih tengkuk gadis itu.



Sementara Jiyeong, matanya langsung membulat dan tidak lama dipejamkan dengan cepat begitu bibir Mark telah menyapu permukaan bibirnya. Ia terkejut, tetapi entah mengapa dirinya tidak menolak sapuan lembut itu. Lebih buruknya lagi adalah ia tidak ingin Mark berhenti menciumnya. Malah jika boleh jujur, ia ingin Mark memperdalam ciumannya.



Tidak jauh berbeda dengan Jiyeong, Mark yang merasa bahwa Jiyeong sudah sangat menyukai ciumannya memasang senyum di tengah cumbuannya. Spekulasinya akan Jiyeong yang sudah mulai menyukainya semakin bertambah manakala Jiyeong membiarkan lidahnya bergerilya di dalam mulut gadis itu.



Mark terus menggerakan lidahnya dan semakin membiarkan salivanya bercampur dan bertukar dengan milik Jiyeong. Walau Jiyeong tidak membalas permainannya, tetapi dengan Jiyeong yang hanya diam dan membiarkan dirinya mendominasi sudah cukup untuk menyalurkan hasratnya.



Saat Mark berkeinginan untuk melakukan hal yang lebih hingga tubuh Jiyeong bergetar karena permainan tangannya, suara berdeham seseorang berhasil memupuskan keinginannya dan juga membuat keduanya saling menjauhkan diri mereka.



“Sepertinya Ibu datang di saat yang tidak tepat. Kalau begitu Ibu pergi. Kalian lanjutkan saja lagi, jangan hiraukan Ibu.”



Wanita itu menahan tawanya dan kemudian segera berbalik menuju kamarnya.



Mark dan Jiyeong hanya melihat kepergian Bibi Tuan atau Ibu Mark dengan raut terkejut. Namun saat keduanya mendengar suara pintu yang tertutup, helaan lega meluncur begitu saja dari keduanya.



Keduanya sama-sama bergeming. Jiyeong masih merasakan hawa panas disekujur tubuhnya. Ia juga masih berusaha untuk menenangkan dirinya yang mulai kalut karena kejadian yang baru saja dialami. Bukan cumbuan dari Mark, yang dirinya maksud adalah kehadiran Bibi Tuan yang tiba-tiba saat ia dan Mark tengah dalam keadaan yang tidak baik.



Namun lain halnya dengan Mark. Setelah kepergian Ibunya, pria itu menghela lega tapi kemudian kembali menatap tajam pada Jiyeong yang tengah memalingkan wajahnya. Dalam pikiran pria itu, ia ingin untuk kembali menerkam Jiyeong dan mencumbu habis gadis itu. Merasakan rasa manis bibir gadis itu. Serta tidak lupa getaran tubuhnya setiap kali ia menyentuh hingga membuat perasaan yang dulu sempat hilang dapat kembali ia rasakan.



Mark kembali memasang seriangainya saat tangannya ia gerakkan untuk memalingkan wajah Jiyeong agar menatapnya. Ia juga kembali mendekatkan wajahnya yang langsung membuat mata gadis itu terpejam kuat.



Mark tersenyum saat melihat reaksi gadis di depannya itu. Namun sayangnya, semua berbeda dari dugaannya. Kali itu Jiyeong tidak membiarkan dirinya kembali mendaratkan ciumannya. Gadis itu dengan mata yang terpejam malah menghentikan gerakan dengan menahan tubuhnya.



Jiyeong membuka mata dan menghela pelan. Jantungnya yang tengah berdegup kencang berusaha untuk ia normalkan. Tubuhnya ikut semakin memanas karena Mark yang ingin kembali menciumnya berusaha untuk ia dinginkan. Napasnya lantas kembali terhela sebelum berkata pada Mark.



“Ku rasa kita harus pergi sekarang.” Gadis itu menjeda ucapannya. Ia kembali menarik napasnya dalam dan menghembuskannya pelan. “Aku tidak membawa mobil, jadi pakai mobil mu.” Sambung Jiyeong, kemudian berdiri dan melangkahkan kakinya lebih dulu keluar.



Mark hanya tersenyum saat Jiyeong telah pergi. Entah kenapa ia tidak merasa marah pada gadis itu. Padahal Jiyeong baru saja menghentikan kesenangannya dan malah memerintahnya. Senyumnya malah semakin tertarik lebar. Lantas ia beranjak menyusul Jiyeong yang telah lebih dulu berdiri di samping mobilnya.



“Memang kita akan pergi kemana?” Tanya Mark saat ia dan juga Jiyeong telah berada di dalam SUV kesayangannya.



“Taman bermain, hari ini kan akhir pekan. Jadi akan menyenangkan jika kita pergi ke sana.”



Mark mengernyitkan dahi dan menatap gadis di sampingnya dengan heran. Taman bermain? Bukankah gadis itu berencana untuk membantunya? Lalu kenapa taman bermain? Bukankah lebih baik membawanya ke tempat terapi atau apa pun yang dapat membuat pikirannya kembali seperti sedia kala?



“Kenapa diam? Ayo.”



Mark hanya mengendikkan bahu kemudian mulai mengendarai mobilnya menuju taman bermain yang berada di pusat kota.




*  *  *  *




Hari itu terasa begitu berbeda. Tidak ada rasa kesal, marah, atau hasrat berlebih baik pada diri Mark atau pun Jiyeong. Keduanya begitu larut dengan wahana-wahana yang mereka naiki bersama. Tawa riang menemani kemana pun mereka melangkah. Senyum bahagian tidak pernah hilang dari wajah keduanya. Mereka seperti sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara. Begitu bahagia karena dapat menghabiskan akhri pekan bersama.



Mark tidak pernah melepaskan genggamannya. Ia terus menautkan jari-jemarinya dengan Jiyeong. Walaupun beberapa kali pria itu melepasnya untuk merangkul pinggang gadis itu.



Dan Jiyeong, ia sama sekali tidak menolaknya. Genggaman, gandengan, rangkulan, bahkan ciuman pada pipi dan sesekali pada bibirnya tidak membuat ia melayangkan tangannya pada wajah Mark. Ia begitu menikmati waktunya bersama dengan Mark.



Ketika hari telah siang, Mark pun memutuskan untuk berisitirahat dan mengisi perut mereka dengan makanan. Mark membawa Jiyeong menuju salah satu restoran yang tidak jauh dari area bermain.



Seperti biasa –setiap kali ada pengunjung datang– seorang pelayan pasti menyambutnya dan mencatat pesanan mereka. Begitu pula yang dialami Jiyeong dan Mark. Sesampainya mereka di sana, seorang pelayan datang dan menyambut mereka dengan senyuman hangat.



Pelayan itu kemudian menuntun keduanya menuju salah satu meja yang berada di samping jendela kaca. Setelah Mark dan Jiyeong menempati kursi di sana, pelayan tadi lantas meletakkan buku menu dihadapan keduanya. Sang pelayan menunggu beberapa saat sampai akhrinya keduanya memutuskan untuk memesan steak dan orange juice untuk mereka santap di siang itu. Sang pelayan kembali mengulangi pesanan keduanya kemudian menunduk singkat sebelum pergi meninggalkan Mark dan Jiyeong.



Setelah kepergian sang pelayan, Mark dan Jiyeong kembali terlibat dalam perbincangan mengenai wahana-wahana yang telah mereka naiki. Tawa lepas kembali hadir di antara keduanya manakala kejadian lucu yang sebelumnya terjadi kembali muncul dalam ingatan. Di tengah tawa lantang Jiyeong, Mark tiba-tiba saja mengalihkan topik yang membuat Jiyeong berhenti tertawa dalam sekejap.



“Kenapa taman bermain?”



Jiyeong menaikkan sebelah alisnya dan menatap Mark bingung. Kenapa? Apanya yang kenapa?, pikir gadis itu.



Mark melihat raut kebingung di wajah Jiyeong. Ia pun kembali mencoba untuk memperjelas maksud pertanyaannya. “Begini, kau kan ingin membantu mengubah persepsi ku mengenai wanita. Tetapi kenapa kau malah membawa ku ke taman bermain? Bukankah psikolog atau konseling-”



“Ah aku mengerti!” Seru Jiyeong menghentikan kalimat Mark yang belum rampung.



“Menurut ku jika aku membawa mu ke psikolog atau konseling, berarti bukan aku yang membantu mu tetapi mereka. Bukankah aku sudah katakan kalau aku yang akan mengubah persepsi mu itu, jadi biarkan aku menggunakan cara ku. Dan jika gagal, barulah aku akan mengirim mu kepada mereka.” Terang Jiyeong dengan menyesap orange juice miliknya yang baru saja diantar.



Gadis itu memalingkan wajahnya. Ia tatap hamparan bunga yang tertanam pada balkon restoran yang berada di depannya. Ucapannya yang baru saja terucap berhasil membuat dirinya kembali memikirkan apa yang tengah ia lakukan. Ia ingin mengubah persepsi seorang Mark Tuan yang notabene-nya adalah seorang pria cassanova dengan caranya sendiri.



Memang membawa pria itu ke taman bermain diakhir pekan bukanlah ide yang buruk. Karena dengan membawa pria itu ke sana, sama saja dengan menunjukkan kehidupan sepasang kekasih yang akhirnya memutuskan untuk menikah dan memiliki anak. Kehidupan yang nyata yang akan dilalui oleh manusia di muka bumi ini.



Dibandingkan dengan membawa pria itu ke konseling, mereka hanya akan memberikan gambaran tanpa ada wujud nyatanya. Walaupun treatment yang diberikan oleh mereka lebih baik dibandingkan dengan dirinya, tetapi bukankah lebih baik jika ingin mengubah cara pandang seseorang akan suatu hal dengan menunjukkan kejadian nyatanya dibandingkan dengan hanya mengumbar pemikiran seseorang berdasarkan teori.



Itulah yang diyakini oleh Jiyeong hingga saat itu. Menurutnya teori tidak akan menjamin bahwa orang tersebut akan mau mengubah cara berpikir mereka. Namun jika ia diberikan kenyataan yang jelas di depan matanya, kemungkinan orang tersebut mau merubahnya lebih besar.



Seorang pelayan tiba-tiba datang dan meletakkan dua piring besar dengan menu steak yang keduanya pesan. Pelayan itu kembali menunduk singkat setelah meletakkan pesanan tersebut dan kemudian meninggalkan Mark dan Jiyeong yang akan mulai menyantap makanannya.




*  *  *  *




Setelah rasa kenyang mereka rasakan, keduanya tak lantas pergi begitu saja meninggalkan tempat itu. Mereka menghabiskan beberapa saat di sana untuk memberikan rasa nyaman kepada diri mereka sendiri setelah menghabiskan satu porsi makan siang.



Keduanya kembali terlibat perbincangan yang tak penting tapi berhasil membuat Jiyeong menjadi bersemu malu atau merasa kesal karena ulah Mark. Dan di saat itulah Jiyeong menyadari ada perubahan di dalam dirinya.



Perubahan itu hanya terjadi atau lebih tepatnya hanya dapat ia rasakan saat ia bersama Mark. Ia tak tahu kenapa dan bagaimana ia bisa menjadi seperti saat itu. Semua perubahan itu terjadi begitu saja tanpa ada pemberitahuan untuk dirinya.



Mungkinkah ia mencintai Mark?



Mungkinkah pria itu telah berhasil membuat ia bertekuk lutut?



Mungkinkah ia sudah benar-benar jatuh di dalam perangkap pria casanova itu?



Jiyeong mengerjap dan tersadar dari lamunannya begitu sebuah sentuhan menyentuh tangannya. Ia menatap tangannya dan sedikit terkejut saat mendapati tangan Mark tengah menggenggam tangannya. Ia lantas menatap Mark yang telah bangkit dari posisinya.



“Ayo kita pergi.”



Mark menggenggam tangan Jiyeong dan menautkan jari-jemarinya dengan milik gadis itu. Keduanya berjalan beriringan menuju mobil SUV milik Mark yang terparkir di luar area bermain.



Mark membukakan pintu untuk Jiyeong, dan mempersilahkan gadis itu untuk menempati tempatnya. Setelahnya ia kembali menutup pintu penumpang tersebut dan beralih menuju tempatnya pada kursi pengemudi.



Pria itu segera menghidupkan mesin mobilnya. Lantas mulai mengedalikan kendali mobilnya meninggalkan tempat bermain menuju tempat selanjutnya yang telah dikatakan Jiyeong.



Selama perjalanan, Jiyeong masih tetap diam dan tak melakukan apa-apa selain menatap lurus pada jalan. Mark yang merasa aneh dengan sikap Jiyeong saat itu mencoba untuk mengalihkan fokus gadis itu pada  apa yang tengah ia pikirkan. Dengan meraih tangan Jiyeong dan menggenggamnya erat, Mark berhasil membuat Jiyeong tersadar dari lamunannya.



Jiyeong berbalik menatap Mark dengan matanya yang sedikit membulat. Ia tak mengatakan apa pun, tapi matanya seakan mengatakan ada apa? pada Mark. Mark tidak langsung menjawabnya. Dirinya hanya tersenyum dan semakin mengeratkan genggamannya.



Jiyeong merasa lebih hangat saat tangannya semakin digenggam dengan erat oleh Mark. Bersamaan dengan itu, jantungnya mulai bergemuruh dan darahnya berdesir dengan kencang. Jiyeong tak mampu mengendalikan semua itu. Ia tak mampu membuat jantungnya berhenti berdetak dengan detakan yang melebihi batas normal serta membuat darahnya berdersir dengan cepat.




Bahkan tanpa disadarinya, semburat merah telah muncul dan telah menghiasi wajahnya. Mark yang melihat itu semakin tidak dapat menghentikan senyumnya. Ia semakin membentuk lengkungan pada bibir merah jambu itu.



Entah kenapa rasa senang langsung menyergap perasaan pria itu setiap kali ia melihat wajah Jiyeong yang tengah dihasi semburat merah pada kedua pipinya. Ia tak tahu kenapa ia menjadi seperti itu. Perasaannya berubah begitu saja sejak mereka kembali bertemu.




Mark tidak tahu kenapa selalu ada rasa nyaman dan damai tiap kali ia bersama dengan Jiyeong. Ia juga tidak malu untuk menjadi dirinya tanpa harus selalu menunjukan sisi casanova-nya di hadapan gadis itu. Sama seperti saat ia masih bersama dengan gadis itu. Gadis yang telah mengubah dirinya semenjak kepergiannya.




“Kenapa kau tak melepaskan tangan mu seperti biasanya?” Tanya Mark begitu ia menyadari bahwa Jiyeong tengah membiarkan tangannya terus berada di dalam genggamannya.



Jiyeong diam tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia terlebih dulu memalingkan wajah dan bersandar.



“Tidak apa, aku hanya tidak ingin membuat usaha ku menjadi sia-sia hanya karena hal seperti itu.” Balasnya.



Dalam hati sebenarnya bukan itu yang ia ingin katakan. Apa yang baru saja dikatakannya bukanlah jawaban yang sejujurnya. Tapi ia tidak mau Mark mengetahuinya. Ia tidak mau Mark beranggapan bahwa ia telah jatuh cinta pada pria itu. Karena ia masih belum tahu bagaimana perasaannya sendiri pada Mark. Ia tidak tahu apakah ia telah jatuh cinta pada pria casanova itu atau tidak. Yang pasti saat itu ia tidak ingin mengetahui apa pun tentang perasaannya karena bukanlah tujuannya mengajak pria itu pergi.



Setelahnya, suasana hening kembali hadir di antara mereka. Jiyeong kembali larut dengan pikirannya dan Mark kembali fokus pada jalan di depannya.



Mark tidak ingin mengganggu Jiyeong yang seperti tengah dipusingkan dengan sesuatu sampai-sampai ia tak menyadari bahwa mereka telah hampir sampai di tempat yang dimaksud. Bahkan di saat Mark mulai menepikan mobilnya, Jiyeong masih diam dan sama sekali tak menyadari akan hal itu.



“Aku tidak tahu apa yang tengah kau pikirkan, tapi apakah kita akan tetap berada di dalam mobil?” Tanya Mark.



Pertanyaan tersebut berhasil membuat Jiyeong kembali tersadar kemduian memerhatikan sekelilingnya. Lantas dirinya menatap Mark yang ternyata tengah balik menatapnya dengan tatapan bertanya pria itu.



“Oh.. ayo kita turun.”



Jiyeong melepaskan seatbelt-nya dan kemudian membuka pint. Ia berjalan menuju bagian depan mobil dan menunggu Mark. Tidak lama Mark telah berdiri di sampingnya. Jiyeong menatap pria itu dan kemudian melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak yang ada di depannya.



Mereka berdua terus menyusuri jalan setapak itu tanpa ada yang membuka suara. Hanya diam dan keheningan yang menemani keduanya. Hal itu berbanding terbalik dengan keadaan taman yang ramai oleh banyak orang.



Mereka masih tetap melangkah saat tiba-tiba saja Mark menautkan jari-jarinya dengan Jiyeong. Sontak gadis itu menghentikan langkahnya yang membuat langkah Mark juga ikut terhenti.



Jiyeong menatap Mark begitu juga dengan sosok yang ditatapnya. Keduanya hanya saling menatap dengan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Lama keduanya terjebak dalam keterpakuan sampai terdengar suara seorang anak kecil yang berhasil menginterupsi keduanya.



“Nenek, kedua kakak itu sangat cocok. Jika aku besar nanti aku ingin seperti mereka. Berjalan di taman sambil bergandengan tangan.” Racau seorang anak perempuan berusia lima tahun yang tengah melintas bersama dengan wanita paruh baya yang anak itu sebut sebagai neneknya.



“Iya mereka sangat cocok Jinhye. Kakak perempuan itu sangat cantik dan kakak laki-lakinya sangat tampan. Nenek akan selalu mendoakan mu agar kelak kau tumbuh menjadi gadis cantik seperti kakak itu dan menemukan pangeran tampan untuk menemanimu.” Balas sang nenek yang membuat senyum anak perempuan itu semakin merekah.



Keduanya berlalu. Namun baik Jiyeong dan Mark tetap memperhatikan kemana nenek dan cucunya itu pergi walaupun keduanya sudah pergi meninggalkan taman tersebut.



Jiyeong memasang senyumnya saat mengingat bagaimana anak kecil itu mengucapkan kalimatnya tadi. Ia kemudian bergumam pelan beriringan dengan angin yang berhembus, “Pangeran yang tentunya kau cintai..”



“Apa yang kau katakan?” Tanya Mark saat samar-samar ia mendengar gumaman gadis itu.



“Ah tidak.. tidak. Tidak ada. Ayo kita duduk di sana. Aku lelah kalau harus terus berdiri.”



Jiyeong lantas melangkahkan kakinya menuju salah satu kursi taman di dekat pancuran air. Ia segera mendudukan bokongnya dan memanjangkan kaki yang terasa pegal.



Mark mengikuti gadis itu. Ia juga ikut duduk di sana, atau lebih tepatnya di samping Jiyeong.



Keheningan yang meliputi selama di mobil kembali hadir di antara keduanya. Mereka kembali berada dalam keadaan hening yang pada kenyataannya diciptakan oleh diri mereka sendiri. Jiyeong yang hanya diam dengan pikirannya yang masih penuh dengan apa yang terus ia pikirkan sejak ia di mobil tadi. Sedangkan Mark ia hanya menatap pada kotak pasir yang tengah dihuni oleh beberapa anak kecil.



Namun untuk kedua kalinya, keadaan hening itu menghilang karena kehadiran sosok yang tak mereka kenal. Kali itu seorang wanita dengan perutnya yang telah membesar datang menghampiri Mark dan Jiyeong dengan matanya yang berbinar.



Mark menatap bingung pada wanita itu. Begitu juga dengan Jiyeong yang langsung menautkan alisnya begitu sang wanita datang dan langsung memeluknya.



“Sayang, ternyata kamu di sini.”



Seorang pria tiba-tiba saja datang dan memeluk wanita itu. Dari kata sayang yang dikatakan oleh sang pria, Mark dan Jiyeong tahu bahwa sepasang pria dan wanita yang ada di hadapan mereka adalah sepasang suami-istri yang nampaknya tengah menunggu hadirnya buah cinta mereka ke dunia ini.



“Maaf jika istri saya..”



“Aku ingin berfoto dengan mereka. Tolong fotokan aku.”



“Tapi kamu sudah berfoto dengan banyak pasangan, sayang.”



“Iya, tapi aku merasa mereka bukan pasangan yang sejati. Sedangkan mereka, aku merasa mereka seperti sudah memiliki ikatan dari Tuhan. Ayo sayang fotokan aku dengan mereka.”



Pria itu menghela napasnya saat mendengar permintaan sang istri. Ia lantas beralih menatap Mark dan Jiyeong yang masih tetap menatap mereka dengan tatapan terkejut.



“Bolehkah istri saya berfoto dengan kalian? Ku mohon, dia sedang hamil.”



Jiyeong merasa tidak enak jika menolak permintaan itu. Maka kepalanya mengangguk dan membiarkan wanita itu duduk di sampingnya.



Pria tadi mulai mengabadikan mereka.



Satu foto.



Dua foto.



Ketika sang pria ingin mengabadikan ketiganya untuk yang ketiga kali, wanita tadi menghentikannya. Ia kemudian beralih menatap Jiyeong dan Mark bergantian.



“Aku ingin berfoto saat kau mencium pipi kekasih mu, apakah kau bersedia?”



Wanita itu menatap Mark dengan penuh harap. Sedangkan Mark, ia masih tidak dapat mempercayai permintaan wanita itu. Mencium Jiyeong. Bukankah mencium itu mudah. Tapi kenapa ada getaran aneh yang ia rasakan terlebih ketika melihat Jiyeong yang tengah menatap wanita itu dengan tatapan terkejutnya.



“Sayang, kenapa kamu meminta yang tidak-tidak. Mereka pasti tak nyaman, jadi foto saja seperti pada umumnya.”



Pria itu berusaha untuk menghilangkan keadaan canggung dan sedikit mencekam yang muncul akibat permintaan sang wanita. Jelas saja ia melakukan itu, dalam hatinya, ia merasa tak enak pada Mark dan Jiyeong. Mereka tak saling mengenal sebelumnya, tapi istrinya malah meminta hal-hal aneh pada keduanya.



“Tapi bayi kita yang menginginkannya. Aku tidak bisa menolaknya sayang.” Rengek wanita itu. Dari matanya sudah terlihat genangan air yang siap melesat jatuh. Namun apa yang Jiyeong katakan berhasil membuat genangan itu tak jadi jatuh membasahi wajahnya.



A.. em.. tidak apa. Inikan permintaan bayi yang ada di dalam perut mu, iyakan Mark?”



Jiyeong beralih menatap pria itu dengan harapan bahwa pria itu bersedia untuk melakukannya juga. Oh ayolah.. jika dipikirkan lagi, bukankah ia beruntung karena tidak perlu memaksa Jiyeong agar mau diciumnya. Jadi bukankah ini tawaran yang baik untuk pria casanova seperti dirinya?



Mark pun menganggukan keapalanya. Dan setelah anggukan itu, sang pria pun mulai membidik ketiganya dengan Mark yang sudah mendaratkan ciumannya pada pipi Jiyeong.



Satu foto. Dua foto. Dan tiga foto.



Setelah mendapatkan lima foto, akhirnya sepasang suami-istri itu pamit meninggalkan Jiyeong dan Mark. Sang pria tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada keduanya karena sudah bersdia membantu mewujudkan keinginan istrinya yang tengah hamil.



Setelahnya keheningan kembali hadir di antara Mark dan Jiyeong. Seperti takdir Tuhan yang mengikat keduanya. Mereka kembali larut dalam pikirannya masing-masing. Sampai akhirnya Jiyeong membuka suara dengan berdeham pelan.



“Coba kau lihat ke depan sana! Lihat bagaimana anak-anak itu tertawa senang saat sedang bermain dengan orang tua mereka. Anak-anak kecil itu tidak mungkin lahir jika tidak ada cinta di antara orang tua mereka. Dan...” Jiyeong memberikan sedikit jeda pada ucapannya. Ia tarik napas dan kemudian menghembuskannya secara perlahan.



“Cinta tidak akan bisa hadir di dalam diri manusia kalau manusia itu masih menyimpan dendam terhadap masa lalunya. Hal itu sama seperti apa yang kau lakukan sekarang. Memainkan hati banyak wanita karena dendam mu pada masa lalu, ku harap kau mengerti Mark. Aku tak ingin menggurui mu, tapi inilah kenyataannya. Dendam mu telah membuat kau buta. Dendam mu itu telah membuat kau berpikir bahwa cinta itu adalah omong kosong, sehingga kau rela membuat wanita bertekuk lutut dihadapan mu, menyerahkan semua yang mereka miliki sampai dengan hal paling berharga mereka, dan setelahnya kau tinggalkan.”



Jiyeong kembali menarik napas dalam dan menghembuskannya. Rasanya beban yang sebelumnya ia rasakan perlahan berangsur menghilang walau tidak sepenuhnya.



Gadis itu kemudian beralih menatap Mark yang tengah menatap kosong ke depan. Ia tahu bahkan sangat tahu bahwa apa yang baru saja dikatakannya begitu menyinggung perasaan pria itu. Namun itulah kenyataannya. Itulah kenyataan yang tengah dijalani oleh Mark selama ini.



Jiyeong kembali menarik napas sebelum tangannya tergerak untuk menggenggam tangan pria itu. Ia menggenggam kedua tangan pria itu dengan kedua tangannya. Kemudian menatap manik mata pria itu dengan dalam.



“Kau harus menyelesaikan semuanya, dan kau harus berubah. Kau harus bisa mengubah diri mu itu. Karena jika tidak, kau akan melahirkan wanita-wanita yang pada akhirnya hanya akan membuat banyak pria seperti mu bermunculan. Kau tahu bukan maksud ku..”



Sejenak gadis itu memejamkan matanya. Ia juga kembali menarik napas namun lebih dalam lagi, dengan hembusan yang berkala.



“Ayo ikut aku!” Ajaknya pada Mark yang tetap diam walaupun ia juga ikut bangkit mengikuti Jiyeong.



Jiyeong terus menuntun pria itu menuju salah satu café yang terletak di area taman. Gadis itu memasuki café tersebut dan secara cepat menemukan sosok wanita berambut sebahu yang tengah menikmati segelas jus yang telah ia pesan.



Jiyeong menghampiri sosok itu dengan tetap menuntun Mark yang berjalan satu langkah di belakangnya. Ia kemudian menyapa sosok tersebut yang balas menyapanya begitu sosok itu menyadari kehadiran Jiyeong di sana.



Setelahnya ia menuntun Mark untuk duduk di sana dan kemudian pamit pergi kepada sosok itu. Awalnya Mark menahannya dan memberikan tatapan tajam padanya. Namun tekadnya untuk menemui Mark dengan sosok itu begitu kuat hingga ia tidak memperdulikan tatapan tersebut dan melepaskan cengkraman tangan pria itu dari pergelangannya.



Jiyeong tersenyum singkat sebelum akhirnya ia melangkah meninggalkan café dan juga meninggalkan Mark dengan sosok itu di sana. Ber-du-a.



Sosok itu tetap memasang senyumnya kepada Mark yang kini rautnya telah berubah mengeras. Ia sadar dan tahu kalau kini Mark tengah menahan amarahnya karena tiba-tiba saja gadis yang ia ketahui sebagai tunangan dari pria di depannya itu malah mengajaknya untuk bertemu dengan seseorang yang menjadi pemicu dari munculnya sosok casanova dalam diri Mark.



“Mark-”



“Sebenarnya apa yang kau rencanakan Stefany?” Belum sempat sosok yang Mark panggil Stefany itu menyelesaikan ucapannya, Mark telah lebih dulu menyela dengan nada bicara yang seakan menuduhnya.



Stefany tersenyum miris begitu mendengar kalimat Mark yang begitu menyudutkannya. Rencana? Rencana apa? Ia tidak merencanakan apa pun. Kehadirannya di tempat itu juga bukan karena kehendaknya, tetapi permintaan gadis yang ia ketahui sebagai tunangan dari pria di depannya.



Stefany menarik napas dalam. Ia kemudian menghelanya sepelan mungkin agar Mark tidak begitu menyadarinya.



“Kau tahu, kau beruntung memiliki gadis itu Mark. Kenapa? Karena ia ingin kau berubah. Dia ingin kau berhenti memainkan hati banyak wanita. Dia ing-”



Mark tertawa sinis. Ia merasa lucu dengan apa yang dikatakan Stefany. Berubah.. tidak lagi menyakiti hati wanita. Ha! Apakah dia lupa kalau semua itu terjadi karena ulahnya?! Apakah ia tidak sadar bahwa kepergiannya yang membuat semua dirinya menjadi seperti itu?!



“Aku tahu, kau menjadi seperti sekarang ini karena aku. Karena itu, aku ingin memin-”



“Jangan terlalu percaya diri Stefany. Aku berubah bukan karena mu, dan jika aku ingin memainkan hati banyak wanita, itu juga bukan urusan mu. Jadi sudah-”



“MARK! BISAKAH KAU TAK MENGELAK! BISAKAH KAU MENDENGARKAN KU DAN BERHENTI UNTUK MENYELA UCAPAN KU?!” Maki Stefany yang telah geram dengan tingkah Mark. Pria itu terlalu keras kepala. Pria itu terlalu penuh dengan ego.



“Aku tak peduli jika kau memainkan hati banyak wanita atau tidak. Aku tak peduli apakah kau akan mendengarkan ku atau tidak. Aku tidak peduli Mark. Tapi yang aku pedulikan adalah gadis itu. Dia.. Hwang Jiyeong. Walaupun aku tidak mengenalnya, tapi ku rasa dia adalah gadis yang baik. Dan karena itu aku mau datang menemui mu untuk meminta maaf!” Racau Stefany. Ia menjeda ucapannya dan kembali menarik napasnya lebih dalam. Paru-parunya terasa mengecil saat ia terus mengatakan apa yang ingin ia katakan tanpa memberikan jeda untuknya menghirup oksigen.



Mark diam seribu bahasa begitu mendengar racauan wanita di depannya. Dia.. Stefany Choi. Seorang wanita yang merupakan cinta pertamanya. Namun wanita itu juga yang membuat hatinya hancur dengan tak tersisa.



“Aku sadar kalau apa yang telah aku lakukan pada mu itu salah. Aku mengakhiri hubungan kita dan setelahnya menjalin hubungan dengan Jongin, sahabat terbaik mu di club. Maka dari itu, aku ingin meminta maaf pada mu. Aku sadar dan tahu kalau akan sulit untuk mu memaafkan ku, tapi setidaknya ku mohon, tolong berhenti memainkan hati wanita hanya untuk membalaskan rasa dendam dan amarah mu pada ku. Jika kau tetap melakukannya, kau akan mendapatkan balasan yang lebih kejam Mark. Dan aku tak mau hal itu sampai terjadi.”



Stefany meraih tangan Mark. Ia menggenggamnya dengan erat, dan matanya menatap tepat pada manik mata Mark.



“Kau adalah pria yang baik. Maka dari itu, tetaplah menjadi pria baik. Jangan sakiti Jiyeong, karena gadis itu terlalu baik untuk kau sakiti Mark. Ku rasa kau mengerti maksud ku, dan sekali lagi aku ingin meminta maaf. Terserah pada mu, apakah kau mau menerima maaf ku atau tidak. Yang jelas, aku hanya berharap kau bisa bahagia dan berhenti melakukan hal keji seperti itu pada wanita lain terlebih pada Jiyeong.”



Stefany meraih tasnya dan mengenyampirkan tali tas itu pada bahunya. Ia kemudian bangkit dari kursi dan berjalan mendekat pada Mark. Tangannya diletakkan di atas pundak pria itu dan mengusapnya.



“Terimakasih karena kau mau mendengarkan ku. Semoga kita bisa bertemu lagi. Sampai jumpa..”



To be continued



Hallo!

Udah part 6 aja nih.. itu berarti tinggal satu part lagi sebelum kisah Mark - Jiyeong ini berakhir.

Semoga hingga lembaran keenam ini, kedua pasangan tunangan kita masih bisa memberikan hiburan kepada kalian dengan kisah mereka. Dan harapan ini juga dipanjatkan untuk lembaran terakhirnya hehe :)

So.. guys, enjoy, thank you, and see ya
감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts